24/10/2024
Hampir setiap hari tetanggaku meminta garam. Dan ternyata alasannya membuatku nyesek.
SECUIL GARAM
________________
Mas Darman keheranan melihat sikapku yang mendadak ju tek. Tapi ia tidak berani untuk bertanya. Mungkin takut aku merepet sepanjang jalan.
Napasku terasa sesak karena memendam em osi. Menggerutu tak henti hingga sampai di rumah. Setibanya aku tidak langsung masuk, melainkan memilih duduk di serambi. Mencari angin agar tidak tambah kepanasan. Di situlah Mas Darman baru mengajakku kembali bicara, "Memangnya ada apa sih, Dek? Tadi sebelum pergi cantik bagai bidadari, kok sampai sana jadi Mak Lampir," ucapnya sambil menahan tawa.
Aku mengembuskan napas kasar. Lalu menatapnya tajam. "Mas tahu?" tanyaku yang disusul gelengannya. Aku berdecak. Bisa-bisanya ini orang masih bercanda. "Mas, aku serius ini."
"Ya udah ngomong lah. Jelaskan ...." Ia mengambil sebatang rok ok dari balik jaket, lalu mengisapnya. Kep**an asap tipis mulai mengudara menambah polusi.
"Aku lihat Joko, Mas."
"Lalu?"
Em osi ku kembali membun cah mengingatnya, "Laki-laki itu, Mas, yang anak biniknya kelaparan di rumah, sedang enak-enakan makan bakso di luaran!" ketus ku.
Mas Darman tertawa kecil, "Cuma makan bakso aja kamu ma rah segitunya, Dek? Mungkin aja dia juga mau bungkus buat anak istrinya nanti. Apalagi baru gaj ian gini."
"Ya Allah, Mas ... Kamu itu jangan kebiasaan memo tong kalau orang lagi bicara. Gak mungkin lah aku marah kalau dia cuma makan bakso. Itu 'kan hak dia. Hanya saja dia makannya dengan wanita lain. Pake acara mesra-mesraan lagi!"
"Ah, yang benar, Nur?" Mas Darman terkejut.
"Benar, Mas. Makanya aku emosi karena teringat Menik dan anak-anaknya. Sudah lah, Mas, pecat saja dia!" sungutku. Ketika itu aku dan Mas Darman mulai merasakan ada bau ubi bakar di sekitaran. Siapa yang ba kar ubi malam-malam begini?" gumamnya. Kami berdua menoleh kanan kiri tapi tidak menemukan asal bau. Yang ada hanya gelap karena desa ini memang kurang memiliki lampu jalan.
"Sudah, Mas, pecat saja dia," kataku lagi. Menghalau ba u ubi b akar yang sempat mengganggu.
"Memang keterlaluan si Joko. Berarti cerita sedihnya cuma bohong belaka. Sampai hati bilang ibunya lagi sakit. Padahal Mas udah percaya banget sampai waktu dia pinjam ua ng pun Mas kasih," ucapnya kesal. Lalu menarik dalam-dalam rok ok yang tinggal setengah batang lagi dan mengembuskannya asal. "Tapi, Dek, Mas gak bisa mecat orang seenak jidat. Buktinya gak ada. Takutnya dikira orang lain Mas yang zalim. Kenapa gak kamu foto aja tadi. Bukan langsung pergi."
Benar juga kata Mas Darman. Saking emosinya aku sampai tak bisa berpikir panjang.
"Ya itu kesalahan ku," jawabku. "Kenapa, Mas?" ku lihat Mas Darman mengusap tengk*knya dan membenarkan jaket. "Gak tau. Kok, merinding gini."
Ku perhatikan sekitar sekali lagi. Dan ternyata ada sosok berbulu besar yang ikut hadir. Hitam legam, makhluk itu berdiri di bawah pohon rambutan yang terletak di halaman rumah. Mata merahnya terlihat jelas menatap ke arah kami.
"Pantes aja bau gini," gumamku.
"Apa, Dek?" tanya Mas Darman. "Gak apa, Mas," jawabku. Susah kalau ia tahu. Bisa-bisa takut ke kamar mandi sendirian.
"Dek, balik lagi ke Joko. Kok, Mas nggak percaya dia selingkuh. Jangan-jangan itu setan yang menyamar," ucapnya sambil mengusap tengk*k.
"Mas ... Mas. Jangan kambing hitamkan se tan. Lha, wong set annya aja malas disamakan dengan dia. Perbuatannya itu ngalah-ngalahi set an, Mas!" Kata ku kesal. Entah kenapa setiap nyinggung nama Joko, emo siku meluap-luap. Tapi bentar, deh. Kok, itu setan yang nongkrong di pohon rambutan malah ngacungkan jempol. Meski k*k unya panjang dan ru ncing, tapi aku yakin itu jari jempolnya. Ooh ... Rupanya ia setuju dengan ucapan ku. Se tan aja tak sudi disamakan dengan Joko.
"Udah lah, yok, masuk. Kelamaan di luar masuk angin nanti." Mas Darman menarik tanganku.
_ _
Esok paginya ketika sedang berbelanja di warung, aku bertemu dengan Menik. Wajahnya terlihat sayu dengan mata sembab.
"Belanja, Nik?" sapa ku. "Mau masak apa?"
"Iya, Mba. A nak-an ak kepingin telur rebus." Ia tersenyum. Meski yang ku tangkap itu senyum yang dipak sakan.
"Ooh ... Gak masak ayam, Nik? Kan baru gaj ian. Maaf ya, kalau aku lancang." Iih, jiwa kepo ku meronta-ronta. Harap-harap Menik gak tersing gung.
"Gak, Mba. Kami juga harus irit. Mbah nya anak-anak sedang sakit. Jadi butuh biaya berobat."
"Oalah, Nik ... Nik. Habis kamu dikadali si Joko. Dia itu selin gkuh!" ingin rasanya aku berkata begitu. Tapi nyatanya aku hanya sanggup ngedumel di dalam hati. Karena aku tidak punya bukti.
"Oh iya ... Iya. Telur rebus pake sambal sedikit biar makin enak, Nik." Akhirnya kata-kata itu yang terucap.
"Iya, Mba." Ia kembali tersenyum getir. "Kalau begitu saya duluan, ya, Mbak. A nak-a nak gak ada yang jaga," ucapnya sambil menenteng kantong plastik kecil berisi belanjaannya.
"Iya, Nik. Silakan."
Aku nelangsa lihat nasib Menik. Padahal kelihatannya ia wanita baik dan lembut.