
23/05/2025
Kisah Dewi Agustiningsih, Anak Sopir Lulusan SMP Jadi Doktor Termuda UGM dan Jabat Dosen ITB
Lahir dari keluarga sederhana, Dewi Agustiningsih membuktikan bahwa keterbatasan ekonomi bukanlah halangan untuk meraih mimpi besar. Dengan tekad kuat dan semangat belajar yang tak pernah padam, perempuan kelahiran 27 Agustus 1998 itu berhasil menyelesaikan pendidikan doktoral di usia yang sangat muda, 26 tahun.
Dewi Agustiningsih ada di antara 1.455 mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diwisuda pada Rabu (23/4/2025) lalu. Ribuan wisudawan itu terdiri dari 1.263 lulusan magister, 83 lulusan spesialis, 17 lulusan subspesialis, dan 92 lulusan doktor.
Di antara para doktor, Dewi Agustiningsih dari Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), meraih penghargaan sebagai lulusan tercepat dan termuda. Biasanya, masa studi program doktor berlangsung sekitar 4 tahun 7 bulan, tapi Dewi berhasil menyelesaikannya hanya dalam 2 tahun 6 bulan 13 hari. Selain itu, ia juga tercatat sebagai lulusan doktor termuda, lulus pada usia 26 tahun 6 bulan. Sebagai perbandingan, rata-rata usia wisudawan Program Doktor kali ini adalah 42 tahun 6 bulan 16 hari.
Pencapaian Dewi sangat membanggakan dan menjadi sumber inspirasi, terlebih karena ia sudah berkarier sebagai dosen di Program Studi Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB). Dewi merupakan lulusan Program Studi Kimia UGM untuk jenjang sarjana pada 2020, kemudian melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan magister serta doktoralnya di UGM pada 2022 dan 2025.
Dari Keluarga Sederhana
Dewi adalah anak bungsu dari tiga bersaudara yang tumbuh di Kelurahan Tukangkayu, Banyuwangi, Jawa Timur. Ayahnya, Suyanto, bekerja sebagai sopir lepas dengan pendidikan terakhir SMP, sementara ibunya, Surahmah, hanya menamatkan pendidikan hingga SD dan sebelumnya bekerja sebagai asisten rumah tangga sebelum akhirnya menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya.
"Kondisi ekonomi keluarga kami sangat terbatas, sehingga kami harus mengelola keuangan dengan sangat hati-hati," kata Dewi dikutip dari Instagram Undercover, Minggu (27/4/2025).
Ketika saudara tertuanya masih sekolah, ayahnya masih bekerja. Namun, saat Dewi duduk di kelas 2 SMP, ayahnya pensiun, dan sejak itu, Dewi merasa semakin berat berjuang, terutama dalam hal pendidikan.
Meski menghadapi keterbatasan, Dewi selalu memiliki semangat belajar yang tinggi. Sejak kecil, ia sering bertanya tentang fenomena alam dan memiliki minat besar pada sains, khususnya kimia. Dewi menyadari bahwa pendidikan adalah kunci untuk merubah kehidupannya dan membanggakan orang tuanya.
Perjalanan akademik Dewi tidak selalu mudah. Salah satu momen penting dalam hidupnya terjadi ketika ia mendengar seseorang meremehkan kemampuannya melanjutkan pendidikan tinggi hanya karena latar belakang ekonomi keluarganya. Orang itu beranggapan bahwa sebagai anak seorang sopir dan mantan asisten rumah tangga, Dewi tidak akan mampu melanjutkan kuliah.
"Saya masih ingat bagaimana ayah dan ibu menangis mendengar perkataan itu. Mereka merasa tidak bisa memberikan banyak untuk pendidikan saya. Namun, justru saat itulah saya bertekad untuk membuktikan bahwa kondisi ekonomi tidak akan menghalangi saya untuk sukses," kenang Dewi.
Raih Beasiswa Bidikmisi
Dewi menyampaikan rasa syukurnya karena berhasil menyelesaikan studi doktoral meskipun menghadapi berbagai tantangan. Ia merasa beruntung dapat memulai pendidikannya pada 2016 melalui dukungan beasiswa Bidikmisi. Setelah meraih gelar sarjana pada 2020, Dewi kembali memperoleh beasiswa dari Program Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU), yang dirancang untuk mempercepat jalur pendidikan S2 dan S3 bagi lulusan terbaik.
"Awalnya saya tidak menyangka bisa menempuh pendidikan hingga tingkat doktoral. Namun setelah lulus S1, saya mendapat kesempatan mengikuti seleksi program PMDSU, dan bersyukur diterima," kata Dewi seperti dilansir situs resmi UGM, Jumat (25/4/2025).
Keterbatasan ekonomi menjadi tantangan terbesar yang dihadapi Dewi dalam menempuh pendidikan hingga meraih gelar doktor. Ia menceritakan bahwa
selama kuliah S1, ia hanya menerima uang saku sebesar Rp600.000 per bulan, yang harus dikelola dengan cermat untuk kebutuhan kos, makan, dan kuliah. Meski demikian, Dewi tidak pernah menyerah. Pengalaman tersebut justru membentuk kemandiriannya hingga mampu menyelesaikan studi sampai tingkat doktoral.
"Motivasi saya sederhana, saya ingin membuktikan bahwa latar belakang ekonomi bukanlah penghalang untuk meraih impian," ucap Dewi.
Dalam studi doktoralnya, Dewi fokus pada sintesis dan pengembangan material katalis berbahan dasar anorganik, khususnya untuk mendukung reaksi organik seperti reaksi cross-coupling. Penelitiannya melibatkan modifikasi material berbasis silika dan titania menggunakan senyawa organosilan serta logam transisi, dengan tujuan meningkatkan aktivitas dan stabilitas katalis tersebut dalam sistem heterogen.
"Penelitian ini bertujuan menghasilkan material yang dapat dimanfaatkan untuk sintesis berbagai senyawa penting, dengan metode yang lebih efisien dan ramah lingkungan," katanya.
Sebagai dosen, Dewi berkomitmen terus melanjutkan penelitian sebagai bagian dari penerapan tri dharma perguruan tinggi. Ia berencana mengembangkan material katalis yang tidak hanya memiliki aktivitas tinggi, tetapi juga stabil dalam berbagai kondisi reaksi. Selain itu, ia berkeinginan membangun kolaborasi lintas bidang, seperti antara kimia material dengan teknik lingkungan atau farmasi, guna memperluas penerapan hasil penelitiannya.
Ke depan, Dewi bertekad untuk terus memperdalam risetnya, khususnya di bidang katalis dan kimia material.
"Saya juga ingin menjadi inspirasi bagi mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari latar belakang sederhana seperti saya, bahwa tidak ada mimpi yang terlalu tinggi selama kita memiliki tekad dan semangat belajar yang kuat," tutup Dewi.