08/10/2025
"Kamu ikut saya ke Jakarta besok, kita akan periksa DN4 untuk membenarkan perkataan ibu angkatmu. Karena menurut beliau, kamulah an ak yang selama ini saya cari, Sabrina."
***
"Pak Fadly?"
Serasa ada yang berdegup kencang di da da ini, tatkala melihat seseorang yang sedaritadi amat kukhawatirkan ada di depan mata.
"Bisa ikut saya sebentar," ucapnya dengan suara bergetar.
Aku dapat menangkap dua bola mata majikanku itu tampak basah. Sebenarnya, ada apa dengan beliau?
Tanpa banyak bicara, kuikuti langkah Pak Fadly hingga sampai di ruang keluarga.
Tadinya yang kukira semua sudah terlelap, sebab tak terdengar suara berisik walau sedikit pun. Ternyata empat pasang mata kini seperti tengah menanti kedatanganku.
"Duduklah di salah satu kursi," ucap Pak Fadly kembali hingga membuat darah ini terasa membeku. Sebenarnya apa yang sudah terjadi, apa aku melakukan kesalahan hingga membuat mereka memanggil di tengah malam begini?
"Maaf Pak Fadly, Nyonya Siska, apa saya melakukan sebuah kesalahan hingga diharuskan menghadap semua orang begini di tengah malam?"
Nyonya Siska menghela napas, sedang di sisinya Mbak Mira tampak tegang.
"Kamu nggak melakukan kesalahan apapun Sabrina. Kemungkinan besar, saya yang sudah membuat kesalahan besar pada kamu dan ibumu."
Degup di da da ini sudah tidak bisa lagi kuatur. Siapa yang beliau maksud, apakah Bu Asti?
Apa yang terjadi dengan ibu angkatmu itu?
"Maksud Bapak apa, ada apa dengan Bu Asti?"
Pak Fadly kembali menarik napas.
"Bukan perihal Bu Asti. Tapi tentang ibu kandungmu, Sabrina."
Aku semakin tak mengerti.
"Bukankah saya pernah bercerita padamu, tentang istri dan an ak saya yang hilang dua puluh tahun silam?"
Aku mengangguk. Masih dengan rasa penasaran yang sedemikian besar.
"Sepertinya pertemuan saya dengan ibu angkatmu, membuat sebuah titik terang untuk masalah saya tersebut. Beliau menceritakan semua kepada saya tentang ba yi mungil yang dititipkan seseorang dua puluh tahun silam padanya."
Ucapan Pak Fadly yang terpenggal membuat jiwa ini semakin menje rit-je rit meminta untuk segera di jelaskan secara detail.
"Memangnya apa yang di ceritakan Bu Asti pada Bapak?"
"Menurut beliau, kemungkinan besar, kamulah an ak yang saya cari itu," lanjutnya dengan suara yang kembali bergetar.
Dan di sini, jantungku seakan berhenti berdetak. Dua bola mata ini membelalak. Sepertinya apa yang baru saja sampai ke telingaku benar-benar tidak bisa diterima akal.
Aku masih bergeming, tak berani menjawab apalagi bertanya.
"Untuk lebih meyakinkan kebenaran ini, besok saya akan membawamu ke rumah sa kit. Kita akan mengecek kesamaan gen. Kamu akan saya bawa untuk mengetest D N A."
Pak Fadly sejenak terdiam. Membuat perasaan ini bercampur aduk. Kaget juga khawatir.
Kupandangi dua bola mata milik Nyonya Siska yang duduk di sisi Pak Fadly. Tatapannya taj am seolah hampir mener kam. Pasti dia amat memben ciku kini.
"Malam ini tidurlah kembali. Maaf saya memilih menyampaikannya di tengah malam begini. Karena saya takut, barangkali umur saya di dunia ini tidak panjang. Maka setidaknya kamu sudah tahu perihal kemungkinan ini."
Aku bergegas bangkit, dan membalikkan tubuh hendak kembali ke kamar. Sangat tidak nyaman dengan pengakuan tiba-tiba yang disampaikan majikanku.
"Lho, Sabrina, kamu mau kemana?"
Pak Fadly kembali menghentikan langkah ini.
"Tadi Bapak suruh saya istirahat."
Dia tersenyum sembari menarik napas.
"Malam ini kamu tidur di kamar tamu. Jika hasil D N A menunjukkan benar kamulah a nak saya. Selamanya kamu akan tidur di lantai dua, di kamar sebelah kamar Mira."
Degup tak beraturan kembali menghentak jantung, tatkala mendengar ucapan Pak Fadly yang menyuruhku tidur di kamar tamu.
"Jangan Pak, saya tidur di tempat biasa saja."
"Tidak apa-apa, Sabrina. Ini perintah saya, masih sebagai majikanmu."
Tak berani membantah, aku segera membalikkan tubuh. Pak Fadly berjalan terlebih dahulu.
Lalu di depan kamar tamu, Bik Faras dan Teh Dini sudah menunggu. Mereka menggeser saat Pak Fadly sudah sampai di depan pintu kamar. Lelaki bertubuh masih tegap itu membuka pintu kamar tersebut.
Masya Allah, biasanya aku yang bertugas membersihkan kamar ini. Sesekali iseng kutiduri ran jangnya yang begitu empuk. Tapi malam ini, aku seperti tidak mengenal kamar tamu yang biasa kubersihkan itu. Semua sudah ditata lebih indah dari biasa.
"Sementara, ini adalah kamarmu hingga test D N A itu membuktikan, apakah benar kamu adalah an ak saya yang selama ini saya cari atau bukan."
Suaranya terdengar berat. Dan entah kenapa di detik ini, sesuatu membuat hati terasa perih.
"Jika pada kenyataannya saya bukan an ak Bapak, apakah Bapak akan mengembalikan saya ke kamar belakang?"
Sesaat hening. Sebelum akhirnya dia kembali berucap.
"Jika bukan, kamu boleh memilih. Mau tetap tinggal di kamar ini atau balik ke belakang."
Aku menghela napas mendengar jawaban cukup bijaksana yang keluar dari mulut majikanku itu.
Tadinya padahal aku ingin menangis karena tak yakin bahwa aku ini adalah dar ah daging yang selama ini ia cari. Tapi, setelah mendengar perkataan itu, bolehkan aku berbahagia? Jika pun hasilnya nanti menyatakan aku bukan an aknya. Aku tetap bersyukir, setidaknya aku sudah pernah merasa menjadi dan hampir dianggap an ak oleh seorang lelaki sesempurna Pak Fadly.
Aku bergerak masuk ke dalam kamar, kuarahkan pandangan untuk terakhir sebelum menutup pintu, ke arah Nyonya Siska. Ia terdiam tak berkutik. Meski kutahu apa yang terjadi kini adalah hal yang tidak sesuai dengan keinginan hatinya.
Aku menutup pintu perlahan, hingga bayangan Pak Fadly sempurna menghilang. Lalu perlahan kulangkahkan kaki menaiki ran jang yang berbalutkan sprei berwarna cream pastel bercorak bunga Lili.
Aku merebahkan kepala di atas bantal nan empuk. Sungguh diri ini tak paham apa yang kini terasa mende sah jiwa. Jika benar aku an ak Pak Fadly, maka siapa ibuku? Berbagai pertanyaan memenuhi kepala, satupun tak bisa kutemukan jawabannya.
Hanya detakan jam di dinding yang memberi jawaban, bahwa malam tak selamanya gelap. Fajar akan tiba, dan mata ini harus segera tertutup agar bisa memeluk esok dengan bahagia.
*
Pagi ini terasa sangat berbeda. Kebiasaan menyapu dan mengepel rumah sebelum pagi datang sudah tidak diijinkan lagi untuk kukerjakan. Semua diambil alih oleh Teh Dini.
Dan jika setiap pagi aku aktif di dapur membuat kupat tahu atau bubur tumpang. Khusus pagi ini semua tidak boleh kulakukan.
Aku hanya disuruh menunggu di kamar, layaknya penghuni rumah yang lain. Bosan juga, aku coba mengecek ponsel yang kemarin diberikan Mbak Mira.
Aku mulai membuka kunci hingga semua aplikasi terlihat oleh mata. Aku mulai mengecek-ngecek kontak.
Semua kontak masih belum terhapus. Sebaiknya aku hapus satu-satu.
Tangan mulai bergerilya. Menghapus setiap kontak karena memang sudah diijinkan Mbak Mira. Hingga sampai di sebuah nomor dengan nama seseorang yang begitu familiar.
My beloved Fandy.
Tanpa pikir panjang, langsung aku mendelete nomor lelaki itu. Kontak ponselku kini kosong. Ah, tinggal menanyakan saja nomor Mbak Mira, Teh Dini, dan Mang Dadang.
Selesai semua urusan tak berfaedah ini. Lalu ketukan pintu kamar membuat tubuh sejenak terangkat.
Aku membukakan pintu dan Pak Fadly kini ada di hadapan.
"Ayo ikut sama kami sarapan pagi."
Aku menunduk ragu, rasanya tak dapat kubayangkan. Lelaki yang begitu kuhormati itu kini mengajakku sarapan bersama keluarganya yang lain.
"Lo, kok masih berdiri?"
"Maaf Pak. Saya belum lapar. Biasa saya makan agak terlambat, kalau makannya cepat malah bawaannya mual."
Kutolak dengan sopan ajakan itu, sangat tidak leluasa satu meja makan dengan Mbak Mira apalagi Nyonya Siska.
"Oh begitu. Yasudah jika itu memang sudah jadi kebiasaan. Oya, pagi ini saya harus ke rumah sakit terlebih dahulu karena ada panggilan mendadak. Nanti kamu, Siska dan Mira saya jemput sekitar jam sebelas. Kita langsung ke Jakarta. Saya sudah menghubungi salah satu teman di RSUD Cipto Mangunkusumo, kita ke sana saja untuk memeriksakan D N A kamu, ya."
Aku hanya menunduk. Tak berani mengeluarkan suara. Rasanya cukup malu jika berhadapan dengan majikanku ini.
Sejenak suasana dikuasai keheningan. Sebelum akhirnya aku mendengar Pak Fadly menarik napas.
"Saya harap, kamulah anak yang selama ini saya cari."
Suara Pak Fadly kembali bergetar.
"Jika benar kamu yang sudah dibawa istriku bersamanya dua puluh tahun yang lalu, maka akan ada kejutan istimewa untukmu. Istri saya sudah lama menantikanmu."
Ucapannya membuat wajahku terangkat.
Ya Allah, bolehkah aku berharap. Jadikan semua ini kenyataan. Aku ingin sekali memeluk seorang ayah, tidur di pangkuan seorang ibu. Aku ingin memiliki kedua orang tuaku ya Rabb ...
Pak Fadly mengusap matanya.
"Saya pergi dulu, ya. Saya janji tidak akan lama."
Dia menatapku lama.
"Baik Pak."
Pak Fadly memberi seulas senyum padaku lalu dia berbalik.
"Hati-hati, Pak."
Ah, andai bisa kuucapkan padanya. Tapi aku masih merasa sangat segan pada beliau.
*
Mataku masih menelisik pada jarum jam di dinding. Perut menuntun untuk segera diisi berbagai macam makanan. Akhirnya kuputuskan untuk keluar kamar.
Karena kenyataan yang disampaikan Pak Fadly tentang kemungkinan statusku di rumah ini, aku justru merasa sungkan pada siapapun.
Tapi, lapar membuat rasa sungkan sejenak menyingkir.
Aku ke meja makan lalu mengambil beberapa centong nasi serta lauknya. Seperti biasa, aku duduk di lantai dapur tepat di depan pintu yang langsung menuju ke taman belakang.
Tiba-tiba, suara langkah seseorang menuju tempatku, membuat mulut ini berhenti mengunyah.
"Nyonya Siska?"
Dia tersenyum sinis. Sejenak memalingkan wajah lalu kembali berjalan mendekatiku.
"Calon ana k seorang dokter mana boleh duduk seperti ba bu begini."
Aku menelan ludah. Lagi-lagi ada yang menancap kuat di dada ini. Sakit!
"Ikut saya. Kamu tidak boleh ke Jakarta dengan berpakaian lu suh begini. Bisa turun derajat suami saya di depan rekan seprofesinya."
Nyonya Siska segera berbalik, dan pada akhirnya aku harus meninggalkan makanan yang baru kusentuh setengah untuk kemudian mengikuti langkahnya.
***
Bersambung.
Kira-kira Sabrina mau dibawa kemana ya sama Siska?
Baca selengkapnya di KBM App ya, judul cerita An4k Yang Terlahir dari Rahim Wanita Gil4. Penulis : wahyunisst. Teman-teman, part ini adakah part terakhir yang akan dibagikan di FB ya. Semoga teman-teman mudah rejekinya ya supaya bisa baca lanjutan cerita ini di KBM. Terima kasih sudah membaca.
Utamakan baca Al-Quran ya.