03/06/2025
Cerpen dengan judul :Pulang Haji, Tapi Takut pada Tuhan Pun Tidak di gantikan dengan judul : Surga yang Tak Pernah Punya Ibu.
Simak baca kisahnya
Bagian 1: Saat Ibu Pergi dan Tak Pernah Kembali
Judul Bab: "Bunda Pulang Bersama Bayi yang Tak Pernah Sempat Bernama"
Namaku Rifky. Umurku saat itu baru 6 tahun—umur yang bahkan belum cukup untuk memahami arti kehilangan. Tapi entah mengapa... hari itu, aku mengerti satu hal:
Bunda tak akan pulang lagi."
Pagi itu biasa saja. Ayah menyisir rambutku dengan tangan gemetar. Ia tak banyak bicara, hanya menyuruhku memakai baju sekolah dengan cepat. Tapi dari caranya menghela napas, dari cara matanya sembab meski berusaha tersenyum, aku tahu... ada sesuatu yang tidak biasa.
Aku melihatnya menatap kosong ke arah pintu kamar. Di dalam sana, Bunda sedang terbaring. Perutnya besar. Bayi adikku sudah waktunya lahir.
Katanya, Bunda akan dibawa ke puskesmas. Tapi... ambulance tidak kunjung datang. Jalur ke kota hujan semalaman, jalan licin, dan satu-satunya mobil tetangga sedang mogok. Ayah mondar-mandir, panik, tak tahu harus bagaimana.
Dan saat hari perlahan berubah siang, aku mendengar suara tak biasa dari dalam kamar. Jerit kecil yang asing. Aku pikir itu tangisan bayi. Tapi beberapa detik kemudian, semua berubah hening.
Senyap.
Teramat senyap.
Aku mencoba masuk, tapi pintu dikunci. Dan saat akhirnya terbuka… aku lihat tubuh Bunda sudah ditutupi kain putih. Bayinya—katanya perempuan—lahir dalam kondisi tak bernyawa.
Bunda… dan adik… pergi bersamaan.
"Dari situ, duniaku jadi gelap. Hari-hari setelah itu kabur dalam ingatan. Tapi yang kuingat pasti: aku demam tinggi. Tubuhku panas seperti dibakar. Aku menangis tanpa suara—karena tangisanku sudah habis saat kain kafan dibentangkan di depan mataku."
Ayah ingin mengubur mereka di kampung Ibu, di Padang. Tapi semuanya jadi rumit. Keluarga Bunda ingin aku ikut pulang ke sana, ikut bersama mereka. Tapi keluarga Ayah juga ingin aku tetap tinggal. Ayah saat itu… sedang hancur. Terlalu diam. Terlalu hilang.
"Biarkan Rifky bersamaku dulu," katanya pada keluarga.
Kakek dan Nenek Bunda sempat bersitegang. Aku hanya anak kecil. Tapi aku tahu aku seperti bola—diperebutkan oleh dua sisi yang sama-sama mencintai… tapi tak tahu bagaimana menyembuhkan luka yang mereka tinggalkan padaku.
Akhirnya, aku tinggal. Ayah mengurus semua dokumen. Sekolah, akta lahir, dan pemakaman. Aku mulai masuk SD hanya beberapa minggu setelah pemakaman Bunda.
Tapi tubuhku lemah. Aku sering linglung di kelas. Pernah satu kali, aku menggambar keluarga dan hanya menggambar satu orang: Bunda. Tidak ada Ayah, tidak ada aku. Hanya dia, berdiri sendirian di bawah langit biru yang entah mengapa kusiram dengan warna kelabu.
Beberapa malam kemudian, aku kembali demam. Lebih tinggi dari sebelumnya. Ayah membawaku ke rumah sakit.
Suster bilang aku stres berat. Trauma. Demam karena kehilangan. Tak semua luka harus berdarah untuk menyakitkan.
*"Di malam rawat inap itu, aku mimpi. Bunda datang, memakai baju putih dan kerudung lembut. Ia duduk di sisi ranjangku. Tangannya dingin, tapi lembut.
‘Rifky… kamu anak kuat. Jangan takut. Bunda sayang kamu… dari tempat yang jauh.’
Saat aku terbangun, hanya bantal yang basah oleh air mata. Dan Ayah tertidur di lantai. Aku tahu, kami berdua kehilangan rumah dalam diri kami masing-masing."*
Itu awal dari semuanya. Awal dari rumah yang tak lagi utuh. Awal dari hidup yang harus terus berjalan... meski setengah jiwaku ikut dikuburkan bersama Bunda dan adik yang tak sempat kuberi nama.
Dan aku pikir, saat Ayah menikah lagi, mungkin aku akan kembali punya ibu. Tapi rupanya, aku belum selesai diuji.
Banda Aceh, 01 Juni 2025