23/12/2025
Kisah Dimas: Saat Gurunya Melarang, Dia Tetap Memakan Ayam Gosong Bekal Ibunya, Alasannya Bikin Terharu.
Namanya Dimas. Kelas 7.
Setiap jam istirahat, dia selalu jadi pusat perhatian.
Bukan karena dia keren, tapi karena bekal makan siangnya. Isi kotak makannya selalu aneh.
Nasi gorengnya hitam legam gosong.
Telur dadarnya hancur berantakan, penuh cangkang.
Kadang ikannya mentah sebelah, gosong sebelah. Bentuknya kayak "makanan sisa."
Teman-temannya selalu komentar pedas:
"Dim, lo makan aspal ya?"
"Itu telur apa muntahan kucing?"
"Jorok banget sih bekal lo!"
Tapi Dimas gak pernah marah. Dia cuma senyum, melindungi kotak bekalnya pakai lengan.
"Enak kok," katanya pelan. "Ini spesial."
Dia makan dengan lahap.
Setiap suapan dia nikmati.
Padahal saya lihat sendiri, nasinya keras dan ada potongan bawang putih utuh yang belum diiris.
Sebagai guru, saya kadang gak tega. "Kasihan anak ini," batin saya.
"Ibunya mungkin gak bisa masak... atau gak peduli gizi anaknya."
Suatu hari, bekal Dimas parah banget.
Ayam gorengnya hitam pekat. Arang.
Baunya sangit satu kelas.
Anak-anak makin menjadi-jadi nge-b*lly dia.
"Woi, Dimas bawa batu bara!"
"Jangan dimakan, nanti usus lo mel3d4k!"
Dimas menunduk. Tapi dia tetap mau makan ayam gosong itu.
Saya gak tahan. Saya samperin dia, lalu ambil kotak bekalnya.
"Dimas, jangan dimakan. Ini r*cvn. Udah gosong begini."
"Bapak belikan nasi kuning di kantin ya. Buang aja ini."
Dimas menahan tangan saya.
Cengkeramannya kuat banget.
Matanya merah, air matanya menggenang.
"JANGAN, PAK!" teriaknya. "Jangan dibuang!"
"Kenapa?! Ini gak sehat!" bentak saya.
"Kamu bisa sakit perut!"
"Ini masakan Ibu, Pak..."
"Ibu udah bangun jam 4 pagi buat masak ini..."
Saya melunak. "Iya, Bapak tahu. Tapi bilang ke Ibu, kalau masak hati-hati."
Masak ayam sampai jadi arang begini..."
Dimas menggeleng. Air matanya jatuh membasahi ayam gosong itu.
"Ibu gak tau kalau ayamnya gosong, Pak..."
"Ibu gak bisa liat."
"Ibu buta, Pak."
"Mata Ibu rusak karena kecel4kaan pabrik tahun lalu."
Kelas mendadak senyap. Gak ada satu pun yang bersuara.
"Ibu masak cuma pake perasaan, Pak..."
"Ibu ngeraba-raba kompor panas."
"Ibu sering kena cipr4tan minyak, tangannya mel3puh semua, cuma biar Dimas bisa bawa bekal kayak teman-teman."
"Tadi pagi Ibu tanya: 'Dimas, ayamnya wangi gak? Mateng gak?"
"Dimas bilang: 'Wangi, Bu. Sempurna."
"Ibu ngeraba-raba kompor panas."
"Dimas bohong biar Ibu seneng, Pak..."
"Kalau Dimas buang makanan ini... berarti Dimas buang perjuangan Ibu."
Saya lemas.
Kotak bekal itu terlepas dari tangan saya.
Dimas mengambil ayam gosong itu.
Dia memakannya sambil menangis.
"Enak... masakan Ibu enak..." ucapnya di sela isak tangis.
Bagi kami, itu cuma sampah gosong yang tak layak dimakan.
Tapi bagi Dimas... rasa pahit arang itu tertutup oleh manisnya kasih sayang Ibu yang tak terhingga.
Dia memakan kegelapan dunia ibunya, supaya Ibunya merasa telah menjadi ibu yang sempurna.
Hari itu, saya belajar.
Makanan paling enak di dunia bukan yang dimasak oleh koki bintang lima.
Tapi yang dimasak dengan penuh cinta, meski dalam kegelapan.
Maafkan mulut Bapak yang jahat ini, Dimas.
Kamu anak hebat....