
30/08/2025
Bayangkan sebuah keluarga yang hari itu sedang berduka karena kehilangan Affan Kurniawan. Air mata masih deras, suasana penuh kehilangan. Namun di saat yang sama, akun dihari pertama setelah kejadian, akun resmi justru menampilkan unggahan tentang bantuan perahu dayung. Tentu itu bukan hal yang buruk, tapi di tengah duka mendalam seperti ini, yang dibutuhkan bukan cerita kebaikan lain, melainkan pelukan, doa, dan ucapan belasungkawa.
Kadang diam sejenak jauh lebih menyentuh, daripada memaksakan pesan positif di waktu yang tidak tepat.
Lalu muncul istilah “Patsus”. Sebagian masyarakat bingung, tidak memahami maksudnya, bahkan ada yang menganggapnya seperti hukuman penjara ringan dalam permainan monopoli. Padahal, bahasa dalam komunikasi publik seharusnya jadi jembatan, bukan pagar yang memperlebar jarak. Di saat duka menyelimuti, kata-kata sederhana justru lebih kuat maknanya.
Di ruang digital, beberapa reaksi terburu-buru dari anggota maupun keluarga Polri ikut muncul. Padahal media sosial adalah panggung besar, setiap komentar akan direkam dan diingat publik. Satu respon emosional bisa meruntuhkan citra yang dibangun dengan susah payah.
Tulisan ini bukan untuk melemahkan, justru sebagai bentuk kepedulian dan harapan. Karena banyak yang masih percaya, institusi ini mampu berubah dan membenahi diri. Yang masyarakat butuhkan sederhana: polisi yang hadir dengan empati, dengan hati bukan sekadar dengan konten manis di layar ponsel.