21/07/2025
Namanya Ni Ketut Reneng, Beliau lahir sekitar tahun 1909 (tak berapa jauh dari eranya RA Kartini). Nama tersebut adalah nama pemberian dari permasuri di salah satu Puri terkenal di Bali. Namanya menggambarkan kulitnya yang putih, tubuhnya yang bunder, dan berwajah cantik.
Pada usianya ke 11 tahun , ia telah diserahkan oleh keluarganya ke Puri Bali untuk menjadi seorang Jero, menari, menenun dan membuat sirih. Ketika Ni Ketut Reneng tahu ia bakal bekerja di Istana, bayangannya adalah ia bakal sering mendengar orang membaca lontar (naskah kuno). Ia sangat senang mendengar kisah-kisah masa lalu yang ditulis di daun lontar. Saat itu hanya orang yang berada di dalam istana yang dapat mendengar atau bahkan dapat membaca naskah Lontar. Padahal diluar pengetahuannya, Permasuri merencanakan Ni Ketut Reneng untuk dijadikan selir raja. Suatu ketika Permasuri berkata bahwa bila sudah dewasa (haid), ia harus siap jadi madunya.
Ketika ia berusia 13-14 tahun, saatnya tiba persiapan ia menjadi selir yang ke 34. Berbekal pengetahuannya dari belajar dan membaca naskah kuno lontar yang ada di dalam istana, salah satunya dari tamsil dan berbagai cerita, banyak nasib tragis menimpa selir-selir terdahulu. Ada selir yang punya anak kemudian dilempar ke hutan, kemudian Raja mengambil gadis lain. Biasanya istri raja yang tua juga selalu sengsara karena raja selalu mudah dibujuk oleh istrinya yang baru. Istri yang lama dibuang ke hutan bersama anaknya karena raja kena guna-guna istri muda.
Sebelum waktunya tiba ia dijadikan selir, Ni ketut Reneng berusaha lari dari Istana. Beruntung Pamannya bernama Pekak Cenong bekerja di dalam istana. Pamannya bertugas memberi makan burung-burung di puri. Ketika pamannya pulang ia diam-diam mengintil ikut pulang meski akhirnya ketahuan juga. Ketika Ni Ketut Reneng sampai di rumah, ibunya kaget sekali dan ketakutan. Namun Ni Ketut Reneng tetap menolak untuk kembali ke Istana....
Singkat cerita, Ni Ketut Reneng fokus ke keahlian sebagai penari Bali. Andaikan ia tetap di dalam Puri mungkin bakat menarinya terkubur sudah. Bahkan ketika usianya sudah 75 tahun di tahun 1984, ia sudah sangat terkenal sebagai seorang ahli tari Bali klasik yang dimiliki Indonesia bahkan dunia. Pemberontakan dan untuk dapat lepas dari cengkeraman bangsawan di Puri Bali, adalah hal luar biasa untuk seorang perempuan di era itu.
Ni Ketut Reneng, adalah museum berjalan yang menampilkan pemberontakan wanita terhadap adat yang mengungkungnya. Ia berani dan berhasil berontak. Salah satunya karena ia mau mendengar, membaca, dan belajar dari kisah-kisah dari masa lalu. Ia belajar secara otodidak.
Beliau pernah mendapat penghargaan seni dari Presiden Soeharto pada tanggal 17 Agustus 1979. Beberapa tari klasik Bali seperti Tari Pendet Astuti, Tari Tenun, Tari Tani, Rejang Dewo, dan Tari Janger adalah hasil karyanya. Sejak tahun 1976 ia bergabung dengan Balai Seni Toyabungkah untuk menciptakan kreasi-kreasi baru tali Bali. Di usianya yang ke-75, kala beliau menari seakan-akan berubah menjadi gadis remaja yang penuh vitalitas di panggung dengan gerakan tari yang tak ada duanya.
Sumber: PR, 26-2-1984. Surat Kabar Langka Perpustakaan Nasional RI (SKALA-Team)