Nicholas Ziga

Nicholas Ziga Catatan Harian

29/11/2025

Sekolah Tidak Memberikan Jaminan, Tapi Hanya Memperbesar Kemungkinan Kesuksesan Seseorang.

23/11/2025


.

Dalam diskusi tentang pendidikan, ukuran kelas sering menjadi sorotan. Dan itu memang penting guru bukan mesin, dan ruang belajar punya batas. Tetapi ada satu hal yang jauh lebih menentukan kualitas pembelajaran: perilaku siswa di dalam kelas.

Pada kenyataannya, bukan sekadar sulit memenuhi kebutuhan 30 siswa dalam satu ruangan. Masalah yang sering terjadi adalah kehadiran satu atau dua siswa yang tidak ingin berada di sana, yang terus-menerus mengganggu proses belajar, dan pada akhirnya menghambat pembelajaran seluruh kelas.

Guru sebenarnya mampu mengelola kelas besar.
Guru bisa menata, membimbing, dan mengorganisasi murid dalam jumlah yang banyak.
Yang sulit bahkan mustahil adalah ketika di saat yang sama mereka harus:

• mengajar,
• menjaga keamanan,
• mengarahkan perilaku,
• menenangkan suasana,
• dan menurunkan eskalasi masalah secara terus-menerus,

…sementara satu atau dua siswa terus membuat suasana kelas tidak aman atau tidak kondusif.

Kita bahkan pernah melihat kasus ekstrem seorang guru ditembak oleh murid berusia 6 tahun, dan harus memperjuangkan haknya untuk diakui sebagai korban. Jika peristiwa seperti itu tidak cukup membuka mata kita tentang betapa seriusnya masalah ini, lalu apa lagi?

Sebagian besar siswa sebenarnya ingin belajar.
Sebagian besar guru ingin mengajar.
Tetapi cukup satu atau dua perilaku yang tidak terkendali untuk membuat seluruh kelas kehilangan kesempatan belajar, bahkan berpotensi membahayakan guru.

Jika kita ingin pembelajaran yang lebih baik, kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap kenyataan ini.

Ya, ukuran kelas itu penting.
Tetapi sama pentingnya adalah dukungan perilaku, batasan yang jelas, intervensi yang tepat, dan alternatif bagi siswa yang belum mampu belajar atau berperilaku aman dalam kelas tradisional.

Sekolah yang baik bukan hanya tentang ruang kelas yang rapi atau materi yang lengkap.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu:

• mendukung guru,
• menjaga keamanan,
• memberikan intervensi perilaku yang efektif,
• dan memastikan bahwa seluruh siswa termasuk yang kesulitan mendapat tempat dan pendekatan yang tepat.

Karena pendidikan yang bermakna hanya bisa terjadi di ruang yang aman, terkelola, dan manusiawi bagi semua orang di dalamnya.

14/11/2025




Sungguh disayangkan, di tengah semangat pemerintah memperbaiki kualitas pendidikan, masih saja ada pemandangan yang membuat hati miris: guru yang hadir di sekolah, tapi tidak hadir di kelas. Secara administratif mereka “hadir”, tapi secara tanggung jawab sesungguhnya—tidak.

Di ruang guru mereka tampak sibuk, ada yang mengobrol, ada yang asyik dengan gawai, bahkan ada yang mondar-mandir tanpa arah. Sementara di ruang kelas, murid-murid menunggu tanpa kejelasan. Jam pelajaran yang seharusnya dimanfaatkan untuk belajar malah terbuang percuma.

Padahal, kehadiran guru di kelas bukan sekadar kewajiban, tapi bentuk tanggung jawab moral terhadap anak-anak bangsa. Ketika guru abai terhadap jam mengajar, ada beberapa dampak serius yang bisa muncul. Mari dicek! ✨

✅1. Murid kehilangan semangat belajar.
Murid yang sudah siap belajar akan kecewa ketika guru tak datang. Lama-lama, mereka jadi terbiasa dengan “jam kosong” dan menganggap belajar itu tidak penting.

✅2. Kedisiplinan murid ikut menurun.
Sulit menuntut murid disiplin kalau gurunya sendiri tidak memberi contoh. Keteladanan jauh lebih kuat daripada perintah.

✅3. Rekan guru lain jadi terbebani.
Kadang, guru lain yang peduli harus menenangkan kelas kosong atau membantu menjaga murid yang tidak terarah. Ini membuat suasana kerja tidak sehat.

✅4. Tanggung jawab profesional diabaikan.
Gaji, tunjangan, dan penghargaan yang diterima guru sejatinya adalah amanah dari kerja nyata. Jika tidak mengajar tapi tetap menerima haknya, itu perlu direnungkan bersama.

---

Guru adalah figur teladan, bukan hanya di depan kelas, tapi juga dalam setiap sikap. Jika seorang guru hadir secara fisik tapi tidak secara tanggung jawab, maka ruh dari profesi ini perlahan memudar.

Mari kita kembalikan makna hadir di sekolah: hadir sepenuhnya — hati, waktu, dan tanggung jawab. Karena setiap menit yang kita berikan di kelas bisa menjadi bekal berharga bagi masa depan .

06/11/2025



Sistem pendidikan di banyak tempat sering kali terjebak dalam pola lama: mengutamakan hafalan daripada pemahaman. Anak-anak diajarkan untuk menjawab soal dengan benar, bukan untuk berpikir kritis. Mereka dituntut mengingat definisi, rumus, dan teori, tanpa benar-benar tahu bagaimana menerapkannya dalam kehidupan nyata.

Akibatnya, sekolah menjadi tempat mengumpulkan nilai, bukan tempat menumbuhkan makna. Mereka bisa menjelaskan isi buku pelajaran, tapi sering bingung saat dihadapkan pada persoalan nyata yang butuh pemikiran reflektif.

Tantangan terbesar pendidikan modern bukanlah menyediakan fasilitas, teknologi, atau kurikulum canggih—melainkan menumbuhkan jiwa pembelajar pada setiap individu. Dunia hari ini bergerak terlalu cepat untuk orang yang hanya bisa menghafal. Ilmu berubah, teknologi berkembang, dan kebutuhan manusia semakin kompleks. Maka, pendidikan sejati seharusnya melahirkan manusia yang mampu berpikir mandiri, mencari tahu, menguji, dan terus belajar sepanjang hidupnya. Pendidikan bukan soal menumpuk pengetahuan, tapi membentuk cara berpikir yang membuat kita tak pernah berhenti tumbuh.

menciptakan kepatuhan, pembelajaran menumbuhkan kesadaran.

Ketika pendidikan hanya menuntut hafalan, siswa belajar untuk tunduk pada kunci jawaban. Mereka lebih sibuk mencari “apa yang benar di mata guru” daripada “apa makna di balik kebenaran itu”. Ini menciptakan budaya kepatuhan tanpa kesadaran—anak-anak yang pintar mengikuti perintah, tapi tidak berani bertanya. Mereka hafal teori, tapi tidak tahu kenapa teori itu penting.

Sebaliknya, pendidikan yang menumbuhkan pembelajar sejati mengajarkan keberanian berpikir. Siswa diajak mempertanyakan, mendiskusikan, bahkan tidak setuju dengan pendapat yang ada—bukan untuk melawan, tapi untuk memahami lebih dalam. Dari sanalah muncul kesadaran: bahwa belajar bukan soal menghafal fakta, tapi memahami realitas. Pendidikan yang membebaskan bukan yang menuntut jawaban seragam, tapi yang menumbuhkan cara berpikir kritis dan sadar.

kerja tidak butuh penghafal, tapi pemecah masalah.

Banyak lulusan sekolah atau universitas yang berprestasi akademik tinggi, namun kesulitan menghadapi dunia kerja. Mereka pandai mengingat teori, tapi bingung ketika diminta membuat keputusan. Ini karena sistem pendidikan lebih menilai hafalan daripada kemampuan berpikir sistematis dan adaptif. Dunia nyata tidak memberikan soal pilihan ganda, tapi situasi kompleks yang butuh logika, kreativitas, dan empati.

Orang yang terbiasa belajar dengan rasa ingin tahu punya keunggulan besar. Ia tidak panik saat menghadapi hal baru karena terbiasa mencari cara, bukan mengandalkan hafalan. Di era di mana informasi bisa dicari di ujung jari, kemampuan mencari, memahami, dan memaknai jauh lebih penting daripada sekadar mengingat. Pendidikan sejati harus melatih daya pikir, bukan daya simpan. Karena yang bertahan bukan yang tahu paling banyak, tapi yang tahu bagaimana terus belajar.

mencari nilai, pembelajar mencari makna

Sistem nilai dan ujian sering kali membuat siswa belajar demi angka, bukan demi ilmu. Mereka mengukur keberhasilan dari nilai di rapor, bukan dari sejauh mana mereka memahami pelajaran. Ini menciptakan generasi yang cerdas di atas kertas, tapi kosong dalam makna. Nilai menjadi simbol status, bukan refleksi proses belajar yang sejati.

Sementara pembelajar sejati menilai diri dari kemajuan, bukan peringkat. Mereka tahu nilai bagus tidak selalu berarti paham, dan nilai jelek tidak berarti bodoh. Mereka mencari pengalaman yang mengubah cara berpikir, bukan hanya angka yang memuaskan ego. Pendidikan yang ideal seharusnya membantu siswa menemukan mengapa, bukan sekadar apa. Sebab ketika seseorang menemukan makna di balik ilmu, ia akan belajar bukan karena disuruh, tapi karena cinta.

sejati tidak hanya mengajar, tapi menyalakan rasa ingin tahu

Guru yang baik bukan hanya yang mampu menjelaskan pelajaran dengan jelas, tapi yang mampu membuat muridnya ingin tahu lebih. Pendidikan yang menekankan hafalan membuat guru jadi sumber informasi tunggal, sementara siswa hanya penerima pasif. Tapi pendidikan yang hidup justru membuat kelas menjadi ruang eksplorasi bersama—tempat guru dan murid sama-sama belajar.

Seorang guru sejati tahu bahwa tugasnya bukan menuangkan isi kepala ke dalam kepala murid, tapi menyalakan api keingintahuan di hati mereka. Ia tidak takut jika muridnya bertanya lebih jauh, bahkan melampaui batas buku teks. Karena ia tahu: ilmu bukan milik ruang kelas, tapi perjalanan tanpa akhir. Pendidikan sejati tidak mencetak murid yang bergantung, tapi membentuk manusia yang bisa mencari sendiri jalan pengetahuannya.

5. Masa depan dimiliki oleh mereka yang terus belajar, bukan yang merasa sudah tahu

Orang yang hanya menghafal berhenti belajar begitu pelajaran selesai. Tapi pembelajar sejati menganggap hidup itu sekolah abadi. Mereka membaca, berdialog, bereksperimen, dan tidak takut salah. Mereka tahu bahwa kebodohan bukan karena tidak tahu, tapi karena berhenti ingin tahu. Dunia akan selalu berubah, dan hanya mereka yang terus belajar yang akan tetap relevan.

Pendidikan sejati bukan persiapan menuju dunia kerja saja, tapi latihan menjadi manusia yang adaptif dan bijaksana. Maka, sekolah yang baik bukan yang mencetak banyak lulusan, tapi yang menanamkan cinta terhadap belajar. Karena begitu seseorang mencintai belajar, ia tak akan pernah berhenti tumbuh—meski tanpa disuruh, tanpa ujian, tanpa nilai. Ia belajar karena sadar: satu-satunya cara untuk tidak tertinggal adalah terus membuka diri pada pengetahuan baru.

Tantangan pendidikan hari ini bukan soal bagaimana membuat siswa mengingat lebih cepat, tapi bagaimana membuat mereka berpikir lebih dalam. Kita tidak butuh generasi penghafal yang patuh pada buku, tapi generasi pembelajar yang berani bertanya, mencoba, dan menemukan makna di balik ilmu. Pendidikan yang sejati tidak hanya menyiapkan mereka untuk menghadapi ujian sekolah, tapi ujian kehidupan.

Mungkin inilah saatnya kita mengubah arah: dari sistem yang mencetak kepatuhan menuju sistem yang menumbuhkan kesadaran. Karena bangsa tidak akan maju oleh orang yang sekadar hafal rumus, tapi oleh mereka yang tahu bagaimana belajar dari hidup. Dan pada akhirnya, pendidikan terbaik bukan yang membuatmu tahu segalanya, tapi yang membuatmu terus ingin tahu sepanjang hidupmu.

05/11/2025




"Anak Muda yang Mencuri Roti — dan Hakim yang Mengajarkan Dunia Sebuah Pelajaran"

Di ruang sidang yang penuh sesak, seorang anak muda berusia 15 tahun berdiri dengan gemetar, kepalanya tertunduk. Ia telah tertangkap mencuri — bukan uang, bukan emas — tapi sepotong roti dan keju. Ketika penjaga toko mencoba menghentikannya, ia melawan, dan dalam pergumulan itu, sebuah rak jatuh.

Hakim memandangnya dan bertanya dengan lembut, "Apakah kamu benar-benar mencuri barang-barang itu?"

"Ya, tuan," jawab anak muda itu lirih.

"Mengapa?" tanya hakim.

"Karena saya membutuhkannya," jawabnya.

"Kamu bisa membelinya," kata hakim.

"Saya tidak punya uang," jawab anak muda itu.

"Maka, tanyakan pada keluarga kamu," saran hakim.

"Saya hanya memiliki ibu, tuan... dia sakit dan tidak bekerja. Roti dan keju itu untuknya," jelas anak muda itu.

Ruang sidang menjadi sunyi. Hakim bertanya lagi, "Tidakkah kamu bekerja?"

"Saya mencuci mobil, tuan... tapi saya mengambil cuti untuk merawat ibu saya," jawab anak muda itu.

"Apakah kamu meminta bantuan kepada seseorang?" tanya hakim.

"Saya meminta-minta sejak pagi... tapi tidak ada yang membantu," jawabnya.

Hakim bersandar di kursinya. Matanya menjadi lembut, dan setelah sejenak diam, ia mulai membacakan putusannya:

"Pencurian — terutama pencurian roti — adalah kejahatan yang sangat buruk. Tapi hari ini, setiap orang di ruang sidang ini berbagi rasa bersalah atas pencurian ini — termasuk saya. Karena jika seorang anak harus mencuri makanan untuk ibunya yang sakit, maka kita sebagai masyarakat telah gagal melakukannya."

Kemudian, untuk semua yang hadir, ia mengumumkan: "Saya denda setiap orang yang hadir di sini, termasuk saya sendiri, sebesar $10 masing-masing karena membiarkan kelaparan ada di kota kita. Tidak ada yang boleh meninggalkan tempat ini sampai mereka membayar."

Ia meletakkan $10 dari kantongnya sendiri di atas meja.

"Dan," lanjut hakim, "saya menjatuhkan denda sebesar $1.000 kepada pemilik toko karena menyerahkan anak yang kelaparan kepada polisi, bukan memberinya makanan. Jika tidak dibayar dalam waktu 24 jam, pengadilan akan memerintahkan toko tersebut untuk disegel."

Ketika sidang berakhir, ruang sidang dipenuhi air mata. Anak muda itu berdiri diam — dengkurannya berhenti — menatap hakim dengan mata penuh rasa syukur dan tak percaya.

Pada hari itu, keadilan bukan hanya dijatuhkan; itu dirasakan. Karena keadilan yang sebenarnya bukan tentang menghukum yang lemah — tapi tentang memperbaiki kesalahan masyarakat.

"Peradaban tidak berkembang karena agama atau kekayaan — mereka berkembang ketika mereka memiliki kemanusiaan."

Sumber: LinkedIn

01/11/2025



Pernah nggak sih kamu merasa suasana yang awalnya harmonis tiba-tiba berubah jadi tegang hanya karena omongan seseorang? Nah, mungkin orang tersebut adalah tipe yang s**a mengadu domba. Perilaku ini sering kali tidak disadari, tapi dampaknya bisa besar, lho! Orang yang s**a mengadu domba biasanya pintar memanipulasi situasi, memanfaatkan kata-kata untuk membuat orang lain berselisih. Yuk, kenali ciri-cirinya supaya kamu lebih waspada!



Orang yang s**a mengadu domba biasanya punya kebiasaan membicarakan orang lain di belakang. Awalnya, obrolannya mungkin terdengar biasa saja, seperti sekadar gosip ringan. Namun, lama-lama, topik pembicaraannya mulai menyudutkan satu pihak dan memancing orang lain untuk ikut terlibat dalam drama tersebut. Mereka pandai membuat cerita terdengar sangat meyakinkan, sehingga kamu mungkin terjebak untuk ikut berpihak tanpa menyadarinya.



Orang yang s**a mengadu domba adalah mereka yang pintar memainkan kata-kata. Mereka tahu cara membuat satu pihak merasa marah atau kesal terhadap pihak lain, meskipun mungkin masalahnya sangat sepele. Dalam percakapan, mereka akan memotong atau menambahkan detail yang sebenarnya tidak ada, hanya untuk menciptakan konflik. Tujuannya? Supaya dua pihak yang awalnya baik-baik saja jadi saling tidak percaya.



Ini salah satu trik paling halus dari orang yang s**a mengadu domba. Mereka sering kali berpura-pura netral di depan orang lain. Saat berbicara denganmu, mereka akan tampak seolah-olah mendukung atau bersimpati pada masalah yang sedang kamu hadapi. Tapi sebenarnya, di belakang, mereka membicarakan hal yang berbeda dengan pihak lain. Mereka seperti serigala berbulu domba, berusaha tampak manis tapi sebenarnya memancing keributan dari kedua sisi.



Orang yang s**a mengadu domba juga senang membesar-besarkan masalah yang sebenarnya sepele. Hal kecil yang mungkin bisa diselesaikan dengan diskusi santai, mereka ubah menjadi masalah besar. Mereka akan terus memancing reaksi dari orang lain dengan kata-kata provokatif, membuat situasi tampak lebih parah daripada kenyataannya. Dengan cara ini, mereka berhasil membuat suasana jadi lebih panas dan tegang.



Salah satu tanda paling jelas dari orang yang s**a mengadu domba adalah ketidakkonsistenan dalam cerita mereka. Mereka cenderung memberikan versi yang berbeda-beda pada setiap orang yang mereka ajak bicara. Misalnya, mereka bercerita tentang satu kejadian kepada A dengan satu versi, dan kepada B dengan versi yang berbeda lagi. Perbedaan ini sengaja dibuat untuk memicu ketegangan antara dua pihak.



Orang yang s**a mengadu domba biasanya juga gemar menghasut. Mereka berusaha meyakinkan orang lain bahwa pihak tertentu punya niat buruk atau sedang merencanakan sesuatu yang tidak baik. Dengan cara ini, mereka menciptakan suasana curiga yang pada akhirnya membuat orang-orang di sekitarnya terjebak dalam konflik yang mereka buat sendiri.



Salah satu ciri lain dari orang yang s**a mengadu domba adalah mereka jarang sekali mau bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi. Setelah berhasil memancing konflik, mereka akan segera menghindar dan berpura-pura tidak terlibat. Bahkan, mereka mungkin berlagak bingung dan ikut merasa “terkejut” dengan masalah yang terjadi, padahal merekalah dalangnya.

Menghadapi orang yang s**a mengadu domba memang perlu kehati-hatian. Salah satu cara terbaik untuk melindungi diri adalah dengan tidak mudah percaya pada gosip atau cerita sepihak. Cobalah untuk selalu mendengarkan dua sisi cerita sebelum mengambil keputusan. Selain itu, jangan ragu untuk menjaga jarak dari orang-orang yang menunjukkan tanda-tanda ini, ya!

Semoga artikel ini membantu kamu lebih waspada terhadap orang-orang yang s**a menimbulkan konflik di sekitar kita. Ingat, menjaga kedamaian dan hubungan baik dengan orang lain jauh lebih penting daripada terjebak dalam drama yang tidak perlu.

22/10/2025
21/10/2025



Plato, dalam Republik, menyodorkan pandangan yang terasa asing bagi pendidikan modern: pendidikan bukanlah soal memasukkan pengetahuan sebanyak-banyaknya ke dalam kepala, melainkan soal membentuk jiwa. Bagi Plato, orang berpengetahuan belum tentu orang yang baik; tapi orang yang jiwanya terlatih, cenderung akan tahu bagaimana bersikap adil.

Ia memakai alegori gua untuk menjelaskan ini. Belajar bukan berarti menghafal bayangan, melainkan berani memalingkan kepala ke arah cahaya. Pendidikan sejati bukan sekadar informasi, tapi transformasi. Ia bukan soal apa yang kita ketahui, tapi siapa yang kita jadi.

Plato menolak gagasan bahwa guru adalah “pengisi botol kosong”. Menurutnya, pengetahuan tidak bisa dipaksakan seperti menuangkan air. Pendidikan adalah seni memutar jiwa—dari gelap menuju terang, dari ilusi menuju realitas. Maka, yang penting bukan apa yang ditambahkan, tetapi ke arah mana jiwa dibimbing.

Karena itu, Plato memandang pendidikan harus hati-hati sejak awal. Jiwa anak, katanya, seperti tanah lunak yang mudah ditanami benih. Puisi, musik, bahkan permainan, bisa membentuk kecenderungan moralnya. Salah arah sejak dini, hasilnya bisa menjadi warga yang bengkok.

Bagi Plato, inti pendidikan adalah harmoni. Jiwa manusia terdiri dari nafsu, semangat, dan akal. Pendidikan sejati bukan mengisi kepala dengan data, tetapi melatih akal agar mampu memimpin, semangat agar berani menjaga kebenaran, dan nafsu agar tetap terkendali. Jiwa yang seimbang inilah syarat bagi terciptanya masyarakat yang adil.

Kalau pendidikan hanya menjejalkan isi kepala, lahirlah orang pandai bicara tapi miskin kebijaksanaan. Mereka cerdik mengutak-atik kata, tapi tidak mampu menahan ambisi atau mengendalikan hawa nafsu. Inilah yang ditakuti Plato: masyarakat dipimpin oleh orang pintar tanpa bentuk jiwa yang benar.

Sebaliknya, bila pendidikan diarahkan pada pembentukan jiwa, maka pengetahuan menjadi alat, bukan tujuan. Seseorang bisa menguasai musik, matematika, atau strategi perang, tapi semua itu dipakai bukan untuk menipu atau menguasai, melainkan untuk memperkuat harmoni dalam dirinya dan dalam polis.

Pendidikan, dengan demikian, adalah proyek moral. Ia melatih manusia untuk berani menghadapi kebenaran, menolak ilusi, dan bertanggung jawab pada keadilan. Pengetahuan hanyalah cahaya yang menuntun, tetapi arah langkah ditentukan oleh bentuk jiwa.

Maka pertanyaan yang harus kita ajukan pada diri sendiri bukan: “berapa banyak yang sudah kita tahu?”, tetapi “sedalam apa jiwa kita terbentuk?” Sebab pendidikan sejati bukan menimbun isi kepala, melainkan membentuk manusia yang utuh—adil pada dirinya sendiri, dan adil bagi dunia yang ia hidupi.

17/10/2025

Wakil Presiden Gibran Rakabuming beserta jajaran Sekretariat Wakil Presiden mengucapkan:

Selamat Ulang Tahun kepada Bapak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto.

Semoga Bapak senantiasa dikaruniai kesehatan, kekuatan, dan keberkahan dalam memimpin bangsa menuju Indonesia Maju dan Berdaulat.

09/10/2025



Dulu, ijazah dianggap sebagai tiket utama menuju kesuksesan. Tapi di era digital sekarang, segalanya berubah. Banyak orang sukses bukan karena gelar akademik tinggi, melainkan karena mereka tahu cara membangun citra diri yang kuat — atau yang kita kenal sebagai personal branding.

Personal branding bukan sekadar pencitraan. Ia adalah cara kamu dikenal, dipercaya, dan diingat oleh orang lain. Di dunia yang serba kompetitif, orang tidak hanya menilai apa yang kamu tahu, tapi bagaimana kamu membawa diri, berbicara, dan menunjukkan keahlianmu kepada dunia.

Dan sering kali, nilai dari branding dirimu jauh lebih berharga daripada selembar ijazah yang hanya disimpan di laci.

1. Ijazah Menunjukkan Kamu Pernah Belajar

Personal Branding Menunjukkan Kamu Bisa Diterapkan.Ijazah membuktikan bahwa kamu telah melewati pendidikan formal, tapi personal branding membuktikan bahwa kamu bisa mempraktikkan ilmu itu di dunia nyata. Orang tidak akan peduli dari universitas mana kamu berasal jika mereka tidak tahu kemampuanmu yang sebenarnya. Personal branding memperlihatkan karya, bukan sekadar kertas. Ia menunjukkan bukti bahwa kamu bisa memberi nilai, bukan hanya nilai akademik.

2. Personal Branding Membuka Peluang yang Tidak Pernah Kamu Duga

Banyak orang berbakat tapi tidak terlihat karena mereka tidak berani menunjukkan diri. Padahal, di dunia digital, kesempatan datang kepada mereka yang berani tampil dan berbagi nilai. Ketika orang mengenalmu karena keahlian, gaya berpikir, atau karakter khasmu, pintu-pintu peluang terbuka tanpa kamu perlu mengetuk. Dengan personal branding yang kuat, kamu tidak perlu melamar terlalu banyak — kadang justru kesempatanlah yang mencari kamu.

3. Kepercayaan Lebih Bernilai daripada Gelar

Gelar bisa membuat orang terkesan di awal, tapi kepercayaan membuat mereka bertahan di sekitarmu. Personal branding yang konsisten menciptakan kredibilitas. Orang akan mempercayai ucapanmu, menghargai pendapatmu, dan mau bekerja sama karena mereka sudah tahu siapa kamu dan apa yang kamu perjuangkan. Dan dalam dunia bisnis maupun karier, kepercayaan selalu bernilai lebih tinggi daripada gelar akademik.

4. Dunia Kerja Kini Lebih Melihat Reputasi daripada Latar Belakang

Perusahaan dan klien kini mencari orang yang punya jejak digital jelas — mereka ingin tahu bagaimana kamu berpikir, berinteraksi, dan berkontribusi. Portofolio online, tulisan, video, atau konten yang kamu bagikan bisa menjadi “resume hidup” yang lebih aktual daripada selembar ijazah.
Kamu mungkin tidak sadar, tapi cara kamu hadir di dunia digital mencerminkan profesionalismemu. Dan di era ini, reputasi digital sering menjadi pertimbangan pertama sebelum siapa pun memberi kesempatan nyata.

5. Personal Branding Membuatmu Tetap Relevan Meski Dunia Berubah

Ilmu bisa usang, tapi nilai dan citra dirimu bisa terus berkembang. Personal branding membuatmu adaptif — kamu bisa terus dipercaya bahkan saat tren berubah. Kamu tidak lagi sekadar pekerja, tapi sosok dengan visi, gaya berpikir, dan karakter yang orang kenal. Inilah yang membuatmu tetap memiliki tempat, meski dunia bergerak cepat.

Di dunia yang serba terbuka ini, ijazah mungkin bisa menjadi awal, tapi personal brandinglah yang menentukan seberapa jauh kamu bisa melangkah.

Kamu tidak harus punya gelar tinggi untuk dihormati — cukup jadilah pribadi yang bernilai, berintegritas, dan berani menunjukkan kemampuanmu kepada dunia.

Sebab pada akhirnya, ijazah hanya membuktikan bahwa kamu pernah belajar,
tapi personal branding membuktikan bahwa kamu tidak pernah berhenti berkembang.

04/09/2025



Mengapa orang yang paling keras suaranya, yang paling banyak berbicara sering kali justru yang paling salah?

Pertanyaan ini menohok, tapi riset psikologi menjawabnya dengan jelas. Fenomena Dunning-Kruger menunjukkan bahwa orang dengan kemampuan rendah justru cenderung memiliki rasa percaya diri yang berlebihan, sementara mereka yang benar-benar ahli malah sering meragukan dirinya. Menurut Thinking, Fast and Slow karya Daniel Kahneman (2011), bias kognitif ini membuat penilaian diri manusia menjadi terbalik: orang yang tahu sedikit merasa tahu banyak, dan orang yang tahu banyak sadar betapa luasnya ketidaktahuan.

Di kehidupan sehari-hari, kita bisa menemukannya di ruang rapat, kelas, bahkan di media sosial. Mereka yang paling minim pengetahuan kerap berbicara dengan keyakinan penuh, sementara mereka yang benar-benar paham sering menahan diri karena menyadari kompleksitas masalah. Ini bukan sekadar ironi, melainkan efek psikologis yang nyata dan meresap ke dalam dinamika sosial kita.



Dalam The Invisible Gorilla karya Christopher Chabris dan Daniel Simons (2010), dijelaskan bahwa manusia sering melebih-lebihkan pengetahuannya. Orang mengira dirinya paham sesuatu padahal hanya sekadar memiliki potongan informasi yang dangkal. Fenomena ini membuat orang yang sebenarnya belum menguasai suatu bidang justru tampil dengan keyakinan yang berlebihan.

Contoh yang paling mudah adalah saat seseorang merasa tahu soal ekonomi hanya karena membaca satu artikel populer, lalu mendebat ekonom profesional. Ilusi pengetahuan ini bekerja karena otak menyamakan sekadar mengenal informasi dengan benar-benar memahaminya. Akibatnya, mereka yang minim wawasan justru lebih berani tampil.

Ketika kita memahami hal ini, kita jadi lebih berhati-hati dalam menilai diri sendiri. Sebab semakin luas wawasan, semakin sadar kita bahwa pengetahuan sejati membutuhkan kerendahan hati.



Dalam The Believing Brain karya Michael Shermer (2011), dijelaskan bahwa otak manusia cenderung mencari bukti yang menguatkan keyakinan, bukan yang membantahnya. Orang dengan pengetahuan terbatas sering lebih percaya diri karena hanya melihat informasi yang mendukung pandangannya.

Misalnya, seseorang yang percaya teori konspirasi kesehatan akan merasa sangat yakin hanya karena menemukan dua atau tiga sumber yang sejalan dengan keyakinannya, meski seluruh bukti ilmiah menunjukkan sebaliknya. Rasa percaya diri yang dibangun dari bias konfirmasi ini menciptakan ilusi kebenaran.

Beda halnya dengan seorang ilmuwan yang membaca data berlawanan, ia cenderung ragu dan lebih hati-hati. Rasa ragu itu bukan kelemahan, justru tanda dari pemahaman yang matang.



Dalam How We Know What Isn’t So karya Thomas Gilovich (1991), dijelaskan bahwa banyak orang gagal melakukan metakognisi, yaitu kemampuan untuk mengevaluasi cara berpikirnya sendiri. Tanpa kemampuan ini, orang sulit menyadari keterbatasannya.

Seorang mahasiswa baru mungkin merasa sudah paham filsafat setelah membaca satu buku pengantar, lalu berdebat seakan dirinya Plato modern. Padahal, jika ia memiliki metakognisi yang baik, ia akan menyadari betapa luasnya tradisi filsafat yang belum ia sentuh.

Kurangnya kesadaran diri inilah yang membuat orang bodoh terlihat sangat percaya diri, sementara orang pintar justru banyak diam karena menyadari betapa banyak yang belum diketahuinya.



Menurut The Knowledge Illusion karya Steven Sloman dan Philip Fernbach (2017), otak manusia cenderung meremehkan kompleksitas dunia. Orang mengira memahami cara kerja sesuatu hanya karena bisa menjelaskan permukaan masalah.

Contohnya sederhana: banyak orang yakin tahu cara kerja toilet atau smartphone, sampai diminta menjelaskannya detail dari awal sampai akhir. Rasa percaya diri palsu itu hilang seketika. Namun yang menarik, sebagian orang tetap tak sadar dan terus menganggap dirinya mengerti.

Orang yang benar-benar ahli justru sering terkesan ragu karena mereka memahami detail teknis yang rumit, sehingga sadar bahwa penjelasan sederhana bisa menyesatkan.



Dalam Blindspot: Hidden Biases of Good People karya Mahzarin Banaji dan Anthony Greenwald (2013), diuraikan tentang overconfidence bias, yaitu kecenderungan manusia menilai dirinya lebih pintar, lebih benar, dan lebih mampu daripada kenyataan. Orang dengan sedikit informasi cenderung menjadi korban bias ini karena tidak punya kerangka untuk menilai diri dengan akurat.

Misalnya, seseorang yang baru belajar investasi saham sebulan merasa sudah bisa menyaingi Warren Buffett. Atau pegawai baru yang baru ikut satu pelatihan merasa lebih tahu daripada senior. Rasa percaya diri berlebihan ini sering jadi bahan tertawaan di balik layar, tapi di saat bersamaan bisa berbahaya.

Sementara itu, orang yang benar-benar ahli justru cenderung menurunkan ekspektasi. Mereka lebih hati-hati karena tahu betapa rapuhnya kepastian dalam banyak bidang.



Dalam The Righteous Mind karya Jonathan Haidt (2012), dijelaskan bahwa orang dengan wawasan sempit sering melihat dunia secara hitam-putih. Pola pikir biner ini membuat mereka terlihat sangat yakin, karena tidak terbebani oleh kerumitan dan nuansa.

Contoh sehari-hari bisa dilihat dalam debat politik di media sosial. Mereka yang paling keras biasanya adalah yang paling sedikit membaca, karena baginya dunia hanya terdiri dari dua kubu. Sementara akademisi yang benar-benar meneliti topik tersebut cenderung terlihat “lembek” karena berusaha adil pada banyak faktor.

Rasa percaya diri yang lahir dari penyederhanaan berlebihan ini sangat menipu. Orang bodoh terlihat berani karena menolak melihat kerumitan yang sebenarnya.



Dalam Intellectual Humility karya Ian Church dan Peter Samuelson (2017), ditekankan bahwa orang yang benar-benar berpengetahuan cenderung memiliki intellectual humility, atau kerendahan hati intelektual. Mereka sadar betapa luasnya dunia, sehingga lebih sering berkata “saya tidak tahu”.

Hal ini bisa kita lihat pada seorang profesor yang meskipun sudah puluhan tahun meneliti, masih mengakui keterbatasannya. Berbanding terbalik dengan seorang pemula yang justru berlagak seperti pakar. Inilah paradoks Dunning-Kruger: pengetahuan sejati justru membuat orang tampak ragu, bukan penuh kepastian.

Kerendahan hati intelektual ini adalah kunci. Tanpa itu, seseorang hanya menjadi korban dari ilusi kepintaran yang rapuh.

Efek Dunning-Kruger adalah cermin sosial yang mengganggu, karena ia memperlihatkan bagaimana dunia sering kali dipimpin oleh suara paling keras, bukan yang paling benar.

Address

Belinyu

Opening Hours

Monday 07:00 - 14:00
Tuesday 07:00 - 14:00
Wednesday 07:00 - 14:00
Thursday 07:00 - 14:00
Friday 07:00 - 13:00
Saturday 07:00 - 13:00

Telephone

+62777327412

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Nicholas Ziga posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Nicholas Ziga:

Share