ROSSA

ROSSA Berdamailah Dengan Hati

17/11/2025

”Mas, akhirnya aku hamil, Mas. Aku hamil.” Tanpa sengaja aku mendengar suara dari balik kamar.

Tadinya aku bermaksud mengetuk pintu untuk memberitahukan bahwa makan malam sudah siap.
Namun belum sempat tanganku mengetuk, terdengar lagi suara ....

*

Part 1

“Mas, akhirnya aku hamil, Mas. Aku hamil.” Tanpa sengaja aku mendengar ungkapan kebahagiaan dari Mbak Silvi.

Tadinya aku bermaksud mengetuk pintu untuk memberitahukan bahwa makan malam sudah siap. Namun belum sempat tanganku mendarat di pintu, terdengar lagi suara itu.

“Sebaiknya kamu ceraikan saja Delima, Mas. Kita udah nggak butuh dia lagi.”

Deg!

Astaghfirullah alaziim. Kenapa sampai hati dia mengatakan hal sekeji itu. Padahal dia sendiri yang memohon dan memaksaku agar mau menikah dengan suaminya. Jelas-jelas aku dan Mas Raka sama-sama sudah menolak dan menganggap permintaan dia itu terlalu berlebihan dn tidak masuk akal.

“Apa-apaan kamu, Silvi. Jangan seenaknya saja kalau ngomong. Kamu pikir pernikahan itu mainan? Apa kata keluargaku nanti? Juga bagaimana dengan keluarganya?” Suara Mas Raka terdengar tegas menolak. Membuatku merasa sedikit lebih tenang.

“Halah. Ngapain kamu pikirin. Orang kampung begitu aja kok. Dikasi duit dikit juga udah nurut. Lagian kan kalian belum melakukan malam pertama. Dari pada nanti ujung-ujungnya dia juga hamil. Bisa-bisa keluarga kamu malah lebih sayang sama dia ketimbang aku.”

“Ada-ada saja kamu, Silvi. Mana mungkin aku menceraikan dia, sedang kami menikah belum sampai satu minggu. Lagian kamu juga sih. Harusnya kamu periksa dulu ke dokter.”

“Mana kutahu, Mas. Aku pikir hanya masuk angin saja. Lagian aku juga nggak mau kecewa seperti sebelum-sebelumnya.”

“Tapi ya nggak bisa main cerai-cerai gitu aja, Sil.”

“Halah, sudahlah, Mas. Kamu nurut aja. Bukannya selama ini semua aku yang ngatur? Atau jangan-jangan kamu udah naksir lagi sama perempuan kampung itu, makanya kamu nggak mau menceraikan dia.”

“Jangan ngarang, Sil. Mana mungkin aku jatuh cinta sama wanita selain kamu.” Suara Mas Raka tak lagi bernada emosi. Terdengar jelas kalau dia begitu mencintai istrinya. Hingga mau menuruti segala apa yang diinginkan oleh wanita yang kuanggap baik selama ini.

Aku berjalan gontai ke kamar. Membatalkan niat untuk memanggil dan mengajak mereka makan malam. Menangis menahan perih.

Teringat saat pertama kali Mbak Silvi datang ke rumah Ibuk di kampungku. Sebenarnya Mbak Silvi juga berasal dari kampung yang sama, hanya saja rumahnya lebih dekat ke arah kota. Atas saran seseorang, dia datang dan tiba-tiba saja melamarku.

“Maaf, Mbak. Saya tidak bisa. Mana mungkin saya menikah dengan laki-laki yang sudah beristri. Saya nggak mau dicap sebagai pelakor.” Aku menolak tegas.

“Enggak akan ada yang ngomong seperti itu, Delima. Mbak Ikhlas.”

Aku tak mengerti dengan wanita ini. Dia tidak terlihat seperi ahli agama. Memakai hijab pun tidak. Tak mungkin rasanya dia mengizinkan suaminya menikah lagi atas dasar menunaikan sunah agama. Dia pun masih terlalu muda dan juga terlihat sehat. Pasti masih sanggup melayani suaminya dengan baik.

Lalu ia pun mulai menangis dan menceritakan apa sebenarnya maksudnya. Sudah sepuluh tahun dia dan suaminya menikah. Namun belum juga ada tanda-tanda kehamilan. Katanya dia ingin sekali memiliki momongan.

“Kenapa nggak mencoba mengadopsi aja, Mbak? Banyak anak yatim piatu yang juga membutuhkan kasih sayang dari orang tua seperti Mbak dan suami Mbak.” Ada rasa iba di hatiku mendengar keluhannya. Semua wanita pasti ingin merasakan menjadi seorang ibu.

“Pernah juga terlintas pikiran seperti itu, Delima. Tapi suami Mbak itu merupakan anak laki-laki satu-satunya. Keluarganya takut tidak akan ada penerus dari keluarga. Sedangkan adik dan kakaknya perempuan semua.”

*

“Kamu benar-benar ndak mau menerima lamaran wanita itu, Nduk?” Bue bertanya malam harinya.

“Ada-ada saja pertanyaan Bue. Emangnya Bue mau, anak gadisnya dicap sebagai pelakor? Nggak malu?”

“La, kan kamu dengar sendiri tadi. Istrinya sendiri yang melamar kamu untuk jadi madunya. Jadi kamu ndak merebut siapa pun. Lagi p**a, Bue rasa ini jalan kamu untuk mendapatkan hidup yang lebih baik, Nduk. Bue ndak sampai hati melihat kamu terus-terusan kerja banting tulang tanpa memedulikan kesehatan demi Bue dan juga adik kamu. Menikahlah, Nduk.”

Bue tidak salah berpikiran seperti itu. Yang wanita itu tawarkan bukanlah hal yang main-main. Seratus juta untuk mahar. Cukup untuk melunasi cicilan surat rumah yang digadaikan Almarhum Bapak sebelum meninggal. Juga jaminan sekolah untuk adikku Sidik yang sebentar lagi akan masuk SMA.

Masa depanku pun kelihatannya hanya begini-begini saja. Apa yang bisa aku lakukan dengan ijazah SMP. Hanya sebentar saja aku menikmati bangku SMA, lalu tiba-tiba Bapak jatuh sakit dan aku terpaksa berhenti sekolah dan menjadi tulang punggung keluarga. Bue yang sering sakit-sakitan tak kuat lagi untuk bekerja.

Tapi harga diriku sebagai wanita, jauh lebih tinggi dari itu semua. Akhirnya aku benar-benar menolak tawaran itu. Mbak silvi terlihat sangat kecewa. Tapi apa mau dikata. Tak ada kewajibanku untuk menuruti keingananya yang kuanggap tabu itu.

Namun takdir sepertinya punya rencana lain. Jantung Bue kumat dan harus dirawat ke rumah sakit. Operasi pun jalan satu-satunya. Dalam tangisan dan perasaan kalut, Mbak Silvi muncul lagi dan menawarkan bantuan. Dengan imbalan pernikahan pastinya.

*

Satu bulan pasca operasi, aku dan suaminya akhirnya melangsungkan ijab kabul. Hari itu juga aku baru melihat laki-laki yang baru saja sah menjadi suamiku datang bersama istri dan juga keluarganya. Dia terlihat gagah dan juga tampak berwibawa.

Kata Mbak Silvi usianya sudah tiga puluh empat tahun. Dua belas tahun di atasku. Tapi masih terlihat muda seperti belum memasuki usia kepala tiga. Sekali pandang, mudah untuk membuat wanita jatuh cinta.

Lalu bagaimana jika aku benar-benar jatuh cinta padanya? Sesuatu yang halal memang. Tapi bagaimana dengan perasaan Mbak Silvi? Apa nantinya dia tidak akan terluka?

Saat berada di pelaminan, aku sedang datang bulan. Mbak silvi sangat senang. Karena katanya setelah ini, aku bisa langsung hamil dan punya anak dari Mas Raka. Tak ada sedikit pun gurat kesedihan di wajah cantiknya. Tidakkah dia merasa cemburu mengingat kalau suaminya akan tidur dengan wanita lain?

Ya, Allah. Apakah aku ini berdosa dan telah berbuat dzolim pada seorang wanita? Belum lagi kudengar para tetangga berbisik-bisik saat aku lewat ke kamar mandi tadi. Apa pun alasannya, cap pelakor akan melekat pada diriku.

*

“Maafkan istri Mas ya, Dek. Udah maksa kamu menikah sama Mas,” ucap Mas Raka saat kami berada di kamarku yang sudah dihias menjadi kamar pengantin. Karena aku sedang datang bulan, kami berdua pun bebas dari tuntutan malam pertama.

“Ya sudah, kamu tidur duluan, ya. Mas masih mau nyari udara segar dulu. Udah lama nggak menikmati udara malam di desa.” Dia beralasan. Aku mengiyakan, dan dia tak kembali sampai pagi.

Tak ingin berlama-lama, keesokan harinya, lagi-lagi Mbak Silvi langsung mengambil keputusan untuk membawaku ke rumah mereka di kota. Sampai di sana aku diperlakukan bagai adik sendiri. Selama berada di sana dia memaksa aku dan Mas Raka untuk tidur sekamar, meski aku belum bisa digauli layaknya seorang istri.

Tapi Mbak Silvi bilang itu bukan masalah. Hitung-hitung perkenalan, agar tidak merasa canggung. Tapi apa pun yang aku bicarakan, Mas Raka hanya menjawab seadanya saja. Bersikap baik dan lembut, tapi tak sekali pun menatapku.

Kami hanya tidur dalam kebisuan, hingga aku tak pernah melihatnya ada di sampingku saat pagi menjelang.

Dia pasti pindah setelah aku tertidur. Dan entah kenapa ada rasa sakit melihat sikapnya yang seperti itu.

*

Aku tersentak, saat mendengar suara ketukan dari arah pintu. Aku bergegas mengusap air mata karena mendengar niat Mbak Silvi yang meminta Mas Raka untuk segera menceraikan aku tadi. Aku bangkit dan membuka pintu. Kulihat Mbak Silvi sudah berdiri di sana.

“Iya, Mbak?” Aku masih berpura-pura tak mendengar percakapan mereka tadi.

“Delima. Ada yang ingin Mbak bicarakan sama kamu.”

Deg! Apakah malam ini juga harus dia lakukan perceraian itu? Apakah malam ini juga, aku harus bercerai
Bersambung ♥️

Bab 3: Assalamualaikum BaitullahNasib seperti menjungkirbalikkan Amira. Baru saja ia ingin mengakhiri hidup, kini seoran...
14/11/2025

Bab 3: Assalamualaikum Baitullah

Nasib seperti menjungkirbalikkan Amira. Baru saja ia ingin mengakhiri hidup, kini seorang gadis melakukan hal yang sama di depan matanya.

***

“Kamu sudah hampir jatuh. Jangan sok tau, mengira malaikat maut pasti menjemput.” Lagi-lagi lelaki itu mengukir senyum mengejek.

“Padahal bisa jadi malaikat maut hanya menertawakan kebodohanmu.”

Amira terdiam dengan napas agak memburu. Kasar sekali.

Apa hak lelaki ini berkata sekasar itu?

Tapi ada benarnya. Jika tadi diteruskan, bagaimana jika ia memang hanya luka parah, tidak langsung meninggal?

Lagi p**a, kakinya memang hampir tergelincir tadi jika lelaki itu tak menarik tangannya.

“Sekarang ayo turun!” Kali ini nada kalimat lelaki itu terdengar lebih tegas.

“Aku bisa turun sendiri,” jawab Amira dengan nada masih agak ketus.

“Tentu saja kamu harus turun sendiri, aku nggak tertarik menggend**gmu,”

lelaki itu kembali berkata sambil sedikit tawa, yang terdengar mengolok di telinga Amira.

Saat Amira menepiskan debu di telapak tangannya dan bersiap hendak bangun, tiba-tiba lelaki itu memalingkan muka dan tersentak.

“Astaghfirullah! Apa-apaan lagi gadis itu?”

Amira ikut memalingkan muka ke arah ujung jembatan.

Berjarak lima meter, tampak seorang gadis berseragam SMA sedang berusaha memanjat pagar jembatan.

Persis seperti yang dilakukan Amira tadi.

Amira sejenak lupa akan kemarahan pada lelaki di sebelahnya.

Pemandangan di depan mata membuatnya tersentak panik dan spontan berdiri mendahului gerak si lelaki.

Tanpa bicara lagi ia langsung memburu ke arah gadis tersebut. Mengulang perbuatan lelaki kurang ajar tadi padanya.

Cepat mencekal tangan remaja putri bertubuh kurus itu dan menariknya turun dengan kuat.

“Apa yang kamu lakukan?” seru Amira panik.

Lelaki yang tadi menolong Amira menarik napas lega begitu melihat pelajar SMA itu berhasil diselamatkan.

Ia melangkah pelan ke arah mereka namun tidak terlalu dekat. Setidaknya cukup untuk bisa menyimak percakapan penuh emosi di antara dua perempuan yang berniat sama itu.

“Kenapa Mbak harus selamatkan aku? Kenapa nggak membiarkan aku mati?!” seru si gadis dengan berurai air mata.

“Kamu pikir dengan meloncat ke bawah kamu pasti mati? Bisa saja kamu hanya patah-patah dan cacat!” balas Amira sengit. Tanpa sadar mengulang kalimat penolongnya.

Lelaki asing tadi menghentikan ayunan langkahnya, di tengah jembatan. Tersentuh. Tersenyum.

“Mbak bukan Tuhan, jadi jangan sok tau!” sembur gadis berambut kuncir itu.

“Aku hanya manusia waras yang berusaha menyelamatkan adik kecil yang putus asa,” jawab Amira dengan raut serius.

“Aku bukan adik, Mbak. Tugas Mbak sudah selesai. Sekarang tinggalkan aku!” ujar gadis itu dengan tatapan penuh makna
Bersambung ♥️

Ayo bergabung dan subscribe buku Assalamu'alaikum Baitullah (Sedang Tayang di Bioskop)) agar selalu mendapatkan informasi update terbaru di buku ini dan lihat hasil karya lainnya dari Asma Nadia di aplikasi KBM.

08/11/2025

"yank kok diam aja"?
Mas Alif ternyata memperhatikanku yang termenung di sisi ranjang.

"Gapapa, Mas. Aku hanya kepikiran teman. katanya ada suami yang selingkuh bahkan sudah punya anak dengan selingkuhannya itu. Dia tak terima sehingga pacar suaminya dia m-til4s*."

"Ya ampun, s banget, Dek! trus, pacar suaminya?"

"Ya, meningsoy lah, Mas."

Mata Mas Alif melebar. Dia tampak sangat salah tingkah.

"Kenapa sih, Mas? kayak yang ketakutan gitu?"

"Hmmm ...enggak Dek, serem juga kok kayak sikopet gitu?"

"Yang namanya sakit hati, Mas. Kalau perempuan sudah sakit hati, bahaya Mas. Apalagi pernah merasakan hidup susah dulunya. Berjuang bersama dan kini setelah sukses malah berkhianat."

Aku terus memperhatikan reaksi Mas Alif. Tampaknya dia mulai percaya dengan apa yang aku katakan.

"Seharusnya jangan langsung di adili. Ditanya dulu, takutnya salah paham."

"Kebanyakan orang selingkuh itu banyak bohongnya. Terlalu bertele-tele dan memiliki berbagai alibi dan terus bermain drama. Kalau aku sih, setuju. Pengkhianat lebih baik m ."

"Astaghfirullah, Dek. Jangan bicara seperti itu. Hanya karena cinta pada satu orang, malah menjadikan kita seorang p*mb ."

"Lantas, kalau menurut, Mas. Sebaiknya diapakan?"
Aku pura-pura menanyakan pendapatnya. Ingin tahu jika cerita yang kukarang itu ternyata terjadi denganku, apa yang harus aku lakukan.

"Ah, udahlah. Ga usah bahas gituan. Berdo'a aja yang terbaik. Agar Allah menjaga rumah tangga kita." Dia mulai menarik selimut.

"Tidur yuk. Besok kamu kerja 'kan? nanti malah ngantuk di kantor."

Aku kecewa, lelaki ini terlalu pandai berkelit. Padahal aku ingin tau apa pendapatnya. Tapi, ya sudahlah. Masih banyak waktu untuk mencari tahu. Sepintar-pintarnya menyimpan bangkai, pasti suatu saat baunya akan kecium juga.

Paginya, aku sudah rapi. Sedangkan Mas Alif seperti biasa terkadang berangkat agak siang jadi masih duduk santai sambil memainkan ponselnya.

"Ma, hari ini Rangga boleh main ke rumah Vira tidak?"

Aku mengeryitkan kening.

"Please, Ma. Sebentar lagi kan sudah tak bertemu lagi. Karena Zavira mau SMP di Bandung."

"Oh ya? mereka pindah ke Bandung?" tanyaku.

"Iya," sahut Rangga lemah. Anak remaja yang baru puber itu pasti sangat sedih.

"Ya sudah, tapi ingat. Main sewajarnya saja. Ga ada pegang-pegangan, ga ada peluk-pelukan, atau lebih parah dari itu!" ancamku. Meski masih kecil aku sudah harus menjelaskan kepada anakku batasan-batasan yang harus mereka patuhi jika punya teman lawan jenis.

"Iya, Ma. Rangga paham kok."

Aku akhirnya mengangguk memberikan izin untuk mereka melepas kebersamaan sebelum perpisahan. Lagi p**a, rumah Zavira tak begitu jauh dari kompleks ini. Aku juga kenal ibunya meski tak dekat. Rumah kontrakan mereka cukup ramai, Ibu zavira yang seorang single parents mungkin memutuskan pindah ke Bandung. Karena setelah bercerai, dia menghidupi diri dan anaknya sendiri. Sedang Ayah Zavira sudah menikah lagi. Itu yang aku tahu ceritanya.

"Makasih, ya, Ma. Mama emang is the best."

"Eh, Papa ga is the best?" sahut Mas Alif. Rangga malah cengengesan.

"Sarapan dulu, yuk." Mama yang sudah duduk di meja makan, tampak menyendokkan nasi terlebih dahulu.

Mbok Iyem yang masih di dapur sibuk dengan masakannya. Entah mau masak apa lagi.

"Mbok, masak apalagi sih. Sini sarapan dulu," seruku. Meski Mbok Iyem seorang asisten rumah tangga, tapi aku selalu memperlakukan wanita separuh baya itu layaknya keluargaku sendiri.

"Iya, Non. Mbok tinggal masak capcay ini sesuai pesanan Non."

Aku terkejut, tak sengaja menangkap wajah cemas di muka Mama dan Mas Alif yang duduk di depanku.

"Saya kapan pesan, Mbok?"

"Oh, anu, Nis. Mama yang minta. Entah kenapa Mama pengen sekali capcay jadi Mama minta Mbok Iyem untuk masak. Aku membulatkan bibir. Pura-pura mempercayai apa kata Mama. Padahal, sangat jelas jika masakan itu bukan untuknya. Aneh, Mama pakai namaku hanya untuk minta dimasakin capcay.

Kami sarapan dalam diam. Meski banyak keganjilan yang terus menari-nari ingin segera aku ungkap.

***

"Gimana, Nis? suami kamu ngaku, gak?" tanya Rahma ketika kami baru saja bertemu di lobby.

"Engga, dia bilang kemarin makan di warteg langganan."

"Nah, 'kan apa kubilang. Laki-laki kalau sudah pandai berbohong, itu tandanya ada sesuatu yang sedang dia sembunyikan."

"Ih, kamu. Ngomporin!" sungutku.

"Emang iya!" tawa Rahma menggelegar. Aku mencubit pinggang Rahma yang berlemak. Dia menghindar sambil tertawa terbahak-bahak.

"Bahagia banget. Ada berita apa, nih?" sapa Pak Restu teman sekaligus atasanku. Dia memang ramah dan dekat dengan semua karyawan.

"Ga bahagia, sih, Pak. Tepatnya pura-pura bahagia." lagi-lagi Rahma menyindirku lalu tertawa kecil.

"Pura-pura bahagia itu melelahkan lho," sahut Restu sambil menyunggingkan senyum.

"Setuju, Pak. Saya memang berpendapat seperti itu. Pura-pura bahagia itu juga melelahkan."

Mereka terus saja saling melempar sindiran. Tapi, aku belum bisa mengatakan apa-apa. Bagiku semuanya masih samar. Sampai ada kejelasan, aku tak akan membesar-besarkan masalah.

Siang ini aku diminta Pak Restu untuk ke kantor cabang yang terletak di jalan Sudirman untuk mengambil berkas dan bertemu langsung dengan kepala bagian di sana. Sebenarnya aku enggan. Karena pekerjaan yang masih banyak. Namun, mau tak mau aku tetap harus jalan. Tempat itu tak begitu jauh dari gudang sekaligus kantor pusat tempat Mas Alif bekerja. Tapi, aku sama sekali tak berharap untuk bisa bertemu. Secara Mas Alif pekerja lapangan. Dia tidak menetap di satu tempat. Tapi, berkeliling ke berbagai toko untuk mengantarkan pesanan.

Aku menaiki mobil kantor. Jam sudah menunjukkan angka sebelas. Sebentar lagi jalanan akan ramai karena waktunya istirahat untuk makan siang.

"Pak, bisa ngebut ga?" pintaku pada Pak Rusdi, supir kantor.

"Oh iya, Bu. Siap."

Mobil pun kini melaju cepat. Aku tak ingin sesampainya di sana, justru tak bertemu kepala bagian. Percuma datang jauh-jauh.

Mataku terarah pada sebuah warung makan di pinggir jalan. Melihat dua anak yang sepertinya mirip dengan anak yang ada di foto bersama Mas Alif.

"Pak, pak, bisa berhenti sebentar."

Mobil yang kencang berangsur pelan dan mulai menepi. Meski jarak anak itu cukup jauh dari tempatku aku tetap akan mencarinya.

"Sebentar ya, Pak."
Tanpa menunggu jawaban aku segera berlari menuju anak itu.

Dari kejauhan aku melihat mereka sedang berjalan sambil menundukkan kepala. Sedangkan adiknya yang kuperkirakan masih berusia empat tahun memegang perutnya. Makin dekat jarak kami, aku semakin yakin jika itu mereka, karena salah satu dari anak itu memilik tanda lahir berwarna hitam yang besar di pipinya.

"Faris!" sebuah suara membuat anak itu terhenti dan menoleh ke samping. Aku pun menghentikan langkah. Posisiku yang terhalang sebuah pohon besar membuat orang yang memanggil itu tak melihatku begitu p**a sebaliknya.

Perlahan aku mengintip. Dua anak itu kini sudah berlari ke arah seorang yang masih memakai helm di pinggir jalan.

"Om, kata Mama, Om kenapa ga menemui Mama?"

Aku terkesiap ketika laki-laki itu melepas helmnya.
Mas Alif?

Bersambung.

Selengkapnya bisa dibaca di KBM app sudah Tamat disana.
Judul : JEJAK KECIL KEBOHONGAN SUAMIKU
penulis: Mutiara Sukma
"Dek, kok diam aja?"
Mas Alif ternyata memperhatikanku yang termenung di sisi ranjang.

"Gapapa, Mas. Aku hanya kepikiran teman. katanya ada suami yang selingkuh bahkan sudah punya anak dengan selingkuhannya itu. Dia tak terima sehingga pacar suaminya dia m-til4s*."

"Ya ampun, s banget, Dek! trus, pacar suaminya?"

"Ya, meningsoy lah, Mas."

Mata Mas Alif melebar. Dia tampak sangat salah tingkah.

"Kenapa sih, Mas? kayak yang ketakutan gitu?"

"Hmmm ...enggak Dek, serem juga kok kayak sikopet gitu?"

"Yang namanya sakit hati, Mas. Kalau perempuan sudah sakit hati, bahaya Mas. Apalagi pernah merasakan hidup susah dulunya. Berjuang bersama dan kini setelah sukses malah berkhianat."

Aku terus memperhatikan reaksi Mas Alif. Tampaknya dia mulai percaya dengan apa yang aku katakan.

"Seharusnya jangan langsung di adili. Ditanya dulu, takutnya salah paham."

"Kebanyakan orang selingkuh itu banyak bohongnya. Terlalu bertele-tele dan memiliki berbagai alibi dan terus bermain drama. Kalau aku sih, setuju. Pengkhianat lebih baik m ."

"Astaghfirullah, Dek. Jangan bicara seperti itu. Hanya karena cinta pada satu orang, malah menjadikan kita seorang p*mb ."

"Lantas, kalau menurut, Mas. Sebaiknya diapakan?"
Aku pura-pura menanyakan pendapatnya. Ingin tahu jika cerita yang kukarang itu ternyata terjadi denganku, apa yang harus aku lakukan.

"Ah, udahlah. Ga usah bahas gituan. Berdo'a aja yang terbaik. Agar Allah menjaga rumah tangga kita." Dia mulai menarik selimut.

"Tidur yuk. Besok kamu kerja 'kan? nanti malah ngantuk di kantor."

Aku kecewa, lelaki ini terlalu pandai berkelit. Padahal aku ingin tau apa pendapatnya. Tapi, ya sudahlah. Masih banyak waktu untuk mencari tahu. Sepintar-pintarnya menyimpan bangkai, pasti suatu saat baunya akan kecium juga.

Paginya, aku sudah rapi. Sedangkan Mas Alif seperti biasa terkadang berangkat agak siang jadi masih duduk santai sambil memainkan ponselnya.

"Ma, hari ini Rangga boleh main ke rumah Vira tidak?"

Aku mengeryitkan kening.

"Please, Ma. Sebentar lagi kan sudah tak bertemu lagi. Karena Zavira mau SMP di Bandung."

"Oh ya? mereka pindah ke Bandung?" tanyaku.

"Iya," sahut Rangga lemah. Anak remaja yang baru puber itu pasti sangat sedih.

"Ya sudah, tapi ingat. Main sewajarnya saja. Ga ada pegang-pegangan, ga ada peluk-pelukan, atau lebih parah dari itu!" ancamku. Meski masih kecil aku sudah harus menjelaskan kepada anakku batasan-batasan yang harus mereka patuhi jika punya teman lawan jenis.

"Iya, Ma. Rangga paham kok."

Aku akhirnya mengangguk memberikan izin untuk mereka melepas kebersamaan sebelum perpisahan. Lagi p**a, rumah Zavira tak begitu jauh dari kompleks ini. Aku juga kenal ibunya meski tak dekat. Rumah kontrakan mereka cukup ramai, Ibu zavira yang seorang single parents mungkin memutuskan pindah ke Bandung. Karena setelah bercerai, dia menghidupi diri dan anaknya sendiri. Sedang Ayah Zavira sudah menikah lagi. Itu yang aku tahu ceritanya.

"Makasih, ya, Ma. Mama emang is the best."

"Eh, Papa ga is the best?" sahut Mas Alif. Rangga malah cengengesan.

"Sarapan dulu, yuk." Mama yang sudah duduk di meja makan, tampak menyendokkan nasi terlebih dahulu.

Mbok Iyem yang masih di dapur sibuk dengan masakannya. Entah mau masak apa lagi.

"Mbok, masak apalagi sih. Sini sarapan dulu," seruku. Meski Mbok Iyem seorang asisten rumah tangga, tapi aku selalu memperlakukan wanita separuh baya itu layaknya keluargaku sendiri.

"Iya, Non. Mbok tinggal masak capcay ini sesuai pesanan Non."

Aku terkejut, tak sengaja menangkap wajah cemas di muka Mama dan Mas Alif yang duduk di depanku.

"Saya kapan pesan, Mbok?"

"Oh, anu, Nis. Mama yang minta. Entah kenapa Mama pengen sekali capcay jadi Mama minta Mbok Iyem untuk masak. Aku membulatkan bibir. Pura-pura mempercayai apa kata Mama. Padahal, sangat jelas jika masakan itu bukan untuknya. Aneh, Mama pakai namaku hanya untuk minta dimasakin capcay.

Kami sarapan dalam diam. Meski banyak keganjilan yang terus menari-nari ingin segera aku ungkap.

***

"Gimana, Nis? suami kamu ngaku, gak?" tanya Rahma ketika kami baru saja bertemu di lobby.

"Engga, dia bilang kemarin makan di warteg langganan."

"Nah, 'kan apa kubilang. Laki-laki kalau sudah pandai berbohong, itu tandanya ada sesuatu yang sedang dia sembunyikan."

"Ih, kamu. Ngomporin!" sungutku.

"Emang iya!" tawa Rahma menggelegar. Aku mencubit pinggang Rahma yang berlemak. Dia menghindar sambil tertawa terbahak-bahak.

"Bahagia banget. Ada berita apa, nih?" sapa Pak Restu teman sekaligus atasanku. Dia memang ramah dan dekat dengan semua karyawan.

"Ga bahagia, sih, Pak. Tepatnya pura-pura bahagia." lagi-lagi Rahma menyindirku lalu tertawa kecil.

"Pura-pura bahagia itu melelahkan lho," sahut Restu sambil menyunggingkan senyum.

"Setuju, Pak. Saya memang berpendapat seperti itu. Pura-pura bahagia itu juga melelahkan."

Mereka terus saja saling melempar sindiran. Tapi, aku belum bisa mengatakan apa-apa. Bagiku semuanya masih samar. Sampai ada kejelasan, aku tak akan membesar-besarkan masalah.

Siang ini aku diminta Pak Restu untuk ke kantor cabang yang terletak di jalan Sudirman untuk mengambil berkas dan bertemu langsung dengan kepala bagian di sana. Sebenarnya aku enggan. Karena pekerjaan yang masih banyak. Namun, mau tak mau aku tetap harus jalan. Tempat itu tak begitu jauh dari gudang sekaligus kantor pusat tempat Mas Alif bekerja. Tapi, aku sama sekali tak berharap untuk bisa bertemu. Secara Mas Alif pekerja lapangan. Dia tidak menetap di satu tempat. Tapi, berkeliling ke berbagai toko untuk mengantarkan pesanan.

Aku menaiki mobil kantor. Jam sudah menunjukkan angka sebelas. Sebentar lagi jalanan akan ramai karena waktunya istirahat untuk makan siang.

"Pak, bisa ngebut ga?" pintaku pada Pak Rusdi, supir kantor.

"Oh iya, Bu. Siap."

Mobil pun kini melaju cepat. Aku tak ingin sesampainya di sana, justru tak bertemu kepala bagian. Percuma datang jauh-jauh.

Mataku terarah pada sebuah warung makan di pinggir jalan. Melihat dua anak yang sepertinya mirip dengan anak yang ada di foto bersama Mas Alif.

"Pak, pak, bisa berhenti sebentar."

Mobil yang kencang berangsur pelan dan mulai menepi. Meski jarak anak itu cukup jauh dari tempatku aku tetap akan mencarinya.

"Sebentar ya, Pak."
Tanpa menunggu jawaban aku segera berlari menuju anak itu.

Dari kejauhan aku melihat mereka sedang berjalan sambil menundukkan kepala. Sedangkan adiknya yang kuperkirakan masih berusia empat tahun memegang perutnya. Makin dekat jarak kami, aku semakin yakin jika itu mereka, karena salah satu dari anak itu memilik tanda lahir berwarna hitam yang besar di pipinya.

"Faris!" sebuah suara membuat anak itu terhenti dan menoleh ke samping. Aku pun menghentikan langkah. Posisiku yang terhalang sebuah pohon besar membuat orang yang memanggil itu tak melihatku begitu p**a sebaliknya.

Perlahan aku mengintip. Dua anak itu kini sudah berlari ke arah seorang yang masih memakai helm di pinggir jalan.

"Om, kata Mama, Om kenapa ga menemui Mama?"

Aku terkesiap ketika laki-laki itu melepas helm

01/11/2025

Niat hati mau tetap sabar dan sopan, tapi m u l u t ku mendadak gak mau diam saat ibu mertuaku mulai m e n g hi na ku. Dan ini yang aku lakukan
•••
ISTRI BERDASTER KUMAL TERNYATA SELEB TERKENAL
(Baca di KBM App)
--
Bab 2

“Harusnya hari Minggu gini quality time, nonton drama Korea, atau video call sama Mega, ini malah harus nungguin masalah dateng sendiri,” gumam Kinan begitu teringat bahwa sebentar lagi ibu mertuanya akan kembali berkunjung ke rumah mereka.

Sebenarnya Sakinah selalu datang setiap pagi dan sore hari dengan alasan yang tak pernah sama. Misalnya ingin mengingatkan Kinan untuk membuat makan malam, atau sekadar menanyakan apakah stok kopi untuk Dafa masih tersedia.

Tapi setelah mengetahui keb u s u kan keluarga suaminya, kini semuanya terasa sangat berbeda.

“Ya Allah, semoga aku bisa tetap tenang, tetap lembut, dan tetap menjadi istri yang s a b a r. Jangan sampai mulutku ini m e l a w a n ibu mertuaku,” batinnya, tulus berdoa.

“Kin, kopinya jangan pake gula, ya!” teriak Dafa dari ruang tamu, mengejutkan Kinan yang sedang berusaha menenangkan e m o s inya sebelum bertemu Sakinah.

“Iya, Mas,” jawab Kinan lembut sambil menyiapkan gelas. Dia bahkan tetap tersenyum h a n g a t meski sebenarnya h a t inya menolak.

Dia tahu kali ini ibu mertuanya pasti akan memancing e m o s inya. Kalimat-kalimat pedas pasti akan keluar dari mulutnya. Jika itu dulu, dia pasti bisa bersikap biasa saja dan menganggap semua perkataan mertuanya sebagai bentuk perhatian dan kepedulian, tapi kali ini semua jelas sudah berbeda.

“Ini kopinya, Mas, sesuai request kamu,” ucap Kinan sambil menyodorkan segelas kopi pada Dafa yang sedang duduk santai sambil menonton TV.

“Nggak salah aku pilih kamu jadi istriku, kamu memang sempurna, apa aja serba bisa,” puji Dafa sambil tersenyum lebar.

Kinan pun turut tersenyum seakan-akan percaya pada ucapan suaminya.

“Gimana nggak serba bisa kalau semuanya diwajibkan aku yang ngelakuin,” batin Kinan k e s a l.

“Aku ke dapur lagi ya, Mas,” pamitnya dengan suara tetap lembut.

“Oke. Bersih-bersihnya yang bener, ya, S a y a n g. Biar Ibu bangga punya menantu kayak kamu,” pinta Dafa yang lebih terdengar seperti perintah.

Perempuan berdaster itu hanya mengangguk dan menurut, dia sadar ucapan suaminya penuh kepura-puraan. Namun, sebelum dia meninggalkan lelaki yang dulu sangat dic i n t a inya itu, suara klakson motor matic vario merah milik Sakinah sudah terdengar di depan rumah.

“Rajin banget sih mertuaku ini, jam setengah delapan udah sampe sini aja,” ucap Kinan lirih sambil berlalu menuju dapur untuk menyiapkan ubi goreng kes**aan Sakinah.

Dia tidak perlu menjemput ibu mertuanya karena Dafa sudah lebih dulu beranjak menyambut perempuan paruh baya yang sudah berdiri di depan pintu.

“Bener-bener kayak a n a k mama yang mudah dim a n i p u l a s i,” ej e k Kinan dalam diamnya.

“Assalamu’alaikum!”

Suara nyaring itu menggema mengiringi senyum semringah yang menghiasi wajah Sakinah.

“Waalaikumussalam, Bu,” jawab Dafa sopan. Dia tampak lega begitu melihat wajah segar ibunya.

Seperti biasa, Sakinah datang dengan p a k a i a n rapi, wajahnya penuh riasan yang sengaja ditebalkan untuk menutupi kulitnya yang mulai keriput.

“Mana istrimu? Belum bangun jam segini?”

Sakinah berjalan masuk, tatapannya mulai mengamati sekeliling, mencari-cari sosok menantunya yang tak kunjung terlihat.

“Udah d**g, Bu. Tuh liat, aku aja udah minum kopi. Nggak mungkin kan, tanganku yang biasa ngerjain pekerjaan kantor ini dipake buat bikin kopi sendiri,” jawab Dafa bangga.

“Udah dateng, Bu?” tanya Kinan yang tiba-tiba saja muncul dari dapur.

“Ibu kira kamu masih t i d u r,” sahutnya pelan. Matanya langsung menelusuri sosok Kinan dari atas ke bawah.

Namun, Kinan menjawab dengan gelengan kepala. “Duduk dulu, Bu. Ini aku buatkan teh sama ubi goreng kes**aan Ibu.”

Alih-alih mengucapkan terima kasih, Sakinah justru langsung mengomentari penampilan menantunya.

“Ya Allah, Kinan … kamu masih aja dasteran? Ini hari Minggu, lho. Orang-orang keluar p a k a i baju bagus, lah kamu malah kayak pemb a n t u.”

Kali ini Kinan tidak terpro v o k a s i, dia malah tersenyum kecil mendengar ucapan mertuanya yang penuh h i n a a n itu.

“Namanya juga di rumah, Bu. Daster paling nyaman.”

“Nyaman sih nyaman, tapi nggak m a l u apa dilihat tetangga? Cantik-cantik kok kayak gini gayanya.”

Mendengar istrinya dir e n d a hkan, jangankan membela, Dafa yang duduk di samping ibunya bahkan tidak mau menatap Kinan sedikit pun.

“Yang dibilang Ibu itu ada benernya lho, Kin. Sekali-sekali p a k a i baju yang bagus kan, bisa,” sahut Dafa menyetujui ucapan ibunya.

Kinan masih tidak bereaksi. Dia hanya tersenyum sambil mendekatkan piring berisi ubi goreng pada Sakinah. Tentu saja dia juga berusaha tetap sabar.

“Ibu s**a yang masih hangat kan? Ini baru aku goreng tadi.”

“Hmm,” jawab Sakinah yang sudah duduk dengan gaya bossy. “Kamu tuh kalau bikin camilan jangan itu-itu aja d**g. Pantes Dafa kurusan, tiap hari dikasih ubi goreng melulu.”

“Bu, Kinan tuh nyiapin ubi goreng karena tau ibu mau dateng lho,” bela Dafa.

“Kamu ini gimana sih, Fa. Ibu kan ngomong begitu juga demi kamu.”

“Tapi, Bu—”

“Bulan depan aku coba bikin camilan yang lain deh, Bu. Tapi b e l i dulu bahan-bahannya, soalnya u a n g belanja bulan ini udah menipis banget. Ibu tau sendiri kan u a n g bulananku itu sedikit, nggak cukup untuk b e l i macam-macam,” jawab Kinan, mem o t o n g ucapan suaminya.

Suaranya terdengar sangat tenang, lembut, tapi menohok sekali.

“Apa maksudmu, Kin?” Sakinah mend**gak, wajahnya terlihat sangat k e s a l.

“Maksud Kinan, nunggu Mas Dafa g a j i a n dulu biar bisa belanja lebih banyak bahan makanan.”

Kali ini Kinan membalas tatapan ibu mertuanya dengan ekspresi santai.

Mendengar sindiran keras dari Kinan, Dafa memilih menunduk dan pura-pura memainkan ponsel. Dia tidak mau menjawab karena sadar dirinya memang bersalah.

“Udah ah, nggak usah bahas d u i t terus. Kamu tuh harusnya bersyukur punya suami kayak Dafa. Walau g a j inya kecil, setidaknya dia tanggung jawab.” Sakinah mendengkus, lalu mengalihkan pandangannya.

“Aku selalu bersyukur kok, Bu,” jawab Kinan sambil tersenyum. “Sebenernya g a j i Mas Dafa itu lebih dari cukup kalau untuk kebutuhan sehari-hari selama sebulan, Bahkan harusnya bisa disisihkan untuk n a b u n g,” lanjut Kinan tak gentar. Dia memilih duduk di sebelah Dafa untuk meladeni ibu mertuanya.

“Bagus kalau kamu sadar. Cuma ya … kamu juga harus berusaha bikin suamimu senang. Dandan kek, masak yang enak, p a k a i baju bagus dan jangan dasteran terus.”

Mendengar perintah mertuanya, Kinan hanya bisa menghela napas pelan. Dia meng e l u s punggung suaminya tanpa menatapnya, seakan sedang memberi peringatan pada ‘si a n a k Mama’ itu.

“Kayaknya Ibu salah mengartikan ucapan Kinan deh.”

“Kin, udah jangan terus-terusan jawab omongan Ibu,” tegur Dafa yang mulai merasa tak nyaman dengan suasana menegangkan pagi itu. Tapi Kinan tidak ingin mundur, dia malah semakin bersemangat.

“Jadi maksudmu apa?” tanya Sakinah dengan suara k e r a s.

Sebenarnya sejak tadi dia ingin sekali menyantap ubi goreng di hadapannya karena itu memang camilan favoritnya. Akan tetapi jawaban-jawaban dari Kinan justru membuatnya merasa kenyang.

“Maksud Kinan, u a n g bulanan dari Mas Dafa itu seharusnya banyak kalau nggak dikasihkan ke Ibu lebih dari setengahnya.”

Sakinah menatap Kinan dengan mata mend e l i k, seakan tak percaya Kinan bisa berkata sejujur itu padanya.

“Bisa-bisanya kamu bilang begitu ke Ibu. Dafa kan a n a k Ibu. Sudah sewajarnya kalau dia kasih u a n g bulanan ke Ibu.”

“Iya, Kinan tau kok kalau Mas Dafa itu a n a k Ibu. Makanya selama ini Kinan nggak protes kalau u a n g bulanan Kinan lebih sedikit daripada u a n g yang dikasihkan ke Ibu.” Kinan menarik napas panjang, berusaha tetap tenang meski h a t inya mulai berge m u r u h untuk memberikan perlawanan yang lebih ‘nendang’.

“Jadi jangan heran kalau setiap hari Mas Dafa dikasih camilan ubi goreng, karena cuma ini yang m u r a h,” lanjut Kinan sambil menatap suaminya yang masih bergeming tanpa pembelaan.

Sedangkan Sakinah menatap Dafa seolah-olah sedang mencari dukungan. Tapi Dafa sama sekali tidak mengeluarkan suara.

“Ibu harusnya bangga lho sama Kinan, secara ... penampilan menantu Ibu ini kan sangat sederhana, sesuai dengan keinginan Ibu yang nggak mau punya menantu neko-neko,” sindir Kinan begitu teringat mertuanya mencela daster yang dia kenakan.

Sakinah mendengkus sambil meremas bantal sofa di sebelahnya. “Mulut kamu makin pintar jawab ya sekarang.”

Kinan tidak inginagi menjawab selain menunjukkan senyuman yang dibuat seramah mungkin. Tapi senyuman itu p**a yang semakin membuat Sakinah mera d a n g.

Sedangkan Dafa justru merasa terjepit di antara keduanya. Dafa sadar mereka sedang p e r a n g dingin lewat kata-kata yang halus tapi terasa m e n a m p a r.

Beberapa menit kemudian, Sakinah bangkit dengan hentakan kaki yang cukup keras. “Sudahlah, Ibu p**ang aja. Dafa, lain kali kamu atur istrimu. Jangan sampe kebiasaan ngebantah terus kayak gini.”

Karena tidak tega, Dafa mencoba menahan ibunya. “Bu, jangan gitu. Kinan nggak bermaksud—”

“Udah! Ibu nggak mau denger!” b e n t a knya sambil melirik ke arah Kinan.

Tak bisa dipungkiri, langkah Sakinah terasa cukup berat saat meninggalkan rumah itu, terlebih karena tujuannya berkunjung kali ini belum tercapai. Tapi dia tak tahan lagi dengan sikap Kinan yang tiba-tiba berubah.

Dan begitu suara motor ibunya terdengar menjauh, Dafa mendekati Kinan dan menatapnya dengan ekspresi heran.

“Kin, kenapa sih kamu tadi ngomong gitu sama Ibu?”

Kinan memutar t u b u hnya hingga berhadapan langsung dengan Dafa. “Aku cuma jawab pertanyaan Ibu aja, Mas. Aku kan istri yang baik, nggak boleh diem kalau ditanya.”

Dafa memijat pelipisnya karena benar-benar tidak mengerti mengapa Kinan bisa tiba-tiba bersikap seperti itu.

“Tapi semua jawaban kamu tadi udah bikin Ibu tersinggung.”

“Sebenernya aku nggak niat bikin siapa pun tersinggung.”

Nada suaranya terdengar begitu tenang seakan-akan apa yang dia ucapkan memang benar.

“Mas, ngopinya dilanjut aja. Aku beres-beres dulu ya. Biar rumah tetap bersih kalau Ibu tiba-tiba balik lagi.” ucapnya lagi. Tanpa menunggu jawaban, Kinan sudah beranjak dari duduknya, lalu berjalan menuju dapur.

Sementara itu Dafa masih terdiam dalam kebingungannya. Dia merasa benar-benar ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Kinan yang biasanya cepat panik dan selalu menurut, kini justru bersikap sangat tenang, terlalu dingin, dan sangat berani.

“Nggak mungkin, kan, Kinan denger obrolanku dan Ibu semalam?” batin Dafa bertanya-tanya.

🌻🌻

Gudang di ujung rumah itu sudah lama tidak terpakai. Udara di sana terasa lembab dan pengap, tetapi Kinan tetap menyapu lantai perlahan. Ini adalah salah satu bagian dari rutinitas hariannya. Namun entah mengapa, di sanalah Kinan merasa bisa menangkan diri.

“Andaikan hari-hariku bisa senyaman ini.”

Kinan menatap dinding yang catnya mulai terkelupas. Di ruangan itu, kenangan masa lalunya datang tanpa diundang.

“Aku nggak tau sejak kapan Ibu berubah,” ujarnya lirih.

Dulu, Sakinah sangat ramah dan antusias padanya. Kinan masih ingat hari pertama dia diajak makan malam di rumah keluarga Dafa. Sakinah tak bosan menatapnya dengan senyuman yang terasa hangat.

“Cantik banget kamu, Nak. Ibu udah lama pengen punya menantu kayak kamu. Mendingan kalian cepet nikah aja biar Ibu bisa tenang,” pinta Sakinah kala itu.

“Semuanya tergantung Mas Dafa, Bu,” jawabnya sedikit malu-malu.

Dan kalimat seperti itu selalu Kinan dengar saat dia berkunjung pada hari-hari berikutnya. Bahkan, saat Dafa masih belum benar-benar siap untuk membangun rumah tangga, Sakinah terus mendesak agar mereka cepat menikah.

“Kenapa belum nikah juga padahal udah sering dibawa ke sini? Kalian kan bisa nikah siri dulu supaya nggak ribet ngurus surat-surat dan persyaratnya,”katanya, yang terdengar sangat pengertian. “Toh nanti kalau udah punya a n a k, gampang ngurus suratnya.”

Saat itu Dafa hanya mengangguk setuju. Kinan pikir itu memang solusi terbaik agar mereka bisa segera tinggal serumah, supaya cinta mereka bisa terikat dan tidak terpisahkan.

Kinan bahkan berpikir mertua seperti Sakinah itu pasti penyayang karena dia sangat pengertian. Tapi kini, semuanya terasa sangat masuk akal. Ibu mertuanya menyukainya bukan karena kasih yang tulus, tapi karena tahu dia bisa dikendalikan dan diatur.

Kinan menatap sapu di tangannya, lalu tersenyum m i r i s. “Lucu banget sih, dulu aku pikir mereka bener-bener baik, tapi ternyata mereka punya rencana lain.”

Dia menutup mata sejenak dan menarik napas panjang. Tidak ada lagi air mata yang menetes. Tidak akan ada lagi penyesalan.

“Aku akan buktikan kalau aku bukan istri berdaster kumal yang tidak berguna. Aku pasti akan punya dunia di mana mereka tidak akan bisa meny e n t u hnya.”

Kinan menatap ruangan kosong itu sambil terus bepikir. Dan tiba-tiba saja b i b i rnya melengkung naik begitu menemukan ide. Kini senyumannya bukan lagi kepura-puraan, melainkan senyum penuh rencana.

“Gudang ini akan menjadi saksi bagaimana duniaku yang sesungguhnya
Baca selengkapnya di KBM App

Address

Hong Kong

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when ROSSA posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share