Bima kaffah

Bima kaffah Yuk Ngobrol Pemikiran Islami

Penerapan Sistem Islam, Solusi Mengakhiri Kekerasan AnakOleh : Hasbiati, S. ST (Praktisi Kesehatan) Kekerasan terhadap a...
14/07/2025

Penerapan Sistem Islam, Solusi Mengakhiri Kekerasan Anak

Oleh : Hasbiati, S. ST (Praktisi Kesehatan)

Kekerasan terhadap anak ibarat fenomena gunung es, sedikit yang tampak dipermukaan, tetapi sejatinya masih banyak yang tidak terungkap. Seperti data pada tahun 2024 lalu, jumlah kasus kekerasan fisik dan seksual sebanyak 19.628 kasus, kemudian terjadi trend peningkatan jumlah kasus dan jumlah korban tiap bulannya. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan pada anak terus terjadi dan belum teratasi secara tuntas. Diantara kasus yang terjadi, pasangan suami istri AYS (28) dan istrinya YG (24) menyiksa bayi berusia 2 tahun yang diasuhnya hingga tewas di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) Riau, gara-gara korban rewel (kompas.com, 14/06/2025).

Kasus kekerasan terhadap anak kerap terjadi, tidak hanya kekerasan fisik bahkan terjadi kekerasan seksual, termasuk yang sangat tinggi terjadi kasus inses oleh anggota keluarga. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan di lingkungan keluarga, di antaranya faktor ekonomi, emosi yang tidak terkendali, kerusakan moral, iman yang lemah serta lemahnya pemahaman akan fungsi dan peran sebagai orang tua.

Pengaruh Penerapan Sistem Sekuler

Semua ini tidak terlepas dari penerapan sistem sekuler kapitalisme dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat. Sistem kehidupan sekuler kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan membuat para orang tua tidak mengetahui bagaimana cara mendidik dan mengasuh anak. Sistem ini bahkan menghilangkan fitrah orang tua yang memiliki kewajiban melindungi anak-anak dan menjadikan rumah sebagai tempat yang paling aman untuk anak.

Disamping itu, himpitan ekonomi kapitalisme membuat orang tua sibuk bekerja di luar rumah, tak jarang anak diasuh oleh orang lain dan lingkungan. Sulitnya mendapatkan pekerjaan, kebutuhan hidup yang meningkat membuat emosi orang tua tidak stabil dan sering menjadi alasan orang tua menyiksa dan menelantarkan anak, bahkan melakukan kekerasan seksual.

Di samping itu, lingkungan kehidupan sekuler akan membentuk karakter anak menjadi sekuler. Anak akan meniru cara orang dewasa memperlakukan dirinya sehingga akan dia berlakukan juga pada orang lain. Sistem sekuler dengan paham kebebasan berperilaku menjadikan normalisasi kemaksiatan di tengah-tengah masyarakat, perilaku dosa dan maksiat dianggap suatu yang normal, serta hilangnya aktivitas amar makruf nahi mungkar memperparah kondisi di masyarakat.

Media juga memiliki peran dalam tindakan kekerasan terhadap anak. Tayangan media bahkan bisa menjadi pemicu terjadinya kekerasan terhadap anak. Kurangnya kontrol negara dan pengawasan terhadap tayangan yang tidak mendidik, serta konten yang berbau kekerasan dan pornografi bisa diakses dengan mudah, menjadi tuntunan berperilaku. Sistem sekuler ini juga membuat hubungan sosial antar masyarakat kering dan individualis, tidak memiliki rasa kepedulian pada sesama, sehingga memudahkan terjadinya kekerasan terhadap anak.

Di Indonesia, sebenarnya sudah ada banyak regulasi/Undang-Undang tentang perlindungan anak, perlindungan atas kekerasan seksual pada anak, juga tentang pembangunan keluarga. Namun nyatanya semua itu belum bisa memberikan solusi menuntaskan persoalan kekerasan pada anak. Sebab, UU tersebut dibangun dengan ruh sekuler dan kapitalis, sehingga tidak menyentuh akar permasalahan terjadinya beragam kekerasan pada anak, yang disebabkan oleh faktor yang kompleks. Sekulerisme menjadikan peran negara minim dalam melindungi anak dari berbagai tindak kekerasan dan kejahatan. Perlindungan terhadap anak ini hanya bisa terwujud jika semua pihak menyadari akar permasalahannya adalah diterapkannya ideologi kapitalisme.

Solusi Hakiki

Islam memiliki solusi untuk semua permasalahan kehidupan, termasuk keluarga yang senantiasa akan menanamkan akidah Islam dan hukum-hukum Islam kepada anggota keluarganya. Penerapan Islam secara kaffah dalam kehidupan akan menjamin terwujudnya berbagai hal penting dalam kehidupan seperti kesejahteraan, ketentraman jiwa, terjaganya iman dan takwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Sebab Islam adalah sistem kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal. Islam akan melindungi fisik, psikis, intelektual, ekonomi, moral dan lain sebagainya. Termasuk dalam memenuhi semua hak-hak rakyatnya.

Islam akan mengembalikan fungsi keluarga. Salah satunya sebagai pelindung. Selain itu, keluarga dalam Islam memiliki fungsi membentuk kepribadian Islam kepada seluruh anggota keluarganya. Negara dalam hal ini akan melakukan edukasi untuk membentuk kepribadian Islam, dan menguatkan pemahaman tentang peran dan hukum-hukum keluarga. Sehingga setiap individu dalam keluarga memiliki pemahaman yang shahih dan komitmen yang kuat untuk melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan Islam untuknya, termasuk dalam membangun keluarga. Negara akan melakukan edukasi yang terintegrasi dan komprehensif dalam sistem pendidikan maupun melalui berbagai media informasi dari departemen penerangan khilafah.

Negara Islam akan menerapkan sistem politik ekonomi sesuai syariat Islam. Negara menjamin agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara mudah dan berbiaya murah, sehingga orang tua tidak akan terbebani dengan berbagai kebutuhan ekonomi yang serba sulit seperti yang terjadi dalam dalam sistem kapitalis. Orang tua bisa mengoptimalkan waktunya untuk mendidik anak dengan baik tanpa dibayangi oleh masalah kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, dan lain sebagainya.

Sistem Islam akan menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif, yang akan menjadi pengontrol dan pengawas perilaku anak-anak dari tindak kejahatan dan kemaksiatan. Masyarakat akan senantiasa melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar dilingkungan tempat tinggalnya. Negara akan melakukan internalisasi pemahaman Islam melalui aktivitas dakwah dan pendidikan, sehingga setiap anggota masyarakat akan memahami tujuan hidup dan makna kebahagiaan hakiki yang pada akhirnya secara otomatis akan menghindarkan rakyatnya melakukan berbagai tindakan kemaksiatan, termasuk tindak kekerasan terhadap anak.

Disamping itu, negara akan mengatur media informasi dengan mengeluarkan undang-undang sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariat. Informasi serta konten digital yang akan diawasi dan dikontrol untuk melindungi anak-anak dari konten negatif seperti pornografi dan kekerasan seksual. Pengawasan ini dilakukan melalui departemen penerangan dan informasi di bawah kepemimpinan khalifah.

Negara Islam akan memberlakukan sanksi yang tegas. Pelaksanaan hukum Islam secara kaffah dalam berbagai aspek kehidupan akan menjamin terwujudnya ketahanan keluarga yang kuat, dan mampu mencegah terjadinya kekerasan dalam keluarga. Seseorang yang sudah baligh maka ia akan bertanggung jawab terhadap segala perilakunya termasuk menerima sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan. Dalam Islam, semua perbuatan manusia yang bermaksiat kepada Allah SWT berhak dikenai sanksi berupa uqubat yakni hudud (kemaksiatan tersebut telah ditetapkan sanksinya oleh syara), takzir (kemaksiatan tersebut tidak ditetapkan sanksinya oleh syara), jinayah (berupa penganiayaan terhadap badan), dan mukhalafat (perbuatan maksiat kepada penguasa). Setiap orang akan bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing dan tidak bertanggung jawab atas dosa orang lain. Kasus penganiayaan dan pembunuhan termasuk kemaksiatan yang sanksinya berupa jinayah, yang didalamnya mewajibkan qisas atau harta (diat). Sistem Islam akan memberikan solusi tuntas dan menjaga keberlangsungan generasi, sehingga anak akan hidup aman dan nyaman hanya terwujud dalam naungan Khilafah. Wallahu'alam.

Kesejahteraan Guru Terabaikan, Kapitalisme Gagal Memberi SolusiOleh :Junari ( Aktivis Muslimah Dompu)Guru adalah pahlawa...
14/07/2025

Kesejahteraan Guru Terabaikan, Kapitalisme Gagal Memberi Solusi

Oleh :Junari ( Aktivis Muslimah Dompu)

Guru adalah pahlawan bagi peserta didiknya. Tidak hanya sebagai pengajar, termasuk pendidik. Dengannya, seorang anak bisa membaca, menulis, berkarya, berilmu hingga menjadi pembawa perubahan di tengah-tengah kehidupan. Dengan peran mulia tersebut, harapannya guru mendapatkan kesejahteraan. Namun, hal itu hanyalah harapan yang entah kapan akan terwujud.

Seperti kabar mengejutkan datang dari dunia pendidikan Provinsi Banten. Alokasi anggaran tunjangan tugas tambahan (TUTA) bagi para guru di Banten ternyata tidak masuk atau dicoret dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) murni 2025. Akibatnya, selama enam bulan terakhir, pemerintah Provinsi Banten belum membayarkan tunjangan penting ini kepada ribuan guru yang menjadi tulang punggung pendidikan di daerah tersebut (Tangerang news.co.id 24/06/2025).

Padahal sudah diatur dalam peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2025. Ketentuan tentang TPG guru ASN, petunjuk teknis pemberian tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan tambahan penghasilan guru aparatur sipil negara daerah. (Detik.com 11/05/2025).

Kesejahteraan Guru Diabaikan dalam Sistem Kapitalisme

Profesi guru bukanlah pekerjaan mudah dilakukan oleh semua orang. Ini pun tidak semua orang bersabar melakukannya. Bahkan, orang tua sekalipun terkadang ada yang mengeluh menangani anaknya. Maka, peran guru sangat menopang keberlangsungan dunia pendidikan. Begitu banyak perjuangan guru atas peserta didik dalam menimba ilmu. Sayangnya, guru hanya dilirik sebatas kepentingan. Seperti pada kasus yang menghebohkan tentang tunjangan tambahan TUTA guru dicoret dari APBD 2025 Banten. Kabar ini membuat banyak guru merasa terancam hidupnya. Guru berusaha melakukan beberapa upaya untuk dapat mengembalikan cairnya TUTA guru tersebut, bahkan ada yang merencanakan gelar aksi menyuarakan hak-haknya.

Pemenuhan kesejahteraan guru tentu membutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah. Sayangnya, pemerintah belum sepenuh hati menuntaskan kesejahteraan guru. Para guru dituntut untuk profesional dalam tugasnya, mengajar dan mencerdaskan anak bangsa. Tapi, bagaimana guru bisa fokus mendidik, jika pikiran mereka masih bercabang mencari sampingan. Terlebih, biaya hidup yang semakin bertambah.

Hal ini disebabkan guru dianggap sekadar sebagai pekerja. Di sisi lain, negara tidak sepenuhnya mengurusi pendidikan, justru menyerahkan kepada pihak swasta. Belum lagi, sistem keuangan dalam sistem kapitalisme yang banyak menggantungkan kepada utang. Akibatnya, gaji besar yang akan diberikan kepada guru akan membebani negara.

Ini adalah gambaran nasib guru dalam sistem hari ini. Yaitu sistem kapitalisme yang tidak berlandaskan akidah Islam. Sistem yang lahir dari pandangan akal manusia yang serba terbatas dan kurang. Aturan tersebut digunakan untuk mengatur kehidupan manusia. Tolak ukur perbuatan adalah asas manfaat. Sehingga pandangan tentang pekerjaan sebagai guru hanya sekadar profesi.

Islam Memuliakan Guru

Islam memandang bahwa profesi guru sangat dihargai dan dihormati. Guru memiliki peran strategis dalam membina generasi sehingga membawa pada kemajuan peradaban Islam. Sehingga guru sangat dimuliakan bahkan memberikan apresiasi dengan upah yang menyejahterakan.

Imam ad-Dimasyqi meriwayatkan, bahwa Umar bin Khaththab membayar guru di Madinah senilai 15 dinar. Raghib as-Sirjani dalam kitab Madza Qaddama al-Muslimuna li al-'Alam menerangkan bahwa pada masa Daulah Abbasiyah, gajinya bisa mencapai 200 dinar.

Tak hanya itu, pendidikan dijamin. Mulai dari sarana prasarana, gedung dan lain-lain. Bukan hanya guru yang sejahtera, namun siswa juga diberi beasiswa tanpa syarat. Daulah Islam sepanjang sejarah selama 1300 tahun banyak Memberikan fasilitas terbaik di dunia pendidikan, termasuk guru diberi tempat tinggal.

Negara Islam mampu memberikan gaji tinggi kepada guru, karena sumber pemasukannya beragam dalam jumlah besar. Hal ini tak dapat dilepaskan dengan sistem ekonomi Islam yang menentukan beragam sumber pemasukan termasuk dari pengelolaan sumber daya alam yang dalam Islam merupakan kepemilikan umum yang dikelola negara.

Negara memaksimalkan pemasukan dari pos-pos pendapatan berupa pemasukan tetap seprti fai, ganimah, anfal, kharaj, dan jizyah. Dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara yakni usyur, khumus, rikaz, dan tambang.

Walhasil, karena daulah Islam sangat bertanggung jawab atas kemaslahatan umat. Negara Islam mempersiapkan generasi untuk kemajuan peradaban. Maka seluruh daya upaya maupun tenaga diarahkan untuk menunjang perangkat pendidikan. Maka umat harus sadar akan kesempurnaan Islam sebagai pengatur kehidupan karena hanya dengan Islam umat akan sejahtera. Wallahu'allam.

KESIAPAN HIZBUT TAHRIR MEMIMPIN PERUBAHAN DUNIAPeta jalan yang hendak ditempuh Hizbut Tahrir dalam melakukan perubahan t...
13/07/2025

KESIAPAN HIZBUT TAHRIR MEMIMPIN PERUBAHAN DUNIA

Peta jalan yang hendak ditempuh Hizbut Tahrir dalam melakukan perubahan tertuang dalam buku kecil Manhaj Hizb at-Tahriir fii at-Taghyiir. Catatan tersebut merupakan naskah pidato delegasi Hizbut Tahrir pada konferensi ISNA (Islamic Society of North America) di negara Missouri, Amerika Serikat, pada 24 Jumada al-Ula 1410 H (22 Desember 1989). Isinya memberikan penjelasan ringkas tentang bagaimana perubahan masyarakat yang ada sekarang ini menuju masyarakat yang dicita-citakan harus dilakukan.

Dalam buku itu, Hizbut Tahrir juga memberikan penilaian terhadap kondisi masyarakat sekarang dan jalan perubahan yang harus ditempuh. Hal itu menegaskan kesiapan Hizbut Tahrir dalam memimpin perubahan Dunia Islam dari keadaan terjajah menuju kehidupan Islam. Adapun wujud perubahan yang hendak diwujudkan terdapat dalam buku-buku lainnya.



Falsafah Perubahan

Sebelum mengurai kesiapan Hizbut Tahrir dalam memimpin perubahan Dunia Islam, penting bagi kita memahami falsafah perubahan umat dan tatanan Dunia Islam. Hal itu sebenarnya bisa kita rujuk pada firman Allah SWT sebagai berikut:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ ١١
Sungguh Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS al-Ra’d [13]: 11).


Imam al-Quthubi dalam Tafsirnya menjelaskan: Tentang firman Allah SWT, “Sungguh Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,” maknanya Allah SWT memberitahukan pada ayat ini bahwa Dia tidaklah mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka melakukan perubahan, baik dari: (1) kalangan mereka; (2) orang yang mengurus mereka; atau (3) salah seorang mereka dengan hubungan apapun. Ini sebagaimana Allah mengubah keadaan orang-orang yang kalah pada Perang Uhud karena sikap yang berubah pada para pemanah, juga contoh-contoh lainnya yang ada dalam syariah (HR al-Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, dan Ibnu Majah). WalLaahu a’lam. (Al-Qurthubi, Jaami’ li Ahkaam al-Qur’aan, 9/294).

Imam al-Baidhawi juga menyatakan:

إِنَّ الله لا يُغَيِّر مَا بِقَوْم من العافية والنعمة . حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ من الأحوال الجميلة بالأحوال القبيحة
Sungguh Allah tidak mengganti sesuatu yang ada pada kaum dari kesejahteraan dan kenikmatan sampai mereka mengubah diri mereka sendiri dari keadaan yang baik dengan keadaan yang buruk (Al-Baidhawi, Anwaar at-Tanziil wa Asraar at-Ta’wiil, 3/183).


Jadi perubahan pada sebuah masyarakat itu bisa diusahakan dan datang dari tiga pihak: (1) Dari umat tersebut secara keseluruhan (internal); (2) Pihak yang mengurus umat tersebut (pemimpin internal); (3) Bagian dari umat tersebut dengan hubungan apapun (bagian dari internal).

Pihak ketiga ini adalah inisiator dan juga pelaku perubahan. Hal itu bisa dilihat dari inisiatif pasukan pemanah dalam Perang Uhud. Mereka telah mengubah keadaan pasukan kaum Muslim dari kemenangan menjadi kekalahan. Inilah fakta perubahan, baik dari menang ke kalah maupun dari kalah ke menang.

Orang-orang seperti mereka (pihak ketiga yang disebutkan Imam al-Quthubi) sulit melakukan perubahan masyarakat menuju tatanan tegaknya kehidupan Islam jika tidak terdapat tiga syarat utama: (1) Mereka merupakan kelompok yang solid dengan fikrah dan thariiqah yang mereka adopsi; (2) Mereka terdiri dari orang-orang yang ikhlas dan memiliki kapasitas memadai; dan (3) Mereka memiliki ikatan yang kokoh dengan ketaatan kepada pemimpinnya.



Peta Jalan Hizbut Tahrir

Berpijak pada QS Ali Imran ayat 104, Al-‘Allamah asy-Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani mendirikan partai politik bernama Hizbut Tahrir. Pendirian tersebut tepat setelah umat Islam mengalami dua peristiwa tragis, yakni keruntuhan Khilafah Islamiyah pada tahun 1924, dan perampasan Palestina oleh kaum Yahudi. Sejak itu umat Islam semakin lama semakin terpuruk dan jatuh dalam dominasi kaum kafir penjajah. Realitas ini mendorong Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani rahimahullaah mendirikan partai politik Hizbut Tahrir, terutama setelah al-Quds jatuh ke dalam pendudukan kaum Yahudi.

Bukan hanya mendirikam kelompok dakwah. Beliau juga menyiapkan konsep yang jelas, metode yang terang, dan mekanisme pengkaderan yang terukur. Ini adalah modal penting dalam melakukan perubahan Dunia Islam menuju tegaknya kehidupan Islam. Atas dasar itu, pada alinea pertama buku Manhaj Hizb at-Tahriir fii at-Taghyiir dinyatakan bahwa persoalan utama umat Islam adalah mengembalikan hukum Islam (i’aadah al-hukm bi maa anzala AlLaah) dengan cara menegakkan kembali Khilafah Islamiyah. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa: (1) negeri-negeri tempat kaum Muslim hidup adalah darul kufur; (2) masyarakatnya diatur dengan aturan-aturan kufur. Darul kufur adalah negeri yang tidak menerapkan Islam dan keamanannya bukan di tangan kaum Muslim, walaupun mayoritas penduduknya Muslim.

Dua faktor inilah yang menjadikan umat Islam terus terpuruk dan mundur.

Selain itu terdapat dua landasan utama penetapan metode perubahan yang dijadikan pijakan oleh Hizbut Tahrir, yakni: Pertama, terikat pada hukum syariah. Kedua, ittiba’ (mengikuti) Rasulullah saw. dalam berdakwah serta dalam menerapkan syariah dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Hizbut Tahrir berpendapat bahwa konsekuensi dari iman seorang Muslim kepada Allah adalah kewajiban terikat pada syariah dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam melaksanakan dakwah. Adapun tentang ittiba’ pada jalan dakwah Rasul, secara normatif memang terdapat tuntunan untuk mengikuti Nabi saw.



Kesiapan Konsep

Hizbut Tahrir telah merumuskan konsep dan peta jalan perubahan yang akan ditempuh. Hizbut Tahrir telah melakukan pengkajian, penelitian dan studi terhadap kondisi umat, termasuk kemerosotan yang mereka derita. Kemudian Hizbut Tahrir membandingkan kondisi mereka dengan kondisi yang ada pada masa Rasulullah saw., masa Al-Khulafa’ ar-Rasyidun dan masa generasi Taabi’in. Hizbut Tahrir juga merujuk kembali sirah Rasulullah saw. dan tatacara mengemban dakwah yang beliau lakukan sejak permulaan dakwahnya hingga beliau berhasil mendirikan Negara Islam di Madinah.

Setelah melakukan kajian secara menyeluruh itu, Hizbut Tahrir telah memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum yang berkaitan dengan fikrah dan thariiqah. Semua ide, pendapat dan hukum yang dipilih dan ditetapkan Hizbut Tahrir hanya berasal dari Islam. Tidak ada satu pun yang bukan dari Islam. Bahkan tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang tidak bersumber dari Islam.

Hizbut Tahrir telah memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum tersebut sesuai dengan perkara-perkara yang diperlukan dalam perjuangannya. Tidak lain untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia- dengan mendirikan Negara Khilafah dan mengangkat seorang khalifah. Ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum tersebut telah dihimpun dalam berbagai buku, booklet maupun selebaran yang diterbitkan dan disebarluaskan kepada umat.

Buku-buku itu, antara lain: Nizhaam al-Islaam (Sistem Islam), At-Takattul al-Hizbi (Pembentukan Partai Politik), Mafaahim Hizb at-Tahriir (Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir), Ad-Dawlah al-Islaamiyyah (Negara Islam), Nizhaam al-Hukm fii al-Islaam (Sistem Pemerintahan Islam), Ajhizah ad-Dawlah al-Khilaafah (Struktur Negara Khilafah), An-Nizhaam al-Iqtishaadi fii Al-Islaam (Sistem Ekonomi Islam), An-Nizhaam al-Ijtimaa’i fii al-Islaam (Sistem Pergaulan Sosial dalam Islam), Al-Amwaal fii Dawlah al-Khilaafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah), Mafaahim Siyaasiyyah li Hizb at-Tahriir (Konsepsi Politik Hizbut Tahrir), Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Jilid 1-3 (Jatidiri Islam)—mulai dari bahasan tentang pembentukan kepribadian Islam, tsaqaafah Islamiyah dasar, fikih pemerintahan, fikih muamalah hingga ushul fikih; Nazharaat Siyaasiyyah li Hizb at-Tahrir (Pandangan Politik Hizbut Tahrir), Kayfa Hudimat al-Khilaafah (Bagaimana Khilafah Diruntuhkan), As-Siyaasah al-Iqtishaadiyyah al-Mutslaa (Politik Ekonomi yang Agung), Usus al-Ta’liim (Dasar-dasar Sistem Pendidikan), Muqaddimah ad-Dustuur (Landasan Undang-undang Dasar Negara Islam), dll.

Masih banyak lagi buku-buku, booklet, maupun selebaran yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, baik yang menyangkut ide, politik, maupun kemaslahatan umat seperti rancangan aturan kesehatan di negara khilafah, pendidikan, dll.



Kesiapan Kader

Tahapan dakwah pertama dalam Hizbut Tahrir adalah fase pembinaan. Fase ini ditujukan untuk melahirkan individu-individu yang menyakini fikrah dan thariiqah yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir untuk membangun kerangka gerakan. Di dalam fase ini, terjadi proses internalisasi berbagai pemikiran yang diadopsi. Dengan ini lahirlah kader-kader dakwah yang siap terjun mengubah masyarakat yang tidak islami. Demikian juga dengan ikatan yang mengikat anggota Hizbut Tahrir adalah ikatan akidah Islam dan tsaqaafah Islam yang diadopsi Hizbut Tahrir.

Selain dibina sebagai negarawan yang akan mengurus kemaslahatan umat, para kader Hizbut Tahrir juga didorong untuk terus meningkatkan kapasitas diri, baik aspek ilmu dan kepemimpinan, maupun aspek keimanan dan ketakwaan. Mengapa harus memantaskan diri dari sisi keimanan dan ketakwaan? Sebabnya, kemenangan bagi umat Islam adalah karunia dari Allah. Adapun yang wajib kita lakukan adalah melakukan ikhtiar dalam perjuangan untuk mengubah keadaan dunia yang tidak islami menuju keadaan yang tunduk dan patuh pada aturan Allah SWT. Inilah perubahan menuju penerapan syariah Islam secara kaaffah.



Keunggulan

Muhammad Muhsin Radhi dalam tesisnya di Universitas Islam di Irak yang berjudul Hizb at-Tahriir Tsaqaafatuh wa Manhajuh fii Iqaamah Dawlah al-Khilaafah al-Islaamiyyah” menjelaskan keunggulan gagasan dan metode dakwah Hizbut Tahrir. Kejernihan konsep, kejelasan metode dakwah, integritas dan keikhlasan para kadernya, serta ikatan yang menyatukan mereka adalah keunggulan Hizbut Tahrir yang menjadikan dirinya bertahan dan terus berkembang sampai hari ini. Hizbut Tahrir tidak bergeser dari fikrah dan thariiqah dakwahnya walau hanya sehelai rambut. Hizbut Tahrir selalu berpedoman untuk menjadikan hukum-hukum syariah sebagai asas bagi kebijakan dan sikap organisasi. Dengan kalimat lain, halal-haram adalah standar bagi seluruh tindakan dan aktivitasnya. Hizbut Tahrir tidak pernah mentoleransi setiap perkara yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Misalnya, Hizbut Tahrir berpandangan bahwa menyerukan nasionalisme, demokrasi, sekularisme, fanatisme madzhab, dan lain sebagainya adalah tindakan haram.

Khilafah sebagai metode satu-satunya dalam menerapkan Islam adalah konsep yang jelas, tegas dan selaras dengan ijmak para ulama mujtahidin. Sikap yang benar yang harus ditunjukkan seorang Mukmin terkait janji Kekhilafahan adalah:

Pertama, wajib menyakini sepenuhnya janji akan berkuasaanya kembali umat Islam (QS an-Nur [24]: 55). Sebabnya, Allah SWT pasti menunaikan janji-janji-Nya (QS [18]:108 dan [73]: 18). Yakin kepada janji Allah termasuk bagian keimanan. Siapa saja ingkar atau ragu terhadap janji Allah SWT, keimanannya telah rusak.

Kedua, harus membenarkan kabar gembira dari Rasulullah saw., sebagaimana yang Rasulullah kabarkan dalam banyak hadis shahihnya.

Ketiga, bersungguh-sungguh mewujudkan kabar gembira tersebut dengan rasa optimis sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Keempat, tidak menunggu kemenangan dengan berpangku tangan, pesimis, atau sekadar menunggu datangnya al-Mahdi. Di sinilah peran Hizbut Tahrir dalam mewujudkan kabar kembira tersebut.

Manhaj Hizbut Tahrir dalam menegakkan Khilafah tegak di atas manhaj (metode) dan mi’yaar (standar) turats Islam sejak generasi salaf. Sebagaimana Hizbut Tahrir, para ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah menggariskan hal-hal penting berkaitan dengan Khilafah Islamiyah:

Pertama, mengangkat seorang khalifah untuk menduduki tampuk Kekhalifahan Islam adalah kewajiban (An-Nawawi, Syarh Shahiih Muslim, 6/291).

Kedua, mengangkat seorang khalifah setelah berakhirnya zaman nubuwwah adalah kewajiban yang paling penting (Al-Haitsami, Shawaa’iq al-Muhriqah, 1/25).

Ketiga, Allah SWT telah menjanjikan kekhilafahan kepada kaum Mukmin hingga akhir zaman (Asy-Syaukani, Fath al-Qadiir, 5/241).

Keempat, menegakkan kekuasaan Islam (Khilafah Islamiyah) termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT yang paling agung (Ibnu Taimiyyah, As-Siyaasah asy-Syar’iyyah, hlm. 161).



Harapan

Pengkajian yang teliti dan mendalam terhadap realitas Dunia Islam dan kegagalan banyak gerakan Islam dalam membangkitkan umat, juga realitas keberadaan Hizbut Tahrir dengan fikrah dan thariiqah-nya telah memberikan harapan akan jalan kebangkitan yang hakiki.

Beranjak dari identifikasi terhadap persoalan utama kaum Muslim, secara perlahan umat Islam semakin sadar bahwa gerakan Islam harus bertujuan menegakkan kembali hukum-hukum Islam di seluruh dimensi kehidupan melalui penegakan kembali Khilafah Islamiyah sebagaimana sebelumnya. Sebabnya, Khilafah Islamiyah merupakan satu-satunya thariiqah syar’iyyah untuk menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Karena itulah aktivitas Hizbut Tahrir fokus pada aktivitas politik saja. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa hanya dengan aktivitas politiklah kekuasaan bisa diraih. Kekuasaan mutlak diperlukan untuk menegakkan Khilafah Islamiyah.

Untuk itu, dari sisi aktivitas, Hizbut Tahrir mengkonsentrasikan aktivitasnya untuk meraih kekuasaan melalui jalan umat, dan tidak menyibukkan dirinya dengan aktivitas-aktivitas lain.



Penutup

Hizbut Tahrir senantiasa menyeru umat dengan dakwah dan agar bersungguh-sungguh menyongsong kabar gembira Rasulullah saw. Hizbut Tahrir telah menyiapkan rancang bangun Khilafah yang siap diimplementasikan. Tegaknya Khilafah akan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam. Apa yang terjadi sekarang ini menggambarkan bahwa kita hidup saat ketiadaan perisai yang menjaga agama dan melindungi umat. Karena itu perlu ada upaya serius untuk menorehkan kembali sejarah agung peradaban Islam, mengembalikan kehidupan Islam dengan tegaknya Khilafah ‘alaa minhaaj an-nubuwwah di muka bumi. Kaum Muslim sudah seharusnya bangkit dari keterpurukan, di tengah limpahan potensi sumberdaya yang ada.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Yuana Ryan Tresna]

MENJAWAB TUDINGAN TERHADAP KHILAFAHDi antara ajaran Islam yang menjadi objek penyesatan kaum liberal adalah Khilafah dan...
12/07/2025

MENJAWAB TUDINGAN TERHADAP KHILAFAH

Di antara ajaran Islam yang menjadi objek penyesatan kaum liberal adalah Khilafah dan politik Islam. Berbagai syubhat pun sumbang digaungkan demi menjauhkan umat dari syariah Islam dan Khilafah. Gerakan dakwah Hizbut Tahrir yang gigih berdakwah melanjutkan kembali kehidupan Islam dalam sistem Khilafah pun kerap difitnah. Mereka melakukan penyesatan dengan menggunakan kaidah daf’ al-mafâsid, konsensus nasional, hingga tuduhan Khilafah HT berbeda dengan Khilafah menurut ulama. Bagaimana menjawab seluruh syubhat tersebut?



Menyalahgunakan Kaidah Daf’ al-Mafasid

Salah satu syubhat dalam isu Khilafah, adalah fatwa haram menegakkan Khilafah berdasarkan kaidah:

دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menolak berbagai kerusakan (kemadaratan) didahulukan daripada mewujudkan berbagai kemaslahatan.
Kaidah ini memang kaidah syar’iyyah. Namun demikian, penggunaannya wajib terikat pada kaidah-kaidah dan batasan-batasan yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul. Tidak ada kaidah ‘sapu jagad’ yang bisa diterapkan secara serampangan. Kaidah ini berlaku jika kerusakan dan kemaslahatan berkumpul, lalu kerusakannya lebih besar daripada kemaslahatannya. Hal ini sebagaimana petunjuk dalam QS l-Baqarah [2]: 219. Dalam ayat ini digambarkan bahwa khamr dan judi memiliki manfaat, namun kerusakan dan kemadaratannya lebih besar. Allah SWT pun mengharamkan keduanya sebagaimana diutarakan oleh Sulthanul Ulama, Imam al-‘Izz bin Abdissalam (w. 660 H), “Allah mengharamkan keduanya karena kerusakan keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” (Qawâ’id al-Ahkâm, I/83).

Adapun jika kemaslahatannya lebih besar maka mewujudkan kemaslahatan diutamakan, Ini sejalan dengan penjelasan Imam as-Subki (w. 771 H) dalam Al-Asybâh wa an-Nazhâ’ir (I/105). Contohnya, kasus Amar bin Yasir ra. yang demi memilih menjaga kemaslahatan nyawanya terpaksa mengucapkan perkataan kufur (dengan kalbu yang tetap dalam keimanan) di bawah paksaan dan ancaman kaum Musyrik Qurays.

Di sisi lain, ukuran kemaslahatan dan kerusakan tersebut ditentukan berdasarkan tolak ukur syariah, bukan hawa nafsu.

Penyimpangan penggunaan kaidah ini pun semakin jelas berdasarkan argumentasi:

Secara yuridis, pengangkatan khalifah dan penegakkan Khilafah termasuk bagian dari ajaran Islam yang hukumnya fardhu. Khilafah adakah metode syar’i dalam menegakkan syariah Islam secara kâffah dalam kehidupan. Penerapan Islam di dalamnya jelas mengundang keberkahan, mewujudkan kemaslahatan hakiki sekaligus menolak berbagai kerusakan:

وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ
Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) sehingga Kami menyiksa mereka akibat perbuatan mereka (QS al-A’raf [7]: 96).


Diperjelas oleh dalil QS al-Baqarah [2]: 216 dan QS al-Anbiya’ [21]: 107 yang menjadi dalil kaidah syar’iyyah:

حَيْثُمَا يَكُونُ الشَّرْعُ تَكُوْنُ الْمَصْلَحَةُ
Di mana tegak syariah maka di situ ada maslahat.
Dalam tataran praktis, menerapkan dan menjaga Islam relevan dengan salah satu fungsi Imam (Khalifah) yang digambarkan Rasulullah saw.:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sungguh Imam (Khalifah) itu perisai; (orang-orang) akan berperang mendukung dia dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya (Muttafaqun ’alayh).


Hadis ini mengandung pujian yang sangat kuat terhadap sosok Khalifah. Pasalnya, maksud dari al-Imâm adalah al-Khalîfah. Ini ditegaskan al-Mulla al-Qari (w. 1041 H) (Mirqât al-Mafâtîh, VI/2391ý). Pujian tersebut, dalam ilmu balaghah, ditunjukkan oleh dua hal: ungkapan qashr (pengkhususan) dan tasybîh mu’akkad (penyerupaan tegas) yang menyerupakan Khalifah sebagai perisai kaum Muslim.

Para ulama juga menjelaskan bahwa penegakan Islam dalam kehidupan tak akan sempurna kecuali dengan adanya Khalifah dan tegaknya sistem Khilafah. Karena itu menegakkan keduanya fardhu. Ini sesuai dengan kaidah syar’iyyah yang dinukil para ulama. Di antaranya Imam al-Naisaburi (w. 850 H) dalam Gharâ’ib al-Qur’ân (V/148) dan Imam al-Razi (w. 606 H) dalam Mafâtîh al-Ghayb (XXIII/313) yakni:

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Selama suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu pun hukumnya wajib.
Wajar jika Al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) dalam tafsirnya menegaskan: “Ia (Imamah) merupakan fondasi dari fondasi-fondasi agama ini yang dengan itulah tegak fondasi kaum Muslim.” (Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, I/264ý).

Jadi pada sisi mana tegaknya syariah Islam secara kâffah dalam kehidupan dalam sistem Khilafah akan menimbulkan kerusakan?

Jelas, penggunaan kaidah ini sudah salah dari asasnya (takalluf). Jika mereka konsisten seharusnya bukan dakwah penegakan Islam yang ditolak, melainkan sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi neo liberalistik yang jelas menimbulkan berbagai mafsadat bagi kehidupan umat; dari persoalan politik hingga ekonomi; menjerumuskan ke dalam krisis penghidupan (lihat: QS Thaha [20]: 124).



Perubahan ke Arah yang Lebih Baik

Perubahan ke arah yang lebih baik termasuk hal positif yang didorong oleh al-Quran dan as-Sunnah. Visi perubahan yang diemban Rasulullah saw. merupakan teladan terbaik. Beliau mampu membangkitkan suatu kaum yang tadinya terbelakang dalam kubangan sistem jahiliah menjadi kaum penegak peradaban agung yang memikul tanggung jawab. Rasulullah saw dan para sahabatnya menjadikan akidah Islam sebagai fondasi peradaban. Mereka membangun peradaban dengan menegakkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Bangunan agung ini pun kelak akan tegak kembali sebagaimana busyra Rasulullah saw. dalam hadisnya, dari Hudzaifah bin al-Yaman ra.:

ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Kemudian akan ada kembali Khilafah di atas manhaj kenabian (HR Ahmad).
Hadis ini mengisyaratkan bahwa perubahan adalah keniscayaan yang tak bisa dipungkiri. Inilah yang menjadi esensi dari perjuangan HT selama ini: visi dakwah perubahan melanjutkan kembali kehidupan Islam.

Karena itu ironis jika visi dakwah agung yang diemban HT dibenturkan secara zalim oleh orang yang tak bertanggung jawab dengan isu “konsensus nasional”, Pancasila dan UUD 1945.

Padahal dalam catatan sejarah, rumusan Pancasila dan UUD 1945 itu sendiri mengalami berbagai amandemen. Hal itu menunjukkan adanya persepsi umum bahwa perubahan bukan hal yang tabu dan menjadi keniscayaan. Dalam perumusannya, Pancasila mengalami pasang surut dan perdebatan yang cukup alot. Pada tataran implementasi dari masa ke masa kepemimpinan rezim negeri ini, Pancasila ditafsirkan beragam sesuai kehendak penguasa; dari masa kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi; dari corak Nasakom, kapitalistik hingga neo-liberalistik.

Kemerdekaan atas kolonialisme diraih sebagai berkah perjuangan para ulama dan kaum Muslim. Karena itu ironi jika kemerdekaan tersebut dikhianati dengan menjadikan Pancasila sebagai alat gebuk bagi gerakan-gerakan Islam yang hendak melanjutkan estafeta perjuangan para ulama pahlawan, yakni membebaskan negeri ini dari imperialisme politik dan ekonomi neo liberalistik. Ini yang pertama.

Kedua: Dalam paradigma mendasar Islam, al-Quran dan as-Sunnah jelas merupakan pedoman hidup yang wajib diposisikan sebagai konstitusi tertinggi. Ia merupakan pedoman utama kaum Muslim selain Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’iyyah. Keagungannya relevan karena bersumber dari Al-Khaliq Al-Mudabbir (QS al-An’am [6]: 61).

Ketika menafsirkan QS al-An’am [6]: 57, Imam asy-Syaukani (w. 1250 H) menjelaskan: Inil-hukmu illâ lilLâh, yakni tidak ada hukum dalam hal apapun kecuali hak Allah SWT, maksudnya hukum yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.” (Fath al-Qadîr, II/139).

Artinya, kedaulatan adalah milik Asy-Syâri’ (Allah SWT). Hal ini pun mengingatkan kita pada wasiat agung yang mulia Rasulullah saw.:

يَأَيَّهَا النَّاسُ إِنِّيْ قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ
Wahai umat manusia, sungguh aku telah meninggalkan bagi kalian apa yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan lainnya).
Khilafah ala Hizbut Tahrir Sama dengan Khilafah Menurut Ulama Mu’tabar

Di antara tuduhan keji lainnya bahwa Khilafah yang diperjuangkan HT berbeda dengan Khilafah yang dijelaskan para ulama dalam turats mereka. Itu semua hanya klaim semata. Mereka tak mampu membuktikan tuduhannya.

Siapapun yang mengkaji konsepsi khilafah menurut HT akan mendapati bahwa HT telah berhasil merumuskan konsepsi praktis dari poin-poin prinsip yang ditegaskan para ulama, yang seluruhnya menunjukkan keistimewaan karakteristik sistem pemerintahan dalam Islam (Khilafah). Kesamaan konsepsi tersebut mencakup persoalan-persoalan prinsipil:

Pertama, HT sama seperti para ulama mu’tabar yang menegaskan Khilafah sebagai institusi politik Islam, berdiri di atas asas akidah Islam dan menjadi institusi penegak syariah Islam kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Imam al-Mawardi al-Syafi’i (w. 450 H) menegaskan:

الْإِمَامَةُ : مَوْضُوْعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
Al-Imâmah diposisikan sebagai khilâfah al-nubuwwah (pengganti kenabian) dalam memelihara urusan agama ini dan mengatur urusan dunia (Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, I/15).
Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), misalnya, menganalogikan Islam dan kekuasaan (kepemimpinan) sebagai saudara kembar. Lalu Al-Ghazali pun menegaskan: “Al-Dîn itu asas dan penguasa itu penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki asas akan roboh dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang.” (Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 128).

Kepemimpinan dengan ruh Islam ini menunjukkan keistimewaannya. Ini berbeda dengan sistem sekular yang mengundang malapetaka. Bahkan para ulama, termasuk Al-’Allamah Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan esensi Khilafah sebagai: “kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”

Kedua, HT mengadopsi pendapat tentang kewajiban mengangkat khalifah dan menegakkan sistem Khilafah sebagai tuntutan syariah berdasarkan dalil-dalil naqliyyah. Ini sama dengan yang diadopsi oleh para ulama mu’tabar dalam turats mereka (Lihat: Al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H), Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (I/264); al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra (w. 458); Imam al-Mawardi al-Syafi’i (w. 450 H), Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah (I/15); Al-Hafizh an-Nawawi al-Syafi’i, Rawdhah ath-Thâlibîn wa ‘Umdat al-Muftîn (X/42); dan lain sebagainya).

Karena itu tidak aneh jika Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menegaskan: para imam mazhab telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) hukumnya fardhu (Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, V/366).

Ketiga, HT pun mengadopsi pendapat para ulama mu’tabar tentang kewajiban mewujudkan kesatuan kepemimpinan di bawah seorang khalifah. Ini sama dengan yang ditegaskan ulama Syafi’iyyah semisal Imam al-Mawardi asy-Syafii (w. 450 H) dalam dua karya masterpiece-nya, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah dan Adab al-Dunyâ’ wa ad-Dîn, dan para ulama mu’tabar lainnya.

Seluruhnya menguatkan apa yang ditegaskan oleh para ulama HT sebagai empat pilar politik Islam dalam sistem Khilafah. Jadi pada sisi mana Khilafah yang diperjuangkan HT berbeda dengan Khilafah yang dipahami para ulama mu’tabar dalam turats mereka?

WalLâhu a’lam bi ash-shawab. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; (Dosen, Peneliti di Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat)]

Address


Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Bima kaffah posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Bima kaffah:

Shortcuts

  • Address
  • Alerts
  • Contact The Business
  • Claim ownership or report listing
  • Want your business to be the top-listed Media Company?

Share