30/08/2025
"Eh, Nari, kok subuh-subuh sudah keramas? Nggak dingin, toh?" Akhirnya pertanyaan seperti itu terlontar jua dari mulut Yasri kepada menantunya.
"Perasaan Ibu, sejak dulu kamu jarang sekali keramas subuh walaupun suami kamu ada di rumah. Lah, sekarang kok pas suami lembur kerja kamu malah keramas terus?" mulut Yasri benar-benar tidak terkontrol, walau hati terdalamnya mengutuk setiap kata yang terlontar.
"Nggg... enggak, Buk. Malah seger kalau keramas subuh-subuh, bikin ringan kepala. Kan tidak ada larangannya kalau suami tidak di rumah seorang istri tidak boleh keramas subuh kan, Bu? " Inari yang sedang menghentikan kegiatannya mencuci piring di wastafel, sambil memperbaiki handuk yang membalut kepalanya. Bisa Yasri lihat wajah putih mulus itu telah berubah semerah tomat matang.
Tentu saja jawaban Inari menohok Ibu Mertua.
"Emang kenapa, Bu?"
"Eh, ti-tidak kok, Nak. Ibu cuma nanya, soal sudah sebulan ini kamu rutin keramas setiap subuh ..." sedikit terbata Yasri bicara, ia telah dikuasai rasa malu. Cepat-cepat ia mengambil mengisi panci dengan air kran yang ada di depan Inari.
"Iya sih, Bu. Memang sudah sebulan ini aku membiasakannya, setelah membaca sebuah artikel kesehatan yang mengatakan kalau keramas subuh itu baik untuk kesehatan, Bu." Inari sedikit menghindar untuk memberi ruang pada Ibu mertuanya.
Yasri tersenyum kikuk, merasakan mukanya memanas, ia menyadari kalau pikiran buruknya telah begitu menjerumuskannya. Ia bahkan sanggup menanyakan hal yang sejati begitu sensitif untuk hubungan antara mertua dan menantu.
"Dan Ibu yang semakin membuatku yakin akan artikel itu. Ibu kan juga selalu keramas menjelang subuh kan? Makanya Ibu walau sudah tidak muda lagi tapi masih begitu bugar seperti ini." Nada bicara Inari yang begitu tenang semakin membuat Yasri tidak enak, sementara panci masih belum terisi penuh.
"I-ya, Nak. Me-memang kalau kita membiasakan mandi subuh akan sangat berdampak untuk kesehatan dan kebugaran tubuh. Ibu sudah menerapkan itu sejak seusia kamu, syukurlah kalau kamu juga...."
Maksud hati ingin memberi wejangan tentang baiknya mandi subuh pada menantu sekalian mengusir rasa tidak enak karena telah menanyakan hal yang tidak etis, malah mata Yasri terpaku pada leher jenjang Inari.
"Iya, Bu. Itulah yang telah kulakukan selama sebulan ini. Dan khasiatnya memang langsung terasa. Sekarang kepalaku terasa lebih ringan, migrenku juga tidak pernah kambuh lagi, segar sepanjang hari pokoknya Bu." Inari membubuhkan tawa kecil di ujung kalimat, lalu dia kembali mengambil piring dan menggosok dengan spons yang masih dipegang tanpa menyadari tatapan Ibu Mertua.
Yasri mendadak kaku, gagang panci yang dipegangnya terlepas begitu saja, menghasilkan bunyi berisik karena menimpa gelas dan piring yang ada dalam bak wastafel, sudah dipastikan ada beberapa yang pecah.
"Ibu...." Inari terkejut, ia pun menoleh pada Yasri.
"Ibu kenapa?" Inari bingung menemukan tatapan Yasri yang menatap lekat padanya, tapi setelah sepersekian detik ia menyadari kalau tatapan itu tidak terarah pada wajahnya tapi lehernya.
Lalu ia pun melirik pada objek yang membuat sang Ibu mertua terpaku.
"Oh, astaga ... alergi dinginku kambuh, Bu.... memang selalu begini setiap selesai mandi subuh, tapi kalau cuaca panas akan sembuh sendiri." Inari membawa kedua tangannya yang masih berlumur bisa bercampur minyak meraba lehernya.
Yasri tidak bersuara walau ia sangat ingin bicara, suaranya seakan tercekat di tenggorokan apalagi melihat gelagat gugup menantunya.
Namun wanita 55 tahun itu masih mampu melemparkan senyum, walau itu sangatlah kentara dengan kegetiran.
Dengan tangan gemetar, Yasri mengambil panci air yang telah memakan korban setidaknya satu atau dua piring dan gelas, lalu ia berjalan ke arah kompor.
Sementara Inari mulai sibuk membereskankan peralatan makan itu, dan tidak terdengar lagi pembicaraan antara mereka.
Yasri larut dalam lamunan sambil menunggui air yang akan mendidih sambil sesekali melirik pada Inari, sebagian leher itu telah ditutup oleh untaian handuk, tapi tidak sepenuhnya. Hingga Yasri masih bisa melihat bercak-bercak merah keunguan yang Inari bilang alergi.
Namun walau Yasri sejatinya sudah tua, tapi sungguh dia masih mampu membedakan mana yang alergi dan mana yang....
Yasri menghela napas panjang, berusaha mengusir pikiran buruk yang menguasainya, kalau tidak ia mungkin akan kembali bertanya pada Inari siapa kiranya lelaki yang meninggalkan tanda itu, sedangkan putranya baru akan tiba di rumah jam 7 nanti.
Pikiran Yasri semakin jelalatan ke mana-mana, tapi setelah begitu jauh, akal sehatnya pun segera datang menyadarkannya.
Tidak mungkin Inari akan melakukan apapun hal buruk yang ada dalam pikirannya tersebut. Sedangkan selama ini Inari adalah icon dari sebaik-baiknya seorang istri.
Yasri sudah menyaksikan itu sejak 10 tahun, Inari yang cantik jelita telah mengabdikan seluruh hidupnya pada suaminya. Wanita yang tidak neko-neko, ketulusan penuh cinta yang selalu terpancar lewat sorot mata yang indah ketika mendampingi dan melayani suami dengan walau Yarsi tahu anaknya itu seringkali bersikap dingin dan cuek.
Inari selalu menjaga marwahnya sebagai wanita, setiap tutur kata yang keluar dari mulutnya selalu bikin hati siapapun adem, pergaulannya sejak dulu pun dilingkungan yang positif, tidak absen dari kajian-kajian yang ada di sekitar, dan tidak berlebihan kalau Inari dilabeli dengan sebutan istri yang sholeha oleh seluruh warga kampung.
"Bu, masak apa kita hari ini?" Lamunan Yasri buyar, ia melirik Inari yang telah berada di depan kulkas yang terbuka.
"Terserah kamu saja, Nak, mana yang menurutmu suamimu s**a, " ujar Yasri penuh semangat.
Ya, Yasri telah berhasil menepis segala pemikiran buruk tentang menantunya itu. Memangnya kenapa dengan tanda di leher itu, mungkin saja memang becak merah keunguan tersebut adalah ulah suaminya sendiri. Bukan tidak mungkin kemarin sebelum pergi kerja mereka melakukan itu ....
Lihatlah, Inari telah memasak dengan penuh cinta, senyum ceria terus mengiringi tangannya yang terampil meracik bumbu-bumbu. Tidak berapa lama wewangian khas masakan telah memenuhi ruangan dapur. Yasri, di temani secangkir teh terus menyaksikan keuletan menantunya itu menciptakan pengisi perut untuk anak dan cucunya. Sesekali Inari bertanya seberapa banyak kira-kira takaran bumbu, cabai untuk gulai ikan kakap yang tengah di aduknya.
Dan itu membuat Yasri lega, karena sama sekali tidak melihat kegugupan atau ketakutan khas seseorang yang telah melakukan kesalahan besar pada reaksi Inari. Menantunya itu bersikap seperti biasanya, penuh senyuman dan tatapan yang menenangkan.
Waktu berlalu, tepat setelah Inari selesai memasak, Rian telah kembali, Inari tergopoh menyongsong ke pintu dengan senyum sumringah.
Rian menguap sambil menyambut uluran tangan Inari, ia segera menarik kembali sebelum puncak hidung Inari menyentuh punggung tangannya.
"Alisa sudah bangun?" Rian bertanya tanpa menatap sambil terus berjalan menuju kamar.
"Belum, Bang...." Inari mengikuti langkah Rian. Namun tiba-tiba Rian menghentikan langkah, menatap dingin pada istrinya.
"Lanjutkan pekerjaanmu, aku mau istirahat,"
Walau kalimat itu bermakna sebuah penolakan kalau dia tidak boleh mendekat, Inari terlihat sama sekali tidak tersinggung. Malah senyum manis semakin melebar di bibirnya.
"Tidak sarapan dulu, Bang? Aku dah masak bubur kacang hijau kes**aan, Abang," tawar Inari lembut.
"Yang paling kubutuhkan sekarang adalah istirahat, aku terlalu lelah. Menghidupimu tidak mudah Inari," selepas bicara begitu Rian telah membuka pintu kamar lalu menutupnya kembali.
Inari menghela napas, ia nampak pasrah, seolah itu sudah makanannya sehari-hari. Sedangkan Yasri yang menyangsikan itu dari balik tirai perhubung dapur dan ruang tengah hanya menghela napas panjang. Nelangsa melihat menantu yang selalu diperlakukan dingin oleh sang anak, padahal Inari adalah wanita yang sempurna.
***
Yasri baru kembali menunaikan sholat subuh dari mushala terdekat, tapi baru saja membuka pintu ia dikejutkan dengan rengekan Alisa di ruang tengah. Tidak biasanya cucut itu bangun sepagi itu.
"Alisa, tumben sudah bangun sayang?" yasri merentangkan tangan untuk menyambut cucunya yang berlari ke arahnya.
"Mama-Papa berisik di kamar mandi, Nek...." Bocah 4 tahun itu bicara cadel, tapi Yasri dapat memaknai dengan jelas.
"Papamu sudah p**ang?"
"Ada di kamar mandi dengan Mama, mereka kayaknya lagi ke sa kitan di kamar mandi deh, Nek.... sampai Mama teriak-teriak, tapi saat ica panggil mereka nggak denger...."
Deh! Jantung Yasri seakan jatuh, ia tentu tidak akan se terkejut itu jika tadi di depan melihat motor Rian terparkir... lalu siapa lelaki yang dikatakan Alisa adalah Papanya?
penulis: VincaFlower
Judul: Ketika suami lembur malam( INARI)
Baca lengkap di kbm aap,