Livy Dovey

Livy Dovey drama📲
Day in my life💅
trend tiktok👯

Aku kira, aku benar-benar sendiri setelah Nenek pergi. Tapi sebuah pesan tentang h a k wa ri s datang, membuka pintu rah...
16/10/2025

Aku kira, aku benar-benar sendiri setelah Nenek pergi. Tapi sebuah pesan tentang h a k wa ri s datang, membuka pintu rahasia yang mungkin mengubah seluruh hidupku.
--

Guling Usang Brankas Rahasia Nenek
Nura Syatibi
Bab 1

“Kasihan sekali a n a k itu, sendirian saja di pusara. Tidak ada siapa pun k e l u a r g a nya yang menemani.”
“Dari kecil sudah y a t i m p i a t u, kan? Hanya tinggal sama nenek. Sekarang neneknya pun sudah nggak ada.”

Aku mendengar bisik-bisik itu, walau mereka mencoba merendahkan suara. Mataku basah, pipiku panas oleh a i r m a t a yang tak kunjung kering. Aku masih terduduk di tepi gundukan tanah merah yang baru saja ditutup, memeluk lututku erat-erat.

“Harusnya ada k e l u a r g a yang mengurus. Masa a n a k s e b a t a n g k a r a dibiarkan begini?” suara seorang bapak terdengar lagi.

Aku menunduk semakin dalam, berusaha menutupi wajahku dengan kerudung. Rasanya malu menjadi bahan kasihan, tapi sekaligus sakit—karena semua yang mereka bisikkan adalah kenyataan pahit.

“O r a n g t u a nya kan dulu meninggal kecelakaan. B a l i t a masih merah. Untung ada ibunya yang merawat. Kalau tidak, entah bagaimana nasibnya.”

Hatiku mencelos. Ya, aku masih terlalu kecil untuk mengingat jelas wajah ayah dan ibu. Cerita tentang mereka hanya kudengar dari nenek. Dan kini, o r a n g yang selalu mengisi kekosongan itu pun pergi meninggalkanku.

“Sekarang dia benar-benar sendiri.”

Kata-kata itu menghantamku lebih keras daripada tanah yang menutup jasad nenek.

Aku menggigit bibir, suaraku pecah, “Aku nggak punya siapa-siapa lagi...”

Aku bicara lirih, tapi ternyata terdengar oleh seorang ibu paruh baya yang sejak tadi berdiri tidak jauh. Ia menoleh, mendekat, lalu menepuk bahuku pelan.

“Sabar ya, Nak. Semua ini ujian. Insya Allah almarhumah nenekmu husnul khotimah,” ucapnya lembut.

Aku hanya bisa mengangguk. Tenggorokanku terlalu sesak untuk menjawab.

O r a n g - o r a n g mulai beranjak, menyalami sesama, lalu meninggalkan area pemakaman. Satu per satu suara mereka menghilang, sandal-sandal bergesekan dengan tanah yang berdebu. Sampai akhirnya, hanya tinggal aku, tanah basah, dan bunga tabur yang masih segar.

Aku menoleh kanan-kiri. Sepi. Tak ada lagi suara bacaan doa, tak ada lagi yang menepuk bahu, tak ada lagi yang peduli.

“Emak...” aku menyebut nenekku dengan panggilan yang biasa kupakai sejak kecil, “aku sendirian sekarang. Sendirian...”

Tangisku pecah lagi. Tubuhku bergetar hebat. Aku merasa seluruh kekuatan yang kupaksakan sejak pagi runtuh begitu saja.

--

“Kamila...” suara pelan memanggilku.

Aku menoleh. Itu Bu Marni, tetangga dekat nenek. Perempuan tua dengan wajah keriput yang dulu sering membantu nenek menumbuk bumbu dapur atau sekadar menemani ngobrol sore.

“Pulang dulu, Nak. Hari sudah sore. Jangan lama-lama di sini. Nanti sakit.”

Aku menggeleng pelan. “Aku belum siap ninggalin beliau sendirian, Bu...”

Bu Marni duduk di sampingku, lututnya ia tekuk dengan susah payah. Tangannya menepuk lembut tanganku yang dingin.

“Kamu nggak sendiri, Kamila. Ada tetangga, ada o r a n g - o r a n g yang masih peduli.”

“Tapi bukan k e l u a r g a ...” jawabku cepat, dengan nada serak. “Bukan o r a n g yang bisa aku panggil Ayah atau Ibu. Bukan o r a n g yang bisa aku peluk saat aku kangen...”

Bu Marni terdiam. Sorot matanya berkaca-kaca. “Nenekmu sudah berjuang keras membesarkanmu. Sekarang giliran kamu yang harus kuat, Nak.”

Aku menunduk, meremas tanah basah dengan jemariku. Kata-kata itu memang benar, tapi nyatanya aku merasa tak punya daya.

--

Langit sore mulai menguning. Burung-burung beterbangan kembali ke sarang. Kuburan mulai sepi total.

Aku akhirnya berdiri, meski tubuhku masih gemetar. “Aku pulang dulu, Mak,” kataku pelan.

Bu Marni ikut berdiri, lalu menepuk pundakku. “Kalau butuh apa-apa, datanglah ke rumah. Jangan segan.”

Aku mengangguk.

Di jalan pulang, langkahku gontai. Mataku sembab, kepala pusing karena terlalu lama menangis. Sepanjang perjalanan, suara-suara o r a n g tahlil tadi terngiang-ngiang.

—Kasihan sekali a n a k itu...
—Sejak b a l i t a sudah y a t i m p i a t u...
—Sekarang benar-benar sendiri...

Aku memejamkan mata sejenak, menahan perih yang menikam dada.

--

Rumah Nenek sepi ketika aku tiba. Meja makan kosong, kursi kayu bergoyang sedikit diterpa angin dari jendela. Foto lama nenek tersenyum tergantung di dinding, membuat dadaku kembali sesak.

Aku menaruh tas kecilku di kursi, lalu rebah di lantai. Lelah. Hampa.

“Emak... apa aku kuat hidup sendirian? Aku takut...” aku bergumam pelan.

Jawabannya hanya sunyi.

Telepon genggamku bergetar. Sebuah pesan masuk dari pihak kampus:
“Harap segera mel u n a s i t u n g g a k a n p e m b a y a r a n semester ini. Batas waktu dua minggu.”

A i r m a t a ku jatuh lagi. Seolah dunia ingin menumpuk semua beban di punggungku dalam satu waktu.

“Emak... apa aku bisa lanjut kuliah? Atau aku harus menyerah?”

Aku menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhku kembali terguncang oleh tangis.

Di luar, suara adzan Maghrib berkumandang. Aku menatap langit-langit yang mulai gelap, lalu menatap foto nenek di dinding.

“Mak... kalau Emak masih ada, pasti aku akan baik-baik aja... setelah Emak nggak ada, aku nggak yakin hidupku akan gimana nantinya.”

Tangisku kembali pecah, menutup malam pertamaku tanpa nenek.

--

Kupeluk erat baju terakhir yang Nenek pakai. Kuciumi berulang kali, berharap aroma khas tubuhnya tak pernah hilang. Harum yang begitu akrab menembus dadaku, membuatku semakin hancur. Entah kapan aku berhenti menangis dan tertidur dengan wajah masih basah a i r m a t a.

Pagi itu aku terbangun di kasur yang biasa Nenek tiduri. Bantal di sampingku masih menyimpan jejak basah semalam. Saat menatapnya, rasa sakit itu kembali menyeruak, membuat mataku perih lagi. Rasanya aku ingin menangis tanpa henti.

Lalu—

Ponselku bergetar pelan. Suara notifikasi dari aplikasi hijau.

Dengan ragu aku meraihnya, pikiranku masih diselimuti kabut duka. Namun begitu layar terbuka, jantungku langsung berdegup tak karuan.

Pesan itu dari nomor asing.

“Turut berduka. Kami akan datang meminta h a k w a r i s.”

Aku terpaku.
Siapa o r a n g ini?
H a k w a r i s? Apa maksudnya?
Lanjut?

Judul : Guling Usang Brankas Rahasia Nenek
Penulis : Nura Syatibi
Baca Selengkapnya di KBM App

 Melihat wajah Andra yang begitu tegang, Raya agak bingung. "Perasaan nggak ada yang salah sama omongan aku? Kok Om Andr...
16/10/2025


Melihat wajah Andra yang begitu tegang, Raya agak bingung.

"Perasaan nggak ada yang salah sama omongan aku? Kok Om Andra jadi serius banget ya?" batinnya.

Raya lalu tersenyum tipis, mengangkat bahunya ringan. “Om sendiri kan yang bilang… aku udah dianggap kayak adik. Bahkan anak Om sendiri.”

Andra mengusap wajahnya. Ya, benar. Tapi masalahnya—ia tetap pria normal. Apalagi bayangan tubuh Raya di balik tirai tadi tak mau hilang dari benaknya.

“Tapi tetap saja saya itu orang lain yang nggak ada hubungan darah sama kamu. Lagipula, pakaian seperti ini kurang elok, Raya!” ucap Andra frustasi.

Raya hanya menghela napas. “Ya udah, aku ganti baju dulu, deh.”

“Nggak perlu.” Andra melirik jam tangannya cepat. “Sudah terlalu malam. Saya pulang sekarang saja.”

“Om mau hujan-hujanan?”

Keduanya terdiam. Suara hujan di luar memang sudah mereda, hanya gerimis tipis yang tersisa.

“Udah nggak sederas tadi. Saya pulang dulu,” tegas Andra, buru-buru melangkah ke pintu.

“Om Andra! Ih, main pergi aja,” protes Raya, refleks menahan tangannya.

Andra langsung terhenyak. Sentuhan lembut itu seperti aliran listrik yang menyetrum kulitnya. Nafasnya tersengal, tubuhnya menegang. Tidak boleh! Ia harus pergi sekarang juga.

Dengan cepat ia menarik tangannya, lalu berusaha menutupi kegugupannya dengan mengacak-acak rambut Raya.

“Ih! Kenapa sih, Om s**a banget berantakin rambut aku!” seru Raya kesal.

Andra hanya menyunggingkan senyum tipis. “Nggak tahu. S**a aja. Udah ya, saya pulang.”

“Tapi masih gerimis loh Om.”

“Daripada keburu deras lagi,” sahutnya cepat.

Raya akhirnya mengangguk. “Ya udah deh… hati-hati di jalan ya, Om. Jangan ngebut.”

Andra mengangguk singkat. Ia membuka pintu kos Raya dan segera keluar dari sana. Pria itu bernapas lega begitu tiba di teras. Tanpa menunggu lama, Andra cepat-cepat menghidupkan mesin motornya lalu pergi dari tempat itu. Tingkahnya sudah seperti orang yang kabur dari tempat horor.

Seolah tak mengindahkan pesan Raya, Andra tetap mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Pikirannya kacau. Ia merutuki dirinya sendiri karena bisa-bisanya tubuhnya panas saat melihat tubuh indah Raya tadi.

“Sadar, Andra!” desisnya lirih, memukul helmnya sendiri. “Dia cuma anak kecil! Dia muridmu sendiri!”

Tapi bayangan itu kembali muncul. Rambut basah Raya. Kulitnya yang berembun. Baju pastel tipis yang melekat di tubuhnya.

Andra mengumpat keras. “Sial! Berhenti, Andra! Jangan jadi brengsek!”

Namun sekuat apa pun ia mencoba melawan, tubuhnya tetap bereaksi. Setiap detik yang terjadi di kamar kos tadi terus berputar di kepalanya, membuatnya nyaris gila.

Andra benar-benar bingung dengan dirinya sendiri. Mengapa tubuhnya bisa bereaksi sedemikian hebat hanya karena melihat tubuh Raya?

Selama ini, Andra juga sering tidak sengaja melihat tubuh artis-artis cantik, model, atau wanita-wanita berpakaian seksi yang tak sengaja berpapasan dengannya di tempat umum. Namun, ia selalu merasa biasa saja dan bahkan tidak tertarik memerhatikan keindahan tubuh mereka.

“Apa mungkin memang sudah waktunya aku menikah?” bisik Andra dalam hati.

*
Keesokan harinya, seseorang mengagetkan Andra yang sedang berjalan menuju kantor guru. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Raya sedang menyengir menatapnya.

“Pagi, Pak!”

“Raya? Tumben kamu udah datang sepagi ini,” kata Andra yang sudah hapal betul kalau biasanya gadis itu baru sampai di sekolah di menit-menit akhir sebelum jam pelajaran dimulai.

“Yeee, datang telat dimarahin. Giliran aku datang cepet bapak malah heran,” protes Raya.

Andra tersenyum mendapati sikap Raya yang mulai ceria. Tak hanya itu, ia juga menyadari ada yang berbeda dari penampilan Raya hari ini. Biasanya gadis itu akan datang ke sekolah dengan penampilan acak-acakan, tetapi kali ini Raya tampak lebih rapi dan segar. Andra sampai heran dibuatnya.

“Mungkin dia serius mau memperbaiki hidupnya. Syukurlah kalau begitu,” bisik Andra dalam hati.

“Kamu ini pagi-pagi bukannya nyapa guru malah bikin kaget,” kata Andra dengan wajah pura-pura kesal.

“Ya udah, selamat pagi, Pak Andra,” jawab Raya dengan begitu sopan. Entah karena memang tulus atau hanya untuk mengerjai pria itu.

Andra menganggukkan kepalanya. “Pagi juga, Raya.”

“Aku ke kelas duluan, ya, Pak.”

“Iya, silakan.”

Raya berjalan duluan ke kelasnya setelah saling sapa dengan Andra. Andra mengikuti dari belakang. Tatapannya fokus menatap punggung Raya, hingga tiba-tiba ingatan semalam kembali melintas di kepalanya. Andra menarik nafas berat. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Kesal pada dirinya sendiri yang bertingkah seperti orang mesvm.

“Ya Tuhan, ampuni aku,” batinnya.

Andra lalu melanjutkan langkahnya menuju kantor guru. Ia menjawab ramah sapaan beberapa guru yang sudah datang terlebih dahulu. Pria itu langsung duduk di kursi kerjanya dan langsung menyibukkan diri dengan menyiapkan materi ajar hari itu.

“Hallo, selamat pagi Pak Andra.” Suara seorang perempuan menyapa Andra dari samping.

Andra seketika mematung. Pria itu belum menoleh, tetapi rasanya ia kenal dengan suara itu. Suara yang sangat familiar di telinganya. Perlahan ia menoleh dan benar tebakannya. Suara itu adalah milik...

“Nadine?"
**
Hallo gaes mulai besok saya nggak bisa update full bab ya. Hanya bisa kasih spoiler aja soalnya sudah monetisasi di KBM App. Yang mau fullnya dan baca lebih puas bisa ke KBM App yaaa. Tapi di FB tetap update kok setiap hari jam 7 malam.
Judul di KBM : Jodohku Muridku
Penulis : Brata Yudha

"Hari ini kami melihat-lihat sekolah di dekat perumahan, Bara riang sekali Nadine. Bagaimana kalau kita menyekolahkannya...
16/10/2025

"Hari ini kami melihat-lihat sekolah di dekat perumahan, Bara riang sekali Nadine. Bagaimana kalau kita menyekolahkannya tahun ini?" tanya Ibu Amarta.

Nadine mengurai pelukannya, ia lalu mengusap matanya yang berair, ia tak ingin dilihat oleh Bara maupun Ibu Amarta.

"Bara mau sekolah Sayang?" tanya Nadine lembut sembari mengusap puncak kepalanya.

Anak bertubuh tambun tersebut mengangguk antusias. Beberapa bulan lagi Bara akan genap berusia lima tahun, memang sudah waktunya putranya masuk TK.

Ditatapnya lamat wajah tampan sang putra, Bara adalah Rayhan versi mini, walaupun ia membenci semua tentang Rayhan tapi Bara adalah pengecualian. Ia mencintai anak ini melebihi dirinya sendiri.

"Baiklah, Mama dan Oma akan mendaftarkanmu sekolah besok."

Bara berteriak girang, ia memeluk leher Nadine dan berlari ke arah Ibu Amarta, Bara melakukan hal yang sama, ia memeluk wanita paruh baya tersebut dan menciumi pipinya.

Keduanya tak terpisahkan sejak kecil jadi wajar sayangnya Bara kepada Ibu Amarta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Nadine, ibu kandungnya.

Setelah berbincang singkat dengan wanita yang sudah Nadine anggap seperti ibu kandungnya tersebut, Nadine dan Bara kembali ke kosannya yang terletak tepat di belakang rumah Ibu Amarta.

Dulu Nadine akan membiarkan Bara bermain-main sebentar di luar namun kali ini ia membawa Bara ke dalam kamar kos dan mengunci pintunya. Hatinya tak tenang, sungguh ingin rasanya Nadine membawa Bara pergi saja detik ini juga namun ia tak bisa ke mana-mana.

*

Tersedia di kBMApp
Judul: Kami Yang Terbuang
Penulis:Amara Viska

LEBARAN DI RUMAH MERTUA 3"Serius ni mbak mau diborong?"tanya penjual sayur dengan ekspresi tak percaya."Walah kok percay...
16/10/2025

LEBARAN DI RUMAH MERTUA 3

"Serius ni mbak mau diborong?"tanya penjual sayur dengan ekspresi tak percaya.

"Walah kok percaya sama mantune lek Darti. Paling ya cuma ngibul," sinis ibu-ibu tadi.

"Hitung saja pak, semua yang bapak bawa," jawabku yang membuat wajah penjual sayur sumringah.

"Awas ya Tukimin. Nanti dihutang doang sama dia," sengit warga.

Kukirik sekilas orang itu.

"Semua dua juta mbak sama daging."

Warga tadi tersenyum mengejek.

"Heleh, wong kota kere aja kok, sok Sokan mau borong sayur," ejek warga.

Kusunggingkan senyum dengan ejekan mereka. Segera kubuka dompet agak lebar dan memperlihatkan isi dompetku.

"Ini, bang. Cash ya gak hutang. Kembalian ambil saja!" Ucapku.

"Wah, Alhamdulillah mbak gak hutang."

"Heh Tukimin, jangan senang dulu ya kamu. Nanti dimasukkan pesugihan sama dia!" Sinis warga.

Dasar orang kampung.

"Pak saya ambil daging saja dua kilo. Yang lain bagikan sama warga yang lain."

Wajah tukang sayur itu tampak semakin kaget.

"Serius, mbak?"

"Iya pak, termasuk ibu-ibu rese ratu gosip itu kalau mau ya kasih saja, biar diam mulutnya," ucapku sembari berjalan pergi.

"Heleh, baru bisa borong sayuran gerobak saja bangga, borong mall sana baru bangga!"

Tak kuhiraukan kata-kata pedas warga itu, nanti juga mati sendiri.

_

"Loh mbak dapat daging darimana?"tanya adik iparku.

"Beli dari tukang sayur," jawabku.

Dia segera mengambil daging yang aku bawa.

"Wah ini daging asli ya, mbak. Seumur-umur baru kali ini aku dapat daging asli," ucap ipar dengan mata berkaca-kaca.

Ya Tuhan, ternyata di luar begitu banyak orang menderita.

Aku jadi ingat saat aku membuang makan yang tidak aku s**a waktu makan di restoran dulu. Elias menatapku dengan penuh amarah.

"Ambil!" Teriaknya dengan wajah marah.

"Ogah, aku gak s**a makanan itu," jawabku malas.

"Kalau tak s**a kenapa beli?" Wajah lelaki berkulit sawo matang itu kian emosi.

"Lah s**a-s**a aku lah, lagian aku beli juga pakai uangku bukan minta kamu!" Sengitku. Dari kecil aku memang tak s**a diatur dan orang tuaku tau persis hal ini. Itulah kenapa dalam segala hal mereka tak mau atur aku.

"Kamu keterlaluan ya! Kamu tau, diluar sana berapa banyak orang yang gak bisa makan nasi yang enak seperti ini, berapa banyak manusia yang tak bisa makan ikan, ayam atau daging. Sementara kamu malah menyia-nyiakan makanan ini. Bahkan membuaangnya!"

"La bodo amat lah, makan gak makan urusan mereka!" Sengitku.

Elias menggelengkan kepalanya. Tangan kekar berototnya meraih piring makanan yang tadi belum sempat aku buang lalu menggeser di depanku.

"Makan!" Perintahnya.

"Gak!"

Elias semakin kesal lalu menyendok udang asam pedas tadi dan mendekatkan ke mulut.

"Kalau kamu gak makan, aku akan bilang pada semua orang kalau kita hanya menikah main-main untuk menutupi malu. Wartawan akan tahu dan nama baik mu akan hancur. Karirmu juga akan hancur dan kamu akan menjadi perbincangan publik. Para wartawan akan senang membuat berita ini!" Ancamnya yang membuat aku segera mengambil udang itu dan memasukkannya.

"Enaknya dimasak apa ya mbak?"tanya iparku yang membuat aku tersadar dari lamunan.

"Iya El, eh," ucapku saat tersadar aku keceplosan memanggil nama Elias.

"Ciye kangen ya sama Mas Elias. Sabar ya, bentar lagi juga akan pulang kok. Ehm, ehm sudah rindu pingin dipeluk ya, mbak."

"Eh, enggak kok," jawabku dan sialnya wajahku justru memanas karena digoda iparku itu.

"Itu bisa di soto kok enak," ucapku.

"Ah kalau soto nanti cepat habis dan gak bisa diawetkan mbak. Mending di rendang bisa diangetin sampai sebulan."

"Hah?"

Buset angetin daging sampai sebulan. Emang boleh?

"Ya udah terserah kalau begitu mau dimasak apa," ucapku.

Tak kuhiraukan adik ipar yang tanpak bahagia dengan daging pemberianku tadi.

"Mbak Aminah. Ini disuruh ibu munjung," ucap seorang anak kecil pada seorang wanita yang mungkin usianya sebaya dengan ibu.

Sudah dari beberapa hari yang lalu banyak sekali orang munjung( Tradisi mengantar makanan atau sembako pada beberapa hari sebelum hari raya) tapi anehnya di tempat Ibu mertua tak ada seorangpun yang datang munjung padahal dari segi usia ibu mertua lebih tua.

"Aku malas kalau disuruh ibu munjung ke rumah Mbah Darti."

Terdengar suara anak kecil yang membuat aku menoleh ke arah sumber suara. Dua orang anak kecil sedang berjalan sambil menenteng tas kecil.

"Loh kenapa emangnya?"tanya temannya.

"THR nya kecil."

Aku mengangguk, ' Oh ternyata ini alasannya.'

"Oh kalau mamaku gak mau Munjung ke tempat Mbah Darti, katanya mbah Darti itu pelit. Raya aja kalau ke sana gak dikasih THR sekalinya ngasih cuma 2 ribu. Kan malas."

Ya Tuhan sampai anak kecil pun ikut merendahkan mertuaku karena miskin.

"Ah masa. Malas ah aku ngantar ke sana kalau cuma dapat THR 2 ribu. Ditempat lain aja sepuluh ribu."

"Di mbah Saminah itu 30 ribu."

"Ya udah gantian yok. Kamu antar ke mbah Darti aku ke mbah Saminah," ucap bocil yang tadi disuruh ortunya untuk pergi ke rumah mertua.

"Ogah, suruh saja si Topan no."

Mataku tetap tertuju pada dua bocil tadi hingga seorang anak kecil kurus melintas.

"Topan-topan!"

Si bocah kurus mendekat.

"Antar kan ini ke rumah Mbah Darti," ucap bocil tadi.

"Loh kok aku, kan kamu yang disuruh ibumu," jawab Topan.

"Berani Lo sama gue!" Ancam bocil berlaga tadi dan entah kenapa Topan menurut.

_

"Mbah Darti, Asalamualaikum," sapa Topan.

Ibu mertua pun keluar dengan daster lusuhnya.

"Ada apa le?"tanya ibu mertua dengan senyum ramahnya.

"Mbah ini aku disuruh Pak Karni munjung."

Ibu mengkerutkan kening.

"Loh kok kamu yang nganter, Ferdi kemana?"

Ferdi?

"Ferdi gak mau antar ke sini Mbah, katanya THR nya kecil."

Jleb

Ya Tuhan, mau aku marahin tapi ini bocil.

"Iya Le, Mbah memang gak bisa ngasih THR banyak seperti yang lain."

Ibu mertua mengelus rambut Topan, senyum terukir dibibir tapi aku tahu hati menjerit.

"Tunggu sebentar ya Le."

Ibu masuk ke dalam rumah. Sementara aku mendekati Topan.

"Kamu nunggu Mbah Darti ya?"tanyaku pada bocah kurus yang sekilas seperti kurang pandai itu.

"Iya, mbak. Nunggu THR," jawabnya polos

"Ni, tadi mbah Darti pesan sama kakak suruh ngasih ini ke kamu."

Bocah itu sumringah menerima amplop dariku.

"Loh Topan tadi kemana Ndok?"tanya mertua saat keluar dari rumah.

"Sudsh pergi, Bu."

"Loh piye to, wong tadi ibu ambil THR."

"Gak papa tadi sudah Miranda kasih."

Ibu mengangguk lalu masuk sementara aku yang penasaran segera mengintip anak-anak tadi.



"Pasti kamu dapat THR 2 ribu lagi kan?"tanya Bocil songong tadi.

"Ya Ellah memang Mbah Darti bisa ngasih lebih dari itu, wong dia loh kismin."

Ya Tuhan, apa begini ajaran orang tua mereka ya?

"Enggak kok, aku dapat 100 ribu," jawab Topan sambil menunjukkan selembar uang yang aku kasih.

Haha rasain para boclL, kena kan batunya sekarang.

Selengkapnya di KBM

Judul Lebaran Dirumah Mertua

Padahal AuthorPena

Aku berencana menceraikan istri bercadarku setelah KKN di kampus. Tapi malah kita satu kelompok KKN. Dan disana kita mal...
16/10/2025

Aku berencana menceraikan istri bercadarku setelah KKN di kampus. Tapi malah kita satu kelompok KKN. Dan disana kita malah disuruh tinggal satu kamar karena suami istri. Padahal selama ini kita pisah rumah, lihat wajahnya saja tidak perah

***
Part 6

Aku merasa kasihan melihat Aisyah begitu. Dia masih memejamkan matanya dan meringkuk panik sambil mencoba mengibas-ngibas kerudungnya dengan buku yang dia pegang. Tapi karena dia panik dan gak bisa lihat dengan jelas, malah makin grogi itu ulat malah jalan-jalan ses**a hatinya.

“Rey lo ambil Rey. Gue geli.” Darma ikut lari dengan keempat perempuan yang tadi duduk didekat Aisyah.

“Payah lo Dar.”

“Alah lo sendiri ngapain disini Surya!”

“Gue refleks aja, gara-gara lo tadi kabur juga.”

Keduanya malah berdebat tidak jelas. Aisyah makin meringis ketakutan. Masih berusaha sendiri untuk mengibaskannya sendiri. Sedang Zayyan dia sudah berdiri tegak. Tapi kayanya masih sungkan buat nolongin. Haha! Iyalah, pasti orang kayak dia anti deketin cewek.

Aku berdiri, berasa kayak pahlawan kesiangan. Kayanya emang cuman aku yang bisa ngambil itu. Entahlah gerakan tubuhku juga refleks. Padahal hati membencinya setengah mati. Mataku mulai tajam melihat padanya. Tanganku terangkat dan perlahan mendekat padanya.

“Tenang... tenang dulu Syah, jangan gerak yah.” suara Zayyan terdengar pelan. Dia langsung bergerak dari tempat berdirinya dan dengan hati-hati menyingkirkan ulat bulu itu dari pet kerudung Aisyah dengan sebuah tisu.

S**t!

Br3ngsek!

Entahlah mendadak aku kesal sendiri lagi.Kupikir dia gak akan berani mendekat. Ternyata aku salah. Dia malah jadi pahlawan kesiangannya Aisyah.

“Wahhh keren Zayyan. Pantas dia jadi ketua kelompok ini. Dari pada yang ngakunya paling ganteng tapi cuman berdiri kayak patung. Ngomong aja lo juga takut Rey.”

Aih … punya dendam apa Dewi sama aku. Dia kayak memendam kesal kalau ngomong sama aku.

Aisyah membuka matanya perlahan, masih tampak tegang. Tapi begitu melihat ulat itu sudah tidak ada, dia langsung menghela nafas panjang. Matanya mengerjap, aku tidak sengaja begitu lekat melihat itu. Cukup lama, sampai tiba-tiba.

“Indah yah matanya! Katanya wanita bercadar emang matanya indah-indah.” kata Darma berbisik pelan di telingaku.

“Biasa saja. Lebih cantik mata cewek gue lah.” jawabku santai. Langsung aku memalingkan wajah ke arah yang lain. Takut yang di depan keburu geer kalau aku lihatin dia.

“Udah, aman. Gak usah takut.” Zayyan tersenyum kecil, tangannya masih memegang ujung tisu yang tadi dia pakai buat nyopot ulatnya. Darma menatap dengan senyuman di wajahnya. Sudah penuh sepertinya otak dia itu ingin meledek Asiyah dan Zayyan yang terlihat canggung saat ini.

“Adegan tadi bikin gue baper tahu Syah. Kalian ini memang cocok. Ya Allah semoga nanti kalian berjodoh menikah jadi suami istri.” Celetuk Darma yang kini sudah duduk di sampingku.

“Ngomong apaan lo, kampr3t bener,” celetukku yang tidak bisa nahan untuk mengumpat padanya.

“Kenapa lo yang sewot?”

“Enek gue denger lo ngomong Dar.”

“ Ya udah gue jauh-jauh deh dari lo.” Darma malah langsung geser jauhin aku.

Aku langsung diam, wajahku pasti terlihat aneh. Karena aku juga bingung. Kenapa aku merasa tidak s**a dengan ucapan Darma tadi. Padahal Aisyah. dia tak pernah aku anggap siapa-siapa. Kami menikah hanya formalitas saja.

Diskusi kami dilanjutkan kembali. Hari ini memang waktunya untuk menyelesaikan semua keputusan, karena besok sudah dijadwalkan untuk survey lokasi. Dan kalau semuanya berjalan lancar, minggu depan kami akan langsung berangkat ke sana.

“Besok siapa yang kosong, ikut survey. Yang benar-benar gak ada kegiatan ya,” kata Zayyan yang sejak tadi cukup aktif dalam diskusi. “Karena pasti bakal seharian penuh.”

“Yang cowok-cowok sajalah. Kita yang cewek, langsung berangkat saja nanti,” ujar Syifa sambil bersandar santai ke kursi. “Ribet gak sih kalau harus ikut survey segala…”

“Setuju. Besok gue ada kuliah juga,” timpal Nesa, mengangkat tangan setengah malas.

“Ya udah, besok aku kosong,” kata Rafi yang duduk di seberangku.

“Yang laki-laki kalau kosong ikut semua ya.”

Aku hanya duduk diam dari tadi. Tidak banyak berkomentar lagi, hanya memperhatikan jalannya diskusi sambil sesekali mengangguk. Pandanganku mengikuti alur obrolan mereka, tapi sesekali juga teralihkan—entah kenapa— sejak melihat Zayyan jadi pahlawan untuk Aisyah tadi. Aku jadi malas bicara lagi.

Diam-diam mataku justru sering terpaku ke arah Zayyan... dan Aisyah.

Entah kenapa, beberapa kali aku menangkap momen ketika Zayyan memperhatikan Aisyah. Atau mungkin aku saja yang terlalu memperhatikan? Tapi yang jelas, bukan hanya pandangan. Mereka juga sering saling beradu argumen di tengah diskusi. Bukan debat panas, tapi diskusi yang nyambung dan asyik. Terkadang mereka malah seperti punya bahasa sendiri, yang hanya mereka berdua mengerti. Dan... mereka terlihat sangat cocok. Tapi terlihat menggelikan di mataku.

"Beneran cocok!"

Tiba-tiba saja hatiku berisik sendiri. Apaan coba? Sejak kapan aku jadi begini?

Rasanya aneh. Kayak ada yang mengganggu, tapi aku juga tidak tahu apa yang mengganggu pikiranku. Makin lama melihat mereka berdua, makin pengen tutup mata. Pengen pura-pura gak lihat. Bahkan... pengen teriak. Muak lihatnya!

Adzan ashar berkumandang, dan akhirnya kami bubar juga. Udah panas dada dari tadi pengen cepet pulang. Semua sudah diputuskan. Tinggal dijalani saja: besok survey, minggu depan berangkat.

"Duluan yah!" Zayyan melengos, saat Aisyah sudah berjalan dengan kedua temannya. Dia malah menyusul dari belakang.

Arg... lagi-lagi, mataku sepet saat tanpa sengaja menangkap mereka. Aisyah dan Zayyan. Berjalan beriringan. Memang di sisi Aisyah ada Syifa dan Dewi juga, tapi tetap saja, kenapa harus ada Zayyan di antara mereka?

Kenapa harus dia yang nyempil di sana?

Aku masih duduk dan terpaku di tempatku. Tanganku mengambil ponsel dari dalam tas kecil. Puluhan pesan dari Sherin masuk, tapi entah kenapa tak satu pun kubuka. Bukannya membalas, aku malah cari-cari nomor Aisyah.

Si4l!

Apa yang sebenarnya aku lakukan? Rasanya hatiku panas, sesak. Ingin marah, tapi bingung harus ke siapa. Pada Aisyah? Pada Zayyan? Atau justru pada diriku sendiri?

Ku temukan nomor Aisyah. Tanganku dengan cepat mengetik pesan untuknya.

[Tunggu di gerbang. Lo pulang bareng gue. Papah nunggu di rumah.]

tbc

Jangan lupa like, komen dan shere yang banyak yah ..
Bab 7 sudah ada di KBM app…
Judulnya: Jadi Cerai Gak?
Penulis Qasya

GARA-GARA SEPUPU NAKAL MENGGODA IMAN, AKU DIBUAT KEC4NDUAN SERVIS4NNYA YANG MEM4BUKANBab 1Nagara, kamu paham ‘kan apa ya...
16/10/2025

GARA-GARA SEPUPU NAKAL MENGGODA IMAN, AKU DIBUAT KEC4NDUAN SERVIS4NNYA YANG MEM4BUKAN

Bab 1

Nagara, kamu paham ‘kan apa yang Ayah bicarakan?”

Suara berat Suradipraja memecah keheningan di ruang keluarga yang dipenuhi aroma kayu manis dari d**a di pojok ruangan. Lelaki tua itu duduk bersandar di kursi rotan, menatap putra angkatnya dengan pandangan serius.

Baru saja ia menjelaskan panjang lebar tentang kedatangan cucunya dari London, Larasantika, atau biasa dipanggil Antika. Gadis itu terlalu berbeda dai kakaknya, Pitaloka. Terlalu liar, terlalu bebas, terlalu sulit dikendalikan. Santosa dan Diana, akhirnya menyerah. Mereka memutuskan mengirim si bungsu ke Indonesia, ke rumah orangtuanya agar belajar sopan santun dan, mungkin, sedikit waras.

“Saya paham, Ayah,” jawab Nagara tenang, seperti biasa. “Hanya saja malam ini saya tidak bisa menjemput ke bandara. Ada rapat dengan pihak Universitas Garendra, membahas kerja sama riset antar fakultas. Saya akan meminta supir menjemputnya.”

“Lakukan saja, asal jangan buat dia kesal menunggu. Dia itu pemarah. Kamu ingat ‘kan?”

“Hmm…., terakhir kali saya menemuinya saat dia berusia 12 tahun, dia masih sangat pengertian dan baik waktu itu.”

Kemudian suara lain menimpali. “Dia sudah berubah, Nagara. Ini dia alasan kenapa kamu harus ikut ke London setiap tahun, melihat perkembangan keponakanmu, bukan sibuk dengan Universitas saja,” ujar Ratnawangi, sang Ibu meletakkan nampan di meja dan menatap putra angkatnya dengan lembut.

“Ayah dan Ibu sudah sangat lelah mempertahankan Yayasan keluarga, jadi saya harus lebih baik dalam menjaganya.”

“Jangan terlalu kamu anggap ini beban, Nak,” ucap sang Ibu pelan. “Kamu anak kami, bukan robot yang dipekerjakan. Istirahatlah sejenak, bersenang-senanglah. Dan tentang Antika, di aitu sangat sulit, tapi dia tetap keluarga. Anggap saja dia adikmu sendiri. Kalau dia bandel, tegur. Kalau dia salah, marahi.”

“Saya mengerti, Ibu. Hanya saja… saya bukan orang yang pandai menghadapi anak seusianya. Tapi akan saya coba.”

“Kamu pernah menghadapi mahasiswa yang lebih keras kepala darinya, bukan? Masa menghadapi keponakan sendiri kamu merasa kalah duluan?” Tanya Ratnawangi.

Suradipraja terkekeh lirih. “Kamu ini terlalu serius, Nagara. Kadang lupa kalau di balik jas dan jabatan rektor itu, kamu tetap anak yang dulu kami temukan di panti asuhan, menggenggam buku lusuh tapi matamu menyala-nyala.”

Nagara menunduk mengingat masa itu, usia tujuh belas, tubuh kurus, dan pandangan dunia yang sempit di balik pagar panti asuhan. Hidupnya berubah ketika keluarga Wangsadipraja datang berkunjung dalam acara sosial. Ratnawangi-lah yang pertama kali menatapnya dengan mata lembut seorang ibu, dan tanpa banyak pikir, ia mengulurkan tangan serta berkata, “Mulai hari ini, kamu ikut kami pulang.”

Sejak itu, Nagara menjadi bagian dari keluarga ini. Ia diberi pendidikan terbaik, hingga akhirnya kini di usia tiga puluh tahun menjadi rektor termuda di bawah yayasan milik keluarga angkatnya.

“Anak itu butuh figur, Nagara,” ucap Suradipraja.
“Ayahnya sibuk, ibunya orang London yang tidak paham adat kita. Kami sudah tua. Jadi… hanya kamu yang bisa membentuknya.”

“Saya akan berusaha sebaik mungkin, Ayah.”

“Nah, sekarang minum dulu tehnya. Kamu paling s**a teh buatan Ibu, ’kan?”

Rumah keluarga Wangsadipraja berdiri di daerah Sentul Selatan, jauh dari hiruk pikuk kota namun masih mudah dijangkau dari Jakarta. Sebuah rumah kayu besar bergaya colonial dengan atapnya yang tinggi, jendela-jendela lebar menghadap ke halaman yang ditumbuhi pohon kamboja dan flamboyan. Udara di dalam rumah selalu harum oleh aroma kayu jati dan melati kering.

“Teh Ibu memang selalu punya rasa yang sama. Enak sekali,” ucapnya pelan.

Suradipraja terkekeh. “Itu artinya kamu masih waras setelah rapat berhari-hari. Jangan sampai Yayasan bikin kamu jadi mati rasa, Nak.”

Mereka bertiga tertawa kecil. Obrolan mengalir ringan tentang dosen-dosen baru, peraturan akademik, dan rencana pengembangan universitas keluarga mereka, Universitas Wangsadipraja Dharma.

“Universitas itu sudah berdiri lebih dari lima puluh tahun,” kata Suradipraja dengan nada bangga. “Tapi baru sejak kamu menjabat rektor, nama Wangsadipraja Dharma benar-benar diperhitungkan. Kalau almarhum kakekmu masih hidup, pasti dia bangga.”

“Saya hanya meneruskan apa yang sudah Ayah jaga. Yayasan itu warisan, tapi juga tanggung jawab. Selama saya bisa menjaga integritasnya, berarti saya sudah melakukan bagian saya.”

Ratnawangi menatap anak angkatnya itu penuh sayang. “Dan kamu melakukannya dengan sangat baik. Tapi jangan lupa, kamu juga manusia. Kadang Ibu khawatir kamu terlalu menekan diri sendiri.”

Nagara hendak membalas, tapi dering ponselnya memotong percakapan. Ia merogoh saku celana dan melihat nama yang muncul di layar, Elise. Istrinya.

“Ya, Sayang? Saya sedang di rumah Ayah dan Ibu… bagaimana di studio?”

Hening sejenak.

“Oh, begitu. Jadi… tidak bisa kesini? Baiklahh, tidak apa.” Mereka berbincang sebentar sebelum Nagara menutup panggilan. “Ada salam dari Elise, dia minta maaf tidak bisa berkunjung.”

“Masih sibuk, ya?” tanya Ratnawangi.

“Iya, Bu. Pemotretan kampanye parfum baru.”

Suradipraja menghela napas panjang. “Ayah tidak habis pikir, Nagara. Dulu kami menjodohkan kalian supaya kamu punya pendamping yang bisa menemani, bukan yang sibuk keliling dunia dengan kamera di depannya.”

“Sudahlah, Kang,” sela Ratnawangi, menatap suaminya dengan lembut. “Elise anak baik. Dia hanya belum bisa meninggalkan dunia yang sudah membesarkannya.”

“Tetap saja. Seorang istri seharusnya tahu kapan harus berhenti mengejar sorotan. Rumah tangga bukan panggung,” gerutu Suradipraja pelan. “Itu membuatku menyesal menikahkan kalian dulu. Harusnya dijodohkan dengan wanita yang lebih betah dirumah.”

“Saya tidak menyesal, Ayah. Saya menikah dengan orang yang saya cintai, meskipun dijodohkan. Elise adalah bagian hidup saya, dan kalau dia masih ingin mengejar mimpinya, saya tidak akan menghalangi. Suatu hari nanti dia akan tahu sendiri kapan waktunya pulang.”

****

“Dengan Non Antika?” tanya seseorang dengan suara pelan, membuat gadis itu mendongak dari ponselnya.

“Lama banget! Pesawat yang aku tumpangi udah mendarat darii setengah jam lalu, kalian pikir aku turis yang bisa sabar berdiri di sini?” Nada suaranya tinggi, penuh kesal.

“Maaf, Non. Jalanan macet dari tol, dan tadi bandara juga sempat padat.”

“Alasan.” Antika menyambar kopernya, menyerahkannya dengan gerakan kasar. “Bawa ini ke mobil. Jangan banyak bicara.”

Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan cepat dengan langkah sepatu berhaknya yang berdetak nyaring di lantai bandara. Malam sudah larut, hampir tengah malam. Lampu-lampu di luar jendela mobil berpendar seperti garis cahaya yang menari di kaca, sementara wajah Antika tampak lelah, tapi tatapannya tetap tajam.

Sang sopir mencoba mencairkan suasana. “Saya Bima, Non. Sopir di rumah Pak Nagara. Saya juga akan menjadi sopir pribadi Non selama di sini.”

“Aku nggak peduli. Nyetir aja yang bener.”

“Baik, Non.”

“Pak Nagara sebenarnya ingin menjemput Non sendiri, tapi beliau ada rapat penting di kampus. Ibu Elise juga sedang sibuk untuk pekerjaan, jadi—”

“Aku bilang aku nggak peduli,” potong Antika datar, menatap keluar jendela. “Kalian ini s**a sekali
menjelaskan hal yang tidak aku tanyakan.”

Bima langsung diam. Suasana di mobil kembali hening, hanya tersisa radio yang pelan memutar lagu lawas. Ketika mobil akhirnya berhenti di depan rumah besar berpagar besi hitam, jam digital di dashboard menunjukkan pukul sebelas lewat empat puluh tiga menit. Rumah tiga lantai dengan dinding kaca dan taman kecil di depannya tampak elegan, modern, bersih, berkilau di bawah lampu taman.

Antika turun tanpa menunggu, menyambar kopernya sendiri. “Aku bisa bawa sendiri,” ujarnya ketus ketika Bima hendak menolong.

Pintu utama terbuka. Seorang pelayan paruh baya muncul dengan senyum gugup. “Selamat malam, Non Antika. Saya Yuni. Mari, saya antar ke kamar.”

“Gak usah. Di mana kamarnya?”

“Lantai tiga, Non. Di ujung kanan.”

“Kamu buatin aku camilan aja.”

“Baik, Non.”

Antika melangkah ke arah lift, menyeret kopernya yang berisik menabrak lantai marmer. Lift berhenti di lantai tiga, mendapati koridor panjang dengan pencahayaan hangat keemasan. Rumah itu terasa dingin tapi mahal.

Tidak buruk, pikirnya, sambil menatap dinding yang berisi pigura berlapis kaca dan deretan buku di rak kayu walnut.

Namun langkahnya terhenti. Ada suara. Suara berat seperti helaan napas panjang yang tertahan.

“Shhh… ahhhh….”

Antika mengerutkan kening, menajamkan telinga. Suara itu datang dari arah kanan, dari salah satu ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Rasa ingin tahunya mengalahkan sopan santun. Ia melangkah perlahan dan mencondongkan tubuh, mengintip melalui celah pintu.

Nagara, Pamannya.

Namun yang membuatnya terdiam bukan sekadar siapa yang ada di sana, melainkan apa yang sedang terjadi.

Pria itu duduk di kursinya, kepala tertunduk dalam temaram kamar yang hanya diterangi lampu meja berwarna kuning keemasan. Bayang tubuhnya memantul di kaca jendela yang gagah, berotot, dan berurat hingga tampak hidup di antara remang malam.

Tangan kanannya bergerak pelan, berirama, mengocok perlahan di antara helaan napas berat yang sesekali tercekat. Bahunya naik turun, keringat dingin mulai menitik di pelipis
Antika menelan ludah. “Sialan… dia lagi nyolo?”

***

Judul: JERAT HASRAT TERLARANG
Nama pena: Red Lily
Platform: Dreame/innovel

Address

Jalan Paving
Blora
58254

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Livy Dovey posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share