14/05/2025
“Jadi gini, Buk.. namanya juga laki-laki ya, Buk? Ada ketertarikan sama temen kerja itu lumrah, wong suami saya dulu juga begitu.
Suami Bu Sari begitu juga, to? Malah sampe punya anak lima dari istri mu da,”
Bu Asih semakin berani menyi nggung ibunya Rania. Tapi, tentu saja, wajah bersahaja itu tetap tenang.
Bu Sari sudah selesai dengan dirinya. Ia tak butuh pengakuan, ia tak butuh persetujuan.
“Jadi.. sudah jelas nggeh, Bu.. saya pengen anak Ibuk balik ke Pontianak. Toh anak saya sudah ngaku khilaf, kok.
Susah lho, cari lelaki seperti anak saya, sudah royal, modalin istrinya usaha, beliin tiket pesawat pulang ke Jogja sebulan sekali.. coba cari laki-laki kayak Andra di luar sana. Ndak bakalan ada!”
Rania terkekeh mendengar perkataan mertuanya. Sungguh ia tak habis pikir dengan cara berpikirnya Bu Asih.
Apa yang dilakukan keluarganya selalu dianggap benar. Yang lain salah.
“Banyak kok, Mah, lelaki di luar sana yang royal dan setia. Mamah aja yang nggak pernah nganggep orang lain baik,” saking ge ramnya, Rania akhirnya buka mu lut.
“Hushh! Dia mertuamu!” Ghofar menya lak ta jam. Pria itu hendak berdiri namun dihalangi Hani.
“Wes.. jangan e mo si, Far. Kita di sini buat minta baik-baik sama Rania biar pulang ke Pontianak.
Ibuk mertuamu ini sudah jauh-jauh dari Salatiga buat minta baek-baek sama menantunya sendiri buat memperbaiki rumah tangga. Kurang apa coba?” lanjut Bu Asih.
Ditepuk dadanya, memperlihatkan bahwa ia sedang menjadi pahlawan bagi rumah tangga anaknya.
Rania hanya tersenyum nye ngir. Ia tahu persis sifat ibu mertuanya itu. Yang dikatakan baik-baik adalah versinya sendiri, bukan versi orang lain.
“Dan satu lagi, Ran. Saya sebagai ibu mertuamu, janji ndak akan ngurus rumah tanggamu lagi sama Andra. Silahkan kalau mau ado psi anak, silahkan kalau ja jan setiap hari.
Mamah ndak akan mengu sikmu. Yang penting kamu harus balik ke Pontianak. Titik,” Rania masih tersenyum nye ngir.
Terbesit keangku han yang sangat ken tal di balik kata-kata ibu mertuanya yang merendah. Cih!
“Ibu mertuamu nggak main-main, Ran,” Ghofar melanjutkan, “Kalau kamu masih nggak percaya, coba sebulan kamu balik ke Pontianak.
Lihat perubahan ibu mertuamu dan juga Andra. Kalo nggak ada perubahan, kamu boleh urus perce raian.”
Kali ini Rania tak lagi tersenyum nye ngir. Nuraninya berkata, apa yang dikatakan Ghofar ada benarnya juga.
Tak ada salahnya mencoba. Tapi, sanggupkah ia satu ran jang lagi dengan laki-laki yang pernah meni du ri wanita lain? Ahh sungguh su lit rasanya.
***
Lima tahun yang lalu..
Rania tidak pernah menyangka bahwa diper sunting pria dengan latar belakang yang berbeda, akan banyak hal kecil yang diper de batkan.
Masih wajar bagi Rania bila ia menyesuaikan diri dengan Andra, suami barunya. Tapi tidak dengan ibu mertuanya.
Di tahun pertama pernikahan, terpaksa Rania tinggal di rumah ibu mertuanya di Salatiga. Andra saat itu masih ditempatkan di instansi di Salatiga.
Rania tak menge luh Andra kerap pulang malam untuk menyelesaikan berkas-berkasnya. Tapi, lain cerita ketika ia harus berurusan dengan ibu mertuanya.
Gaji Andra saat itu terbilang sedikit. Hanya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya pengobatan dia be tes Bu Asih yang tak sedikit.
Rania sudah terbiasa makan tanpa lauk, menu itu-itu saja dan naik motor sehari-hari.
Andra pun begitu. Meskipun ia berasal dari keluarga menengah ke atas, ia bisa mena han diri untuk tidak ja jan setiap hari dan meman jakan diri naik mobil setiap hari.
Beda cerita dengan Bu Asih. Ia anak satu-satunya dari orang tua paling terpandang di kampungnya.
Ayahnya punya dua istri mu da yang kesemuanya meman jakan Bu Asih. Semua permintaannya harus dituruti, tanpa memikirkan bagaimana kedepannya,