03/08/2025
Penembakan Brutal di Christchurch Tewaskan 51 Orang
Christchurch — Dalam 18 menit mengerikan, Brenton Harrison Tarrant menebar teror mematikan di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, saat salat Jumat, 15 Maret 2019. Sebanyak 51 nyawa melayang dalam serangan yang dilandasi ideologi supremasi kulit putih dan Islamofobia.
Aksi kejam itu dimulai pukul 13.40 waktu setempat di Masjid Al Noor. Tarrant, pria Australia 28 tahun, tiba dengan mobil yang diparkir tepat di depan pintu masjid. Mengenakan rompi antipeluru dan helm berisi kamera GoPro, ia menembaki jamaah secara membabi buta. Senapan semi-otomatisnya menewaskan 42 orang hanya dalam dua menit.
Usai keluar, ia masuk kembali ke dalam untuk memastikan tidak ada yang selamat. Seorang jamaah, Naeem Rashid, sempat berusaha melawan, namun tewas. Ia kemudian dianugerahi penghargaan tertinggi di Pakistan dan Selandia Baru atas keberaniannya.
Tak puas, Tarrant melanjutkan ke masjid kedua, Linwood Islamic Centre, lima kilometer dari lokasi pertama. Di sana, ia menewaskan tujuh orang lagi, termasuk tiga korban yang ditembak dari luar masjid.
Namun aksi brutalnya terhenti ketika Abdul Aziz Wahabzada, seorang jamaah, menghadangnya dengan melempar terminal kartu kredit ke arah pelaku. Aksi heroiknya membuat Tarrant melarikan diri.
Polisi mengejarnya dan berhasil menghentikan mobilnya di kawasan Sydenham pukul 13.59—18 menit setelah panggilan darurat pertama masuk.
Perencanaan Matang dan Ideologi Ekstrem
Penyelidikan menunjukkan serangan ini dirancang matang sejak awal 2017. Tarrant menetap di Dunedin sejak 2017, aktif di forum ekstrem kanan seperti 4chan dan 8chan, serta memiliki lisensi senjata kategori A. Ia membeli lima senapan legal, termasuk dua AR-15 dan ribuan peluru.
Beberapa senjatanya dihiasi tulisan propaganda seperti “Remove Kebab”, “14 Words”, dan nama-nama tokoh ekstrem kanan. Musik propaganda seperti “Serbia Strong” diputar saat ia menembaki para korban.
Aksi tersebut ia siarkan langsung melalui Facebook Live berdurasi 17 menit. Video itu sempat ditonton langsung kurang dari 200 orang, namun salinannya menyebar cepat di dunia maya. Facebook lantas membuat sistem pendeteksi otomatis untuk mencegah penyebarannya kembali.
Beberapa menit sebelum penembakan, Tarrant mengirim manifesto 74 halaman berjudul The Great Replacement ke kantor Perdana Menteri dan media lokal. Isinya menolak imigrasi dan Islamisasi, serta mengagung-agungkan pelaku teror Breivik. Manifesto ini kemudian dinyatakan ilegal untuk diedarkan di Selandia Baru.
Korban dan Pengakuan Bersalah
Sebanyak 51 orang tewas, berusia antara 3 hingga 77 tahun—mayoritas pria. Salah satunya adalah warga negara Indonesia. Selain itu, 89 orang mengalami luka, 40 di antaranya terkena tembakan langsung.
Awalnya, Tarrant mengaku tidak bersalah atas seluruh dakwaan. Namun pada 26 Maret 2020, ia mengubah pernyataannya menjadi bersalah atas 51 pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan, dan satu dakwaan terorisme.
Pada 24 Agustus 2020, ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, ditambah 480 tahun untuk dakwaan lain. Ini adalah hukuman terberat pertama dalam sejarah hukum Selandia Baru.
Pemerintah Bergerak Cepat
Hanya sepekan pascaserangan, Selandia Baru mengesahkan pelarangan senjata semi-otomatis bergaya militer, magazin berkapasitas tinggi, dan program buy-back nasional.
Selain itu, seluruh masjid sempat ditutup. Polisi memulai Operasi Whakahaumanu untuk memantau ratusan ekstremis potensial. Namun sejumlah penggeledahan kemudian dinyatakan melanggar prosedur oleh lembaga pengawas IPCA.
Di sisi lain, gelombang solidaritas mengalir. Lebih dari 20 ribu orang memenuhi Hagley Park dalam aksi damai. Komunitas lintas agama hingga geng jalanan Māori turun melakukan haka untuk menghormati para korban.
PBB kemudian menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional Melawan Islamofobia.
Luka Korban yang Masih Dalam
Mohsan Ali, salah satu penyintas, mengenang detik-detik mencekam di dalam masjid.
“Saya tiba-tiba sadar istri saya yang sedang hamil masih ada di ruangan salat perempuan,” katanya, dikutip dari laporan investigasi resmi.
Dampak Global dan Warisan Abadi
Penembakan Christchurch menjadi inspirasi bagi serangan serupa di Poway (AS), El Paso, dan Bærum (Norwegia), yang menggunakan metode manifesto dan live-stream seperti Tarrant.
Di Selandia Baru, media memilih tidak lagi menyebut nama pelaku dalam peliputan. Tujuannya jelas: menghentikan glorifikasi pelaku dan menempatkan fokus pada korban.
Serangan ini menjadi pengingat kelam bahwa kebencian dan ideologi supremasi bisa membunuh dalam skala besar—dan bahwa melawannya butuh keberanian, hukum yang kuat, dan solidaritas tanpa batas.
(mis)
Penembakan brutal di dua masjid Christchurch tewaskan 51 orang. Brenton Tarrant dijatuhi hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.