27/05/2025
Aku deprèsi selama 26 tahun ini setelah suamiku hilang di Makkah waktu kami umrah. Padahal aku baru mengàndung 3 bulan anak pertama kami. Apakah aku harus senang karena dia hilang di Rumah Allah?
#7
Aku hanya mengangguk saja untuk menangggapi ucapan Nyonya Zaheen. Aku bisa memaklumi kalau anak sepertinya memang ada di dunia ini, meskipun baru kali ini berhadapan langsung dengan anak seperti itu. Apalagi dia sudah hidup di negara barat bertahun-tahun, pasti budaya barat memengaruhi hidupnya seperti sekarang ini.
Sewaktu kuliah dulu pun, aku sudah mempelajari bagaimana seorang anak bisa berubah menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Itu karena salah satunya efek dari faktor lingkungan. Teman sepermainan dan lingkungan sekitar bisa sekali memengaruhi diri kita, kok. Maka dari itu, banyak orangtua yang melarang anaknya bergaul dengan teman-teman yang tidak baik. Mereka takut pergaulan buruk itu merusak anak-anak mereka. Itu yang dialami—siapa nama pria itu tadi? Aku lupa!
"Ayo, kita sarapan! Aku bangun lebih awal setiap pagi, memasak untuk keluargaku. Hari ini kau harus mencoba makanan Arab, kuyakin kaus**a. Aku muslim, jadi kau tidak perlu khawatir!" ajak Nyonya Zaheen dengan begitu baik. Aku hanya mengangguk patuh untuk menanggapinya.
Mendapat persetujuanku, Nyonya Zaheen langsung menggandengku masuk ke lorong sebelah kanan. Lorong itu yang kudengar ada keributan tadi, ternyata benar itu adalah dapur.
Saat memperhatikannya, dapur Nyonya Zaheen ini benar-benar versi modern. Aku sering melihatnya di media sosial, bagus sekali. Ada kitchen set yang tinggi dan panjang, di depannya terdapat meja makan dengan sepuluh kursi, dan ada mini bar juga.
Oh, ternyata lorong kamarku memiliki jalan pintas ke dapur ini. Tepat arah lurus aku berdiri sekarang ini, ada lorong yang posisinya ada di belakang kamar-kamar. Ah, aku tidak menyadari itu karena langsung masuk ke kamar dan tidak berkeliling. Di sebelah kanan dapur pun kulihat ada pintu yang entah ada apa di luar sana. Tetapi, ada cahaya matahari yang mulai masuk ke area itu. Sayangnya, aku tidak tahu itu area apa, mungkin halaman belakang rumah Nyonya Zaheen.
"Kaududuklah! Suami dan anakku akan kemari sebentar lagi," kata Nyonya Zaheen dengan menarik kursi untukku. Aku langsung mendudukinya dengan sopan seraya menunggu anggota keluarga Nyonya Zaheen berkumpul.
Dapur Nyonya Zaheen ini sangat wangi makanan, aku bisa mencium aroma masakan ini yang pastinya sangat menggugah selera. Sangat berbeda jauh dengan dapur di rumahku, aromanya hampir sama setiap hari karena kami tidak mungkin banyak mengganti menu makanan dengan lauk yang lumayan mahal. Ya, kami tidak sekaya Nyonya Zaheen yang bisa memasak begitu banyak makanan dalam sekali makan.
"Sabah alkhayr ya, Zaheena!"¹ Aku langsung menoleh ketika suara itu terdengar. Ternyata itu suara dari suami Nyonya Zaheen yang baru saja datang ke dapur. Satu hal yang dia lakukan ketika melihat Nyonya Zaheen, mencium kepalanya dengan penuh cinta.
Kalau saja Abi ada di samping Umi selama ini, mungkin aku tidak akan berada di sini melihat keluarga harmonis orang lain dan merasa iri dengan kebahagiaan dan kehangatan mereka. Oh ya, aku lupa menelepon Umi, dia pasti ingin tahu kabarku sekarang ini. Setelah sarapan nanti aku akan menelepon, kali ini jangan sampai lupa lagi seperti tadi malam. Umi pasti cemas dengan keadaanku di Arab.
"Selamat pagi! Gunakanlah bahasa Inggris, Zoya tidak mengerti pembicaraan kita!" kata Nyonya Zaheen yang langsung memberi tahu suaminya.
Tuan Shadiq refleks menatapku, lalu mendekat dengan senyuman di wajahnya. "Maafkan aku, Nak! Aku melupakanmu," katanya sambil memegang kepalaku dengan lembut.
Mungkin ini tradisi mereka yang s**a memegang dan mengusap kepala anak-anaknya. Tetapi, aku? Aku bukan anaknya.
"Tidak apa-apa, Tuan, aku memahami kondisinya. Aku yang tidak mengerti bahasa kalian. Justru, aku yang harus berterima kasih pada kalian karena sudah mau mengganti dengan bahasa yang kumengerti!" jelasku dengan suara pelan dan sedikit menunduk tanda hormat. Pasangan suami istri itu hanya tersenyum untuk menanggapiku.
Nyonya Zaheen meletakkan wadah-wadah makanan di meja makan yang dibantu para pelayannya. Melihat itu, aku langsung bangkit untuk membantu, tetapi Nyonya Zaheen malah melarang dengan tangannya agar aku diam.
"Kaududuk saja, Zoya! Tidak ada tamu yang membantu di dapur, kaumakan saja!" katanya dengan marah. Aku hanya mengangguk saja, tidak ingin membantah ucapannya yang memang tidak menginginkan aku untuk ikut serta.
Sekarang, aku hanya bisa memperhatikan mereka yang sedang menata semua wadah makanan di meja makan. Kalau di Indonesia pasti tuan rumah sangat senang dibantu. Kalau tamunya tidak ingin membantu apa-apa pun, mulutnya pasti nyinyir. Di sini berbeda, tamu adalah ratu, Nyonya Zaheen sangat menjamu tamunya dengan begitu baik. Walaupun sebenarnya aku sudah menumpang tempat tinggal padanya, dia tetap menjamu dengan maksimal.
"Duduklah, Suamiku! Aku akan memanggil Ameer dulu," katanya pada Tuan Shadiq dengan suara lembut.
Setelah Nyonya Zaheen pergi, Tuan Shadiq mulai menyendokkan makanannya. Dia juga mempersilakan aku untuk ikut mengambilnya. Tentu saja aku harus mengikuti, meskipun dengan malu-malu dilakukan.
"Ayo, makan! Kau akan sàkit perut kalau tidak sarapan. Jangan ulangi kesalahanmu itu, Ibu tidak s**a kau sakit dan lebih mementingkan pekerjaan!" Nyonya Zaheen datang dengan mengomel. Dia datang dengan Ameer yang ada di sebelahnya. Tetapi, Ameer hanya diam dengan senyuman di wajahnya ketika mendengar omelan Nyonya Zaheen. Dia patuh sekali dinasihati Nyonya Zaheen dibalut omelan itu.
"Ayo, Zoya, ambillah lauknya lebih banyak! Ini rumahmu, jangan sungkan, Nak!" Nyonya Zaheen memberiku banyak makanan. Dia menyendokkan semua yang ada di meja ke piringku. Aku ingin menolak, tetapi tidak pantas karena dia terlihat baik dan antusias.
"Kau akan memulai pencarian di mana?" Ameer bertanya padaku tiba-tiba. Aku refleks menatapnya dengan kunyahan yang hendak tersembur.
Saat menatapnya, aku sedikit tertegun. Kenapa wajah Ameer terlihat lebih bercahaya, ya? Apakah dia sering berwudu dan salat? Senyumnya apalagi, sangat berbeda dari senyum orang-orang yang kutemui. Ah, kenapa aku jadi memikirkan wajah Ameer?
"Makkah, aku akan mencari di sana. Tetapi, aku akan mencari apartemen murah terlebih dulu," jawabku pelan sambil menunduk. Saat kulirik dari ekor mata, Ameer hanya mengangguk mantap sambil mengunyah sendokkan pertamanya.
"Kau akan mencari apartemen di mana, Nak? Lebih baik kautinggal bersama kami hingga ayahmu ditemukan! Kau bisa menyimpan uang itu, apartemen di sini cukup mahal. Lagi p**a, aku takut kau kenapa-kenapa!" kata Nyonya Zaheen dengan khawatir.
Aku tahu kalau Nyonya Zaheen memang sangat baik. Dia selalu memperhatikanku seperti anaknya sendiri. Tetapi, aku tidak bisa terus bergantung padanya selama di Arab. Itu akan sangat merepotkan orang lain, aku tidak ingin melakukannya.
"Tidak, terima kasih, Nyonya Zaheen. Aku akan mencari apartemen sebisaku. Aku tidak s**a merepotkan orang lain, apalagi kau sudah begitu baik padaku!" kataku menolak dengan halus. "Uangku cukup untuk menyewa apartemen selama sebulan ini. Tetapi, aku memang butuh bantuanmu untuk memberikan petunjuk hidup di sini dan bagaimana caranya untuk ke Makkah!" lanjutku menjelaskan.
Kulihat Nyonya Zaheen mengangguk mantap sambil mengunyah makanannya. Dia begitu memperhatikan orang lain ketika berbicara, bukan hanya diriku saja. Sementara itu, Tuan Shadiq dan Ameer tampak menikmati sarapannya tanpa bersuara. Mungkin keduanya memang tidak s**a makan sambil bercakap-cakap.
"Keluargaku akan membantumu, Nak! Aku akan mencari apartemen bagus untukmu. Kau ingin di Jeddah atau Makkah?" tanyanya yang langsung membuatku memikirkan ulang.
Jeddah atau Makkah, aku tidak tahu bedanya apa. Keduanya memang dekat dengan posisi hilangnya Abi, jadi aku tidak bisa memutuskan. Lagi p**a, yang tahu daerah itu hanya Nyonya Zaheen, aku tidak tahu apa-apa. Bagaimana kondisinya, biaya sewa, dan akses yang memadai, Nyonya Zaheen bisa memberi tahuku untuk memutuskannya.
"Terserah kau saja, Nyonya Zaheen. Aku tidak mengetahui daerah sini," jawabku dengan malu. Dia tertawa sambil mengusap lenganku pelan.
Kami melanjutkan sarapan dengan damai. Kini, tidak ada yang bersuara lagi karena semuanya fokus memakan isi piring. Namun, aku penasaran kenapa anaknya Nyonya Zaheen yang satu lagi tidak ikut sarapan? Apakah anaknya pergi? Atau, dia memang tidak s**a berkumpul begini?
***
Setelah selesai sarapan, aku juga ingin membereskan semua wadah makanan, tetapi lagi-lagi Nyonya Zaheen melarang untuk melakukannya. Alhasil, aku disuruh untuk menghabiskan waktu dengan menonton TV di ruang keluarganya.
Apakah ini enak? Tentu saja tidak! Siapa yang mau bersantai di rumah orang lain di saat pemilik rumah tengah sibuk berbenah di dapur? Aku malu pastinya. Lagi p**a, untuk apa aku menonton TV? Apa yang bisa kutonton dari siaran TV Arab ini? Memangnya aku mengerti bahasa Arab? Menonton gambar tanpa mendengar suara, itu tidak enak. Kalau bahasanya Indonesia, mungkin aku masih bisa menonton hanya dengan gambar saja, meski tidak enak sekalipun.
"Hei, kau tamu di rumah ini!"
Saat sedang melamun, aku mendapati pria tidak beretika itu lagi. Dia berbicara dengan menunjukku, nadanya pun keras dan tersirat tidak s**a. Aku tidak tahu dia datang dari mana, tetapi dia sudah berdiri di samping lemari TV dengan tangan yang bersilang dada.
"Kenapa?" tanyaku langsung dengan ekspresi biasa, tidak senyum atau marah.
"Lebih baik kaubereskan kamarku! Aku tidak sempat," katanya dengan enteng. Mendengar itu, aku langsung melotot karena dia dengan beraninya menyuruh untuk ... apa tadi? Membereskan kamar? Tidak ada etikanya sama sekali!
"Mengapa kau menyuruhku? Aku bukan pèlàyan di rumah ini!" jawabku dengan menatapnya tàjam. Dia ingin mendekatiku, tetapi kemudian berhenti.
"Kau, kan, menumpang di sini, aku hanya memintamu membereskan kamar. Kau ini malas sekali!" katanya dengan sarkas. Melihat ekspresinya yang menatap dengan masam dan ucapannya sudah merendahkan, aku langsung berdiri menantangnya.
"Maaf, ya, Tuan. Aku memang menginap di rumah ini, tetapi tidak ada sedikit pun niatku ingin terus menumpang! Kau kurang ajàr sekali, tidak beretika! Apa yang kaupelajari di Amerika? Tidak ada selain keangkuhan!" kataku dengan ketus untuk membalas hinaannya tadi. Aku juga menatapnya tajàm, biar dia tahu saja kalau aku tidak bisa diinjak seperti ini.
Karena ucapanku barusan, dia terkejut dan bergerak ingin menyentuh. Tetapi, aku langsung mundur agar tidak bisa dijangkaunya. Aku juga takut kalau dia melakukan sesuatu. Ini rumahnya, Nyonya Zaheen adalah keluarganya, aku cuma sendirian di sini.
"What's wrong?"² Ameer tiba-tiba datang dengan dahi berkerut.
Catatan Penulis
¹Selamat pagi, Zaheena.
²Ada apa?
JUDUL: CINTA YANG MENEMUKAN JALAN
PENULIS: RENNY JULDID
SUDAH TAMAT 75 BAB DI KBM APP! BACA SAMPAI PUAS!