25/12/2025
Krisis Pendidikan Pasca Bencana, Dimana Tanggung jawab Negara?
Oleh: Dewi Putri, S.Pd
(Aktivis Dakwah Muslimah)
Dilansir dari kompas.com, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti mengatakan pihaknya mengupayakan pada Februari 2026, akan memulai pembangunan sekolah yang rusak akibat bencana banjir dan longsor di wilayah Provinsi Aceh, Sumatra Utara (Sumut) dan Sumatra Barat (Sumbar). Saat ini pihaknya terus menghimpun data terkait seluruh sekolah yang terdampak bencana alam di tiga provinsi tersebut beserta skala kerusakannya.
Mendikdasmen Prof. Abdul Mu'ti menyampaikan dalam rapat kerja dengan komisi X bahwa 2.798 satuan pendidikan terdampak, 5.421 ruang kelas rusak, dan lebih dari 600 ribu siswa mengalami gangguan layanan pendidikan. Banyak sekolah yang rusak, akses terputus dan sebagian digunakan sebagai posko pengungsian.
Pendidikan di wilayah Sumatra dan Aceh sampai hari ini belum pulih. Hal ini bisa terlihat dari masih minimnya fasilitas belajar darurat, terbatasnya sarana, prasarana dan tenaga pengajar yang siap mengajar, masih proses pemulihan, serta masih banyak anak-anak yang terputus dari akses belajar.
Krisis pendidikan akibat banjir bandang di Sumatera tidak dapat dilepaskan dari cara negara menangani masalah dalam kerangka sistem Kapitalisme. Kesan penanganan yang lamban dan minim empati dari pemerintah pusat bukan sekedar kegagalan teknis melainkan cerminan negara yang berfungsi sebagai manajer stabilitas ekonomi, bukan sebagai penjamin hak dasar rakyat.
Dalam logika Kapitalisme, keselamatan manusia dan keberlanjutan pendidikan ditempatkan di bawah kepentingan investasi, pertumbuhan ekonomi dan citra pasar. Hal ini terlihat dari keengganan pemerintah menetapkan status bencana nasional meski korban jiwa dan kerusakan infrastruktur pendidikan sangat besar.
Kekhawatiran bahwa penetapan status dapat "menggangu kepercayaan investor" menunjukkan pertimbangan ekonomi kapitalistik lebih dominan dibanding kebutuhan mendesak generasi yang kehilangan akses pendidikan. Negara seolah enggan mengambil langkah luar biasa karena dapat memunculkan kesan ketidakmampuan dalam mengelola risiko, sebuah stigma yang tidak diinginkan dalam iklim persaingan global.
Dalam situasi ini, tanggungjawab negara atas pendidikan bergeser kepada aktor non negara, lembaga kemanusiaan, bahkan banyak influencer tampil lebih cepat menyediakan ruang belajar darurat dan dukungan psikis. Fenomena ini sejalan dengan watak Kapitalisme yang mendorong privatisasi dan delegasi tanggungjawab publik, sehingga koordinator administratif, bukan pelindung utama rakyatnya. Akibatnya pendidikan anak-anak terdampak banjir dalam kondisi darurat berkepanjangan.
Ratusan ribu siswa kehilangan fasilitas belajar dan perlindungan psikis sementara negara tampak reaktif dan terbatas. Kapitalisme tidak melihat pendidikan sebagai hak yang harus dijamin. Melainkan sebagai sektor yang baru akan dipulihkan ketika stabilitas ekonomi dianggap aman. Inilah akar persoalan krisis pendidikan pasca bencana dan generasi menjadi korban.
Bencana banjir bandang di Sumatra kembali membuka persoalan mendasar dalam aspek paradigmatik kepemimpinan.
Dalam Islam, pemimpin diposisikan sebagai raa'in (pengurus) dan junnah (pelindung) rakyat bukan sekedar administrator anggaran atau menjaga stabilitas ekonomi. Paradigma ini menuntut pemimpin hadir secara aktif, empatik dan cepat. Pemimpin dalam Islam akan memastikan keselamatan serta keberlangsungan hidup rakyat termasuk hak atas pendidikan dan kesehatan. Ketika respon negara terkesan lamban dan nonaktif, hal itu mencerminkan krisis paradigma yakni kepemimpinan dipahami sebagai manajemen birokrasi, bukan pengurusan langsung ataa urusan umat.
Kesiapsiagaan terhadap resiko bencana seharusnya menjadi inheren dari fungsi negara. Negara dalam Islam yakni khilafah wajib memastikan bahwa dalam kondisi darurat sekali pun kebutuhan asasi rakyat tetap terpenuhi terutama pendidikan, layanan kesehatan, air bersih dan perlindungan mental (psikis).
Faktanya dengan terhentinya pendidikan selama lebih dari sepekan, tanpa hadirnya ruang belajar darurat sistematis menunjukan pendidikan belum ditempatkan sebagai kebutuhan primer melainkan sebagai sektor yang bisa ditunda.
Dalam fase pemulihan, khilafah akan bertindak cepat. Pemulihan infrastruktur pendidikan tidak cukup menunggu mekanisme reguler. Diperlukan komando negara melalui koordinasi langsung dengan wali dan amil di wilayah terdampak. Negara akan memobilisasi guru, menyiapkan sekolah darurat serta memastikan sarana belajar tersedia agar anak-anak segera kembali memperoleh pendidikan.
Dalam sistem Islam ketika terjadi bencana, maka penanganan bencana dilakukan dengan pendekatan pengurusan langsung. Khalifah memerintahkan distribusi harta dari Baitulmal untuk pemulihan cepat, memobilisasi aparatur negara serta memastikan kebutuhan rakyat. Termasuk pendidikan, kesehatan dan pangan tetap terpenuhi tanpa menunggu prosedur panjang. Negara hadir sebagai penopang kehidupan, bukan penonton krisis.
Perbandingan ini semakin nyata bila dibandingkan dengan postur APBN dalam sistem Islam dan kapitalisme. Dalam Islam anggaran negara berfungsi sebagai instrumen pengurusan rakyat bukan sekedar realisasi serapan menjelang akhir tahun.
Sementara dalam kapitalisme anggaran sering terjebak orientasi efisiensi pasar, sehingga respon darurat menjadi lamban, akibatnya rakyat dan generasi menjadi korban dari sistem yang gagal menempatkan keselamatan dan pendidikan sebagai prioritas tertinggi.
Wallahu'alam