Nicholas Ziga

Nicholas Ziga Catatan Harian

04/09/2025



Mengapa orang yang paling keras suaranya, yang paling banyak berbicara sering kali justru yang paling salah?

Pertanyaan ini menohok, tapi riset psikologi menjawabnya dengan jelas. Fenomena Dunning-Kruger menunjukkan bahwa orang dengan kemampuan rendah justru cenderung memiliki rasa percaya diri yang berlebihan, sementara mereka yang benar-benar ahli malah sering meragukan dirinya. Menurut Thinking, Fast and Slow karya Daniel Kahneman (2011), bias kognitif ini membuat penilaian diri manusia menjadi terbalik: orang yang tahu sedikit merasa tahu banyak, dan orang yang tahu banyak sadar betapa luasnya ketidaktahuan.

Di kehidupan sehari-hari, kita bisa menemukannya di ruang rapat, kelas, bahkan di media sosial. Mereka yang paling minim pengetahuan kerap berbicara dengan keyakinan penuh, sementara mereka yang benar-benar paham sering menahan diri karena menyadari kompleksitas masalah. Ini bukan sekadar ironi, melainkan efek psikologis yang nyata dan meresap ke dalam dinamika sosial kita.



Dalam The Invisible Gorilla karya Christopher Chabris dan Daniel Simons (2010), dijelaskan bahwa manusia sering melebih-lebihkan pengetahuannya. Orang mengira dirinya paham sesuatu padahal hanya sekadar memiliki potongan informasi yang dangkal. Fenomena ini membuat orang yang sebenarnya belum menguasai suatu bidang justru tampil dengan keyakinan yang berlebihan.

Contoh yang paling mudah adalah saat seseorang merasa tahu soal ekonomi hanya karena membaca satu artikel populer, lalu mendebat ekonom profesional. Ilusi pengetahuan ini bekerja karena otak menyamakan sekadar mengenal informasi dengan benar-benar memahaminya. Akibatnya, mereka yang minim wawasan justru lebih berani tampil.

Ketika kita memahami hal ini, kita jadi lebih berhati-hati dalam menilai diri sendiri. Sebab semakin luas wawasan, semakin sadar kita bahwa pengetahuan sejati membutuhkan kerendahan hati.



Dalam The Believing Brain karya Michael Shermer (2011), dijelaskan bahwa otak manusia cenderung mencari bukti yang menguatkan keyakinan, bukan yang membantahnya. Orang dengan pengetahuan terbatas sering lebih percaya diri karena hanya melihat informasi yang mendukung pandangannya.

Misalnya, seseorang yang percaya teori konspirasi kesehatan akan merasa sangat yakin hanya karena menemukan dua atau tiga sumber yang sejalan dengan keyakinannya, meski seluruh bukti ilmiah menunjukkan sebaliknya. Rasa percaya diri yang dibangun dari bias konfirmasi ini menciptakan ilusi kebenaran.

Beda halnya dengan seorang ilmuwan yang membaca data berlawanan, ia cenderung ragu dan lebih hati-hati. Rasa ragu itu bukan kelemahan, justru tanda dari pemahaman yang matang.



Dalam How We Know What Isn’t So karya Thomas Gilovich (1991), dijelaskan bahwa banyak orang gagal melakukan metakognisi, yaitu kemampuan untuk mengevaluasi cara berpikirnya sendiri. Tanpa kemampuan ini, orang sulit menyadari keterbatasannya.

Seorang mahasiswa baru mungkin merasa sudah paham filsafat setelah membaca satu buku pengantar, lalu berdebat seakan dirinya Plato modern. Padahal, jika ia memiliki metakognisi yang baik, ia akan menyadari betapa luasnya tradisi filsafat yang belum ia sentuh.

Kurangnya kesadaran diri inilah yang membuat orang bodoh terlihat sangat percaya diri, sementara orang pintar justru banyak diam karena menyadari betapa banyak yang belum diketahuinya.



Menurut The Knowledge Illusion karya Steven Sloman dan Philip Fernbach (2017), otak manusia cenderung meremehkan kompleksitas dunia. Orang mengira memahami cara kerja sesuatu hanya karena bisa menjelaskan permukaan masalah.

Contohnya sederhana: banyak orang yakin tahu cara kerja toilet atau smartphone, sampai diminta menjelaskannya detail dari awal sampai akhir. Rasa percaya diri palsu itu hilang seketika. Namun yang menarik, sebagian orang tetap tak sadar dan terus menganggap dirinya mengerti.

Orang yang benar-benar ahli justru sering terkesan ragu karena mereka memahami detail teknis yang rumit, sehingga sadar bahwa penjelasan sederhana bisa menyesatkan.



Dalam Blindspot: Hidden Biases of Good People karya Mahzarin Banaji dan Anthony Greenwald (2013), diuraikan tentang overconfidence bias, yaitu kecenderungan manusia menilai dirinya lebih pintar, lebih benar, dan lebih mampu daripada kenyataan. Orang dengan sedikit informasi cenderung menjadi korban bias ini karena tidak punya kerangka untuk menilai diri dengan akurat.

Misalnya, seseorang yang baru belajar investasi saham sebulan merasa sudah bisa menyaingi Warren Buffett. Atau pegawai baru yang baru ikut satu pelatihan merasa lebih tahu daripada senior. Rasa percaya diri berlebihan ini sering jadi bahan tertawaan di balik layar, tapi di saat bersamaan bisa berbahaya.

Sementara itu, orang yang benar-benar ahli justru cenderung menurunkan ekspektasi. Mereka lebih hati-hati karena tahu betapa rapuhnya kepastian dalam banyak bidang.



Dalam The Righteous Mind karya Jonathan Haidt (2012), dijelaskan bahwa orang dengan wawasan sempit sering melihat dunia secara hitam-putih. Pola pikir biner ini membuat mereka terlihat sangat yakin, karena tidak terbebani oleh kerumitan dan nuansa.

Contoh sehari-hari bisa dilihat dalam debat politik di media sosial. Mereka yang paling keras biasanya adalah yang paling sedikit membaca, karena baginya dunia hanya terdiri dari dua kubu. Sementara akademisi yang benar-benar meneliti topik tersebut cenderung terlihat “lembek” karena berusaha adil pada banyak faktor.

Rasa percaya diri yang lahir dari penyederhanaan berlebihan ini sangat menipu. Orang bodoh terlihat berani karena menolak melihat kerumitan yang sebenarnya.



Dalam Intellectual Humility karya Ian Church dan Peter Samuelson (2017), ditekankan bahwa orang yang benar-benar berpengetahuan cenderung memiliki intellectual humility, atau kerendahan hati intelektual. Mereka sadar betapa luasnya dunia, sehingga lebih sering berkata “saya tidak tahu”.

Hal ini bisa kita lihat pada seorang profesor yang meskipun sudah puluhan tahun meneliti, masih mengakui keterbatasannya. Berbanding terbalik dengan seorang pemula yang justru berlagak seperti pakar. Inilah paradoks Dunning-Kruger: pengetahuan sejati justru membuat orang tampak ragu, bukan penuh kepastian.

Kerendahan hati intelektual ini adalah kunci. Tanpa itu, seseorang hanya menjadi korban dari ilusi kepintaran yang rapuh.

Efek Dunning-Kruger adalah cermin sosial yang mengganggu, karena ia memperlihatkan bagaimana dunia sering kali dipimpin oleh suara paling keras, bukan yang paling benar.

02/09/2025



Di dunia yang serba cepat dan penuh dengan berbagai kepribadian, bersikap tegas adalah kunci agar pendapatmu didengar dan batasanmu dihormati. Namun, tegas bukan berarti kasar. Ini adalah seni berkomunikasi yang bisa dipelajari. Berikut trik-triknya.

1. Ganti Kalimat Tuduhan dengan Pernyataan

"Saya" Hindari kalimat yang menyalahkan yang dimulai dengan "Kamu...". Sebaliknya, fokus pada perasaan dan kebutuhanmu. Daripada mengatakan, "Kamu selalu terlambat, tidak menghargai waktu aku!" coba ucapkan, "Aku merasa tidak dihargai ketika janji kita tidak dimulai tepat waktu. Aku butuh komitmen kita untuk bersama-sama lebih disiplin." Cara ini menyampaikan masalah tanpa membuat lawan bicara langsung bersikap defensif.

2. Gunakan Nada Suara yang Rata dan Jelas.

Nada suara adalah segalanya. Bicaralah dengan volume yang cukup, tempo yang stabil, dan nada yang datar (tidak mendesis atau meninggi seperti marah). Hindari suara yang sarkastik atau menggurui. Suara yang tenang dan jelas justru menunjukkan kontrol diri dan keyakinan, yang membuat perkataanmu lebih didengar dan dipertimbangkan.

3. Pilih Kata yang Lugas tapi Tetap Sopan.

Tegas berarti langsung ke inti permasalahan tanpa berputar-putar, tetapi tetap dengan pilihan kata yang santun. Daripada mengatakan, "Ini ide yang bodoh," coba ucapkan, "Aku lihat tantangannya di sini. Menurutku, kita perlu pertimbangkan opsi lain." Gunakan kata "tolong" dan "terima kasih" bahkan saat menolak, seperti, "Terima kasih atas tawarannya, tapi untuk kali ini saya tolak."

4. Jaga Bahasa Tubuh yang Terbuka dan Percaya Diri

Bahasa tubuhmu harus selaras dengan kata-katamu. Tatap mata lawan bicara dengan lembut (bukan melotot), posisikan bahu ke belakang, dan hindari menyilangkan tangan dengan erat di depan dada yang terkesan tertutup atau hostile. Anggukan kecil menunjukkan kamu mendengarkan. Bahasa tubuh yang percaya diri membuatmu terlihat lebih meyakinkan tanpa perlu raising your voice.

5. Katakan "Tidak" dengan Memberikan Penjelasan Singkat (Tanpa Berlebihan)

Kamu berhak mengatakan tidak tanpa harus memberikan alasan yang berlembar-lembar. Penjelasan yang terlalu panjang justru terkesakn tidak percaya diri dan mencari pembenaran. Cukup berikan alasan singkat dan jujur. "Maaf, aku tidak bisa membantu karena sudah ada prioritas lain yang harus diselesaikan." Kamu tidak perlu membohongi atau mengarang cerita.

6. Tawarkan Solusi atau Kompromi (Jika Memungkinkan)

Bersikap tegas bukan berarti kaku. Setelah menyampaikan pendapat atau penolakanmu, tunjukkan bahwa kamu masih peduli dengan hubungan tersebut dengan menawarkan alternatif. Misalnya, "Aku tidak bisa ikut nongkrong malam ini, tapi bagaimana kalau kita sarapan besok?" atau "Aku tidak setuju dengan pendekatan ini, tapi aku usulkan kita coba cara X."

7. Berlatih untuk Tidak Mengatakan "Maaf" Terlalu Sering

Banyak orang, terutama perempuan, terbiasa memulai kalimat tegas dengan kata "maaf". "Maaf, tapi..." atau "Maaf ya, aku tidak bisa." Hentikan kebiasaan ini. Kamu tidak melakukan kesalahan, jadi tidak perlu minta maaf karena memiliki pendapat atau prioritas. Mulailah kalimat langsung dengan percaya diri. Ganti "Maaf, aku terlambat" dengan "Terima kasih untuk waiting-nya."

Dengan menguasai trik-trik ini, kamu tidak hanya melatih ketegasan diri, tetapi juga membangun komunikasi yang lebih sehat, jujur, dan saling menghargai dalam pergaulan modern.

02/09/2025



Seekor singa yang lapar berkata kepada seekor rubah:

"Carikan aku makanan, atau aku akan memakanmu!"

Rubah pun pergi menemui seekor keledai dan berkata:

"Singa ingin menjadikanmu raja, ikutlah denganku."

Ketika singa melihat keledai, ia langsung menyerang dan menggigit telinganya. Namun, keledai berhasil melarikan diri sambil berkata kepada rubah:

"Kau menipuku! Singa mencoba membunuhku!"

Rubah menjawab:

"Jangan bodoh! Ia hanya mengambil telingamu supaya kau bisa memakai mahkota. Mari kita kembali."

Keledai pun merasa itu masuk akal, lalu mengikuti rubah lagi. Kali ini, singa menyerang dan menggigit ekornya! Keledai kembali melarikan diri dan berkata:

"Kau berbohong lagi! Singa memotong ekorku!"

Rubah menjawab:

"Itu agar kau bisa duduk dengan nyaman di atas takhta. Kembali denganku."

Rubah berhasil membujuk keledai untuk kembali sekali lagi. Kali ini singa langsung menangkap dan membunuhnya. Lalu ia berkata kepada rubah:

"Kerja bagus membawanya kembali. Sekarang, ambil kulitnya dan bawakan aku otak, paru-paru, hati, dan jantungnya!"

Rubah pun menguliti keledai dan memakan otaknya, lalu membawa paru-paru, hati, dan jantung kepada singa.

Singa marah dan bertanya:
"Di mana otaknya?!"

Rubah menjawab:
"Ia tidak punya otak, rajaku. Kalau ia punya, ia takkan kembali kepadamu setelah kau menyakitinya berkali-kali."

Singa terdiam sejenak dan berkata:
"Itu benar sekali."

Kecerdasan dan kecerdikan memang bisa menjadi kunci untuk bertahan hidup dan mencapai tujuan. Namun, tanpa kebaikan hati dan integritas, kecerdikan justru bisa berubah menjadi tipu daya yang merugikan orang lain. Pada akhirnya, kebodohan sering lahir dari ketidakmampuan belajar dari pengalaman seperti keledai yang berkali-kali tertipu.

30/08/2025



Disiplin sering dianggap sebagai hukuman, padahal sejatinya ia adalah fondasi kebebasan. Anak yang tidak terbiasa disiplin justru akan tumbuh dalam kekacauan: sulit fokus, malas bertanggung jawab, dan mudah menyalahkan keadaan. Sebuah studi menarik dari Walter Mischel dalam The Marshmallow Test menunjukkan, anak yang mampu menunda kepuasan memiliki peluang lebih besar untuk sukses akademik, kesehatan mental, dan stabilitas keuangan ketika dewasa. Fakta ini menegaskan bahwa disiplin bukan sekadar aturan, melainkan investasi masa depan.

Dalam keseharian, kita sering menemui orang tua yang frustrasi karena anaknya tidak mau membereskan mainan, enggan belajar tepat waktu, atau sulit bangun pagi. Banyak yang kemudian memilih jalan pintas dengan ancaman, teriakan, bahkan hukuman fisik. Padahal, pendekatan semacam ini hanya melahirkan ketaatan semu, bukan kesadaran disiplin. Disiplin sejati lahir dari pembiasaan, teladan, dan pemahaman, bukan dari rasa takut.

Berikut adalah tujuh cara mengajarkan disiplin pada anak yang lebih efektif, berakar pada penelitian psikologi perkembangan dan pengalaman para ahli pendidikan.


Dalam bukunya Parenting with Love and Logic karya Foster Cline dan Jim Fay, dijelaskan bahwa konsistensi adalah kunci dalam mendidik anak disiplin. Anak akan bingung ketika hari ini diperbolehkan menonton TV sepuasnya, tapi besok dimarahi ketika melakukan hal yang sama. Inkonistensi menciptakan kebingungan, bahkan bisa menurunkan rasa hormat anak kepada orang tua.

Misalnya, seorang anak yang dibiarkan makan camilan sebelum makan malam pada suatu hari, lalu dilarang keras di hari berikutnya, akan bertanya-tanya: sebenarnya aturan itu berlaku atau tidak? Ketika orang tua konsisten, anak belajar bahwa dunia memiliki struktur, bahwa tindakannya memiliki konsekuensi. Pola ini melatih anak menginternalisasi aturan, bukan sekadar takut pada teguran.

Dalam praktiknya, orang tua perlu menetapkan batasan yang jelas dan realistis sejak awal. Konsistensi ini membuat anak merasa aman sekaligus mengerti bahwa kebebasan mereka ada koridornya. Di titik ini, kita melihat disiplin bukan lagi pengekangan, melainkan peta jalan menuju kemandirian.


Thomas Gordon dalam Parent Effectiveness Training menekankan pentingnya konsekuensi logis, bukan hukuman. Hukuman seringkali tidak ada kaitannya dengan perilaku yang ingin diperbaiki. Misalnya, memukul anak karena ia menumpahkan susu tidak memberi pelajaran apa pun selain rasa sakit.

Konsekuensi logis berbeda. Jika anak lupa merapikan mainan, maka ia tidak bisa memainkannya esok hari. Konsekuensi ini terkait langsung dengan tindakannya, sehingga anak belajar tanggung jawab. Pola ini lebih efektif karena menumbuhkan kesadaran, bukan sekadar ketaatan yang lahir dari ketakutan.

Konsekuensi logis membantu anak memahami hubungan sebab-akibat dalam kehidupannya. Hal ini membekali mereka dengan pola pikir realistis bahwa setiap tindakan membawa dampak, dan dampak itu harus ditanggung oleh pelakunya.


Anak adalah peniru ulung, sebagaimana ditekankan dalam Social Learning Theory oleh Albert Bandura. Mereka lebih memperhatikan apa yang orang tua lakukan daripada apa yang orang tua katakan. Maka, disiplin orang tua adalah cermin bagi disiplin anak.

Orang tua yang berkata anak harus membaca, tetapi dirinya sibuk dengan ponsel, mengirim pesan kontradiktif. Anak belajar bahwa aturan hanyalah formalitas, bukan nilai yang dijalani. Sebaliknya, orang tua yang tepat waktu, konsisten bekerja, dan menjaga janji, tanpa perlu banyak bicara sudah mengajarkan makna disiplin.
Keteladanan ini membentuk otoritas moral yang tidak bisa dipalsukan. Anak akan lebih menghormati aturan ketika melihat aturan itu dijalani orang yang ia percaya.


Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence menjelaskan bahwa pengendalian diri adalah salah satu fondasi kecerdasan emosional. Anak yang mampu menunda kepuasan belajar menahan dorongan sesaat demi hasil yang lebih baik di masa depan.

Contoh sederhana adalah mengajarkan anak untuk tidak langsung membuka hadiah sebelum waktunya. Awalnya mungkin sulit, tetapi kebiasaan ini melatih otot psikologis untuk menahan diri. Seperti dalam eksperimen marshmallow, anak yang belajar menunggu tumbuh dengan kemampuan pengendalian diri yang lebih baik.
Pengendalian diri ini tidak hanya relevan untuk disiplin, tetapi juga membentuk karakter anak di masa depan. Mereka akan lebih sabar dalam belajar, mampu mengelola emosi dalam konflik, dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan.


Dalam The Whole-Brain Child karya Daniel J. Siegel dan Tina Payne Bryson, dijelaskan pentingnya memberi anak ruang untuk membuat keputusan, tetapi tetap dalam batasan yang jelas. Anak perlu belajar disiplin tanpa merasa dikekang.

Contohnya, ketika anak ingin memilih pakaian, orang tua bisa memberi dua opsi yang sama-sama sesuai. Anak merasa memiliki kendali, tetapi tetap berada dalam koridor yang ditetapkan. Cara ini menumbuhkan rasa tanggung jawab tanpa mengorbankan struktur.
Pemberian kebebasan terbatas melatih anak memahami bahwa disiplin bukan berarti kehilangan pilihan, melainkan belajar memilih dengan bijak dalam bingkai aturan yang ada. Di sinilah anak belajar bahwa kebebasan sejati justru lahir dari disiplin.


Stephen R. Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective Families menekankan bahwa komunikasi adalah jantung dari pendidikan disiplin. Anak perlu diajak berdialog, bukan sekadar diperintah.
Anak yang menolak tidur tepat waktu, misalnya, bisa diajak berdiskusi mengenai pentingnya istirahat bagi tubuh. Dengan penjelasan sederhana yang sesuai usianya, anak tidak merasa dipaksa, melainkan memahami alasan di balik aturan. Pola komunikasi seperti ini membangun rasa hormat, karena anak merasa suaranya didengar.

Dialog juga mencegah lahirnya pemberontakan diam-diam. Anak yang terbiasa diajak bicara lebih mungkin menegosiasikan aturan dengan sehat, bukan sekadar melanggarnya di belakang orang tua.


Dalam Atomic Habits James Clear menunjukkan bahwa kebiasaan kecil yang dilakukan konsisten jauh lebih berpengaruh daripada aturan besar yang jarang dijalankan. Hal ini sangat relevan dalam mendidik disiplin anak.

Rutinitas sederhana seperti bangun pada jam yang sama, merapikan tempat tidur, atau membaca sebelum tidur, perlahan membentuk pola hidup disiplin. Anak tidak merasa terbebani, karena aturan menjadi bagian alami dari kesehariannya.
Seiring waktu, rutinitas ini tertanam sebagai kebiasaan tak sadar. Anak yang terbiasa disiplin sejak kecil tidak akan merasa terpaksa ketika menghadapi aturan yang lebih kompleks di sekolah maupun masyarakat.

Di titik ini, kita melihat bahwa disiplin bukanlah topeng kepatuhan, tetapi karakter yang tumbuh dari kebiasaan sehari-hari. Dan bagi Anda yang ingin mendalami lebih jauh, ada banyak pembahasan eksklusif tentang pendidikan anak yang bisa ditemukan di logikafilsuf, khusus untuk mereka yang ingin belajar lebih dalam tanpa sekadar teori.

Disiplin bukan warisan genetik, melainkan keterampilan yang bisa ditanamkan.

Send a message to learn more

27/08/2025



Kenapa Rambut Harus Rapi, Kuku Pendek, dan Harus Berseragam?

Banyak siswa sering bertanya: “Kenapa sih rambut harus dipotong? Kenapa kuku harus pendek? Kenapa sepatu harus hitam dan wajib pakai seragam? Padahal itu tidak mengganggu pelajaran kami.”

Pertanyaan itu wajar, karena memang sekilas aturan tersebut tidak ada hubungannya dengan matematika, IPA, atau bahasa. Tetapi, kalau kita melihat lebih dalam, aturan itu justru punya peran penting dalam pendidikan.

1. Kerapian adalah Cermin Diri

Ketika seseorang tampil dengan rambut rapi, kuku bersih, dan seragam yang layak, sebenarnya ia sedang menunjukkan bagaimana ia menghargai dirinya sendiri. Orang lain pun lebih mudah menghargai kita ketika kita tampil tertib.

2. Disiplin Bukan Teori, Tapi Kebiasaan

Disiplin tidak bisa diajarkan hanya lewat kata-kata. Ia perlu dilatih lewat hal-hal sederhana: merapikan rambut, memotong kuku, memakai seragam dengan benar. Dari kebiasaan kecil inilah lahir karakter besar yang akan terbawa sampai dewasa.

3. Seragam Menyatukan, Bukan Membatasi

Seragam membuat semua siswa terlihat sama. Tidak peduli latar belakang ekonomi atau gaya hidup, di sekolah semua duduk sejajar, sama-sama belajar. Seragam adalah simbol bahwa pendidikan itu untuk semua, tanpa membedakan siapa pun.

4. Sehat, Aman, dan Nyaman

Kuku panjang bisa menyimpan kuman. Rambut terlalu panjang bisa membuat gerah atau mengganggu pandangan. Sepatu hitam yang sama memudahkan kegiatan sekolah tetap tertib. Jadi, aturan ini juga menjaga kesehatan dan kenyamanan bersama.

Aturan-aturan kecil di sekolah bukan dibuat untuk menyusahkan, tapi untuk mendidik. Pendidikan sejati bukan hanya mengisi kepala dengan ilmu, tetapi juga membentuk sikap, disiplin, dan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi, ketika kita memotong rambut, merapikan kuku, atau memakai seragam dengan benar, sebenarnya kita sedang belajar sesuatu yang lebih besar: belajar menjadi pribadi yang menghargai diri sendiri, orang lain, dan kehidupan.

25/08/2025



Kita hidup di era banjir informasi. Setiap hari, kita dihujani oleh berita hoax, opini yang bias, dan dogma yang dipaksakan. Kita mudah terjebak dalam logika yang salah, percaya pada takhayul, dan menerima begitu saja "fakta" yang sebenarnya adalah manipulasi.

Kita merasa pintar karena gelar akademik, tapi pola pikir kita masih terjajah. Kita sulit membedakan antara apa yang tampak benar dan apa yang memang benar secara logis. Inilah mentalitas terjajah yang masih bersarang di pikiran kita.

Problem ini bukan hal baru. Di era Tan Malaka, masyarakat terjebak dalam tiga penjara pemikiran: 1. Dogma agama yang fanatik
2. Filsafat mistik yang tidak ilmiah
3. Tradisi kolot yang membelenggu.

Penjara ini membuat bangsa Indonesia sulit berpikir jernih untuk melawan penjajahan.

Solusinya? Tan Malaka menawarkan sebuah pisau bedah untuk membedah segala kebenaran semu. Sebuah metode berpikir yang ia sebut "MADILOG (Materialisme, Dialektika, Logika)".

Bayangkan seorang pria yang menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pengasingan, dari satu penjara ke penjara lainnya, dari satu negara ke negara lain. Dalam kesepian dan kesulitan itulah, Tan Malaka merenung dan menulis.

Dia menulis bukan dengan kemewahan, tapi dengan keyakinan. "Madilog" ditulis dalam kondisi fisik dan materi yang serba terbatas, namun kekuatan pikirannya tak terbendung. Buku ini adalah buah dari pengalaman langsungnya melihat penderitaan rakyat dan kegagalan pergerakan nasional akibat cara berpikir yang salah.

Ini adalah buku yang ditulis dengan darah dan air mata perjuangan, bukan teori kosong di menara gading.

Membaca "Madilog" bukanlah membaca buku sejarah biasa. Ini adalah latihan mental yang menantang. Ini adalah undangan untuk membongkar semua asumsi dan membangun kembali cara kita memandang dunia.

Mengapa Anda harus meluangkan waktu untuk buku yang "berat" ini?

Karena ia menjawab pertanyaan paling mendasar: Bagaimana cara berpikir yang benar agar tidak mudah ditipu?

PENTINGNYA MEMBACA BUKU INI:

1. MELATIH OTOK KRITIS, BUKAN SEKEDAR PINTAR.

Madilog mengajarkan kita untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu (skeptis metodis). Setiap klaim harus melalui tiga tahap: "pengamatan material (fakta), analisis dialektika (menghubungkan sebab-akibat yang dinamis), dan verifikasi logika (apakah kesimpulannya valid?)." Ini adalah antivirus dari hoax dan propaganda.

2. MEMAHAMI JATI DIRI BANGSA DARI PERSPEKTIF FILSAFAT.

Sebelum banyak orang berbicara tentang identitas nasional, Tan Malaka sudah membahasnya secara filosofis. Madilog adalah upaya untuk menciptakan cara berpikir khas Indonesia yang ilmiah dan modern, tanpa tercerabut dari akar material dan realitas masyarakat Indonesia. Ini adalah fondasi intelektual bagi bangsa yang merdeka.

3. SENJATA UNTUK MELAWAN STATUS QUO

Pemikiran Madilog pada dasarnya revolusioner. Ia tidak dirancang untuk menerima keadaan, tetapi untuk mengubahnya. Dengan kemampuan analisis yang tajam, kita dapat mengidentifikasi akar ketidakadilan dan merancang strategi untuk melawannya. Buku ini mengajarkan bahwa revolusi dimulai dari revolusi cara berpikir.

Pikiran yang tidak dilatih akan mudah dijajah oleh dogma dan opini orang lain. Sudah waktunya Anda memberontak terhadap kebodohan dan mulai membekali diri dengan senjata paling berharga:cara berpikir yang benar.

20/08/2025





Banyak sistem pendidikan modern dibangun di atas model lama: mencetak individu yang patuh, teratur, dan siap memasuki dunia kerja industri. Fokusnya adalah pada keterampilan teknis, bukan pada kemampuan berpikir mandiri. Anak-anak diajari untuk mengikuti aturan, mengerjakan soal dengan jawaban tunggal, dan menghindari kesalahan—bukan untuk mempertanyakan, mengeksplorasi, atau menciptakan hal baru.

Akibatnya, kita menciptakan lulusan yang terampil secara teknis, tapi sering kali bingung ketika dihadapkan pada masalah kompleks yang membutuhkan kreativitas, empati, dan pemikiran kritis. Mereka terbiasa diarahkan, bukan mengambil arah. Padahal, di dunia yang cepat berubah, pemikir lebih dibutuhkan daripada pengikut. Pendidikan semestinya mencetak manusia yang utuh—yang tahu bagaimana belajar, bukan hanya apa yang harus dihafal.

Filosofinya menyentuh akar dari krisis pendidikan: bahwa sekolah seharusnya menjadi taman pemikiran, bukan jalur produksi. Dunia tidak butuh lebih banyak robot manusia, tapi lebih banyak manusia yang bisa melihat secara luas, berpikir secara dalam, dan bertindak secara bijak. Maka jika kita ingin menciptakan masa depan yang lebih baik, sistem pendidikan perlu diubah dari mesin pencetak pekerja menjadi ruang pengasuhan pemikir bebas.

20/08/2025



Kepemimpinan sejati lahir bukan dari dorongan untuk menguasai, tetapi dari ketulusan untuk melayani. Pemimpin yang rendah hati tidak menempatkan dirinya di atas, tetapi di tengah—siap mendengar, memahami, dan mendampingi. Ia tidak mencari keuntungan pribadi, melainkan mengutamakan kebutuhan orang lain. Dari pelayanan yang tulus inilah muncul kekuatan moral yang membuat orang mengikuti bukan karena takut, tapi karena percaya.

Kekuatan yang tumbuh dari pelayanan berbeda dari kekuasaan yang memaksa. Ia tidak bergantung pada jabatan atau otoritas, melainkan pada kepercayaan yang dibangun lewat integritas dan keteladanan. Pemimpin seperti ini tahu bahwa pengaruh terbesar muncul ketika orang merasa didengar dan dihargai. Maka yang ia lakukan bukan mendikte, tetapi memfasilitasi; bukan memerintah, tapi menggerakkan.

Filosofinya bersumber dari pandangan bahwa kepemimpinan adalah bentuk tanggung jawab, bukan hak istimewa. Seorang pemimpin sejati melihat dirinya sebagai penjaga harapan, bukan pemilik arah. Dalam kerendahan hatinya, justru tersimpan kekuatan yang lebih tahan lama: kekuatan yang tidak memudar ketika jabatan usai, karena telah meninggalkan jejak dalam hati dan hidup orang-orang yang pernah ia layani.

09/08/2025




Jepang dikenal sebagai negara dengan ketertiban dan disiplin yang tinggi, setidaknya di Asia. Namun, cara mereka membentuk karakter anak sejak dini ternyata tidak dilakukan dengan cara yang keras atau penuh tekanan.

Nilai kedisiplinan dan tanggung jawab justru mulai ditanamkan sejak dini, salah satunya melalui sistem pendidikan dasar yang fokus pada pengembangan karakter. Bukan hanya soal akademik, tapi juga menyentuh aspek psikologis dan sosial siswa.

Alih-alih diberikan pelajaran formal soal karakter, Jepang menggunakan pendekatan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, penyediaan layanan dan penanganan khusus di sekolah dan juga lingkungan keluarga.

Menerapkan intervensi yang berhati-hati Berbeda dari pendekatan disiplin yang penuh perintah dan hukuman, sekolah di Jepang justru memilih untuk tidak langsung campur tangan dalam konflik anak. Salah satu pendekatan yang kerap digunakan adalah Mimamoru atau teaching by watching.

Mimamoru membiarkan anak menyelesaikan konfliknya untuk mendorong pembelajaran lewat eksplorasi dan refleksi diri.

Meski bukan bagian resmi dari kurikulum resmi, pendekatan ini dianggap sebagai panduan implisit yang mencerminkan praktik sosial di rumah dan sekolah di Jepang. Sebuah jurnal Early Childhood Education membandingkan pendekatan disiplin di AS dan Jepang.

Jika di AS siswa cenderung diberi hukuman atau dikeluarkan dari kelas, di Jepang mereka justru dilatih menyelesaikan konflik lewat pengawasan yang sabar dan strategis.

Pengalaman menghadapi konsekuensi dari tindakannya sendiri dapat membantu anak mengembangkan pemahaman emosional yang lebih dalam, dibandingkan jika guru langsung menghentikan situasi tersebut.

Terdapat tiga jenis hal dalam pendekatan ini, antara lain intervensi minimal, tidak melakukan intervensi, dan tidak hadir dalam proses intervensi.

Intervensi minimal dilakukan untuk tetap memastikan keselamatan siswa tetap terjaga. Sementara itu, tidak melakukan intervensi dan ketidakhadiran dinilai mampu memberikan siswa kesempatan menyelesaikan konflik secara mandiri, tanpa tekanan atau arahan langsung dari orang dewasa.

Menyediakan perantara pendukung psikologis Dengan menerapkan pendekatan intervensi minimal, tak berarti Jepang abai terhadap permasalahan yang dihadapi oleh siswa.

Jepang juga menyediakan sistem pendampingan psikologis sebagai bentuk pengawasan dalam situasi tertentu. Dukungan ini berfungsi memastikan perkembangan karakter anak tetap terpantau, terutama ketika dibutuhkan intervensi yang lebih terstruktur.

Dilansir dari Ohayo Jepang KOMPAS ada empat cara yang digunakan berdasarkan jurnal “Compulsory educational mental health support system in Japan” (2020).

Pertama, Yogo Teacher atau guru UKS yang bekerja penuh waktu di sekolah Jepang.

Guru UKS umumnya akrab dengan kesehatan fisik siswa, tapi di Jepang juga berperan untuk menangani masalah psikologis. Misalnya, bagi para siswa yang menunjukkan penolakan masuk kelas, Yogo Teacher akan memberikan pendampingan untuk mendeteksi masalah psikologis yang kemungkinan dihadapi oleh para siswa.

Kedua adalah konselor sekolah.

Mereka membantu mendengarkan permasalahan siswa tanpa memberikan tekanan berlebih, baik secara fisik maupun mental. Hal ini bertujuan untuk membantu mereka terbuka terhadap masalahnya. Tak hanya siswa, konselor juga membantu guru ataupun orang tua.

Jika siswa menghadapi masalah sosial, pekerja sosial sekolah akan berperan aktif menjembatani komunikasi dengan keluarga. Mereka membantu menangani isu seperti kesulitan ekonomi dan menghubungkan keluarga dengan pelayanan kesejahteraan sosial yang sesuai.

Terakhir, Jidō Sōdanjo atau pusat konsultasi anak. Lembaga ini fokus pada perkara serius, seperti kekerasan dan penelantaran yang dihadapi oleh siswa di Jepang.

Source: Kompas

Address

Belinyu

Opening Hours

Monday 07:00 - 14:00
Tuesday 07:00 - 14:00
Wednesday 07:00 - 14:00
Thursday 07:00 - 14:00
Friday 07:00 - 13:00
Saturday 07:00 - 13:00

Telephone

+62777327412

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Nicholas Ziga posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Nicholas Ziga:

Share