16/10/2025
Aku kira, aku benar-benar sendiri setelah Nenek pergi. Tapi sebuah pesan tentang h a k wa ri s datang, membuka pintu rahasia yang mungkin mengubah seluruh hidupku.
--
Guling Usang Brankas Rahasia Nenek
Nura Syatibi
Bab 1
“Kasihan sekali a n a k itu, sendirian saja di pusara. Tidak ada siapa pun k e l u a r g a nya yang menemani.”
“Dari kecil sudah y a t i m p i a t u, kan? Hanya tinggal sama nenek. Sekarang neneknya pun sudah nggak ada.”
Aku mendengar bisik-bisik itu, walau mereka mencoba merendahkan suara. Mataku basah, pipiku panas oleh a i r m a t a yang tak kunjung kering. Aku masih terduduk di tepi gundukan tanah merah yang baru saja ditutup, memeluk lututku erat-erat.
“Harusnya ada k e l u a r g a yang mengurus. Masa a n a k s e b a t a n g k a r a dibiarkan begini?” suara seorang bapak terdengar lagi.
Aku menunduk semakin dalam, berusaha menutupi wajahku dengan kerudung. Rasanya malu menjadi bahan kasihan, tapi sekaligus sakit—karena semua yang mereka bisikkan adalah kenyataan pahit.
“O r a n g t u a nya kan dulu meninggal kecelakaan. B a l i t a masih merah. Untung ada ibunya yang merawat. Kalau tidak, entah bagaimana nasibnya.”
Hatiku mencelos. Ya, aku masih terlalu kecil untuk mengingat jelas wajah ayah dan ibu. Cerita tentang mereka hanya kudengar dari nenek. Dan kini, o r a n g yang selalu mengisi kekosongan itu pun pergi meninggalkanku.
“Sekarang dia benar-benar sendiri.”
Kata-kata itu menghantamku lebih keras daripada tanah yang menutup jasad nenek.
Aku menggigit bibir, suaraku pecah, “Aku nggak punya siapa-siapa lagi...”
Aku bicara lirih, tapi ternyata terdengar oleh seorang ibu paruh baya yang sejak tadi berdiri tidak jauh. Ia menoleh, mendekat, lalu menepuk bahuku pelan.
“Sabar ya, Nak. Semua ini ujian. Insya Allah almarhumah nenekmu husnul khotimah,” ucapnya lembut.
Aku hanya bisa mengangguk. Tenggorokanku terlalu sesak untuk menjawab.
O r a n g - o r a n g mulai beranjak, menyalami sesama, lalu meninggalkan area pemakaman. Satu per satu suara mereka menghilang, sandal-sandal bergesekan dengan tanah yang berdebu. Sampai akhirnya, hanya tinggal aku, tanah basah, dan bunga tabur yang masih segar.
Aku menoleh kanan-kiri. Sepi. Tak ada lagi suara bacaan doa, tak ada lagi yang menepuk bahu, tak ada lagi yang peduli.
“Emak...” aku menyebut nenekku dengan panggilan yang biasa kupakai sejak kecil, “aku sendirian sekarang. Sendirian...”
Tangisku pecah lagi. Tubuhku bergetar hebat. Aku merasa seluruh kekuatan yang kupaksakan sejak pagi runtuh begitu saja.
--
“Kamila...” suara pelan memanggilku.
Aku menoleh. Itu Bu Marni, tetangga dekat nenek. Perempuan tua dengan wajah keriput yang dulu sering membantu nenek menumbuk bumbu dapur atau sekadar menemani ngobrol sore.
“Pulang dulu, Nak. Hari sudah sore. Jangan lama-lama di sini. Nanti sakit.”
Aku menggeleng pelan. “Aku belum siap ninggalin beliau sendirian, Bu...”
Bu Marni duduk di sampingku, lututnya ia tekuk dengan susah payah. Tangannya menepuk lembut tanganku yang dingin.
“Kamu nggak sendiri, Kamila. Ada tetangga, ada o r a n g - o r a n g yang masih peduli.”
“Tapi bukan k e l u a r g a ...” jawabku cepat, dengan nada serak. “Bukan o r a n g yang bisa aku panggil Ayah atau Ibu. Bukan o r a n g yang bisa aku peluk saat aku kangen...”
Bu Marni terdiam. Sorot matanya berkaca-kaca. “Nenekmu sudah berjuang keras membesarkanmu. Sekarang giliran kamu yang harus kuat, Nak.”
Aku menunduk, meremas tanah basah dengan jemariku. Kata-kata itu memang benar, tapi nyatanya aku merasa tak punya daya.
--
Langit sore mulai menguning. Burung-burung beterbangan kembali ke sarang. Kuburan mulai sepi total.
Aku akhirnya berdiri, meski tubuhku masih gemetar. “Aku pulang dulu, Mak,” kataku pelan.
Bu Marni ikut berdiri, lalu menepuk pundakku. “Kalau butuh apa-apa, datanglah ke rumah. Jangan segan.”
Aku mengangguk.
Di jalan pulang, langkahku gontai. Mataku sembab, kepala pusing karena terlalu lama menangis. Sepanjang perjalanan, suara-suara o r a n g tahlil tadi terngiang-ngiang.
—Kasihan sekali a n a k itu...
—Sejak b a l i t a sudah y a t i m p i a t u...
—Sekarang benar-benar sendiri...
Aku memejamkan mata sejenak, menahan perih yang menikam dada.
--
Rumah Nenek sepi ketika aku tiba. Meja makan kosong, kursi kayu bergoyang sedikit diterpa angin dari jendela. Foto lama nenek tersenyum tergantung di dinding, membuat dadaku kembali sesak.
Aku menaruh tas kecilku di kursi, lalu rebah di lantai. Lelah. Hampa.
“Emak... apa aku kuat hidup sendirian? Aku takut...” aku bergumam pelan.
Jawabannya hanya sunyi.
Telepon genggamku bergetar. Sebuah pesan masuk dari pihak kampus:
“Harap segera mel u n a s i t u n g g a k a n p e m b a y a r a n semester ini. Batas waktu dua minggu.”
A i r m a t a ku jatuh lagi. Seolah dunia ingin menumpuk semua beban di punggungku dalam satu waktu.
“Emak... apa aku bisa lanjut kuliah? Atau aku harus menyerah?”
Aku menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhku kembali terguncang oleh tangis.
Di luar, suara adzan Maghrib berkumandang. Aku menatap langit-langit yang mulai gelap, lalu menatap foto nenek di dinding.
“Mak... kalau Emak masih ada, pasti aku akan baik-baik aja... setelah Emak nggak ada, aku nggak yakin hidupku akan gimana nantinya.”
Tangisku kembali pecah, menutup malam pertamaku tanpa nenek.
--
Kupeluk erat baju terakhir yang Nenek pakai. Kuciumi berulang kali, berharap aroma khas tubuhnya tak pernah hilang. Harum yang begitu akrab menembus dadaku, membuatku semakin hancur. Entah kapan aku berhenti menangis dan tertidur dengan wajah masih basah a i r m a t a.
Pagi itu aku terbangun di kasur yang biasa Nenek tiduri. Bantal di sampingku masih menyimpan jejak basah semalam. Saat menatapnya, rasa sakit itu kembali menyeruak, membuat mataku perih lagi. Rasanya aku ingin menangis tanpa henti.
Lalu—
Ponselku bergetar pelan. Suara notifikasi dari aplikasi hijau.
Dengan ragu aku meraihnya, pikiranku masih diselimuti kabut duka. Namun begitu layar terbuka, jantungku langsung berdegup tak karuan.
Pesan itu dari nomor asing.
“Turut berduka. Kami akan datang meminta h a k w a r i s.”
Aku terpaku.
Siapa o r a n g ini?
H a k w a r i s? Apa maksudnya?
Lanjut?
Judul : Guling Usang Brankas Rahasia Nenek
Penulis : Nura Syatibi
Baca Selengkapnya di KBM App