Yusi creator

Yusi creator Contact information, map and directions, contact form, opening hours, services, ratings, photos, videos and announcements from Yusi creator, Jalan Sariwangi, Bandung Rejosari.

halaman ini berisi tentang cinta dan kehidupan







like, komen dan share ya sahabat

Yusi Creator BUKU HARIAN IBULangit Senja di Beranda LamaEpisode 160 — Jejak Kenangan yang Belum PudarHujan turun sejak s...
07/12/2025

Yusi Creator

BUKU HARIAN IBU

Langit Senja di Beranda Lama

Episode 160 — Jejak Kenangan yang Belum Pudar

Hujan turun sejak subuh, membasahi halaman rumah yang kini terasa semakin sepi. Daun-daun mangga yang tadi gugur tersapu angin, kini menempel di tanah berlumpur. Aroma tanah basah itu mengingatkanku pada hari-hari ketika tawa masih memenuhi ruangan rumah ini. Tawa anak-anak, tawa suamiku… tawa yang kini hanya tinggal gema di dalam kenangan.

Aku duduk di beranda, kursi rotan yang sudah mulai rapuh tetap menjadi tempat favoritku untuk menatap langit yang berubah warna setiap sore. Hari ini, langit tak menunjukkan senja keemasan seperti biasanya. Awan menggantung murung, seolah memantulkan perasaanku yang ikut kelabu.

Di pangkuanku, buku harian ini kembali terbuka. Halaman-halaman yang pernah penuh tinta air mata, kini siap menerima luka baru maupun harapan baru.

Aku baru saja menutup surat terakhir yang kutemukan—surat yang ditulis suamiku. Sebuah pesan yang tak pernah terkirim. Kata-katanya seolah menyentuh hatiku dengan kekuatan yang tak bisa kutolak:

“Kalau aku pergi lebih dulu… jangan biarkan dirimu merasa sendiri.”

Aku mengusap lembaran itu perlahan, seolah menyentuh tangannya melalui tinta yang tergores. Betapa ia begitu mengenalku. Betapa ia tahu aku sangat pandai menyembunyikan kesepian… tapi tidak mampu melawannya.

Aku menatap jauh ke halaman depan. Di sana… aku bisa membayangkan bayangan Dika kecil berlarian dengan kaki kecilnya. Aku tersenyum samar, mengingat betapa seringnya ia jatuh dan bangun lagi, sambil tertawa seolah dunia tak punya beban.

Kini ia tumbuh menjadi pria dewasa yang memikul terlalu banyak beban.

"Aku rindu rumah, Bu."

Kata-kata itu masih terngiang dari panggilan video beberapa hari lalu. Matanya terlihat lelah—jauh lebih lelah daripada yang pernah kulihat pada ayahnya sekalipun. Ada sesuatu yang dipendamnya. Ada cerita yang tak ia ingin sampaikan, mungkin karena tak ingin aku khawatir.

Sementara Lusiana, adiknya, masih tertawa seperti biasa. Tapi aku tahu… tawa itu pun menyimpan sesuatu. Ia mencoba kuat, seperti ibunya. Seperti ayahnya.

Dan aku… apa aku benar-benar kuat seperti yang mereka kira?

Butiran hujan yang jatuh semakin rapat, membentuk aliran tipis di pagar kayu yang mulai lapuk. Rasanya seperti waktu—yang terus berjalan dan mengikis sedikit demi sedikit apa yang dulu kokoh.

Kupeluk buku harian ini ke dada.

“Pak… aku masih belajar untuk tidak merasa sendiri,” bisikku.

Seolah menjawab, angin sore menerpa wajahku lembut. Membawa aroma yang pernah begitu kukenal—aroma kemeja dan jas yang sering ia pakai saat berangkat kerja. Membawa kehadirannya yang dulu begitu nyata.

Aku menutup mata. Sejenak, aku ingin membiarkan kenangan itu bernafas.

Namun aku tahu, hidup tetap berjalan.

Suamiku meninggalkan pesan… bukan untuk membuatku terjebak dalam duka, tapi untuk membuatku melangkah maju.

Aku menghapus air mata yang jatuh diam-diam.

“Mungkin… saatnya aku membuka pintu yang sudah terlalu lama tertutup,” ucapku pelan, lebih kepada diriku sendiri.

Kubuka halaman baru dalam buku harian ini—halaman kosong yang masih menunggu kisah.

Aku tahu, episode hidupku belum berakhir.

Selama aku masih bisa menulis… Selama senja masih menjemput hari…

Aku akan terus melanjutkan perjalanan ini.

Dengan kenangan yang tak pudar. Dengan cinta yang tak pernah hilang.

Dengan harapan… bahwa besok akan lebih terang dari hari ini.





Yusi Creator EPISODE 159 — “Pesan yang Tak Pernah Terkirim”Ibu masih duduk di tepi ranjang, amplop cokelat itu kini terb...
06/12/2025

Yusi Creator

EPISODE 159 — “Pesan yang Tak Pernah Terkirim”

Ibu masih duduk di tepi ranjang, amplop cokelat itu kini terbuka.
Tangannya bergetar saat menarik kertas tipis yang sedikit menguning oleh waktu.

Di atasnya, tulisan seseorang yang pernah ia rindukan setiap malam:
Tulisan Ayah.



Surat itu bertanggal dua hari sebelum kepergian Ayah.
Air mata Ibu langsung jatuh begitu melihat kalimat pertama:

“Untuk istriku yang selalu kuat, andai aku tak sempat mengucapkan…
Terima kasih sudah mencintaiku tanpa syarat.”

Ibu menutup mulutnya, menahan isak.
Kenangan menyerbu masuk — Ayah tersenyum, Ayah memegang tangannya, Ayah yang tak pernah benar-benar ia lepaskan dari hatinya.

Di paragraf berikutnya, Ayah menulis:

“Aku tahu kadang aku keras kepala. Aku tahu aku sering membuatmu menunggu.
Tapi percayalah… semuanya kulakukan untuk masa depan kalian.”

Suara langkah pelan terdengar.
Dika muncul di depan pintu kamar, melihat Ibu menangis.

“Bu… nggak apa-apa?” tanyanya lembut.

Ibu mengusap air mata, mencoba tersenyum.
“Tidak apa-apa, Nak… Ibu hanya menemukan sesuatu yang… seharusnya sudah Ibu baca dari dulu.”

Dika mendekat.
“Apa itu?”

Ibu menyerahkan surat itu padanya.

Saat Dika membaca bagian akhir, ia menahan napas:

“Kalau aku pergi lebih dulu…
Jangan biarkan dirimu merasa sendiri.
Kau tetap punya anak-anak kita.
Dan mereka akan menjagamu untukku.”

Dika menatap Ibu, suaranya hampir bergetar:
“Bu… Ayah benar. Kami di sini buat Ibu.”

Ibu menutup mata, menahan sesak di dadanya.

Lalu pada baris paling bawah, ada satu kalimat yang membuatnya benar-benar tak mampu lagi menahan tangis:

“Aku menitipkan mimpiku padamu. Jangan berhenti hidup, ya?”



Surat itu akhirnya sampai ke tangan yang seharusnya menerima.
Meski telat bertahun-tahun…
Pesannya masih tetap hidup.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama…
Ibu mengizinkan dirinya untuk menangis karena cinta — bukan hanya karena rindu.





Yusi Creator BUKU HARIAN IBU — Episode 158Judul: “Surat yang Tertinggal”Pagi itu terasa lain. Angin menerpa tirai jendel...
05/12/2025

Yusi Creator

BUKU HARIAN IBU — Episode 158

Judul: “Surat yang Tertinggal”

Pagi itu terasa lain. Angin menerpa tirai jendela dengan hembusan yang membuat bulu kuduk merinding. Ibu berdiri lama di depan meja ruang tamu, memegang sebuah amplop cokelat yang tampak sudah lama tersembunyi.

“Ini siapa yang menaruh di sini?” gumam Ibu pelan.

Tanpa menunggu jawaban, ia perlahan membuka surat itu. Tulisan tangan yang begitu Ibu kenal muncul jelas di atas kertas putih yang telah menguning oleh waktu.

Tulisan Ayah.

Tangan Ibu bergetar saat membaca kalimat pertama:

“Jika suatu hari kamu menemukan surat ini… berarti aku pergi bukan karena ingin meninggalkanmu.”

Air mata mulai mengalir di p**i Ibu. Ia menekan bibirnya, berusaha tak terisak.

“Aku memutuskan menjauh karena ada yang ingin ku selamatkan—kamu dan anak-anak kita. Aku berjanji, ketika semuanya selesai, aku akan kembali.”

Ibu terjatuh di kursi, lututnya lemas. Semua sakit yang selama ini ia pendam meletup begitu saja. Selama ini ia merasa ditinggalkan… kini, ia justru menemukan harapan baru yang menyala.

Namun di akhir surat, ada satu baris yang membuat darah Ibu seolah berhenti mengalir:

“Jika orang itu datang mencarimu… jangan pernah percaya padanya.”

Ibu terdiam. Orang itu? Siapa?

Belum sempat Ibu menyeka air matanya, terdengar suara ketukan keras di pintu.

DUG! DUG! DUG!

“Bu… buka pintunya,” suara seorang pria terdengar jelas dari balik daun pintu. Suaranya dalam dan asing.

Ibu menatap surat di tangannya, lalu menatap pintu. Jantungnya berdegup kencang.

Ketukan kedua terdengar lebih keras, lebih memaksa.
DUG! DUG! DUG!

Ibu berdiri perlahan—dipenuhi rasa takut… dan penasaran.

Siapa yang datang?

Dan… apakah ini yang Ayah maksud?

Bersambung…





Yusi Creator 📖 BUKU HARIAN IBUEpisode 157 — “Hujan di Atap Kenangan”Angin sore itu datang bersama gerimis. Bukan hujan d...
04/12/2025

Yusi Creator

📖 BUKU HARIAN IBU

Episode 157 — “Hujan di Atap Kenangan”

Angin sore itu datang bersama gerimis. Bukan hujan deras, hanya tetes-tetes kecil yang terdengar jelas ketika menyentuh genting rumah tua peninggalan almarhum Ayah. Rumah yang sudah jarang ditempati itu masih menyimpan jejak kehidupan yang dulu sederhana, hangat, dan penuh tawa keluarga.

Ibu berdiri di beranda lama itu, memandang lurus ke halaman yang mulai basah. Di tangannya, ada sebuah payung merah yang sudah lusuh—payung favorit Ayah, katanya dulu.

“Dulu, waktu kamu kecil, kamu selalu berebut ingin memegang payung ini,” ucap Ibu tanpa menoleh, suaranya parau namun lembut.

Aku hanya menatap punggungnya. Punggung yang tampak semakin kecil dimakan waktu. Punggung yang pernah menjadi benteng terkuat dalam hidupku.

“Ibu, kenapa kita ke sini lagi?” tanyaku pelan, meski aku sudah tahu jawabannya.

Ibu menghela napas panjang. “Ada hati yang belum selesai.”

Kalimat itu menghantam dadaku. Selama ini aku pikir Ibu sudah berdamai dengan kepergian Ayah. Tapi rupanya, orang dewasa pun bisa menyimpan luka yang mereka sendiri tidak tahu bagaimana menyembuhkannya.

Kami masuk ke dalam rumah. Debu tipis menyelimuti setiap sudut, tetapi aroma kenangan masih melekat sama kuatnya. Di ruang tengah, Ibu duduk di kursi goyang favorit Ayah. Tangannya menyelusuri sandaran kayu yang sudah retak.

“Ayah kamu dulu selalu duduk di sini sambil baca koran. Kadang dia pura-pura marah kalau kamu naik ke pangkuannya.”
Ibu tersenyum tipis, tapi matanya berkaca.

Aku ikut duduk di lantai—persis di tempat aku biasa bermain balok kayu dahulu. Tiba-tiba, suara hujan di genting terdengar semakin jelas, seolah alam ingin ikut membuka lembaran kenangan.

“Ibu selalu kuat di depan aku,” kataku lirih. “Aku lupa kalau Ibu juga manusia.”

Ibu menoleh perlahan. Ada binar sedih sekaligus bahagia di matanya.
“Kamu tumbuh terlalu cepat… sampai-sampai Ibu tidak sempat mengeluh.”

Aku menggenggam tangan Ibu. Hangat. Jauh lebih hangat dari udara hujan di luar.
Kami duduk dalam diam yang bukan canggung—diam yang justru terasa menyatukan.

Beberapa saat kemudian, Ibu berdiri dan berjalan ke sebuah lemari kayu tua. Ia membuka lacinya perlahan dan mengambil sebuah buku cokelat usang. Buku harian Ayah.

“Ayah menulis ini untuk kita. Tapi yang terakhir… untuk kamu.”
Ia menyerahkan buku itu ke tanganku.

Jantungku berdegup tak karuan ketika aku membuka halaman terakhir.

Untuk anakku
Jika suatu hari kamu merasa dunia kejam, lihatlah ibumu.
Di matanya kau akan menemukan alasan terbaik untuk tetap pulang.
— Ayah

Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. Ibu memegang bahuku erat.

“Kamu bukan hanya harapan Ayah…” bisiknya.
“Kamu juga bahagia terbesar Ibu.”

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku memeluk Ibu sekuat yang aku bisa.
Pelukan yang penuh kehilangan—tetapi juga penuh cinta yang tidak akan pernah habis waktunya.

Di luar, hujan masih turun.
Namun kini, hujan itu tidak lagi membawa dingin…
melainkan kehangatan kenangan yang akhirnya bisa dibiarkan pulang.





Yusi Creator Buku Harian Ibu — Episode 156“Pelukan Yang Tak Terucapkan”Pagi itu, cahaya matahari menyelinap lembut melal...
03/12/2025

Yusi Creator

Buku Harian Ibu — Episode 156

“Pelukan Yang Tak Terucapkan”

Pagi itu, cahaya matahari menyelinap lembut melalui jendela kamar rumah sakit. Ibu terbangun dengan perasaan yang berbeda—ada harapan yang berdenyut kembali dalam dadanya. Tubuhnya masih terasa lemah, tetapi hatinya terasa lebih kuat.

Sari masuk dengan membawa semangkuk bubur hangat. Wajahnya penuh senyum seperti biasa, namun mata merahnya tak bisa berbohong bahwa ia habis menangis diam-diam.

Ibu: “Kamu menangis lagi ya, Nak?”
Sari: (menggeleng cepat) “Enggak kok, hanya kurang tidur.”

Ibu tahu itu alasan klise. Namun ia memilih untuk tidak mendesak.
Sebaliknya, ia meraih tangan Sari dan menggenggamnya erat.

Ibu: “Maafkan Ibu, sudah membuatmu cemas selama ini.”
Sari: “Jangan minta maaf, Bu… Aku yang harus berterima kasih karena Ibu terus berjuang.”

Dalam keheningan itu, Sari tiba-tiba memeluk Ibu dengan erat.
Pelukan yang begitu kuat, seperti ingin memastikan bahwa Ibu tidak akan pergi ke mana pun.

Ibu menutup mata. Air mata mengalir, tapi kali ini bukan karena takut.
Ini adalah air mata rasa syukur—karena ia tidak sendiri dalam perjuangan ini.

Di luar kamar, dokter memandang mereka dari celah pintu yang sedikit terbuka, sambil tersenyum kecil. Ia tahu, proses penyembuhan tak hanya dilakukan oleh obat… namun oleh cinta dan harapan.

Suara hati Ibu (monolog):
“Aku masih di sini… dan akan terus bertahan untukmu, Nak. Karena kamu adalah alasan terbesar mengapa aku masih bernapas.”





Yusi Creator BUKU HARIAN IBU — Episode 155“Langkah Pertama Menuju Keajaiban”Pagi itu, embun masih menggantung di dedauna...
02/12/2025

Yusi Creator

BUKU HARIAN IBU — Episode 155

“Langkah Pertama Menuju Keajaiban”

Pagi itu, embun masih menggantung di dedaunan ketika Ibu bangun lebih awal dari biasanya. Meski tubuhnya masih terasa lemah, ada semangat baru yang menyala di matanya. Hari ini adalah hari yang sudah lama dinantikan: pemeriksaan pertama setelah serangkaian terapi yang melelahkan.

Di lobi rumah sakit, Dokter Saka menyambut dengan sebuah senyuman hangat.
“Bu, kita akan lihat sejauh apa tubuh Ibu merespons. Saya merasa sangat optimis,” katanya lembut.

Ibu menggenggam tangan Mira lebih erat.
“Apa pun hasilnya… Ibu sudah sampai sejauh ini berkat kamu,” ucapnya.

Beberapa menit menunggu terasa seperti berjam-jam. Mira bolak-balik berdiri dan duduk, cemas namun mencoba tegar. Ketika akhirnya dokter keluar dengan selembar hasil di tangan, jantung Mira seakan berhenti.

Dokter Saka menarik napas dan tersenyum lebar.
“Bu… terapi menunjukkan perkembangan positif. Sel kanker mengecil lebih cepat dari perkiraan kami!”

Mira langsung menutup mulutnya, menahan tangis haru. Ibu memejamkan mata—syukur itu jatuh sebagai air mata hangat di p**inya.
“Terima kasih Tuhan…” bisiknya lirih.

Namun dokter belum selesai.
“Kita masih harus lanjutkan beberapa sesi. Perjalanan belum selesai, tapi… Ibu sudah memenangkan langkah pertama.”

Ibu mengangguk tegar. “Saya siap berjuang sampai akhir.”

Mira memeluk ibunya di lorong rumah sakit. Di tengah rasa takut yang belum sepenuhnya hilang, ada harapan yang tumbuh — lebih besar dari sebelumnya.

Di luar, angin pagi berhembus membawa secercah cahaya baru. Hari ini… doa benar-benar menemukan jalannya.





Yusi Creator 📖 BUKU HARIAN IBUEpisode 154 — Ketika Doa Menemukan Jawabannya⏱ Durasi baca: ±10 menitHujan turun lebih der...
01/12/2025

Yusi Creator

📖 BUKU HARIAN IBU

Episode 154 — Ketika Doa Menemukan Jawabannya

⏱ Durasi baca: ±10 menit

Hujan turun lebih deras dari biasanya. Di beranda rumah sakit itu, Ibu berdiri sambil memegang payung lipat yang sudah rusak di salah satu sisinya. Sinar lampu lorong memantulkan raut wajahnya yang penuh kelelahan—tapi juga ada sesuatu yang berbeda malam itu: harapan kecil yang mulai menyala.

Rina keluar dari ruang dokter, memeluk secarik kertas yang baru saja diterimanya.
“Ibu… dokter bilang kondisimu semakin membaik,” katanya dengan suara bergetar, setengah bahagia, setengah tak percaya.

Ibu tersenyum kecil—senyum yang sudah lama hilang dari wajahnya.
“Benar begitu?” suaranya pelan, seolah takut harapan itu pecah jika diucapkan terlalu keras.

Rina mengangguk cepat, matanya berkaca-kaca.
“Kalau Ibu terus minum obat dan mengikuti perawatan… dokter bilang Ibu bisa pulang dalam beberapa minggu!”

Mata Ibu perlahan memanas, bukan karena sedih—tapi karena rasa lega yang menumpuk selama ini akhirnya menemukan jalan keluar. Ia menatap putrinya, mengusap rambut Rina yang basah terkena lembab udara.

“Terima kasih, Nak… sudah bertahan sampai sejauh ini bersamaku,” ucap Ibu lirih.

Di perjalanan pulang, mereka duduk di kursi tunggu sebentar, menunggu hujan mereda.
Rina bersandar di bahu Ibu, merasakan kehangatan yang hampir hilang dalam ketakutan beberapa bulan terakhir.

“Ibu ingat?” Rina mulai bicara pelan, “Aku pernah bilang, aku nggak akan melepaskan tangan Ibu, apa pun yang terjadi.”

Ibu tersenyum lebih lebar. “Dan Ibu juga nggak akan pernah melepas tanganmu.”

Mereka saling menggenggam erat.
Dari genggaman itu, mereka saling menyampaikan janji yang tak perlu diucapkan:
Kita akan melewati semuanya, bersama.

Ketika hujan berhenti, langit malam menampakkan satu bintang yang paling terang.
Ibu menatap bintang itu dengan syukur yang dalam—untuk setiap langkah, setiap air mata, setiap doa yang akhirnya menemukan jawabannya.

Sementara Rina, meski lelah, merasa hatinya lebih ringan daripada sebelumnya. Untuk pertama kalinya ia bisa melihat masa depan di depan mata… masa depan yang masih dipenuhi tawa bersama Ibu.

Di antara kesunyian malam itu, Ibu berbisik dalam hati:
“Terima kasih, Tuhan… sudah membuka satu pintu lagi untuk kami.”





Yusi Creator BUKU HARIAN IBUEpisode 153 — Pintu yang Mulai TerbukaAku masih bisa merasakan dinginnya lantai ruang tunggu...
30/11/2025

Yusi Creator

BUKU HARIAN IBU

Episode 153 — Pintu yang Mulai Terbuka

Aku masih bisa merasakan dinginnya lantai ruang tunggu itu… seolah waktu membeku di antara kecemasan dan harapan yang saling berkejaran. Dokter belum juga keluar dari ruang operasi, dan setiap detik terasa seperti jarum yang menusuk perlahan.

Nina menggenggam tanganku lebih erat.
“Ibu kuat, kan?” tanyanya lirih.

Aku mengangguk—meski rasa takut berputar seperti badai di dadaku.

Hari ini… ayahnya Nina menjalani operasi besar.
Operasi yang menentukan apakah ia masih bisa melanjutkan hidupnya bersama kami, atau…

Aku berhenti melanjutkan pikiran itu. Tidak boleh.

Waktu berputar tanpa aba-aba.
Kursi ruang tunggu penuh, tapi entah mengapa aku merasa sendirian di tengah keramaian. Suara langkah perawat, mesin infus yang berdering dari ruang lain, dan bisikan keluarga lain yang sama gelisahnya… semua bercampur menjadi suara yang tak ingin kudengar.

Aku membuka buku harian kecilku.
Lembarannya sudah penuh dengan doa.

“Tuhan… tolong kuatkan dia.
Jangan biarkan kami kehilangan ayah untuk kedua kalinya.”

Nina menyandarkan kepala di bahuku, matanya mulai terpejam.
Kasihan… tubuh kecil itu juga menanggung beban yang seharusnya bukan miliknya.

Aku mengusap p**inya, berusaha menjaga ketenangan agar ia tetap merasa aman.

Tiba-tiba, pintu ruang operasi terbuka.

Dokter keluar, wajahnya menunjukkan kelelahan—dan sesuatu yang sulit kuterjemahkan.

Aku berdiri dengan refleks.
“S… suami saya, bagaimana keadaannya, Dok?”

Dokter menatapku beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil.

“Operasi berjalan baik. Kondisinya stabil. Tapi masa pemulihan akan panjang dan butuh kesabaran… terutama dari keluarga.”

Aku menutup mulutku dengan kedua tangan, menahan tangis bahagia.
Nina langsung memelukku erat.

“Berarti Ayah kembali, Bu?”
Suara kecil itu penuh harapan.

Aku mengangguk, air mataku menetes bebas kali ini.

“Iya, sayang… Ayah kembali.”

Setelah diperbolehkan menjenguk sebentar, kami masuk ke ruang pemulihan.
Wajahnya pucat, dipenuhi kabel dan alat bantu… tapi ia bernapas. Itu sudah cukup.

Aku menggenggam tangannya yang dingin.

“Terima kasih sudah kembali,” bisikku.

Seolah mendengar, kelopak matanya bergerak pelan. Dan untuk sesaat, aku melihat remang-remang matanya terbuka sebelum kembali terpejam.

Nina menunjuk dadanya yang naik turun.

“Ayah hidup, Bu. Ayah hidup…”

Aku mengangguk, menghapus air mata lagi.

Hari ini bukan akhir dari perjuangan.
Tapi pintu harapan… akhirnya terbuka.

Malam itu, saat aku menulis di halaman terakhir buku harian kecilku—buku yang telah menampung semua ketakutan dan doa selama ini—aku sadar:

Perjalanan kami masih panjang.
Tapi langkah kecil menuju pulang, telah dimulai.

Dan kali ini… kami tidak akan menyerah lagi.





Yusi Creator BUKU HARIAN IBU — Episode 152“Langkah Kecil Menuju Pulang”Malam itu, kamar terasa berbeda. Setelah kejadian...
29/11/2025

Yusi Creator

BUKU HARIAN IBU — Episode 152

“Langkah Kecil Menuju Pulang”

Malam itu, kamar terasa berbeda. Setelah kejadian dengan Farhan tadi, suasana hati Ibu campur aduk. Ada marah, ada sakit, tapi ada juga rasa lega karena akhirnya ia berani bicara.

Di diary-nya, tangan Ibu bergetar saat menulis…

“Aku tidak boleh terus diam. Aku harus tetap kuat… demi anak-anakku.”

Laras masuk pelan, membawa segelas susu hangat.

Laras: “Bu… minum ini ya, biar Ibu bisa tidur.”
Ibu: tersenyum tipis “Terima kasih, nak.”

Laras duduk di sampingnya.

Laras: “Ibu… kalau suatu saat kita harus pergi dari rumah ini, aku ikut Ibu. Aku nggak mau lihat Ibu terluka lagi.”

Ibu menatap putrinya. Ada kekuatan baru di sana. Meski matanya sembap, senyum Ibu muncul dari lubuk hati terdalam.

Ibu: “Yang terpenting… kamu tetap sekolah, tetap raih mimpi kamu. Ibu yang akan siapkan jalannya.”

Namun, dalam hati Ibu sadar…
Beberapa langkah kecil sudah mulai bergerak menuju kebebasan.
Mungkin belum hari ini.
Tapi sebentar lagi.

Malam semakin larut.

Ibu memeluk Laras dan berbisik:

“Suatu saat… kita akan benar-benar pulang. Ke tempat yang tidak ada lagi air mata.”

Laras mengangguk.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama…
Keduanya bisa tidur dengan rasa harapan.





Address

Jalan Sariwangi
Bandung Rejosari

Opening Hours

Monday 09:00 - 17:00
Tuesday 09:00 - 17:00
Wednesday 09:00 - 17:00
Thursday 09:00 - 17:00
Friday 09:00 - 17:00

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Yusi creator posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share