07/12/2025
Yusi Creator
BUKU HARIAN IBU
Langit Senja di Beranda Lama
Episode 160 — Jejak Kenangan yang Belum Pudar
Hujan turun sejak subuh, membasahi halaman rumah yang kini terasa semakin sepi. Daun-daun mangga yang tadi gugur tersapu angin, kini menempel di tanah berlumpur. Aroma tanah basah itu mengingatkanku pada hari-hari ketika tawa masih memenuhi ruangan rumah ini. Tawa anak-anak, tawa suamiku… tawa yang kini hanya tinggal gema di dalam kenangan.
Aku duduk di beranda, kursi rotan yang sudah mulai rapuh tetap menjadi tempat favoritku untuk menatap langit yang berubah warna setiap sore. Hari ini, langit tak menunjukkan senja keemasan seperti biasanya. Awan menggantung murung, seolah memantulkan perasaanku yang ikut kelabu.
Di pangkuanku, buku harian ini kembali terbuka. Halaman-halaman yang pernah penuh tinta air mata, kini siap menerima luka baru maupun harapan baru.
Aku baru saja menutup surat terakhir yang kutemukan—surat yang ditulis suamiku. Sebuah pesan yang tak pernah terkirim. Kata-katanya seolah menyentuh hatiku dengan kekuatan yang tak bisa kutolak:
“Kalau aku pergi lebih dulu… jangan biarkan dirimu merasa sendiri.”
Aku mengusap lembaran itu perlahan, seolah menyentuh tangannya melalui tinta yang tergores. Betapa ia begitu mengenalku. Betapa ia tahu aku sangat pandai menyembunyikan kesepian… tapi tidak mampu melawannya.
Aku menatap jauh ke halaman depan. Di sana… aku bisa membayangkan bayangan Dika kecil berlarian dengan kaki kecilnya. Aku tersenyum samar, mengingat betapa seringnya ia jatuh dan bangun lagi, sambil tertawa seolah dunia tak punya beban.
Kini ia tumbuh menjadi pria dewasa yang memikul terlalu banyak beban.
"Aku rindu rumah, Bu."
Kata-kata itu masih terngiang dari panggilan video beberapa hari lalu. Matanya terlihat lelah—jauh lebih lelah daripada yang pernah kulihat pada ayahnya sekalipun. Ada sesuatu yang dipendamnya. Ada cerita yang tak ia ingin sampaikan, mungkin karena tak ingin aku khawatir.
Sementara Lusiana, adiknya, masih tertawa seperti biasa. Tapi aku tahu… tawa itu pun menyimpan sesuatu. Ia mencoba kuat, seperti ibunya. Seperti ayahnya.
Dan aku… apa aku benar-benar kuat seperti yang mereka kira?
Butiran hujan yang jatuh semakin rapat, membentuk aliran tipis di pagar kayu yang mulai lapuk. Rasanya seperti waktu—yang terus berjalan dan mengikis sedikit demi sedikit apa yang dulu kokoh.
Kupeluk buku harian ini ke dada.
“Pak… aku masih belajar untuk tidak merasa sendiri,” bisikku.
Seolah menjawab, angin sore menerpa wajahku lembut. Membawa aroma yang pernah begitu kukenal—aroma kemeja dan jas yang sering ia pakai saat berangkat kerja. Membawa kehadirannya yang dulu begitu nyata.
Aku menutup mata. Sejenak, aku ingin membiarkan kenangan itu bernafas.
Namun aku tahu, hidup tetap berjalan.
Suamiku meninggalkan pesan… bukan untuk membuatku terjebak dalam duka, tapi untuk membuatku melangkah maju.
Aku menghapus air mata yang jatuh diam-diam.
“Mungkin… saatnya aku membuka pintu yang sudah terlalu lama tertutup,” ucapku pelan, lebih kepada diriku sendiri.
Kubuka halaman baru dalam buku harian ini—halaman kosong yang masih menunggu kisah.
Aku tahu, episode hidupku belum berakhir.
Selama aku masih bisa menulis… Selama senja masih menjemput hari…
Aku akan terus melanjutkan perjalanan ini.
Dengan kenangan yang tak pudar. Dengan cinta yang tak pernah hilang.
Dengan harapan… bahwa besok akan lebih terang dari hari ini.