Livy Dovey

Livy Dovey drama📲
Day in my life💅
trend tiktok👯

06/09/2025

Laki-laki pemain, gapantes bersanding dengan wanita setia & tulus.


05/09/2025

Ada yg nyamar jadi aku di kantor? (PART 2)

“Bowo, sini dulu. Duduk bareng sama kita.”Ratna, kakak sulung, melambai ke arah adik bungsunya yang sibuk mengipas sate ...
03/09/2025

“Bowo, sini dulu. Duduk bareng sama kita.”

Ratna, kakak sulung, melambai ke arah adik bungsunya yang sibuk mengipas sate di sudut halaman villa. Bowo berdiri ragu, tapi akhirnya menghampiri lingkaran keluarganya.

Di sana, sudah duduk seorang perempuan muda bergaun putih sederhana, dengan wajah cantik yang langsung menarik perhatian siapa pun yang melihat. Rambut hitamnya terurai rapi, senyumnya manis.

“Kenalin, Bow,” Ratna membuka suara dengan penuh semangat. “Ini Rani. Rani Prameswari. Ayahnya manajer besar di perusahaan cabang Arsjana. Kaya raya, sukses. Nggak kayak…” Ratna melirik sinis, “…Virly itu.”

Mak Sulastri ikut menimpali dengan suara tajam. “Iya, Bowo. Kamu tuh kasihan, punya istri lusuh, nggak ada harganya. Orangtuanya aja cuma petani di kampung, apa yang bisa dibanggain? Lihat Rani ini. Cantik, sopan, berpendidikan, dan keluarganya terpandang.”

Rani tersenyum, menunduk sopan. “Mbak Ratna terlalu memuji. Saya biasa aja, Bu.”

Siti menepuk bahu Bowo. “Coba bandingin, Bow. Kamu udah 9 tahun sama Virly, apa yang kamu dapat? Dia cuma bisa numpang, bikin repot. Kalau sama Rani, hidupmu bisa berubah. Bisa mapan, bisa punya nama.”

Bowo terdiam, pandangannya teralih pada Rani. Ada rasa ragu yang tiba-tiba menyeruak. Dalam benaknya, bayangan wajah Virly muncul—wanita yang dulu ia nikahi dengan janji sederhana. Tapi sekarang… Virly terlihat lusuh, lelah, wajahnya selalu pucat karena kehabisan tenaga mengurus rumah.

Untuk apa aku terus bertahan? pikirnya. Sembilan tahun… aku sudah bosan. Aku butuh yang baru.

Dedi ikut menyela dengan tawa keras. “Bowo, jangan bodoh. Hidup itu butuh naik level. Kamu mau stuck sama Virly terus? Dia nggak bisa ngasih apa-apa buat kamu. Kalau sama Rani, kamu bisa punya segalanya.”

Tari menimpali dengan nada menggoda. “Iya, apalagi Rani ini masih muda, cantik. Cocok banget kalau jadi pendamping kamu. Bukan kayak Virly yang udah kayak babu.”

Mak Sulastri mengangguk mantap. “Dengar kata Ibu, Bow. Kamu itu anak bungsu, masa depanmu masih panjang. Jangan buang waktu dengan perempuan salah. Virly itu nggak pantas. Udah, kamu mulai serius aja sama Rani.”

Rani menoleh ke Bowo, menatapnya dengan senyum yang penuh arti. “Kalau Mas Bowo nggak keberatan, saya juga… mau lebih kenal dekat.”

Bowo menunduk, dadanya berdebar aneh. Ia menatap wajah Rani yang lembut, lalu teringat Virly yang kini sendirian di rumah, mungkin sedang mengurus Naya. Hatinya berperang sebentar, tapi suara keluarganya lebih keras.

Apa gunanya bertahan sama Virly? Dia nggak bisa bikin aku hidup lebih baik. Aku butuh yang baru.

Perlahan, Bowo mengangguk. “Iya, aku… aku juga pengen kenal lebih dekat, Rani.”

Sorak sorai keluarganya meledak. Ratna menepuk tangan, Dedi bersiul, Siti tertawa puas.

“Pintar! Itu baru adik bungsu yang nurut kata keluarga!” seru Mak Sulastri dengan wajah bersinar penuh kemenangan.

---

Malam itu, di villa, Bowo mulai intens berbincang dengan Rani. Mereka duduk agak menjauh, tertawa kecil, seolah dunia hanya milik berdua. Keluarganya mengawasi dengan puas.

Sementara itu, di rumah kecil di kampung…

Virly sedang duduk di ranjang reyot bersama Naya. Ponselnya tiba-tiba berdering. Ia terlonjak kaget ketika melihat nama yang muncul di layar.

Fadlan. Kakak laki-lakinya yang selama ini ia rindukan, sosok yang ganteng, berwibawa, dan selalu melindungi dirinya sejak kecil.

Dengan tangan gemetar, ia mengangkat telepon. “Halo, Kak…” suaranya lirih, nyaris pecah.

“Vir.” Suara Fadlan terdengar tegas namun penuh kehangatan. “Besok pagi aku akan ke rumahmu. Aku nggak tahan dengar kabar kamu diperlakukan seperti ini. Kamu harus ikut aku p**ang ke kota.”

Air mata Virly jatuh tanpa bisa ia tahan. “Kak… aku… aku pengen p**ang. Tapi aku nggak bisa langsung pergi begitu saja. Aku terlalu banyak diinjak, terlalu banyak dipermalukan. Aku harus balas, Kak. Aku harus tunjukkan siapa aku sebenarnya.”

Fadlan terdiam sejenak di seberang. “Vir, kamu nggak perlu balas dendam. Kamu sudah cukup menderita. Pulang saja, biar aku yang urus semua.”

Virly menggeleng keras, meski kakaknya tak bisa melihat. “Nggak, Kak. Selama ini aku dianggap sampah, dianggap numpang, dihina sebagai menantu nggak berguna. Aku nggak bisa pergi begitu saja. Aku akan berubah. Dari menantu tertindas, aku akan tunjukkan kalau aku Virly Arsjana… pewaris konglomerat!”

Naya yang duduk di pangkuannya menatap polos. “Mama kenapa teriak-teriak?”

Virly mengusap rambut putrinya, lalu menjawab dengan suara bergetar. “Mama lagi janji sama Kak Fadlan, Nak. Janji kalau Mama nggak akan diinjak-injak lagi.”

Fadlan akhirnya menghela napas berat. “Baiklah. Kalau itu tekadmu, aku dukung. Besok pagi aku datang. Kita rencanakan semuanya. Tapi ingat, Vir, jangan takut. Kamu bukan sendiri. Kamu punya aku, kamu punya keluarga besar Arsjana.”

Virly menutup telepon dengan tangan gemetar. Matanya berkilat, air mata bercampur dengan tekad membara.

“Mulai besok, aku bukan lagi Virly si babu. Aku adalah Virly Arsjana. Dan mereka semua akan menyesal.”

---​

Baca selengkapnya di KBM App.
Judul : Kulayani Mertua dan Keluarga Ipar Tapi Mereka Tak Menganggapku
Penulis : rahmalaa

Kusiram Istriku dengan kuah rendang karena mengataiku pengangguran. Aku pikir Dia akan jer a dan menyadari kesalahannya....
03/09/2025

Kusiram Istriku dengan kuah rendang karena mengataiku pengangguran. Aku pikir Dia akan jer a dan menyadari kesalahannya. Ternyata yang dilakukan istriku adalah .....
Bab 5

Seperti biasa, Halimah dan Fajar selalu berangkat bersama, tak jarang senandung kecil mereka nyanyikan bersama mengiringi langkah mereka. Hingga langkah itu terpisah di depan pagar sekolah dasar tempat Fajar menimba Ilmu.

Lambaian tangan dan senyuman penuh kasih sayang Halimah selalu terpancar saat Fajar kembali menoleh beberapa kali sebelum bayangannya menghilang di balik bangunan kayu itu.

Halimah memandangi langkah sang putra yang masuk menuju sekolah bersama anak-anak lain. Kontras sekali penampilan anaknya didibandingkan dengan anak lain. Pakaian Fajar terlihat sudah lusuh saat anak lain memakai seragam baru yang bersih. Sementara Fajar hanya memakai seragam bekas tetangga yang diberikan padanya.

"Maafkan Ibu ya, Nak. Belum bisa memberikan kamu seragam seperti anak lain," lirih Halimah dengan perasaan sedih.

Halimah mulai menyusuri jalanan membawa kue-kue buatannya. Ia masuk ke lorong-lorong menawarkan dagangannya. Langkah itu terhenti sesaat ketika Ia melewati rumah orang tuanya yang kini sudah reot. Bangunan kecil itu sudah sangat tua dan mungkin sebentar lagi akan roboh jika terkena hujan badai dan angin ribut.

Kenangan demi kenangan memenuhi ingatan. Meski rumah itu sederhana, tetapi kenangannya sangat istimewa. Halimah tak mampu melupakannya.

Ia masih ingat dengan jelas saat detik-detik terakhir sebelum kedua orang tuanya dijemput ajal.

"Halimah, maaf jika kami tak bisa memberimu hidup yang berkecukupan. Namun, satu hal yang harus kamu tahu, kami menyayangimu seperti anak sendiri," ucap Ayahnya kala itu.

"Ma-maksud Ayah, apa?" tanya Halimah tak mengerti, matanya basah.

"Sebenarnya kamu bukan anak kami, Halimah. Kami menemukanmu hanyut di sungai terbawa arys. Kami merawatmu seperti anak sendiri." Tangis Halimah makin pecah mendengar kebenaran itu. Belum sempat Ia bertanya lebih banyak. Orang tuanya telah mengembuskan nafas terakhir.

Halimah mengusap sudut matanya yang mulai basah. Kembali pada dunianya sekarang yang sudah menjadi seorang Ibu.

Saat Ia keluar dari lorong kecil, Ia berpapasan dengan Zainab, saudara Maimunah—mertuanya.

"Halimah tunggu!" panggilnya saat Halimah ingin berbelok.

"Iya, ada apa, Bi?" tanya Halimah, menyapanya dengan ramah.

"Bibi mau ngundang kamu, minggu besok mau adain hajatan. Nikahannya si Maria. Jangan lupa datang ya, kalau bisa dua hari sebelum acara, biar bisa bantu-bantu. Ya ... Kalau gak bisa bantu pakai uang, ya bantu pakai tenaga," katanya sambil menyoroti penampilan Halimah dengan tatapan menghakimi. Beberapa kali Ia melirik bakul berisi kue-kue. "Jangan lupa bilang sama mertuamu juga," imbuhnya lagi.

"Iya, Bi," jawab Halimah sambil mengangguk patuh. Ia sudah terbiasa bila mendapatkan tatapan tak enak dari keluarga suaminya. Mereka memang tidak menyukai Halimah dari dulu. Halimah pun tidak mengerti mengapa mereka seperti itu, padahal Halimah tidak pernah berbuat salah pada mereka.

Ketimbang memikirkan itu lebih jauh, Halimah memilih melanjutkan langkahnya untuk menawarkan kuenya. Matahari mulai naik, keringat bercucuran di pelipis, dan kuenya masih banyak. Bahkan separuhnya pun belum laku.

Halimah tersenyum getir ketika melihat pantulan dirinya di kaca rumah warga yang kebetulan Ia lewati. Saat dirinya panas-panasan berjaja kue, suaminya malah enak-enaakn tiduran di rumah. Ia berharap ini semua cepat berkahir.

Saat sedang merasa putus asa, Tiba-tiba seorang wanita memanggilnya.

"Halimah... Sini!" panggilnya melambaikan tangan di depan pagar rumah mewahnya.

Halimah terkesiap, gegas Ia menghampiri wanita itu.

"Kamu masih ingat Aku, kan, Halimah?" tanyanya sambil menunjuj dirinya sendiri.

Halimah memicingkan mata mencoba mengingat.

"Hesti, kan? Teman satu kelasku waktu Aliyah?" Halimah memastikan.

"Iya, Halimah Aku Hesti," jawab wanita dengan daster selutut itu sumringah. Ia mengajak Halimah masuk dan duduk di gazebo. Halimah melirik sekitar, ada kekaguman di hatinya melihat temannya yang dulu juga memiliki kesulitan ekonomi kini sudah suskes.

"Aku dengar kamu kerja di luar negeri, Hes. Kapan balik ke indonya?" tanya Halimah penasaran. Karena setahunya setelah lulus Aliyah Hesti ambil private bahasa asing selama enam bulan, setelah itu baru kerja keluar negeri jadi TKW.

"Baru dua hari lalu sih, kemarin Aku lihat kamu, mau manggil kamunya malah udah pergi," kata Hesti seraya menyuguhkan segelas teh hangat ke hadapan Halimah dan juga toples berisi kue kering.

"Oh, gitu. Hebat juga ya kamu p**ang dari luar negeri bisa bangun rumah," puji Halimah. Jujur saja Ia jadi sedikit canggung melihat kesuksesan Hesti sekarang. Mendadak Ia merasa insecure dengan dirinya yang hanya pedagang kue keliling. Halimah merasa dirinya dan Hesti sudah beda kasta.

Hesti tertawa ringan menanggapi ucapan Halimah. "Minggu depan Aku mau berangkat lagi, kamu mau ikut nggak?" tawar Hesti.

"Hah? A-aku?"

"Iya Halimah. Memangnya Kamu nggak pengen punya rumah sebagus ini? Mending kamu ikut Aku kerja di LN, gajinya besar, dari pada cuma jual kue keliling, cukup buat apa coba? Beli makanan juga paling cukup untuk bikin taik gigi, " ucap Hesti berniat memanasi Halimah. Namun, dalam sudut pandang Halimah, Hesti malah terlihat sombong dari kalimatnya barusan.

Halimah tersenyum kecil. "Nggak deh Hes. Aku di sini saja, berapa pun penghasilanku Aku syukuri dari pada harus meninggalkan anakku," tolak Halimah.

Memang sih bekerja di luar negeri itu gajinya menggiurkan. Halimah memang ingin memiliki penghasilan besar agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Fajar. Tapi kalau harus berjauhan, Halimah tidak sanggup. Lagi p**a tak pernah terpikirkan olehnya untuk meninggalkan sang anak dengan alasan bekerja. Biarlah hidupnya susah, asalkan bisa membersamai tumbuh kembang anaknya.

Halimah percaya setiap manusia memiliki takaran rezekinya masing-masing. Seberapa keras pun berusaha kalau memang rezekinya sedikit maka sedikitlah yang didapat. Bukankah dalam Al-qur'an sudah dijelaskan bahwa tak ada satupun binatang melata di muka bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya? Jadi, untuk apa khawatir, selagi kita berusaha, maka Allah akan cukupkan kebutuhan kita. Lain halnya bagi manusia rakus, berapa banyak pun yang didapat tak akan pernah merasa cukup.

"Ayolah Halimah, kamu bisa kok balik ke sini tiap enam bulan sekali. Kerjanya juga gak capek-capek amat." Hesti mencoba merayu Halimah.

Halimah mengernyit. "Memangnya apa kerjaannya, Hes? Kenapa bisa gak capek tapi gajinya besar," tanya Halimah penasaran. Ia menatap serius kepada Hesti menunggu jawaban.

"Bisalah. Cuma modal ngangkang doang."

"Astaghfirullah, Hesti!" Halimah kaget bukan main mendengar jawaban Hesti. Bisa-bisanya temannya itu menawarinya pekerjaan laknat seperti itu.

"Biasa aja kali, selain dapat uang juga dapat kepuasan. Gimana? Mau nggak?" Hesti malah bersikap santai, tak peduli sama sekali dengan keterkejutan Halimah.

"Demi Allah Aku tidak akan mau bekerja seperti itu!" kata Halimah tegas, "Biarlah Aku hidup melarat tapi jelas yang Aku makan itu halal. Dari pada punya mewah seperti ini, tapi Haram!" Halimah menatap Hesti miris. Tak habis pikir kalau ternyata Hesti sudah sangat jauh.

"Ya elah! Gak usah munafik deh, Lo! Kalau lo liat duit sekoper juga bakalan kebuka tu jilbab sama pakaian Lo!" sentak Hesti emosi.

"Istighfar Hesti! Kamu sadar nggak kalau yang kamu lakukan itu dosa? Ingat azab Hesti!" Halimah mengingatkan.

"Makan tu azab!"

Halimah segera berdiri dan keluar dari rumah Hesti. Entah kenapa rasanya terlalu lama di sana membuat Halimah tidak nyaman, apalagi setelah tahu pekerjaan Hesti. Berkali-kali Halimah beristighfar sembari menjauh dari bangunan mewah itu.

Setelah berjalan cukup jauh, tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing. Tubuh Halimah hampir jatuh ke tanah kalau tidak ada yang menahannya.

"Mbak Halimah kenapa, Mbak?" tanya seorang Pria yang Halimah sangat kenal suaranya.

---

Baca selengkapnya di KBM app.
Judul: Kuah Rendang Di Jilbab Istriku
Penulis: Umi Kalsum LTF_SKMM

Ini kurang sopan si..
03/09/2025

Ini kurang sopan si..

03/09/2025

Semua bakalan indah pada waktunya

Tetap tenang Ahmad sahroni meskipun rumah+isi abis,jabatan lenyap saldonya masih banyak😀
02/09/2025

Tetap tenang Ahmad sahroni meskipun rumah+isi abis,jabatan lenyap saldonya masih banyak😀

“Malam itu… kamar mewahku terasa dingin.Aku duduk termenung di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela yang tertutu...
01/09/2025

“Malam itu… kamar mewahku terasa dingin.
Aku duduk termenung di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai.
Air mataku jatuh begitu saja. Aku merasa terlalu lelah menanggung semua sendirian.

Tiba-tiba… terdengar suara pelan di balik pintu.
‘Ma… boleh saya masuk?’

Aku terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara bergetar,
‘Masuklah, Nak…’

Pintu terbuka perlahan. Menantuku berdiri di sana, wajahnya terlihat cemas.
Dia melangkah masuk, menutup pintu, lalu duduk di sampingku.

‘Ma, saya dengar Mama menangis. Ada apa? Ceritakanlah…’

Aku menarik napas panjang, suaraku lirih.
‘Nak… malam-malam seperti ini… selalu membuat Mama hancur.
Sejak Papa tidak ada… kamar ini seperti penjara.
Siang hari Mama bisa tertawa, bisa tersenyum… tapi malam selalu mengembalikan luka itu.’

Tangisku pecah. Aku menunduk, menutup wajah dengan kedua tangan.
Dia meraih tanganku pelan, menatap penuh empati.

‘Ma… jangan simpan semua sendiri. Saya ada di sini. Malam ini biarlah saya menemani Mama.’

Aku menoleh padanya dengan mata sembab.
‘Kamu tahu, Nak… betapa beratnya jadi sendiri di usia ini?
Orang-orang hanya melihat Mama kuat, tapi tidak ada yang benar-benar tahu betapa rapuhnya hati Mama.
Kadang Mama hanya ingin ada bahu untuk bersandar. Kadang Mama hanya ingin ada yang mendengarkan… tanpa menghakimi.’

Dia tersenyum tipis, lalu menepuk pundakku.
‘Ma, jangan takut lagi. Saya akan mendengarkan semua cerita Mama.
Curahkan apa pun yang Mama pendam. Saya janji… malam ini Mama tidak akan sendiri.’

Aku terisak lagi, lalu perlahan mulai bercerita.
Tentang kesepian panjang yang tak tertahankan.
Tentang foto-foto lama yang selalu kupeluk sebelum tidur.
Tentang doa-doa yang kuucap sambil menahan tangis.

Dia mendengarkan tanpa memotong.
Sesekali hanya berkata pelan,
‘Saya mengerti, Ma… lanjutkan, saya di sini.’

Setiap kata yang kuucapkan membuat air mataku jatuh semakin deras.
Namun di saat yang sama, hatiku terasa sedikit lebih ringan.
Aku merasa ada yang benar-benar peduli.

Waktu terasa berjalan lambat.
Aku bercerita, menangis, terdiam… lalu kembali bercerita.
Dia tetap di sisiku, tak bergeser sedikit pun.

Akhirnya aku berkata pelan,
‘Terima kasih, Nak. Malam ini Mama tidak merasa sendiri.
Bahkan di usia Mama sekarang… Mama masih butuh seseorang untuk mendengarkan.’

Dia menatapku penuh ketulusan.
‘Ma… mulai malam ini, jangan simpan semua sendirian lagi.
Kalau Mama ingin bercerita, ingin menangis, panggil saya.
Saya akan selalu datang. Saya akan selalu menemani.’

Aku terdiam, lalu tersenyum tipis di balik tangis.
Kamar yang tadinya terasa dingin dan sunyi… malam itu berubah hangat.
Bukan karena cahaya lampu, tapi karena ada hati yang tulus menemani.

Dan untukmu yang mendengar kisah ini…
jangan pernah biarkan orang yang kau sayangi menangis sendiri di balik pintu.
Kadang, kehadiranmu saja… sudah cukup untuk menyelamatkan hatinya.”

Mobil Zain berhenti perlahan di depan sebuah rumah sederhana namun tampak rapi dan terawat. Tidak mewah, tapi juga jauh ...
01/09/2025

Mobil Zain berhenti perlahan di depan sebuah rumah sederhana namun tampak rapi dan terawat. Tidak mewah, tapi juga jauh dari kata buruk. Halamannya kecil, dihiasi pot-pot bunga yang teratur, dan lampu teras yang redup menambah kesan hangat di tengah malam yang dingin.
Cahaya memandang rumah itu dengan bingung.

“Ini di mana? Dan... ini rumah siapa?” tanyanya curiga, menatap Zain.

Zain membuka sabuk pengamannya dan menyahut, “Ini rumahku. Kau bisa menempatinya ses**amu. Daripada kamu cari kontrakan malam-malam begini.”

Ia lalu keluar dari mobil, berjalan ke arah pintu rumah sambil merogoh kunci dari sakunya.

Cahaya menggeleng pelan dan ikut turun dari mobil. “Tidak, lebih baik aku cari kontrakan saja,” tolaknya, berusaha tegas.

Zain menghentikan langkahnya. Ia menatap Cahaya dengan sorot yang sulit dibaca—antara kesal dan peduli.

“Kau keras kepala sekali, ya! Gak berubah dari dulu,” serunya, suaranya meninggi.

Ia berbalik menghadap Cahaya, napasnya sedikit berat menahan emosi.

“Ini sudah malam. Kau mau cari kontrakan di mana? Dan wajahmu itu, pucat sekali. Kau yakin bisa terus berdiri? Bisa gak, dengerin aku sekali ini saja?” lanjutnya dengan nada tinggi, tapi bukan marah—lebih kepada kepanikan yang dibungkus perhatian.

Cahaya menunduk. Tatapan matanya bertemu dengan mata Zain sesaat. Tidak ada amarah di sana. Yang terlihat hanya ketulusan dan kepedulian yang dalam. Itu membuat langkahnya goyah.

“Masuk!” titah Zain akhirnya, suaranya rendah tapi tegas.

Dengan ragu, Cahaya melangkah masuk ke dalam rumah. Aroma wangi kayu dan kopi menyambutnya di ambang pintu. Namun langkahnya langsung terhenti saat memasuki ruang tamu.

Matanya membelalak.

Di dinding dan rak-rak kecil, terpajang foto-fotonya. Foto-foto lama ketika masih kuliah—tertawa, belajar, bahkan ada satu foto diam-diam saat ia tertidur di perpustakaan. Semua potret itu... dirinya.

"Ini...?" gumam Cahaya pelan, nyaris tak percaya.

Zain berdiri di belakangnya, suaranya tenang namun mengandung luka. “Aku belum sempat menurunkan semua gambar itu. Kalau kau tidak s**a, kau bisa membuangnya.”

Cahaya membalik tubuhnya, menatap Zain dengan wajah penuh tanya.

“Tunggu... Jelaskan semuanya. Apakah ini—semua ini—berarti...?”

Zain menghela napas panjang, menunduk sejenak sebelum menjawab.

“Ya. Aku menyiapkan rumah ini untuk kita. Dulu... sebelum kau menikah dengan Burhan. Aku pikir... kita akan hidup di sini. Tapi kau pergi. Kau bahkan tak pernah mengirimkan pesan. Kau kejam, Cahaya...” ucap Zain, suaranya bergetar di akhir kalimat. Namun secepat itu p**a ia menahan dirinya, menarik napas dalam-dalam dan mencoba kembali bersikap biasa.

Seketika itu, keheningan menyelimuti ruangan.

Zain melangkah menuju pintu, mengambil kunci di gantungan dan berkata, “Tunggulah di sini. Aku akan mencari makanan dulu.”

Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar dan menutup pintu. Suara klik dari luar menandakan pintu telah dikunci.

Cahaya tersentak. Ia segera memutar kenop pintu dan menyadari bahwa Zain benar-benar menguncinya dari luar.

“Hei! Zain?” panggilnya, cemas. Ia menempelkan telinganya ke pintu.

Suara Zain terdengar dari luar, agak jauh namun masih jelas.

“Jangan cemas. Aku akan segera kembali. Aku hanya takut kau kabur... seperti dulu lagi!” teriaknya, lalu suara langkahnya menghilang bersama angin malam.

Cahaya berdiri di balik pintu, bingung dan takut, namun juga dipenuhi rasa bersalah yang mulai menyesakkan dadanya.

*

Mata Burhan membulat saat membuka pesan dari rekan kerjanya. Sebuah video kemesraannya dengan Maya—yang direkam diam-diam di kamar hotel—kini tersebar luas di media sosial.

(Mungkin karirmu akan baik-baik saja, Han. Tapi tidak dengan Maya. Dia seorang guru. Tamat sudah riwayatnya.)

Pesan itu masuk dari rekan kerja Burhan, membuat dadanya sesak.

Burhan dengan panik mengetik balasan:

(Apa kau tahu siapa pemilik akun yang pertama kali mengunggahnya?)

Beberapa detik kemudian, balasan muncul.

(Tidak. Ini sudah viral. Banyak yang membagikan. Postingan aslinya sudah tembus puluhan ribu like dan komentar. Yang membagikan pun sudah ratusan. Salah satunya... anakku sendiri. Dia teman sekolah anakmu.)

Burhan tertegun. Jantungnya berdetak semakin cepat. Ia teringat dengan jelas ancaman Adel—anaknya sendiri—kemarin malam.

"Kalau Ayah tidak minta maaf sama Ibu dan terus kayak gini, besok video itu aku sebarkan."

Burhan memejamkan mata sejenak. Peluh dingin mulai membasahi dahinya. Ia bangkit dari duduknya dengan terburu-buru, menuju kamar anaknya. Namun, langkahnya terhenti seketika ketika mendengar suara lirih dari arah kamar ibunya.

“Cahaya... Burhan... Kalian di mana? Ibu basah semua, Nak...”

Suara itu membuat Burhan segera berbelok dan melangkah cepat ke kamar ibunya.

“Ibu!” serunya begitu melihat ibunya terduduk lemah di pinggir ranjang, tubuhnya nyaris terjatuh ke lantai.

“Oh, Tuhan...” desis Burhan, buru-buru menghampiri dan menopang tubuh ibunya. Ia berusaha mengangkatnya ke tengah tempat tidur yang sudah basah oleh air seni.

Aroma pesing menyengat hidungnya. Ia menahan napas, bukan karena jijik—melainkan karena terkejut. Baru kali ini ia mengurus ibunya secara langsung.

“Kemana Cahaya? Biasanya dia datang setengah jam sekali ke kamar Ibu,” gumam sang ibu, matanya menerawang. “Ibu mau buang air kecil tadi... sekarang tempat tidurnya basah. Ibu gak enak, Han...”

Burhan menunduk. Hatinya terasa seperti diremas.

“Cahaya... Cahaya...,” panggil ibunya lirih lagi.

“Biar Burhan yang bantu, Bu,” ucap Burhan pelan, mencoba tenang meski tubuhnya gemetar.

Ia membantu ibunya berdiri dan mendudukkannya di kursi roda. Dengan canggung, Burhan membuka lemari pakaian dan memilih baju bersih, lalu mengganti pakaian ibunya dengan penuh kehati-hatian.

Tubuh ibunya sudah tidak sekuat dulu, tapi masih terasa berat baginya. Ia terengah-engah mengangkat dan membersihkan tubuh renta itu.

Dalam hatinya muncul satu pertanyaan tajam: Kalau aku setengah mati mengurus Ibu sekali ini saja... bagaimana dengan Cahaya yang melakukannya setiap hari?

Setelah memindahkan ibunya ke kursi roda, Burhan mengganti seprai yang basah, meletakkan kasur lipat di atas ranjang agar lebih nyaman, lalu menyemprotkan pewangi ruangan. Semua dilakukan dengan tergesa, namun penuh usaha.

Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Biasanya, di jam ini Cahaya baru selesai mengurus ibunya dan kembali ke kamar. Tapi malam ini, tak ada Cahaya. Tak ada aroma minyak kayu putih yang biasa menempel di tangan dan bajunya. Tak ada senyumnya yang lelah namun tetap ikhlas.

Burhan terduduk di lantai, menyandarkan punggung di sisi ranjang. Napasnya berat. Lengannya pegal. Hatinya semakin nyeri.

Ia baru merasakan satu malam yang penuh kelelahan ini. Dan ia sadar—itulah malam-malam yang telah dilalui Cahaya selama ini... tanpa keluh... tanpa pamrih... dan tanpa pernah ia hargai.

"Bagaimana, Pa? Capek? Enak?"
______

Judul : Seblak Pedas di Wajah Selingkuhan Papaku.
Karya : Arion Aditama
Aplikasi : KBM App

30/08/2025
"Eh, Nari, kok subuh-subuh sudah keramas? Nggak dingin, toh?" Akhirnya pertanyaan seperti itu terlontar jua dari mulut Y...
30/08/2025

"Eh, Nari, kok subuh-subuh sudah keramas? Nggak dingin, toh?" Akhirnya pertanyaan seperti itu terlontar jua dari mulut Yasri kepada menantunya.

"Perasaan Ibu, sejak dulu kamu jarang sekali keramas subuh walaupun suami kamu ada di rumah. Lah, sekarang kok pas suami lembur kerja kamu malah keramas terus?" mulut Yasri benar-benar tidak terkontrol, walau hati terdalamnya mengutuk setiap kata yang terlontar.

"Nggg... enggak, Buk. Malah seger kalau keramas subuh-subuh, bikin ringan kepala. Kan tidak ada larangannya kalau suami tidak di rumah seorang istri tidak boleh keramas subuh kan, Bu? " Inari yang sedang menghentikan kegiatannya mencuci piring di wastafel, sambil memperbaiki handuk yang membalut kepalanya. Bisa Yasri lihat wajah putih mulus itu telah berubah semerah tomat matang.

Tentu saja jawaban Inari menohok Ibu Mertua.

"Emang kenapa, Bu?"

"Eh, ti-tidak kok, Nak. Ibu cuma nanya, soal sudah sebulan ini kamu rutin keramas setiap subuh ..." sedikit terbata Yasri bicara, ia telah dikuasai rasa malu. Cepat-cepat ia mengambil mengisi panci dengan air kran yang ada di depan Inari.

"Iya sih, Bu. Memang sudah sebulan ini aku membiasakannya, setelah membaca sebuah artikel kesehatan yang mengatakan kalau keramas subuh itu baik untuk kesehatan, Bu." Inari sedikit menghindar untuk memberi ruang pada Ibu mertuanya.

Yasri tersenyum kikuk, merasakan mukanya memanas, ia menyadari kalau pikiran buruknya telah begitu menjerumuskannya. Ia bahkan sanggup menanyakan hal yang sejati begitu sensitif untuk hubungan antara mertua dan menantu.

"Dan Ibu yang semakin membuatku yakin akan artikel itu. Ibu kan juga selalu keramas menjelang subuh kan? Makanya Ibu walau sudah tidak muda lagi tapi masih begitu bugar seperti ini." Nada bicara Inari yang begitu tenang semakin membuat Yasri tidak enak, sementara panci masih belum terisi penuh.

"I-ya, Nak. Me-memang kalau kita membiasakan mandi subuh akan sangat berdampak untuk kesehatan dan kebugaran tubuh. Ibu sudah menerapkan itu sejak seusia kamu, syukurlah kalau kamu juga...."

Maksud hati ingin memberi wejangan tentang baiknya mandi subuh pada menantu sekalian mengusir rasa tidak enak karena telah menanyakan hal yang tidak etis, malah mata Yasri terpaku pada leher jenjang Inari.

"Iya, Bu. Itulah yang telah kulakukan selama sebulan ini. Dan khasiatnya memang langsung terasa. Sekarang kepalaku terasa lebih ringan, migrenku juga tidak pernah kambuh lagi, segar sepanjang hari pokoknya Bu." Inari membubuhkan tawa kecil di ujung kalimat, lalu dia kembali mengambil piring dan menggosok dengan spons yang masih dipegang tanpa menyadari tatapan Ibu Mertua.

Yasri mendadak kaku, gagang panci yang dipegangnya terlepas begitu saja, menghasilkan bunyi berisik karena menimpa gelas dan piring yang ada dalam bak wastafel, sudah dipastikan ada beberapa yang pecah.

"Ibu...." Inari terkejut, ia pun menoleh pada Yasri.

"Ibu kenapa?" Inari bingung menemukan tatapan Yasri yang menatap lekat padanya, tapi setelah sepersekian detik ia menyadari kalau tatapan itu tidak terarah pada wajahnya tapi lehernya.

Lalu ia pun melirik pada objek yang membuat sang Ibu mertua terpaku.

"Oh, astaga ... alergi dinginku kambuh, Bu.... memang selalu begini setiap selesai mandi subuh, tapi kalau cuaca panas akan sembuh sendiri." Inari membawa kedua tangannya yang masih berlumur bisa bercampur minyak meraba lehernya.

Yasri tidak bersuara walau ia sangat ingin bicara, suaranya seakan tercekat di tenggorokan apalagi melihat gelagat gugup menantunya.

Namun wanita 55 tahun itu masih mampu melemparkan senyum, walau itu sangatlah kentara dengan kegetiran.

Dengan tangan gemetar, Yasri mengambil panci air yang telah memakan korban setidaknya satu atau dua piring dan gelas, lalu ia berjalan ke arah kompor.

Sementara Inari mulai sibuk membereskankan peralatan makan itu, dan tidak terdengar lagi pembicaraan antara mereka.

Yasri larut dalam lamunan sambil menunggui air yang akan mendidih sambil sesekali melirik pada Inari, sebagian leher itu telah ditutup oleh untaian handuk, tapi tidak sepenuhnya. Hingga Yasri masih bisa melihat bercak-bercak merah keunguan yang Inari bilang alergi.

Namun walau Yasri sejatinya sudah tua, tapi sungguh dia masih mampu membedakan mana yang alergi dan mana yang....

Yasri menghela napas panjang, berusaha mengusir pikiran buruk yang menguasainya, kalau tidak ia mungkin akan kembali bertanya pada Inari siapa kiranya lelaki yang meninggalkan tanda itu, sedangkan putranya baru akan tiba di rumah jam 7 nanti.

Pikiran Yasri semakin jelalatan ke mana-mana, tapi setelah begitu jauh, akal sehatnya pun segera datang menyadarkannya.

Tidak mungkin Inari akan melakukan apapun hal buruk yang ada dalam pikirannya tersebut. Sedangkan selama ini Inari adalah icon dari sebaik-baiknya seorang istri.

Yasri sudah menyaksikan itu sejak 10 tahun, Inari yang cantik jelita telah mengabdikan seluruh hidupnya pada suaminya. Wanita yang tidak neko-neko, ketulusan penuh cinta yang selalu terpancar lewat sorot mata yang indah ketika mendampingi dan melayani suami dengan walau Yarsi tahu anaknya itu seringkali bersikap dingin dan cuek.

Inari selalu menjaga marwahnya sebagai wanita, setiap tutur kata yang keluar dari mulutnya selalu bikin hati siapapun adem, pergaulannya sejak dulu pun dilingkungan yang positif, tidak absen dari kajian-kajian yang ada di sekitar, dan tidak berlebihan kalau Inari dilabeli dengan sebutan istri yang sholeha oleh seluruh warga kampung.

"Bu, masak apa kita hari ini?" Lamunan Yasri buyar, ia melirik Inari yang telah berada di depan kulkas yang terbuka.

"Terserah kamu saja, Nak, mana yang menurutmu suamimu s**a, " ujar Yasri penuh semangat.

Ya, Yasri telah berhasil menepis segala pemikiran buruk tentang menantunya itu. Memangnya kenapa dengan tanda di leher itu, mungkin saja memang becak merah keunguan tersebut adalah ulah suaminya sendiri. Bukan tidak mungkin kemarin sebelum pergi kerja mereka melakukan itu ....

Lihatlah, Inari telah memasak dengan penuh cinta, senyum ceria terus mengiringi tangannya yang terampil meracik bumbu-bumbu. Tidak berapa lama wewangian khas masakan telah memenuhi ruangan dapur. Yasri, di temani secangkir teh terus menyaksikan keuletan menantunya itu menciptakan pengisi perut untuk anak dan cucunya. Sesekali Inari bertanya seberapa banyak kira-kira takaran bumbu, cabai untuk gulai ikan kakap yang tengah di aduknya.

Dan itu membuat Yasri lega, karena sama sekali tidak melihat kegugupan atau ketakutan khas seseorang yang telah melakukan kesalahan besar pada reaksi Inari. Menantunya itu bersikap seperti biasanya, penuh senyuman dan tatapan yang menenangkan.

Waktu berlalu, tepat setelah Inari selesai memasak, Rian telah kembali, Inari tergopoh menyongsong ke pintu dengan senyum sumringah.

Rian menguap sambil menyambut uluran tangan Inari, ia segera menarik kembali sebelum puncak hidung Inari menyentuh punggung tangannya.

"Alisa sudah bangun?" Rian bertanya tanpa menatap sambil terus berjalan menuju kamar.

"Belum, Bang...." Inari mengikuti langkah Rian. Namun tiba-tiba Rian menghentikan langkah, menatap dingin pada istrinya.

"Lanjutkan pekerjaanmu, aku mau istirahat,"

Walau kalimat itu bermakna sebuah penolakan kalau dia tidak boleh mendekat, Inari terlihat sama sekali tidak tersinggung. Malah senyum manis semakin melebar di bibirnya.

"Tidak sarapan dulu, Bang? Aku dah masak bubur kacang hijau kes**aan, Abang," tawar Inari lembut.

"Yang paling kubutuhkan sekarang adalah istirahat, aku terlalu lelah. Menghidupimu tidak mudah Inari," selepas bicara begitu Rian telah membuka pintu kamar lalu menutupnya kembali.

Inari menghela napas, ia nampak pasrah, seolah itu sudah makanannya sehari-hari. Sedangkan Yasri yang menyangsikan itu dari balik tirai perhubung dapur dan ruang tengah hanya menghela napas panjang. Nelangsa melihat menantu yang selalu diperlakukan dingin oleh sang anak, padahal Inari adalah wanita yang sempurna.

***
Yasri baru kembali menunaikan sholat subuh dari mushala terdekat, tapi baru saja membuka pintu ia dikejutkan dengan rengekan Alisa di ruang tengah. Tidak biasanya cucut itu bangun sepagi itu.

"Alisa, tumben sudah bangun sayang?" yasri merentangkan tangan untuk menyambut cucunya yang berlari ke arahnya.

"Mama-Papa berisik di kamar mandi, Nek...." Bocah 4 tahun itu bicara cadel, tapi Yasri dapat memaknai dengan jelas.

"Papamu sudah p**ang?"

"Ada di kamar mandi dengan Mama, mereka kayaknya lagi ke sa kitan di kamar mandi deh, Nek.... sampai Mama teriak-teriak, tapi saat ica panggil mereka nggak denger...."

Deh! Jantung Yasri seakan jatuh, ia tentu tidak akan se terkejut itu jika tadi di depan melihat motor Rian terparkir... lalu siapa lelaki yang dikatakan Alisa adalah Papanya?

penulis: VincaFlower
Judul: Ketika suami lembur malam( INARI)
Baca lengkap di kbm aap,

Address

Jalan Paving
Blora
58254

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Livy Dovey posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share