08/09/2025
Bus Malam Menuju Takdir
Hujan rintik menemani malam ketika Dina naik ke bus antarkota yang akan membawanya pulang setelah selesai urusan kerja di kota. Kursi agak sepi, hanya beberapa penumpang yang tampak sibuk dengan dunia masing-masing. Dina duduk di dekat jendela, berharap bisa memejamkan mata selama perjalanan.
Tak lama, seorang pemuda dengan koper hitam naik dan duduk di kursi sebelahnya. Senyumnya singkat, sopan, sebelum ia merapikan jaket dan menyandarkan kepala. Dina merasa kikuk, tapi entah kenapa suasananya hangat.
“Perjalanan jauh, ya?” tanya pemuda itu tiba-tiba.
“Iya, sekitar enam jam lagi,” jawab Dina singkat.
“Nama saya Ardi,” katanya sambil mengulurkan tangan.
Percakapan mereka terus berlanjut. Dari obrolan ringan tentang pekerjaan, hobi membaca, sampai cita-cita. Waktu terasa cepat, bus melaju di jalanan gelap, tapi di antara tawa kecil dan tatapan yang semakin akrab, malam itu terasa penuh cahaya.
Ketika bus berhenti di peristirahatan, Ardi membeli dua gelas kopi hangat. “Biar nggak ngantuk,” katanya sambil menyodorkan satu pada Dina. Ia tersenyum, dan Dina merasa ada sesuatu yang berbeda.
Sampai akhirnya bus berhenti di terminal tujuan, Dina ragu untuk berpisah. Tapi sebelum ia sempat melangkah, Ardi menahan dengan kalimat sederhana:
“Boleh kita lanjutkan cerita ini di luar bus? Aku rasa perjalanan kita belum selesai.”
Dina terdiam sejenak, lalu tersenyum. Mungkin benar, jodoh kadang datang di tempat yang tak terduga—bahkan di kursi bus malam yang sederhana.