09/07/2025
Seberapa siap sistem peringatan dini pemerintah bekerja saat banjir terjang Jakarta?
Pakar Hidrodinamika dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Muslim Muin menyatakan sepanjang pengetahuannya, belum ada pemerintah daerah yang serius mengembangkan sistem peringatan dini banjir seperti di Jakarta.
Dua "sumber" banjir di Jakarta sebenarnya, kata Muin, relatif sudah dapat diprediksi, dan karena itu sistem peringatan dininya bisa berjalan dalam situasi tersebut.
"Banjir kiriman" memerlukan waktu hingga sampai ke daerah-daerah rawan banjir. Dan karena itu banjir bisa diprediksi dan diminimalkan risikonya. Demikian juga banjir rob yang berlangsung di pesisir Jakarta, kata Muin.
"Banjir rob itu akibat pasang surut, yang sebetulnya kita bisa prediksi, perkirakan. Yang jadi masalah itu kan tanahnya yang turun. Jadi itu bisa juga kita berkirakan kapan akan terjadi."
Tapi yang sulit diprediksi adalah hujan lokal. Ketika hujan lokal bertemu dengan dua jenis sumber limpahan air tersebut, maka terjadilah kegawatan itu.
"Yang jadi masalah itu adalah banjir lokal [yang disebabkan curah hujan yang tinggi di Jakarta]. Kan peringatan dininya harus dari hujan. Sementara hujan itu tidak bisa diprediksi dengan akurat, jadi tidak ada peringatan dininya. Tiba-tiba hujan ekstrem aja."
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, katanya, bisa memperkirakan cuaca dalam kurun waktu tertentu.
Tapi, kata Muin, hujan terjadi melibatkan proses stokastik alias acak dan tidak bisa diprediksi.
"Tidak ada satu pun badan cuaca di dunia ini yang bisa memperkirakan kapan hujan itu akan turun dan besarannya."
Dengan pengalamannya menyusur sungai-sungai di Cikeas dan Cileungsi hingga ke hulu dan pengalaman 20 tahun membangun sistem peringatan dini secara mandiri, Puarman yakin warga di sekitar jalur sungai semakin siap menghadapi banjir.
"Kami sudah terbiasa membuat analisa-analisa terhadap banjir. Sudah jelas. Sudah terpetakan (mana saja wilayah yang terdampak),"
Tapi tetap saja sistem yang dibangunnya dengan tekun selama 20 tahun itu tak mampu menghentikan laju banjir yang semakin meluas.
"Dulu, kalau seandainya hujan di daerah Sentul, Puncak, Hambalang, Babakan Madang, segala, air itu 80% meresap ke tanah. Hanya 20% yang mengalir jadi banjir ke hilir. Sekarang sebaliknya, kalau seandainya hujan di hulu, hanya 20% yang meresap ke tanah, yang 80%-nya menggelontor ke hilir."
Selain perbaikan wilayah resapan di hilir, dia juga mengusulkan normalisasi sungai yang ada di hilir.
"Sungai Cileungsi dan Cikeas itu terakhir dikeruk pada 1971. Debit air makin lama, makin bertambah. Sedangkan kapasitas tampung sungai menjadi terbatas."
Silakan membaca artikel lengkapnya: https://www.bbc.com/indonesia/articles/ceq7zgyr1j9o