10/02/2025
Suatu hari, Tengku Hasan Muhammad di Tiro berdiri di tepi danau Geneva atau Lac Lèman di Switzerland. Tengku dengan penuh rindu kepada Aceh, mengatakan kepada beberapa orang yang berdiri di sebelahnya, bahwa danau Lut Tawar di Takengen, lebih indah dari danau Geneva.
Memang ada dua tempat yang sering Tengku sebutkan, Takengen dengan Lut Tawarnya dan Pulo Weh, Sabang, dengan danau Aneuk Laot. Keindahan yang terekam jelas dan dengan bangga dikenalkan kepada relasinya.
Sepulang ke Aceh pada 2006, saya berencana untuk mendatangi kedua tempat yang indah yang disebutkan Tengku dan belum pernah saya kunjungi sejak kecil.
Datang ke Pulo Weh pertama diundang oleh pimpinan GAM di sana. Turun kapal, langsung dibawa ke Cot Dama, di mesjid sudah menunggu ratusan orang untuk mendengarkan sosialisasi dari kami tentang perdamaian Aceh.
Kesan pertama, air laut sangat jernih, kita bisa melihat ikan berenang dengan terang. Danau Aneuk Laot sangat cantik dipandang dari atas bukit. Kemudian Paya Seunara yang subur dan tanaman menghijau. Yang paling berkesan dalam diri, masyarakatnya sangat ramah dan bersahabat. Tidak salah Tengku Hasan di Tiro mengagumi Pulo Weh, Sabang.
Perjalanan pertama ke Takengen, mendampingi Irwandi Yusuf, kepala AMM dari perwakilan GAM, untuk proses decommissioning atau pemotongan senjata ke Wilayah Linge, tepatnya di lapangan Musara Alun.
Kami berangkat dengan sebuah pesawat milik Polri, jenis PZL M28 Skytruck. Pesawat yang terbang rendah dan mirip truk ini, turun di bandara Rembele, kemudian dengan kendaraan AMM kami ke lokasi acara.
Di tempat acara, sudah menunggu panglima GAM wilayah Linge, Fauzan Azima dan seluruh jajaran, anggota milisi, polisi, militer dan tokoh-tokoh masyarakat dan perwakilan AMM.
Kesan pertama, negeri ini sangat indah. Hijau dan subur, kemudian danau Lut Tawar, sangat mengagumkan. Tidak salah, Tengku Hasan Tiro mengatakannya lebih indah dari Geneva. Kombatan GAM yang kami temui, kami melihat mereka sebagai petempur yang tangguh dan masyarakat di sana terlihat kegigihan di muka mereka.
Dintara pejuang GAM yang kami temui, ada seorang yang paling gondrong dan banyak senyumnya. Dia dipanggil panglima Syech Sapu Arang.
Orangnya ramah dan santun, berbicara dengan suara yang jelas dan terang. Tetapi ternampak seperti orang yang sangat kelelahan.
Setelah acara selesai, kami kembali ke Banda Aceh. Dalam berbagai pertemuan kemudian, sering sekali berjumpa dengan Syech Sapu Arang ini. Rambutnya sudah rapi, mukanya bersemangat, keramahannya menjadi ciri khas yang tidak pernah hilang.
Beberapa bulan setelah itu, ada tamu seorang pimpinan NGO dari Stockholm datang ke Aceh. Dia ingin berkeliling seluruh pelosok untuk melihat respon kombatan terhadap perdamaian di Aceh. Setelah menyusuri pantai utara, kami bawa ke Takengen, bertemu dengan kombatan laki-laki dan perempuan. Syech Sapu Arang yang turut dalam acara, menjadi sosok yang paling menyenangkan. Banyak bertanya dan berbicara. S**a bercanda untuk mencairkan suasana.
Syech Sapu Arang kemudian terlibat dalam berbagai pelatihan politik baik di Aceh atau di luar negeri. Kami sering bertemu dan menjadi sahabat yang baik.
Kemarin, kami mendengar, bahwa petani kopi yang ulet, pejuang Aceh yang gigih, Syekh Sapu Arang yang bernama asli Ibnu Sakdan bin Mansyur, sudah berpulang ke Rahmatullah.
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Kami turut berduka atas musibah, semoga Allah memberikan kepada pejuang besar ini pahala syahid dan ditempatkan di syurga yang tinggi.
(Credit Photo: Jalimin Gayo)