09/09/2025
Terabaikan
Pagi itu, rumahku terasa sibuk sejak matahari baru naik. Suara panci dari dapur beradu dengan bunyi televisi yang menyala terlalu keras. Lantai penuh dengan mainan yang berserakan, sementara aku bergegas dari satu sudut ke sudut lain. Ada cucian yang harus segera dibilas, ada sayur yang harus segera matang, ada seragam suami dan anak yang harus disetrika.
Hari-hari seperti ini sudah menjadi rutinitas. Rasanya seolah waktuku habis hanya untuk pekerjaan rumah yang tak ada ujungnya. Dalam pikiranku, kalau aku berhenti sebentar saja, semuanya bisa berantakan.
Di tengah kesibukan itu, aku mendengar suara kecil memanggil dari arah ruang tamu.
“Bu… Bu…”
Aku menoleh sekilas. Anakku berdiri di pintu dengan wajah penuh harap. Tangannya memegang sebuah kertas gambar lusuh dengan coretan warna-warni. Garis gunung berjejer di atas, matahari bulat bersinar terang, dan ada dua orang digambar dengan tangan kaku khas anak-anak.
“Bu, aku tadi gambar di sekolah… ini aku sama Ibu lagi jalan-jalan di sawah. Mau lihat nggak?” katanya dengan mata berbinar.
Aku berhenti sejenak, lalu tersenyum tipis. “Wah, bagus Nak… taruh dulu ya di meja. Ibu masih sibuk.” Tanganku terus bekerja, menaruh sayur ke panci dan mengangkat cucian dari ember.
Ia menunduk sebentar, lalu berjalan pelan ke meja makan dan meletakkan kertas itu di atasnya. Senyum kecilnya yang tadi begitu hangat kini hilang, digantikan tatapan kosong. Aku tidak menyadarinya, pikiranku masih penuh dengan apa yang harus dikerjakan.
Waktu berjalan cepat. Aku kembali fokus menyapu, menata piring, lalu melipat cucian. Satu demi satu pekerjaan selesai, tapi aku lupa bahwa di atas meja ada sebuah gambar yang menunggu untuk diperhatikan.
Siang harinya, aku sempat melihat anakku duduk sendirian di kursi, menatap gambar yang sama. Ia tidak lagi berlari membawanya ke arahku. Ia hanya menatap, lalu menaruhnya di bawah buku catatannya.
Aku tak pernah menyangka bahwa sikapku yang sederhana itu, hanya sekadar menunda melihat gambarnya, ternyata menyisakan ruang kosong di hatinya. Baginya, itu bukan sekadar gambar. Itu adalah caranya bercerita. Itu adalah cara ia mengundangku masuk ke dunianya.
Malam tiba. Setelah semua pekerjaan selesai, aku menengok kamarnya. Ia sudah tidur dengan posisi miring, memeluk bantal kecil. Di sampingnya, kertas gambar itu terlipat rapi. Aku mengambilnya perlahan. Di sudut gambar, ada tulisan kecil dengan huruf miring: “Untuk Ibu.”
Air mataku langsung menetes. Aku menutup mulut, takut isak tangis membangunkannya.
“Ya Allah… apa aku terlalu sibuk dengan urusan rumah tangga, sampai melupakan hal kecil yang begitu berarti baginya?”
Aku duduk di samping ranjang, menatap wajah polosnya yang terlelap. Sesekali ia bergerak kecil, lalu kembali tenang. Dalam diam aku menyadari, mungkin selama ini aku hadir secara fisik, tapi tidak sepenuhnya ada untuknya.
Gambar sederhana itu bercerita banyak. Tentang keinginannya berjalan bersamaku, tentang harapannya untuk diperhatikan, tentang cintanya yang begitu besar. Tapi aku membiarkannya terabaikan.
Malam itu aku memeluk kertas gambar itu erat. Aku berjanji dalam hati: besok, aku tidak akan mengulanginya. Besok, aku akan benar-benar melihat, bukan hanya sekilas. Aku ingin menjadi pendengar pertama dan sahabat terbaiknya. Karena kalau bukan aku, siapa lagi?
Bersambung.