GSA DAILY

GSA DAILY بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)

Di Tangan Teuku Markam Cium Soekarno Hanya Seharga Rp 100 JutaMenyebut Teuku Markam   asal Aceh masa   itu, bukan hanya ...
23/12/2025

Di Tangan Teuku Markam Cium Soekarno Hanya Seharga Rp 100 Juta

Menyebut Teuku Markam asal Aceh masa itu, bukan hanya cerita tentang sumbangan emas untuk Tugu Monas di Jakarta, tetapi ada kontribusi besar lainnya buat negara seperti dalam sekeping cerita ini. Yuk baca sampai kalimat terakhir.

Pembiayaan Operasi Ganyang Malaysia

Pada tanggal 9 Juli 1964, Presiden Soekarno mengumpulkan ratusan pengusaha , pedagang besar dan menengah di Istana Negara.
Mereka diundang untuk ikut menyumbangkan kepada pemerintah yang sedang membutuhkan dana sekitar Rp 250 juta untuk membiayai Operasi Dwikora atau dikenal “Ganyang Malaysia”.
Haji Abdul Karim Oey alias Oey Tjeng Hien , yang diminta Soekarno memimpin penggalangan dana malam itu, sehari sebelumnya sudah menyumbang Rp 75 juta.

Lalu malam itu, Agus Musin Dasaad mendonasikan Rp 100 juta, Jusuf Muda Dalam kelahiran Aceh juga menyumbangkan Rp 100 juta.
Selanjutnya Teuku Markam saudagar kaya asal Aceh pun memberikan bantuan Rp 50 juta. Disusulkan kepada undangan lainnya dengan harga yang lebih kecil.

Peluk-Cium Soekarno

Teuku Markam gatal ditangan. Pemilik PT KARKAM (Kulit Aceh Raya Kapten Markam) mendekati Oey Tjeng Hien dan berbisik:

“Pak Haji Karim, kalau saya diizinkan memeluk Presiden, maka saya kasih lagi Rp 50 juta.”

Oey meneruskan permintaan Markam kepada Soekarno. Meski sempat ditolak, akhirnya Oey berhasil bujuk Presiden.

Markam pun memeluk B**g Karno. Hadirin tertawa. Sesuai janji, Markam merogoh kocek Rp 50 juta.

Tak sampai di situ. Markam kembali menghampiri Haji Karim. Ia mengatakan akan menambahkan Rp 100 juta lagi jika diizinkan mencium Presiden Soekarno.

Oey sampaikan keinginan Markam tapi B**g Karno menolak. Namun, Oey membujuk lagi Sang Proklamator, “ apalah artinya dicium p**i sebentar, dana akan bertambah 100 juta. Itu bukan sedikit. ”
Apakah Soekarno mau dicium Teuku Markam?

Donatur Terbesar

Akhirnya, B**g Karno mau-mau saja. Teuku Markam pun mencium p**i Soekarno –dan barangkali menasbihkan ia sebagai orang Aceh pertama yang mencium Presiden Republik Indonesia.

Aksi itu disambut riuh tawa para undangan. Hingga acara selesai, total dana yang terkumpul mencapai Rp 650 juta (setara 6 Triliun lebih saat ini) melebihi target yang dibutuhkan. Dan Teuku Markam jadi donatur terbesar.

Yatim Piatu

Teuku Nyak Markam kelahiran 1925 di Seunuddon, Aceh Utara. Merupakan keturunan uleebalang (penguasa wilayah) bernama Teuku Marhaban. Ia menjadi yatim piatu semenjak berusia 9 tahun.

Saat beranjak muda, Teuku Markam yang sebelumnya hanya bersekolah di SR, menempuh pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang).

Ia tamat dengan pangkat Letnan Satu . Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara.

Karena kepiawaiannya, Markam diutus ke Bandung untuk menjadi Ajudan Jenderal TNI Gatot Soebroto.

Oleh Jenderal, Markam ditugaskan untuk menemui Sukarno ; dari situlah ia menjalin koneksi dengan Presiden.
Tahun 1957 saat diangkat Kapten (NRP 12276), Markam pulang ke Aceh.

Senjata Gantung

Karena suatu hal, Teuku Markam mengundurkan diri dari kemiliteran . Ia juga segera mendirikan PT. Karkam.

Setahun kemudian, ia berangkat ke Jakarta untuk fokus menjalani karir bisnisnya. PT Karkam dipercaya mengerjakan sejumlah proyek pemerintah.

Dari berbisnis itulah, Teuku Markam kelak dikenal sebagai pengusaha kerajaan. Ada banyak kontribusinya buat negara , selain menyumbangkan emas 28 kg untuk Tugu Monas.
Namun ketika rezim Orde Baru, Teuku Markam yang dekat dengan Soekarno memuat PKI . Banyak aset bisnisnya diambil-alih negara. Dan hidupnya berakhir tragis.[]

Sumber : Aceh Plus


Ratu Safiatuddin Menjadikan Kesultanan Aceh Darussalam Kerajaan Ramah Gender Di NusantaraBagi masyarakat Aceh, persamaan...
23/12/2025

Ratu Safiatuddin Menjadikan Kesultanan Aceh Darussalam Kerajaan Ramah Gender Di Nusantara

Bagi masyarakat Aceh, persamaan gender bukanlah hal yang baru. Kerajaan Aceh pernah dipimpin oleh 4 sultanah (ratu) yang dimulai pada masa Ratu Safiatuddin. Penasaran dengan sejarahnya? Yuk simak cerita berikut.

Sultanah Pertama

Kesultanan Aceh Darussalam memiliki suatu periode kepemimpinan perempuan (sultanah) yang dimulai pada tahun 1641 M.
Raja perempuan pertama bernama Sultanah Ratu Safiatuddin. Ia merupakan anak tertua Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang lahir dengan nama Putri Sri Alam pada tahun 1612.

Sepeninggal Iskandar Muda, Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin Sultan Iskandar Tsani yang tak lain adalah menantunya sendiri.

Pasca mangkatnya Iskandar Tsani, Kesultanan Aceh Darussalam mulai goyah karena suhu politik yang tidak menentu.
Kondisi inilah yang kemudian menempatkan Putri Sri Alam sebagai sultanah pertama Kesultanan Aceh Darussalam.

Memerintah 34 Tahun

Ketika naik takhta, Putri Sri Alam memakai gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-'Alam Syah Johan Berdaulat Zillu'llahi fi'l-'Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.
Maka untuk pertama kalinya dalam sejarah kerajaan Aceh , tampuk pimpinan wanita dipegang. Hebatnya, Ratu Safiatuddin memerintah selama 34 tahun mulai dari tahun 1641-1675 M.
Dalam perjalanan kepemimpinannya, Sultanah Ratu Safiatuddin mendapatkan banyak keberhasilan dan tantangan.

Ia mampu mempertahankan hubungan diplomasi dengan kerajaan-kerajaan lain.

Juga berhasil membuat Aceh Darussalam mengalami kemajuan pesat dalam berbagai bidang , seperti ekonomi, agama, hukum, seni dan budaya, hingga ilmu pengetahuan.

Bentuk dukungannya seperti mendirikan perpustakaan, mendukung sastrawan dan kaum intelektual mengembangkan bakatnya.
Pada masa Ratu Safiatuddin lah lahir para cendekiawan seperti Hamzah Fanshuri, Nuruddin Ar-Ranirry, dan Syeh Abdur Rauf.

Melewati Masa Sulit

Menjadi pemimpin perempuan apalagi untuk sebuah kerajaan yang sangat besar tentunya memiliki tantangan tersendiri. Begitupun dengan Sultanah Ratu Safiatuddin.
Ia juga mendapatkan pro-kontra mengacu pada hukum agama . Ada sejumlah kalangan yang tidak setuju atas naik takhtanya Ratu Safiatuddin.

Akibatnya, terjadi beberapa kali aksi pemberontakan juga upaya pengkhianatan untuk mendongkel kepemimpinannya.

Situasi bertambah pelik karena Sultanah Ratu Safiatuddin juga harus menghadapi ancaman dari luar seiring mulai menguatnya pengaruh VOC dari Belanda.
Terutama setelah Kerajaan Belanda berhasil merebut Malaka dari Portugis pada awal tahun 1641. Namun, sang ratu mampu melewati masa-masa sulit itu.

Berhasil Melahirkan Suksesor

Pada tahun 1675 M, Sultanah Ratu Safiatuddin mangkat. Tampuk pimpinan diteruskan oleh Sultanah Naqi al-Din Nur al-Alam.
Sultanah Naqi al-Din Nur al-Alam hanya memerintah 3 tahun yaitu dari tahun 1675 – 1678 M. Lalu tongkat estafet dipimpin diteruskan oleh Sultanah Zaqi al-Din Inayat Syah . Ia memerintah 10 tahun dari tahun 1678-1688 m.
Pasca Sultanah Zaqi al-Din Inayat Syah mangkat, kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultanah Kamalat Syah Zinat al-Din.

Sultanah ke-4 merupakan sultanah terakhir Kesultanan Aceh Darussalam. Ia memerintah 11 tahun dari 1688-1699.
Meskipun tidak sehebat Sultanah Safiatuddin, suksesornya ini berhasil menunjukkan emansipasi wanita dalam kerajaan Aceh itu nyata adanya.
Tidak lupa juga, seluruh proses kepemimpinan tetap berdasarkan hukum yang sesuai dengan syariat Islam.
Persamaan gender di Aceh
bukan sekedar wacana.
Di saat yang lain masih menerka-nerka,
Aceh sudah duluan menjalankannya.

Sumber : Aceh Plus


Mualem pakai kaos bergambar Gubernur GAM Sayed Adnan. Kaos yang dikenakan Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem menjad...
23/12/2025

Mualem pakai kaos bergambar Gubernur GAM Sayed Adnan.

Kaos yang dikenakan Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem menjadi sorotan saat dirinya mengunjungi daerah terdampak bencana di Kabupaten Aceh Tenggara, Sabtu (20/12/2025).

Bagaimana tidak, kaos berwarna hitam itu menampilkan foto Sayed Adnan dengan tulisan Gubernur GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di bawahnya.
Lantas siapa sebenarnya sosok Sayed Adnan?

Profil Sayed Adnan

Sayed Adnan diketahui merupakan anggota GAM, kelompok separatis yang menginginkan kemerdekaan untuk wilayah Aceh.

GAM berperang melawan pasukan pemerintah Indonesia dalam pemberontakan Aceh dari tahun 1976 hingga 2005.
Perkiraan jumlah korban tewas mencapai lebih dari 15.000 orang
Sayed Adnan terbilang bukan orang sembarangan di GAM.Namanya cukup dikenal dan memiliki jabatan tinggi.

Sayed Adnan diketahui pernah menjabat sebagai Gubernur GAM wilayah Pase.
Sayed Adnan meninggal dunia pada 16 Januari 2004 di Buket Seuntang, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara

Universitas Aceh Kampus “Tertua di Aceh” Bentukan Hasan TiroPasca Hasan Tiro menyatakan Deklarasi Kemerdekaan Aceh pada ...
23/12/2025

Universitas Aceh Kampus “Tertua di Aceh” Bentukan Hasan Tiro

Pasca Hasan Tiro menyatakan Deklarasi Kemerdekaan Aceh pada tanggal 4 Desember 1976, SDM yang dimiliki Aceh masih sangat rendah. Karena itu didirikanlah Universitas Atjeh ( Universitas Aceh ) sebagai salah satu jalan untuk menaikkan taraf SDM adalah dengan jalur pendidikan. Penasaran dengan kampus tersebut? Yuk simak sejarah berikut.

Sejarah Awal Universitas Aceh

Pada tanggal 10 September 1977, keberadaan Hasan Tiro dan rekan-rekan di Asrama Alue Puasa tercium oleh tentara Republik Indonesia.
Mereka kemudian berpindah ke Alue Kuyuen, sebelah utara lereng Gunung Halimon . Didalamnya Hasan Tiro dan para anggotanya mendirikan Universitas Atjeh.
Kampus ini didirikan tepat pada tanggal 20 September 1977 .

Tujuan utama pendirian kampus di hutan ini adalah semata-mata untuk pemantapan ideologi nasionalisme keAcehan.

Hasan Tiro juga berprinsip bahwa untuk memenangkan perang ideologi tidak bisa semata-mata menggunakan senjata.
Apalagi saat itu anggota Aceh Merdeka sangat kekurangan senjata . Oleh karena itu, penguatan ideologi sangat penting dan hanya bisa dilakukan melalui pendidikan.

Fakultas dan Dosen Universitas Aceh

Meskipun dibentuk di dalam hutan belantara di Gunung Halimon, prinsip-prinsip pendidikan kampus tetap diterapkan.
Mengapa demikian? Hal ini disebabkan para penggerak Aceh Merdeka bukanlah orang-orang konyol yang tanpa pendidikan.

Mereka rata-rata adalah mahasiswa dari kampus ternama dengan jurusan mentoreng pada masanya.

Jadi di Universitas Aceh ini dibuka Fakultas Kesehatan/Kedokteran, Administrasi Publik, Hukum, Hubungan Internasional, dan Akademi Militer.
Adapun dosen yang mengajar adalah Dr. Hasan Muhammad di Tiro, Tgk Ilyas Leubee, dr. Mukhtar Yahya Hasbi, dr. Husaini Hasan, dr. Zaini Abdullah, dr. Zubir Mahmud, dan Ir. Teuku Asnawi.

Silabus di Universitas Aceh

Di Universitas Aceh ini sama dengan universitas resmi yang ada di berbagai wilayah di Aceh lainnya. Materi-materi yang diajarkan pun hampir sama sesuai dengan fakultas masing-masing.
Mereka mengajarkan materi terkait bentuk-bentuk pemerintahan, ideologi keAcehan , Islam dan politik antar bangsa.

Ada juga materi tentang hak asasi manusia, penentuan nasib sendiri, pengadilan internasional, pendidikan kesehatan hingga terkait dengan materi perserikatan bangsa-bangsa.

Dari semua materi tersebut, ideologi ke-Acehan merupakan materi yang paling ditekankan untuk dipelajari.
Alasannya sudah pasti, karena Bangsa Aceh wajib paham dengan sejarah dan ideologi bangsanya sendiri.

Karya Ilmiah Universitas Aceh

Selama berdirinya kampus ini terdapat banyak karya tulis yang diterbitkan untuk masyarakat umum.
Beberapa buku yang pernah diterbitkan adalah Atjeh Bak Mata Donya, Demokrasi untuk Indonesia, Manifesto Politik Dunia Melayu, Harga Kebebasan, Status Hukum Acheh Berdasarkan Hukum Internasional .

Selain itu ada juga Drama Perang Aceh, leaflet dan brosur-brosur perjuangan Aceh Merdeka , kumpulan pidato Hasan Muhammad di Tiro, Kumpulan Tanya Jawab Seputar Aceh Merdeka dan buku petunjuk pertolongan pertama menghadapi situasi darurat di hutan.
Beberapa karya dari Universitas Aceh yang ditulis oleh Hasan Tiro dan Husaini Hasan . Karya-karya tersebut masih dapat dibaca hingga sekarang ini.

Mengenal Lulusan Universitas Aceh

Universitas Aceh berhasil meluluskan beberapa orang yang kemudian dikenal menjadi penggerak perjuangan di masa depan.
Mereka adalah dr. Mukhtar, dr. Husaini Hasan, dr. Zaini Abdullah, Tgk Ilyas Leubee, Ir. Teuku Asnawi Ali, Amir Ishak, dr. Zubir Mahmud, Tgk. Idris Ahmad, M. Daud Husin, dan Geuchik Uma.

Ada juga nama-nama seperti Tgk Usman Lampoh Awe, Tgk Idris Mahmud, Tgk Muhammad Mahmud, Tgk. M. Yusuf Hasan, Tgk Ilyas Tjot Plieng, Tgk Ali Daud, Tgk Daud Djanggut, Tgk Fauzi Hasbi, Yusuf Daud dan Auzai Jailaniy.

Menjadi Agen Perubahan

Para lulusan Universitas Aceh ini kemudian menjadi agen perubahan dalam masyarakat Aceh. Mereka menyebarkan paham atau ideologi ke-Acehan yang didapat dibangku kuliah.
Mereka menyampaikan materi yang diperoleh di sana kepada masyarakat ketika ada pertemuan di kampung-kampung.

Beberapa dari hasil pelajaran juga disebarkan melalui kaset-kaset kepada masyarakat.

Tujuannya agar mudah untuk didengarkan dan dipahami oleh masyarakat awam.
Dari tertanamnya kemudian ideologi ke-Acehan pun tumbuh sehingga banyak anak-anak Aceh kemudian berangkat ke luar negeri untuk latihan di Libya .[]

Sumber: Buku “ Dari Gunong Halimon ke Swedia,” Husaini Hasan, Yankataba, Jakarta : 2016, hal 97

Di salin : Aceh Plus


Tgk Abdul Jalil Cot Plieng Ulama Pertama yang Melawan Penjajah JepangJika Aceh dilawan dengan senjata, sampai mengakhiri...
23/12/2025

Tgk Abdul Jalil Cot Plieng Ulama Pertama yang Melawan Penjajah Jepang

Jika Aceh dilawan dengan senjata, sampai mengakhiri dunia pun Aceh mampu membalas dengan siapa saja. Dan kisah Tgk Abdul Jalil Cot Plieng kami turunkan dalam ACEH+Sosok kali ini. Ia salah satu ulama dan pahlawan perlawanan terhadap Jepang di Aceh.

Keturunan Ulama

Tgk Abdul Jalil lahir sekitar awal abad 20 (tahun 1900-an awal) di Desa Blang Ado Buloh , Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara.
Silsilah orang tuanya hanya disebutkan nama ibunya yang bernama Nyak Cut Buleun . Ibunya merupakan seorang guru agama yang juga masih keturunan dari seorang ulama.

Masa remaja Tgk Abdul Jalil dihabiskan dengan belajar agama. Selain itu, ia menempuh pendidikan umum di Volkschool , sekolah Belanda hingga pribumi.

Tgk Abdul Jalil mendalami ilmu agama di berbagai tempat , seperti di Beureughang, Ie Rot B**gkaih (Muara Batu), Tanjong Samalanga, Mon Geudong, Cot Plieng, dan Krueng Kale, Aceh Besar.

Memimpin Dayah

Setelah meudagang di berbagai dayah, pada tahun 1937, Tgk Abdul Jalil dipercayakan memimpin Dayah Cot Plieng, menggantikan Tgk Ahmad yang meninggal dunia.

Di bawah pimpinannya, Pesantren Dayah Cot Plieng mengalami banyak perubahan .

Tengku Abdul Jalil juga menjalin hubungan dan kerjasama dengan ulama di seluruh Aceh.

Hikayat Prang Sabi yang digaungkan sejak Perang Aceh melawan Belanda telah mengubah sikap dan sikap terhadap kolonialisme yang pada saat itu Aceh masih diduduki Belanda.

Melalui dayah inilah Tgk Abdul Jalil kemudian menyebarkan ideologi jihad melawan penjajah yang menyengsarakan rakyat.

Anti Pendudukan Jepang

Ketika Belanda menyerah pada tahun 1942, Tgk Abdul Jalil Cot Plieng tidak mudah termakan oleh propaganda yang disebarkan Jepang.
Sebaliknya, ia malah semakin anti dan benci terhadap penjajah Jepang yang menyatakan semena-mena dan sangat menyengsarakan rakyat.

Tgk Abdul Jalil justru bikin berapi-api dalam mengadakan pengajian dan menyampaikan pidato untuk melawan kebiadaban penjajah Jepang.

Sikap ini membuat awak Jepang murka. Sang Teungku Cot Plieng diwajibkan untuk menghadap , namun panggilan itu tidak pernah dipenuhinya.

Kejadian ini berlangsung sekitar Juli 1942 saat Tgk Abdul Jalil sedang memimpin pengajian yang dihadiri 400 pengikutnya.

Puncak Perlawanan

Tgk Abdul Jalil Cot Plieng yang mengabaikan panggilan membuat Jepang menugaskan seorang polisi Jepang bernama Hayashi untuk menjemputnya di Dayah Cot Plieng.

Alih-alih membawa Tgk Abdul Jalil, Hayashi sendiri mendapatkan luka setelah ditikam dengan tombak oleh jamaah Tgk Abdul Jalil.

Akibat kejadian itu, pada tanggal 7 November 1942 , Jepang menyerang komplek dayah dan membakar bangunan di sana serta masjid.

Syukurnya, dalam penyergapan ini, Tgk Abdul Jalil berhasil lolos dan mundur ke Masjid Paya Kambok di Kecamatan Meurah Mulia.
Perang ini merupakan perang pertama di Nusantara dalam rangka mengusir penjajah Jepang.

Syahid di Medan Laga

Pasca lolosnya dari penyergapan, tentara Jepang semakin mengetatkan parameter untuk menangkap Tgk Abdul Jalil Cot Plieng.

Hingga akhirnya pada tanggal 10 November 1942 , setelah shalat Jumat, lokasi Tgk Abdul Jalil diketahui oleh Jepang. Mereka pun terlibat pertempuran sengit.

Pertempuran tak seimbang itu berhasil memenangkan Jepang . Tgk Abdul Jalil kalah jumlah pasukan maupun persenjataan.

Tgk Abdul Jalil Cot Plieng menghembuskan nafas terakhir pada pukul 18.00 sore. Diketahui sejumlah 109 pengikutnya juga gugur dalam pertempuran ini.

Setelah pertempuran selesai, jenazah Tengku Abdul Jalil dibawa ke Dayah Cot Plieng dan dimakamkan di sana.

Nippon Cahaya Asia
Nippon Pelindung Asia
Nippon Pemimpin Asia
Hancurkan Nippon dari Aceh Mulia


Surat Hasan Tiro kepada PM Ali Sastroamidjojo Untuk Hentikan Kekerasan di AcehSurat Hasan Tiro ini berkaitan erat dengan...
22/12/2025

Surat Hasan Tiro kepada PM Ali Sastroamidjojo Untuk Hentikan Kekerasan di Aceh

Surat Hasan Tiro ini berkaitan erat dengan Peristiwa Pulot Cot Jeumpa di Aceh yang terjadi pada tahun 1955 (atau 1954?). Suatu peristiwa pendarahan yang mencapai ketegangan luar biasa secara nasional dan internasional karena telah menewaskan puluhan korban sipil oleh Tentara Indonesia.

Berita tentang kematian tersebut menyebar luas hingga ke telinga Hasan Tiro di Amerika . Ia pun mengirimkan surat kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo untuk menghentikan kekerasan di Aceh dan di Indonesia pada umumnya. Berikut suratnya.

Surat Hasan Tiro

New York, 1 September 1954
Kepada

Tuan Menteri Ali Sastroamidjojo
Di Jakarta

Dengan Hormat
Sampai hari ini sudah lebih dari setahun lamanya Tuan memegang kendali pemerintahan atas tanah air bangsa kita ….
Tuan tidak mempergunakan kekuasaan yang telah diletakan di tangan Tuan itu untuk membawa kesejahteraan, perdamaian, keamanan, keadilan dan persatuan di kalangan bangsa Indonesia.

Sebaliknya Tuan telah dan sedang menyeret bangsa Indonesia ke lembah keruntuhan ekonomi dan politik, kemelaratan, perpecahan, dan perang saudara.

Belum pernah selama dunia berkembang, meskipun di masa penjajahan, rakyat Indonesia dipaksa membunuh antara sesama saudaranya secara begitu meluas sekali sebagaimana sekarang sedang Tuan paksakan di Aceh, di Jawa Barat, di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di Sulawesi Tengah dan di Kalimantan.

Surat Hasan Tiro

Dan Tuan mengatakan bahwa Tuan telah memperbuat semua ini atas nama persatuan nasional dan patriotisme.

Rasanya tidak ada suatu contoh yang lebih tepat dari pepatah yang mengatakan bahwa patriotisme itu adalah tempat perlindungan terakhir bagi seorang penjahat.

Sampai hari ini sembilan tahun setelah tercapainya kemerdekaan bangsa, sebagian besar bumi Indonesia masih terus digenangi darah dan air mata…. yang semuanya terjadi karena Tuan ingin melakukan pembunuhan terhadap lawan-lawan politik Tuan.
Seluruh rakyat Indonesia menghendaki dilarangnya pertumpahan darah yang maha kejam ini….

Surat Hasan Tiro

Orang yang menghadapi Indonesia tidak bisa memecahkannya, tetapi Tuanlah yang mencoba membuat sukar.
Sebenarnya jika Tuan mengambil keputusan untuk menyelesaikan pertikaian politik ini dengan jalan yang seharusnya, yaitu perundingan, maka besok hari juga keamanan dan ketentraman akan mencakup seluruh tanah air kita.

Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia, saya menyarankan Tuan mengambil tindakan berikut:

Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan.

Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan.

Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureu’eh, SM Kartosoewirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar.

Surat Hasan Tiro

Jika sampai pada tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Tuan, maka untuk menolong miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menjadi korban keganasan kekejaman agresi yang Tuan kobarkan, saya dan putra-putri Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan berikut:

Kami akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi “Republik Islam Indonesia” di seluruh dunia, termasuk PBB, benua Amerika, Eropa, Asia dan seluruh negara-negara Islam.

Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang skala kekejaman, pembunuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Human Rights yang telah dilakukan oleh rezim Komunis Fasis Tuan terhadap rakyat Aceh. Biarlah forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan di dunia sejak jamannya Hulagu dan Jengiz Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan komisi ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi saksi.

Kami akan menuntut rezim Tuan di muka PBB atas kejahatan genosida yang sedang Tuan lakukan terhadap suku bangsa Aceh.

Kami akan membawa ke hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan oleh rezim Tuan terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan.

Kami akan mengusahakan pengakuan dunia Internasional terhadap “Republik Islam Indonesia” yang sekarang de facto menguasai Aceh, sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.

Kami akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi internasional terhadap rezim tuan dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi dari PBB, Amerika Serikat dan Colombo Plan.

Kami akan mengusahakan bantuan moral dan material buat “Republik Islam Indonesia” dalam perjuangannya menghapus rezim teror Tuan dari Indonesia.

Dengan demikian, terserah kepada Tuanlah, apakah kita akan menyelesaikan pertikaian politik ini secara antara kita atau sebaliknya. Tuan dapat memilih tetapi kami tidak!

Apakah tindakan-tindakan yang saya ambil ini untuk kepentingan bangsa Indonesia atau tidak, bukanlah hak tuan untuk menentukannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala dan 80 juta rakyat Indonesia lah yang akan menjadi Hakim, yang ke tengah-tengah mereka saya akan kembali di dunia, dan keribaan-Nya saya akan kembali di kemudian hari.

Hasan Muhammad Tiro.

Surat Hasan Tiro

Demikian isi Surat Hasan Tiro kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo untuk menghentikan kekerasan di Aceh dan di Indonesia umumnya.
Dalam sumber yang AcehPlus kutip, buku Darul Islam di Aceh: Analisis Sosial-Politik
Pemberontakan Regional di Indonesia, 1953-1964, (Unimal Press: Lhokseumawe, 2008, hal, 256.), tanggal surat Hasan Tiro adalah 1 September 1954 sedangkan terjadinya peristiwa Pulot Cot Jeumpa adalah di awal tahun 1955.
Namun runutan peristiwa sehingga hadir surat dari Hasan Tiro kepada PM Ali Sastroamidjojo adalah imbas dari Peristiwa Pulot Cot Jeumpa . Akhirnya, perlu ada ikhitiar lebih lanjut untuk meluruskan tanggal surat dan peristiwa ini.

Sumber:
Muhammad Yunus Al Ikram, “Konsep Nasionalisme Keacehan Dalam Cita-Cita Hasan Tiro”, Skripsi UIN Ar-Raniry: 2020, halaman 27.
Ti Aisyah, Subhani, Al Chaidar, “Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964.” Unimal Press, Lhokseumawe: 2008, hal. 256.


8 Tokoh ini Layak Jadi Pahlawan Nasional asal AcehIni 8 tokoh pejuang Aceh lintas generasi yang menurut Tim AcehPlus san...
22/12/2025

8 Tokoh ini Layak Jadi Pahlawan Nasional asal Aceh

Ini 8 tokoh pejuang Aceh lintas generasi yang menurut Tim AcehPlus sangat layak dianggap sebagai Pahlawan Nasional asal Aceh berikutnya. Simak kisah heroik mereka sampai tuntas.
1. Sultan Malikussaleh

Kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara, sekaligus menjadikan raja pertamanya, Sultan Malikussaleh sebagai sultan Islam pertama di Indonesia.

Meurah Silu (namanya sebelum jadi sultan) “diangkat” oleh Nazimuddin al-Kamil sang penggagas Kerajaan Samudera Pasai atas titah Kesultanan Mamluk di Kairo . Meurah Silu diberi gelar Sultan Malik as-Saleh atau Sultan Malikussaleh. Dia berkuasa dari 1267-1297 Masehi, dengan pusat kerajaan di wilayah Pasai (Aceh: Pasè), wilayah Aceh Utara sekarang.
Kerajaan Samudera Pasai menjadikan Islam sebagai konstitusi negara, sehingga dapat melakukan Islamisasi secara besar-besaran di wilayah ujung utara Sumatera.

Sultan Malikussaleh menyebarkan Islam selain melalui jalur kekuasaan, juga menggunakan jalur pernikahan. Ia sendiri menikahi Putri Gangga, putri Raja Perlak.

Selain itu, Sultan Malikussaleh membuka kran perdagangan global melalui jalur Selat Malaka. Letaknya yang strategis, kemudian membuat Samudera Pasai terus berkembang menjadi kerajaan maritim dan pusat perdagangan besar . Kecuali itu, Sultan Malikussaleh berhasil menjadikan Kerajaan Samudera Pasai sebagai sentrum penyebaran Islam di Nusantara.

2. Syeikh Abdurrauf As-Singkili

Nama lengkapnya Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Lahir pada tahun 1615 M di Singkil, Aceh. Ayahnya, Syekh Ali Fansuri, masih bersaudara dengan Syekh Hamzah Fansuri.

Abdurrauf as-Singkili sempat menimba ilmu bertahun-tahun pada sejumlah ulama di Arab. Karena ilmunya yang luas, ia dipercaya Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675 M) untuk memimpin Qadhi Malik al-'Adil –mufti Kerajaan Aceh Darussalam yang bertanggung jawab urusan keagamaan.

Ulama pertama yang memperkenalkan Tarekat Syattariyah di Indonesia ini terkenal juga dengan nama Teungku Syiah Kuala , terutama setelah ia mendirikan dayah di daerah Syiah Kuala, Banda Aceh. Syeikh Abdurrauf As-Singkili memiliki lebih dari 30 karya tulis.

Karyanya Tarjuman Al-Mustafid diakui sebagai kitab tafsir pertama di Indonesia yang berbahasa Melayu. Kitab tafsir ini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu.

Juga menjadi “karya pusaka” berharga bagi telaah tafsir Al Quran dan memajukan pemahaman tentang ajaran-ajaran Islam. Teungku Syiah Kuala juga dikenal sebagai gurunya para ulama di Nusantara. Beliau meninggal dunia pada tahun 1693 M. Namanya ditabalkan pada Universitas Syiah Kuala.

3. Tgk Chik Pante Kulu

Teungku Chik Pante Kulu lahir pada tahun 1836 M di Gampong Pante Kulu, Kecamatan Titeue, Kabupaten Pidie. Nama aslinya Muhammad. Kemudian hari diberikan laqab Teungku Chik Haji Muhammad di Pante Kulu atau populer Tgk Chik Pante Kulu.

Ulama besar Aceh terkenal atas jasanya menciptakan karya sastra fenomenal Hikayat Prang Sabi. Syair-syair berisi ajakan untuk jihad fi sabilillah. Tgk Chik Pante Kulu mengarang H ikayat Prang Sabi dalam perjalanan pulang dari menuntut ilmu di Arab. Di dalam kapal, ia menuliskan syair-syair yang terinspirasi dari syair-syair Hassan bin Tsabit dalam mengobarkan semangat jihad kaum muslimin pada zaman Rasulullah .

Setiba di Aceh, ia langsung menjumpai Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman yang sedang memimpin perang jihad rakyat Aceh melawan Belanda.

Sejak awal, Hikayat Prang Sabi kemudian dibacakan untuk pejuang dan masyarakat Aceh.

Pejuang Aceh pun bagai dirasuki kekuatan gaib untuk pergi berperang, sehingga membuat serdadu Belanda kocar-kacir. Hikayat Prang Sabi kemudian diakui sebagai salah satu puisi terhebat di dunia dalam membangkitkan semangat juang rakyat melawan penjajah.

4. Panglima T Nyak Makam

Teuku Nyak Makam lahir di Lamnga, Mukim XXVI, Aceh Besar, sekitar tahun 1838. Ia mulai menggambar sejak berusia belasan tahun. Puncaknya pada tahun 1858, ia ditunjuk sebagai asisten Tuanku Hasyim Banta Muda , Timbalan (Raja Muda) Sultan Aceh untuk wilayah-wilayah Aceh Timur, Langkat, Deli Serdang.
Ia sangat piawai dalam kepemimpinan dan strategi militer . Atas prestasinya, pada tahun 1885, ia diangkat menjadi “Mudabbirusyarqiah” yaitu penegak hukum Aceh di bagian Timur dan sekaligus Panglima Mandala Kerajaan Aceh di Sumatera Timur dan Aceh Timur.

Selama sekitar 40 tahun memimpin perlawanan rakyat Aceh melawan kompeni Belanda, Panglima Teuku Nyak Makam mampu mengobrak-abrik upaya Belanda menguasai Aceh. Ia menjadi panglima yang sangat diburu Belanda.

Hingga akhirnya pada tanggal 21 Juli 1896 malam, ribuan marsose Belanda menangkap Nyak Makam yang sedang terbaring sakit parah di rumahnya.

Saking bencinya, panglima perang Belanda saat itu memenggal kepala Nyak Makam untuk dipertontonkan ke warga Aceh. Jasad Nyak Makam dikebumikan tanpa kepala di Lamnga dan keberadaan tubuhnya sampai kini belum diketahui secara pasti.

5. Panglima Raja Lelo

Nama asli dari Panglimo Rajo Lelo IV adalah Ibnu Wantaser, lahir di Pung Besei, Kampung Sapik, Kecamatan Kluet Timur, Aceh Selatan, tahun 1864. Ia keturunan dari Wannamid bin Wan Andun dan Sanniati binti Barlam. Dia diangkat menjadi panglima oleh Raja Kluet Keujruen Mukmin pada tahun 1913, menggantikan abangnya, Abdul Malik (Panglimo Rajo Lelo III). Saat itulah namanya bergelar menjadi Panglimo Rajo Lelo IV.

Panglimo Rajo Lelo IV memimpin melawan warga penjajahan Belanda. Ia seangkatan dengan komandan perang di wilayah Aceh Selatan lainnya, Teuku Raja Angkasah dan Teuku Cut Ali , yang duluan syahid di tangan Belanda.
Ketika Belanda semakin menjadi-jadi menjajah warga, Panglimo Rajo Lelo IV dan pasukannya tergerak untuk menghabisi panglima perang Belanda di wilayah itu , yakni Kapten J Paris. Terjadilah peristiwa Perang Kelulum pada tanggal 3 April 1926 (20 Ramadhan 1346 H) di Kampung Sapik, Kluet Timur.

Panglimo Rajo Lelo IV bersama 20 pasukannya dengan senjata pedang melawan 23 serdadu Belanda yang dipimpin Kapten J Paris dengan kekuatan senjata api.

Alhasil, Panglimo Rajo Lelo IV berhasil membunuh Kapten J Paris dengan memotong kemaluannya , sebelum ia sendiri syahid di tangan marsose. Kejadian ini kemudian membangkitkan semangat masyarakat Kluet lainnya untuk berjuang mempertahankan daerahnya dari jajahan Belanda.

6. Pocut Meurah Intan

Pocut Meurah Intan lahir pada tahun 1833 di Biheue, sebuah wilayah dalam Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Ayahnya Keujruen Biheue, sehingga Pocut Meurah Intan juga dipanggil Pocut di Biheue. Ia bersama suami Tuanku Abdul Majid gigih melawan Belanda di Selat Malaka sekitar Laweung dan Batee. Namun suaminya itu belakangan menyerah pada marsose. Ia pun memilih bercerai.

Pocut Meurah Intan melanjutkan perjuangan bersama tiga putra dari hasil pernikahan dengan Tuanku Abdul Majid, yaitu Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin.
Putra ketiga Pocut Meurah Intan dengan gagah berani berjuang melawan Belanda. Namun Tuanku Muhammad Batee tertangkap dan dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara, tahun 1900.

Pocut Meurah Intan sendiri tertangkap saat melawan 18 orang marsose sendirian dalam sebuah pertempuran di Pidie pada 11 November 1902.

Ia sempat dipenjara di Kutaraja bersama putra Tuanku Budiman yang juga ditangkap sebelumnya. Sementara itu Tuanku Nurdin tetap melanjutkan perlawanan dan pemimpin pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kalee, hingga ia juga tertangkap.
Pejuang yang dijuluki Singa Betina oleh Belanda ini pun dibuang ke Blora , Pulau Jawa, pada 6 Mei 1905 bersama kedua anak dan seorang kerabat Sultan. Ia wafat pada tanggal 19 September 1937 di Blora dan dimakamkan di sana.

7. Aman Dimot

Abu Bakar Aman Dimot salah satu pejuang dari Gayo yang berjuang mempertahankan Kemerdekaan RI di Aceh Tengah hingga ke Tanah Karo. Abu Bakar lahir di Tenamak Kec. Linge Isaq tahun 1920.
Pada 25 Mei – 10 Juli 1945, Aman Dimot mengikuti latihan militer yang digelar Dewan Perjuangan Rakyat (DPR) di Takengon dipimpin oleh Moede Sedang, dibor oleh Nataroeddin, Komandan Kompi 16 Tentara Republik Indonesia. Lalu pada bulan September 1945, ia bergabung dengan Laskar Barisan Berani Mati . Kemudian bergabung dalam Laskar Mujahidin dan Barisan Gurilla Rakyat (Bagura) pimpinan Tgk Ilyas Leube.

Ketika masa perang agresi Belanda dimulai, Abu Bakar berjuang hingga ke Sumatera Timur.
Pada tanggal 30 Juli 1949, di sekitar Tanah Karo, Sumatera Utara, 45 pasukan Bagura dan Mujahidin menyerbu tank iring-iringan dan 25 truk Belanda. Marsoses kalang-kabut.

Ketika kekuatan pasukan Belanda bertambah, Tgk Ilyas Leube memerintah anak buahnya mundur. Tapi Aman Dimot dan dua temannya melanjutkan perjuangana n hingga gugur. Akhirnya, ia tinggal sendiri menghadapi Marsose.

Belanda bingung karena Abu Bakar dikenal dengan kebal peluru dan senjata tajam . Pun begitu, Aman Dimot ditangkap saat kelelahan.

Belanda menggranat mulut lalu menggilas dengan tank hingga ia syahid. Saat itu jasadnya dikebumikan di lokasi itu, sebelum dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kabanjahe.

8. T. Abdul Hamid Azwar

Teuku Abdul Hamid Azwar adalah tokoh pejuang kemerdekaan RI asal Bireuen. Ia berjiwa pebisnis, politikus, dan pendiri Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam dunia militer, ia ahli strategi dan logistik . Lahir di Kutaraja, 23 Oktober 1916, dari pasangan Teuku Chik Muhammad Ali Basyah dan Cut Nyak Hajjah Ummi Kalsum dari Meuraxa, Banda Aceh.

Ia aktif dalam pasukan militer Jepang ketika Indonesia belum merdeka. Pasca kemerdekaan, ia langsung mendirikan Angkatan Perang Indonesia (API) bersama Syamaun Gaharu. API kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) lalu Tentara Republik Indonesia hingga resmi menjadi TNI.

T Abdul Hamid Azwar kemudian menjabat Kepala Staf Divisi V Aceh. Perannya paling fenomenal terjadi pada tanggal 26 November 1945 saat ia berhasil menghancurkan 1 batalyon tentara Jepang yang berjumlah 1.000 orang di Krueng Panjoe. Lalu ia diangkat menjadi Kepala Staf SK 2A Komandan Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi.

Pada tahun 1947, ia mendirikan Central Trading Corporation (CTC) untuk mengusahakan perlengkapan logistik dan senjata tentara Indonesia. Salah satu sumbangannya adalah kapal bernomor registrasi PBB 58 LB kepada ALRI.

T Abdul Hamid juga menyumbangkan emas untuk pembelian pesawat Avro Anson RI 003 (pesawat ini dibeli sebelum pembelian pesawat Dakota hasil sumbangan orang Aceh).

Di luar itu, ia juga menggagas pendirian Gedung Sarinah Jakarta sebagai pusat perdagangan pertama di Indonesia. Ia meninggal pada 7 Oktober 1996 dan dimakamkan di Pemakaman Tanah Kusir Jakarta.[]

Sumber : Aceh Plus

Address

Beureunun
24173

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when GSA DAILY posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share