06/02/2025
Sangke’ano Wale
Tradisi Gotong Royong Masyarakat Katobengke dalam Memindahkan Rumah
Di tengah masyarakat Katobengke, terdapat tradisi unik yang disebut sangke’ano wale, yaitu proses gotong royong dalam mengangkat dan memindahkan sebuah rumah dari satu tempat ke tempat lain. Tradisi ini berasal dari tiga suku kata dalam bahasa Katobengke: sangke yang berarti mengangkat, ano yang menunjukkan proses pemindahan, dan wale yang berarti rumah. Namun, dalam penggunaan bahasa Katobengke, kata wale memiliki sinonim dengan kate’a, meskipun terdapat perbedaan dalam maknanya. Wale merujuk pada tempat tinggal dalam bentuk fisik, sedangkan kate’a mengacu pada tempat tinggal yang tidak berbentuk fisik tetapi memberikan kenyamanan bagi penghuninya. Contohnya, manusia memiliki wale, sementara sea (semut) dan bheka (kucing) tidak memiliki wale, tetapi mereka memiliki kate’a sebagai tempat berlindung.
Sebelum rumah diangkat dan dipindahkan, pemilik rumah beserta keluarganya melakukan berbagai persiapan. Salah satu langkah utama adalah mengumpulkan batang bambu dalam jumlah cukup banyak. Bambu ini diikatkan pada bagian bawah rumah, terutama pada kula:dhi (bagian dasar tiang rumah), agar rumah lebih stabil saat diangkat. Sebagian bambu lainnya dipotong sepanjang sekitar 50 sentimeter untuk dijadikan penopang tambahan. Selain itu, pemilik rumah mengosongkan isi rumah dengan memindahkan barang-barang ke rumah tetangga. Langkah ini bertujuan untuk meringankan beban rumah agar lebih mudah dipindahkan. Tradisi ini memperlihatkan betapa eratnya hubungan sosial dalam masyarakat Katobengke, di mana tetangga turut serta membantu dalam persiapan hingga pelaksanaan sangke’ano wale.
Setelah persiapan teknis selesai, pemilik rumah akan mengundang pandeno wale, yaitu tukang utama atau orang yang memiliki keahlian dalam pembangunan rumah. Pandeno wale memiliki peran penting dalam memastikan proses pemindahan berjalan lancar dengan membacakan doa sebelum rumah diangkat.Ia berdiri bawah rumah (na wawa) dan memberikan aba-aba kepada warga yang akan mengangkat rumah. Dengan komando yang jelas dan kerjasama yang baik, rumah diangkat secara perlahan dan hati-hati, lalu dipindahkan ke lokasi barunya. Tradisi ini membutuhkan kekuatan fisik dan koordinasi yang baik, sehingga gotong royong menjadi elemen utama dalam keberhasilannya.
Setelah rumah berhasil dipindahkan, pemilik rumah menunjukkan rasa syukur dengan mengadakan jamuan makan sederhana bagi para tamu yang telah membantu. Hidangan yang disajikan mungkin hanya makanan ala kadarnya, tetapi nilai kebersamaan dan penghormatan terhadap para peserta sangke’ano wale jauh lebih bermakna. Acara makan bersama ini bukan hanya sekadar bentuk apresiasi, tetapi juga mempererat tali persaudaraan antarwarga. Tradisi ini menjadi bukti nyata bahwa pokadhulu (semangat gotong royong) masih hidup dalam masyarakat Katobengke, di mana kebersamaan lebih diutamakan dibandingkan individualisme.
Namun, tidak semua bentuk gotong royong masih bertahan di masyarakat. Salah satu bentuk pokadhulu yang sudah mulai punah adalah pokadhulu dhewoli, yaitu kebiasaan mencabut rumput dan membersihkan ladang bersama-sama, yang dalam bahasa Katobengke disebut dhekamalu. Dahulu, gotong royong dalam bercocok tanam dan berkebun menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, tetapi kini mulai ditinggalkan karena berbagai faktor, seperti perubahan gaya hidup dan perkembangan teknologi pertanian. Meskipun demikian, tradisi sangke’ano wale masih bertahan dan menjadi salah satu warisan budaya Katobengke yang terus dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi.