Nona Fortuna

Nona Fortuna suport terus akun inii🙏🏻 tidak ada

20/10/2025

sesss☕

"Kemarin aku masih gad is misk in yang tidak punya apa-apa. Tapi sekarang aku sudah menjelma menjadi jand a cantik kay a...
08/10/2025

"Kemarin aku masih gad is misk in yang tidak punya apa-apa. Tapi sekarang aku sudah menjelma menjadi jand a cantik kay a raya. Hidup dan nas ib seseorang memang tidak ada yang tahu."

***
# 8

Akhirnya satu persatu masalah sudah berhasil diselesaikan oleh Gendis. Perlahan tapi pasti dia akan membuktikan kepada orang-orang yang telah merem ehkannya. Bahwa dia mampu dan bisa melakukan semua hal yang dianggap mustahil oleh sebagian besar orang.

Setelah menjemput dan mengantarkan orang tuanya pindah ke rumah besar. Gendis melanjutkan kegiatannya untuk berkeliling menemui satu persatu warga, yang memiliki sangkut paut hvtang pivtang kepada mendiang suaminya.

Gendis memang tidak segar ang dan sekej am suaminya dulu. Namun jand a muda itu akan bersikap teg as. Agar dia tidak mudah disepelekan oleh orang lain. Gendis juga menghapvskan sistem bunga yang memberatkan warga untuk bisa memb ayar hvtang mereka. Sebagai putri dari m antan orang yang pernah berhvtang kepada juragan Parta atau mendiang suaminya. Gendis pasti tahu dan paham bagaimana svlitnya membay ar bunga yang dipatok dengan sangat tinggi oleh mendiang juragan Parta.

"Apa juragan putri yakin untuk menghapvs sistem bunga dari semua p eminj am hvtang?" tanya Sukirman dari kursi penumpang bagian depan.

"Jadi kau meragvkan keputusan ku Sukirman?" tanya balik Gendis.

Mendengar jawaban yang diberikan oleh Gendis tadi, membuat Sukirman merasa ketakvtan.

"Tidak juragan putri. Bukan seperti itu maksud saya. Mana mungkin saya berani meragvkan juragan putri. Saya hanya ingin tahu alasan apa yang mendasari juragan putri ingin menghapvskan sistem bunga dari peminjam hvtang."

Sukirman mengatakan apa yang ada di dalam isi kepalanya sekarang.

"Sebenarnya tidak ada alasan khusus. Hanya saja aku ingin uwng milik mendiang suamiku bisa segera dilvnasi tanpa banyak drama. Dengan aku menghapvs bunga yang sangat tinggi dari mereka. Bukan kah itu bisa membantu mereka untuk bisa cepat melvnasi hvtang. Kecuali warga nak al yang memang tidak berniat untuk memb ayar hvtang mereka. Maka kalian yang harus bertind ak," jawab Gendis.

"Baik, saya setuju dengan pemikiran juragan putri. Tidak masalah tidak mendapatkan bunga dari pinj aman-pinj aman itu. Yang penting hvtang mereka bisa segera dilvnasi," ucap Sukirman pada akhirnya.

"Setelah masalah hvtang pivtang beres. Aku hanya ingin fokus pada hasil perkebunan dan pengolahannya," kata Gendis yang langsung diangguki oleh Sukirman.

"Saya setuju dengan juragan putri."

"Siapa dulu yang harus kita datangi?" tanya Gendis kemudian.

"Kakek dan nenek Ronggo. Pasangan tva itu selalu saja m angkir dari membayar hvtang mereka. Sebaiknya kita mendatangi mereka lebih dulu," jawab Sukirman menyebut nama salah satu peminjam hvtang dari mendiang juragan Parta.

"Baiklah kita pergi ke sana sekarang."

***

Di dalam sebuah rumah sederhana. Bahkan tempat tinggal itu tidak lay ak disebut rumah, melainkan gvbvk. Karena kondisinya yang sangat memprihat inkan.

Di sana tinggal sepasang suami istri yang sudah berusia senja. Karena mereka tidak memiliki keturunan. Pada masa yang lalu mereka memiliki hvtang kepada juragan Parta. Demi untuk mengisi perut mereka yang kel aparan.

Sebenarnya hvtang pasangan suami istri itu tidaklah banyak. Akan tetapi terus memb engkak dan semakin banyak karena bunga tinggi yang diberikan oleh juragan Parta kepada mereka. Sehingga hvtang mereka menjadi menumpuk setiap tahunnya.

"Bagaimana Nek? Apa dia sudah bangun?"

Pasangan suami istri berusia senja Itu tampak mengintip dari balik kelambu. Sosok pria yang masih tertidur dengan begitu lelap di atas amben. Entah dari mana pria itu berasal. Yang jelas kakek Ronggo telah dengan tidak sengaja menemukannya, sudah terkap ar tidak berday a di pinggiran perkebunan milik juragan Parta.

Kakek Ronggo yang baik hati langsung membantu, dan membawanya pulang ke rumah. Kondisi pria itu sangat meng enaskan, karena seluruh tvbvhnya dipenuhi dengan lvka pvkvlan. Entah siapa yang sudah berbuat kej am melakukan itu kepada pria asing tersebut.

Di rumah Kakek dan Nenek Ronggo yang sederhana itulah lvka pria asing itu diobati.

"Belum Kek. Tidurnya lelap sekali. Pasti tubuhnya masih terasa s akit semua. Meskipun sudah hampir satu minggu dia berada di sini. Tapi untungnya bekas lvka yang ada di wajah dan sebagian tubuhnya sudah memudar. Karena nenek tidak pernah telat untuk mengobatinya dengan tumbuhan herbal," jawab nenek Ronggo.

"Ya sudah kalau begitu kita tidak usah mengganggunya dulu. Biarkan saja dia istirahat dengan nyaman di rumah ini. Kasihan kalau dia merasa kesak itan lagi."

Akhirnya kakek dan nenek Ronggo memutuskan untuk menjauh dari kam ar pria asing, yang seminggu yang lalu mereka tolong. Mereka ingin kembali berladang, saat terdengar suara dari mesin mobil mendekat.

"Mobil siapa yang datang Kek? Apa mungkin juragan Parta? Tapi 'kan juragan Parta sudah meningg al?"

"Entahlah kakek juga tidak tahu. Sebaiknya kita lihat saja keluar. Agar tahu siapa yang datang."

"Aku takvt Kek. Bagaimana kalau yang datang para cent eng juragan Parta, yang ingin menag ih hvtang kepada kita? Sedangkan kita sekarang tidak memiliki apa-apa untuk bisa mencicil hvtang kita."

Raut wajah yang sudah keriput itu tampak menunjukkan kekhaw atirannya. Pasangan suami istri yang sudah berusia senja itu merasa hvtang mereka tidak pernah lvnas. Sebab bunga berbunga yang terus bertambah setiap tahunnya. Hal itulah yang membuat pasangan suami istri itu merasa ketakvtan jika ada orang yang bertamu ke gvbvk mereka.

"Tidak apa-apa Nek. Memb ayar hvtang adalah kewajiban kita. Meskipun kita harus mencicilnya sampai ma t i," jawab kakek Ronggo dengan begitu bijaksana.

Kakek dan nenek Ronggo berjalan keluar dari rumah mereka. Ketika mobil yang ditumpangi oleh Gendis baru saja berhenti di depan halaman rumah mereka.

"Tuh kan benar Kek. Itu mobil yang biasa dipakai oleh juragan Parta dulu. Pasti yang datang sekarang adalah orang-orang utusannya," ucap nenek Ronggo dengan rasa w as-w as.

Pasangan tva itu menunggu penumpang di dalam mobil mewah yang sudah berhenti di halaman rumah mereka turun. Mereka terkejvt saat melihat seorang wanita cantik dan anggun keluar dari mobil tersebut. Mereka merasa tidak asing dengan wajah cantik itu.

"Bukan kah itu Gendis, putri dari Rosadi dan Hartati?" gumam nenek Ronggo sembari menatap lekat ke arah Gendis.

"Selamat sore Kakek, Nenek," sapa Gendis dengan begitu sopan.

Gendis merasa mir is saat melihat keadaan pasangan tva itu untuk pertama kalinya. Apalagi saat teringat catatan hvtang milik Kakek dan Nenek Ronggo yang sempat dia baca tadi. Ingin rasanya Gendis menghapvskan hvtang-hvtang pasangan tua itu. Bukan hanya bunga yang dulu sudah ditetapkan oleh mendiang suaminya.

"Selamat sore juragan putri. Mari silakan masuk," jawab Kakek Ronggo mempersilahkan.

Apa pun tujuan Gendis dan orang-orang nya datang. Mereka tetap tamu yang akan pasangan tva itu jamu dengan baik.

"Tidak usah Kek. Kita bicara di sini saja. Kakek dan Nenek tentu sudah tahu maksud kedatangan saya kemari. Saya ingin membicarakan masalah hvtang pivtang dengan Kakek dan Nenek Ronggo," jawab Gendis.

Tiba-tiba saja terdengar suara ber at menginterupsi pendengaran semua orang.

"Jadi kau manusia tidak punya hati yang teg a memberikan bunga tinggi kepada orang tva yang tidak memiliki apa-apa. Dasar tidak tahu malv. Menghis ap d arah rakyat m iskin untuk memperk aya diri sendiri. Apa kau tidak punya orang tva?!"

***

Judul : (TAMAT) Menjadi Jand a Kay a Setelah Sah.
Penulis : Richan25

Baca cerita selengkapnya di aplikasi KBM.

🐦‍⬛🐦‍⬛

Spoiler KKN dengan suami 12Satu Minggu kemudian!Satu Minggu setelah survei, hari ini kita akan berangkat ke tempat KKN. ...
08/10/2025

Spoiler KKN dengan suami 12

Satu Minggu kemudian!

Satu Minggu setelah survei, hari ini kita akan berangkat ke tempat KKN. Semua mahasiswa udah di kumpulkan di halaman kampus. Pake baju samaan yang dikasih kampus. Zayyan sibuk ngitungin anggota kelompoknya sama Nesa yang nulis banyak hal disampingnya. Surya mojok di bawah pohon lagi ngerok0k. Disampingnya ada Darma yang buka kotak bekal lagi sibuk makan.

Aku duduk sama Rafi tak jauh dari mereka. Berteduh di bawah pohon sambil nunggu keberangkatan. Diam-diam mataku melirik Aisyah yang duduk diatas koper. Dan tanganku iseng mengambil kerikil dari bawah. Kemudian melemparnya pada Aisyah. Dia langsung mendengus kesal saat kerikil itu menyentuh sepatunya. Berbalik arah langsung memunggungi aku.

Ting!

Sebuah pesan aku dapatkan.

[Rey, kita pelukan dulu. Kamu nunggu dimana?]

Sherin mengirimkan aku pesan. Aku mengambil sebuah foto. Kemudian mengirimkannya pada Sherin. Agar dia tahu dimana aku berada.

[Tunggu disitu dulu yah. Aku pengen perpisahan dulu sama kamu.]

[Oke!]

"Kita akan naik mini bus kesana. Tapi tidak sampai ke desa tempat tujuan kita yah. Dari pangkalan bis berhenti nanti kita akan dijemput naik mobil bak sama Pak kades." Zayyan menjelaskan.

"Mobil bak yang kemarin di pake bawa kambing itu bukan?" Darma sambil makan berkata pelan.

"Iya itu!"

"Gue duduk sama lo ya rey!" Surya langsung berkata.

"Gue sama lo Zay." Rafi tak mau kalah.

Darma yang lagi makan langsung melihat ke semua arah.

"Biarin gue mau duduk dekat Pak sopir biar gak muntah."

"Plastik udah Lo bawa belum. Awas aja Lo muntah-muntah di jalan lagi. Udah segala macam Lo makan lagi. Rendang jengkol, tempe, daun melinjo. Udah lo jangan makan mulu ke."

Darma belum menutup kotak makanya sebelum habis semuanya. Surya hanya menggelengkan kepala disampingnya.

"Bis kelompok kita udah ada. Ayo angkat dulu barangnya." Zayyan memberikan perintah. Semua sibuk dengan barangnya masing-masing.

Aku melihat Zayyan mendekati Aisyah. Dia tersenyum padanya. Tangannya terulur.

"Sini Syah, koper kamu aku yang bawa."

Aku memalingkan wajah ke arah yang lain. Tapi tanganku dengan cepat menarik koper Aisyah. Dia terlihat kaget.

Tapi aku tak peduli. Terus jalan ke arah bis yang akan kita tumpangi.

“Rey! Sini Rey pelukan dulu.”

Aku terdiam. Menoleh pada Sherin yang sedang berjalan ke arahku. Dan lihatlah dua mata Aisyah sedang memandang aku dengan begitu tajam.

*
*
*
Baca lebih panjang di KBM atau ikuti saluran KKN dengan suami untuk nunggu novel cetaknya yang akan terbit.

Like 5 k, komentar 1k, dan share 100 yah baru lanjut
Judul KKN Dengan Suami
Penulia : QASYA

"Kamu ikut saya ke Jakarta besok, kita akan periksa DN4 untuk membenarkan perkataan ibu angkatmu. Karena menurut beliau,...
08/10/2025

"Kamu ikut saya ke Jakarta besok, kita akan periksa DN4 untuk membenarkan perkataan ibu angkatmu. Karena menurut beliau, kamulah an ak yang selama ini saya cari, Sabrina."

***

"Pak Fadly?"

Serasa ada yang berdegup kencang di da da ini, tatkala melihat seseorang yang sedaritadi amat kukhawatirkan ada di depan mata.

"Bisa ikut saya sebentar," ucapnya dengan suara bergetar.

Aku dapat menangkap dua bola mata majikanku itu tampak basah. Sebenarnya, ada apa dengan beliau?

Tanpa banyak bicara, kuikuti langkah Pak Fadly hingga sampai di ruang keluarga.

Tadinya yang kukira semua sudah terlelap, sebab tak terdengar suara berisik walau sedikit pun. Ternyata empat pasang mata kini seperti tengah menanti kedatanganku.

"Duduklah di salah satu kursi," ucap Pak Fadly kembali hingga membuat darah ini terasa membeku. Sebenarnya apa yang sudah terjadi, apa aku melakukan kesalahan hingga membuat mereka memanggil di tengah malam begini?

"Maaf Pak Fadly, Nyonya Siska, apa saya melakukan sebuah kesalahan hingga diharuskan menghadap semua orang begini di tengah malam?"

Nyonya Siska menghela napas, sedang di sisinya Mbak Mira tampak tegang.

"Kamu nggak melakukan kesalahan apapun Sabrina. Kemungkinan besar, saya yang sudah membuat kesalahan besar pada kamu dan ibumu."

Degup di da da ini sudah tidak bisa lagi kuatur. Siapa yang beliau maksud, apakah Bu Asti?

Apa yang terjadi dengan ibu angkatmu itu?

"Maksud Bapak apa, ada apa dengan Bu Asti?"

Pak Fadly kembali menarik napas.

"Bukan perihal Bu Asti. Tapi tentang ibu kandungmu, Sabrina."

Aku semakin tak mengerti.

"Bukankah saya pernah bercerita padamu, tentang istri dan an ak saya yang hilang dua puluh tahun silam?"

Aku mengangguk. Masih dengan rasa penasaran yang sedemikian besar.

"Sepertinya pertemuan saya dengan ibu angkatmu, membuat sebuah titik terang untuk masalah saya tersebut. Beliau menceritakan semua kepada saya tentang ba yi mungil yang dititipkan seseorang dua puluh tahun silam padanya."

Ucapan Pak Fadly yang terpenggal membuat jiwa ini semakin menje rit-je rit meminta untuk segera di jelaskan secara detail.

"Memangnya apa yang di ceritakan Bu Asti pada Bapak?"

"Menurut beliau, kemungkinan besar, kamulah an ak yang saya cari itu," lanjutnya dengan suara yang kembali bergetar.

Dan di sini, jantungku seakan berhenti berdetak. Dua bola mata ini membelalak. Sepertinya apa yang baru saja sampai ke telingaku benar-benar tidak bisa diterima akal.

Aku masih bergeming, tak berani menjawab apalagi bertanya.

"Untuk lebih meyakinkan kebenaran ini, besok saya akan membawamu ke rumah sa kit. Kita akan mengecek kesamaan gen. Kamu akan saya bawa untuk mengetest D N A."

Pak Fadly sejenak terdiam. Membuat perasaan ini bercampur aduk. Kaget juga khawatir.

Kupandangi dua bola mata milik Nyonya Siska yang duduk di sisi Pak Fadly. Tatapannya taj am seolah hampir mener kam. Pasti dia amat memben ciku kini.

"Malam ini tidurlah kembali. Maaf saya memilih menyampaikannya di tengah malam begini. Karena saya takut, barangkali umur saya di dunia ini tidak panjang. Maka setidaknya kamu sudah tahu perihal kemungkinan ini."

Aku bergegas bangkit, dan membalikkan tubuh hendak kembali ke kamar. Sangat tidak nyaman dengan pengakuan tiba-tiba yang disampaikan majikanku.

"Lho, Sabrina, kamu mau kemana?"

Pak Fadly kembali menghentikan langkah ini.

"Tadi Bapak suruh saya istirahat."

Dia tersenyum sembari menarik napas.

"Malam ini kamu tidur di kamar tamu. Jika hasil D N A menunjukkan benar kamulah a nak saya. Selamanya kamu akan tidur di lantai dua, di kamar sebelah kamar Mira."

Degup tak beraturan kembali menghentak jantung, tatkala mendengar ucapan Pak Fadly yang menyuruhku tidur di kamar tamu.

"Jangan Pak, saya tidur di tempat biasa saja."

"Tidak apa-apa, Sabrina. Ini perintah saya, masih sebagai majikanmu."

Tak berani membantah, aku segera membalikkan tubuh. Pak Fadly berjalan terlebih dahulu.

Lalu di depan kamar tamu, Bik Faras dan Teh Dini sudah menunggu. Mereka menggeser saat Pak Fadly sudah sampai di depan pintu kamar. Lelaki bertubuh masih tegap itu membuka pintu kamar tersebut.

Masya Allah, biasanya aku yang bertugas membersihkan kamar ini. Sesekali iseng kutiduri ran jangnya yang begitu empuk. Tapi malam ini, aku seperti tidak mengenal kamar tamu yang biasa kubersihkan itu. Semua sudah ditata lebih indah dari biasa.

"Sementara, ini adalah kamarmu hingga test D N A itu membuktikan, apakah benar kamu adalah an ak saya yang selama ini saya cari atau bukan."

Suaranya terdengar berat. Dan entah kenapa di detik ini, sesuatu membuat hati terasa perih.

"Jika pada kenyataannya saya bukan an ak Bapak, apakah Bapak akan mengembalikan saya ke kamar belakang?"

Sesaat hening. Sebelum akhirnya dia kembali berucap.

"Jika bukan, kamu boleh memilih. Mau tetap tinggal di kamar ini atau balik ke belakang."

Aku menghela napas mendengar jawaban cukup bijaksana yang keluar dari mulut majikanku itu.

Tadinya padahal aku ingin menangis karena tak yakin bahwa aku ini adalah dar ah daging yang selama ini ia cari. Tapi, setelah mendengar perkataan itu, bolehkan aku berbahagia? Jika pun hasilnya nanti menyatakan aku bukan an aknya. Aku tetap bersyukir, setidaknya aku sudah pernah merasa menjadi dan hampir dianggap an ak oleh seorang lelaki sesempurna Pak Fadly.

Aku bergerak masuk ke dalam kamar, kuarahkan pandangan untuk terakhir sebelum menutup pintu, ke arah Nyonya Siska. Ia terdiam tak berkutik. Meski kutahu apa yang terjadi kini adalah hal yang tidak sesuai dengan keinginan hatinya.

Aku menutup pintu perlahan, hingga bayangan Pak Fadly sempurna menghilang. Lalu perlahan kulangkahkan kaki menaiki ran jang yang berbalutkan sprei berwarna cream pastel bercorak bunga Lili.

Aku merebahkan kepala di atas bantal nan empuk. Sungguh diri ini tak paham apa yang kini terasa mende sah jiwa. Jika benar aku an ak Pak Fadly, maka siapa ibuku? Berbagai pertanyaan memenuhi kepala, satupun tak bisa kutemukan jawabannya.

Hanya detakan jam di dinding yang memberi jawaban, bahwa malam tak selamanya gelap. Fajar akan tiba, dan mata ini harus segera tertutup agar bisa memeluk esok dengan bahagia.

*

Pagi ini terasa sangat berbeda. Kebiasaan menyapu dan mengepel rumah sebelum pagi datang sudah tidak diijinkan lagi untuk kukerjakan. Semua diambil alih oleh Teh Dini.

Dan jika setiap pagi aku aktif di dapur membuat kupat tahu atau bubur tumpang. Khusus pagi ini semua tidak boleh kulakukan.
Aku hanya disuruh menunggu di kamar, layaknya penghuni rumah yang lain. Bosan juga, aku coba mengecek ponsel yang kemarin diberikan Mbak Mira.

Aku mulai membuka kunci hingga semua aplikasi terlihat oleh mata. Aku mulai mengecek-ngecek kontak.

Semua kontak masih belum terhapus. Sebaiknya aku hapus satu-satu.

Tangan mulai bergerilya. Menghapus setiap kontak karena memang sudah diijinkan Mbak Mira. Hingga sampai di sebuah nomor dengan nama seseorang yang begitu familiar.

My beloved Fandy.

Tanpa pikir panjang, langsung aku mendelete nomor lelaki itu. Kontak ponselku kini kosong. Ah, tinggal menanyakan saja nomor Mbak Mira, Teh Dini, dan Mang Dadang.

Selesai semua urusan tak berfaedah ini. Lalu ketukan pintu kamar membuat tubuh sejenak terangkat.

Aku membukakan pintu dan Pak Fadly kini ada di hadapan.

"Ayo ikut sama kami sarapan pagi."

Aku menunduk ragu, rasanya tak dapat kubayangkan. Lelaki yang begitu kuhormati itu kini mengajakku sarapan bersama keluarganya yang lain.

"Lo, kok masih berdiri?"

"Maaf Pak. Saya belum lapar. Biasa saya makan agak terlambat, kalau makannya cepat malah bawaannya mual."

Kutolak dengan sopan ajakan itu, sangat tidak leluasa satu meja makan dengan Mbak Mira apalagi Nyonya Siska.

"Oh begitu. Yasudah jika itu memang sudah jadi kebiasaan. Oya, pagi ini saya harus ke rumah sakit terlebih dahulu karena ada panggilan mendadak. Nanti kamu, Siska dan Mira saya jemput sekitar jam sebelas. Kita langsung ke Jakarta. Saya sudah menghubungi salah satu teman di RSUD Cipto Mangunkusumo, kita ke sana saja untuk memeriksakan D N A kamu, ya."

Aku hanya menunduk. Tak berani mengeluarkan suara. Rasanya cukup malu jika berhadapan dengan majikanku ini.

Sejenak suasana dikuasai keheningan. Sebelum akhirnya aku mendengar Pak Fadly menarik napas.

"Saya harap, kamulah anak yang selama ini saya cari."

Suara Pak Fadly kembali bergetar.

"Jika benar kamu yang sudah dibawa istriku bersamanya dua puluh tahun yang lalu, maka akan ada kejutan istimewa untukmu. Istri saya sudah lama menantikanmu."

Ucapannya membuat wajahku terangkat.

Ya Allah, bolehkah aku berharap. Jadikan semua ini kenyataan. Aku ingin sekali memeluk seorang ayah, tidur di pangkuan seorang ibu. Aku ingin memiliki kedua orang tuaku ya Rabb ...

Pak Fadly mengusap matanya.

"Saya pergi dulu, ya. Saya janji tidak akan lama."

Dia menatapku lama.

"Baik Pak."

Pak Fadly memberi seulas senyum padaku lalu dia berbalik.

"Hati-hati, Pak."

Ah, andai bisa kuucapkan padanya. Tapi aku masih merasa sangat segan pada beliau.

*

Mataku masih menelisik pada jarum jam di dinding. Perut menuntun untuk segera diisi berbagai macam makanan. Akhirnya kuputuskan untuk keluar kamar.

Karena kenyataan yang disampaikan Pak Fadly tentang kemungkinan statusku di rumah ini, aku justru merasa sungkan pada siapapun.
Tapi, lapar membuat rasa sungkan sejenak menyingkir.

Aku ke meja makan lalu mengambil beberapa centong nasi serta lauknya. Seperti biasa, aku duduk di lantai dapur tepat di depan pintu yang langsung menuju ke taman belakang.

Tiba-tiba, suara langkah seseorang menuju tempatku, membuat mulut ini berhenti mengunyah.

"Nyonya Siska?"

Dia tersenyum sinis. Sejenak memalingkan wajah lalu kembali berjalan mendekatiku.

"Calon ana k seorang dokter mana boleh duduk seperti ba bu begini."

Aku menelan ludah. Lagi-lagi ada yang menancap kuat di dada ini. Sakit!

"Ikut saya. Kamu tidak boleh ke Jakarta dengan berpakaian lu suh begini. Bisa turun derajat suami saya di depan rekan seprofesinya."

Nyonya Siska segera berbalik, dan pada akhirnya aku harus meninggalkan makanan yang baru kusentuh setengah untuk kemudian mengikuti langkahnya.

***

Bersambung.

Kira-kira Sabrina mau dibawa kemana ya sama Siska?
Baca selengkapnya di KBM App ya, judul cerita An4k Yang Terlahir dari Rahim Wanita Gil4. Penulis : wahyunisst. Teman-teman, part ini adakah part terakhir yang akan dibagikan di FB ya. Semoga teman-teman mudah rejekinya ya supaya bisa baca lanjutan cerita ini di KBM. Terima kasih sudah membaca.

Utamakan baca Al-Quran ya.

Om Arga sedang mandi. Aku menerima panggilan telepon yang masuk ke ponselnya. "Mas! Kenapa semalam tidak pulang? Kenapa ...
08/10/2025

Om Arga sedang mandi. Aku menerima panggilan telepon yang masuk ke ponselnya. "Mas! Kenapa semalam tidak pulang? Kenapa teleponku tidak diangkat?!" terdengar tante Devi yang marah.

"Om Arga semalam ada bersamaku Tante. Kami melakukannya sampai dua kali. Om Arga sangat ketagihan."

"Nadia! Dasar ja- lang!" Dia mungkin tidak menyangka aku yang menerima telepon. Aku sengaja berkata seperti itu untuk membuatnya sakit hati.

"Kembalikan ponsel pada Mas Arga!" sentaknya.

"Mau apa Tante? Bilang aja sama aku."

"Saya tidak ada urusan denganmu. Tapi saya akan memperhitungkan perbuatanmu sudah menggoda suamiku!"

"Aku tidak takut Tante. Karna Om Arga sudah tergila-gila sama aku."

"Saya tidak kenal siapa kamu, Nadia. Tapi beraninya kamu mengusik keluarga saya. Ingat karma!"

"Ohya? Bagaimana kalau ternyata ini adalah karmanya Tante sendiri?"

"Apa maksudmu?"

Aku tidak langsung menjawab. Rupanya setelah belasan tahun berlalu tante Devi tidak ingat padaku. Mungkin karena perubahan drastis pada tubuhku yang dulu masih kecil sekarang sudah dewasa, jadi tidak mengenali. Baguslah.

"Nadia katakan!" Dia selalu berbicara memb3n-tak.

"Tante pikir aja sendiri." Telepon langsung aku m4ti-kan. Senang sekali pagi-pagi sudah membuatnya panas hati.

Mendengar derit bunyi pintu, ponsel Om Arga pun buru-buru kuletakkan di meja kecil. Untunglah telepon sudah dima-ti- kan. Aku tersenyum menyambutnya yang baru selesai mandi.

"Aku udah buatin sarapan buat Om."

"Terimakasih, Nadia. Kamu baik sekali. Kamu rajin." Aku tersenyum lagi mendengar pujiannya. Sudah biasa masak sendiri. Sudah biasa bangun pagi-pagi menyiapkan ini itu membantu ibu. Sebab tidak ada orang lain lagi selain aku.

"Om pakai baju dulu. Setelah itu sarapan. Aku tunggu di luar."

"Ya, Sayang."

Ucapan manis. Tapi aku merasa biasa saja. Kutinggalkan dia sendiri di kamar.

Tidak lama lelaki itu menghampiriku di meja dapur. Sudah berpakaian rapi dengan stelan formal. Karna ini hari senin dan dia akan ke kantor. Untunglah Om Arga ada baju ganti di mobil sehingga tidak kesulitan meski tidak pulang.

"Makan, Om." Aku menarik satu kursi untuknya. Lelaki itu duduk.

"Aku hanya buat ini. Semoga Om suka." Hanya ada menu nasi goreng. Tapi aku membuatnya spesial. Telur setengah matang, potongan sosis, potongan timun dan daun salada menjadi toping di atas dan tepiannya. Tertata rapi dan cantik. Tersedia dua piring untuk aku dan Om Arga.

"Sebelumnya minum dulu." Aku memberikan segelas air mineral. Om Arga langsung meneguk. Aku membantu meletakkan lagi di meja.

"Aku juga udah buatin su su untuk Om, kalau mau." Aku juga membuatkan segelas su-su hangat. Terserah nanti mau diminum atau tidak.

Kulihat Om Arga tersenyum. "Sekarang Om makan, ya." Aku menyendokkan nasi dan menyuapinya. Sejenak Om Arga terdiam lalu membuka mulut menerima suapanku. Setelahnya aku duduk. Mendekatkan piring nasi sendiri.

"Kita makan, Om."

"Ini semua kamu yang buat?" tanyanya saat aku mau menyendok.

"Iya. Kenapa? Gak enak?"

"Tidak. Rasanya enak sekali."

"Oh ya?" Aku jadi sumringah. Om Arga mengangguk dan memakannya lagi lahap.

"Enak banget."

"Syukurlah. Habisin, ya." Aku senang diterima dengan baik.

"Kamu pintar masak ternyata."

"Aku udah biasa Om. Ngerjain semua sendiri."

"Masih muda tapi sudah rajin. Tidak seperti Devi di rumah, semua dikerjakan pembantu," ucapnya pelan sembari menatapku dalam.

Apa ini artinya Om Arga terkesan? Baguslah kalau begitu. Artinya aku lebih unggul dari tante Devi. Ini akan membuat dia semakin bertekuk lutut padaku.

"Biasa kok, Om." Aku merendah atas sanjungannya dan sedikit menunduk.

"Tidak. Kamu luar biasa, Nadia." Om Arga memegang tanganku. Mengecup singkat.

"Rasanya gak mau jauh dari kamu."

"Tapi sekarang Om harus kerja. Nanti sepulangnya bisa ke sini lagi."

"Ya, Sayang."

Lelaki ini benar-benar tergila-gila padaku. Aku senang dia semakin jatuh pada pesonaku.

***

"Kamu menggunakan kecantikanmu untuk merebut suami orang," ucap ibu berdiri di dekat pintu kamar sembari memegang tongkat menahan bobot badan. Melihatku tengah bercermin.

Aku meliriknya. "Tidak salah untuk orang yang sudah jahat sama kita," jawabku santai. Aku memang terlahir cantik dan semakin merawat diri semenjak dengan Om Arga.

Dulu juga tante Devi memikat ayah dengan parasnya. Dia tidak memikirkan anak kecil yang telah dia rebut kebahagiaannya suatu saat akan menuntut balas.

"Tapi Ibu takut. Suatu saat kamu yang dibegitukan. Atau keturunanmu." Ibu berkata gelisah.

"Jangan memikirkan yang belum terjadi, Bu. Nasib orang gak ada yang tau. Ibu doain aja yang terbaik buat Nadia." Jujur, aku tidak mau memikirkan hal seperti itu.

"Apa Devi tau kamu siapa?"

"Tidak."

"Tapi nanti pasti dia akan mencari tau."

"Ibu tidak usah hawatir. Aku akan membuat Om Arga melindungi kita." Aku bangkit.

"Ibu duduk, jangan kelamaan berdiri nanti sakit." Menuntun ibu pada sofa ruang depan. Mendudukannya di sana. "Aku akan membuat Ibu sembuh. Ibu terus berobat dan terapi. Ibu tidak usah pusing lagi soal biaya. Om Arga siap membantu kita."

***

Di tanganku terdapat beberapa paper bag berisi pakaian dan makanan. Aku menentengnya di dalam mall. Om Arga sudah memberi kartu debit. Sehingga aku bisa leluasa berbelanja. Hidupku kini tanpa bersusah payah lagi. Tanpa bekerja pun aku tidak akan kelaparan.

Selain menyakiti tante Devi aku juga mendapatkan kehidupan lebih layak. Pembalasan yang enak.

Lapar, aku memutuskan singgah dulu di foodcort. Menikmati makan siang dengan santai. Duduk tenang sendiri. Kursi kosong di dekatku dipakai menaruh belanjaan.

"Nadia." Seseorang terdengar memanggil dari meja sebelah. Aku menoleh, membelalak melihat siapa dia, sedang bersama temannya. Mereka semua melihat padaku.

Aku bergegas bangkit, meninggalkan uang lembaran merah di meja buru-buru keluar menenteng semua paper bagku.

Astaga! Aku tidak menyadari ada dia di sini. Pun dengan dirinya setelah tadi membelakangi baru melihatku.

"Nadia tunggu!" Dia ikut mengejarku. Aku tidak peduli. Terus melangkah cepat.

"Berhenti, Nadia." Pada akhirnya langkahku tertahan. Dia berhasil menangkap pergelangan tanganku.

"Menghindar. Aku gak ngerti kenapa kamu jadi begini sama aku," ucapnya terheran-heran dan tak suka.

"Lepasin aku, Denis. Biarin aku pergi."

"Aku mau bicara." Dia kukuh mempertahankan.

"Sampai sekarang aku gak ngerti kenapa kamu putusin aku begitu aja. Kamu menghilang. Kamu sulit dihubungi. Kamu keterlaluan, Nadia."

"Lepas, Denis. Aku harus pergi. Jangan ganggu aku!" Aku meradang tapi juga takut.

"Kamu bisa cari cewek lain."

Dia menggeleng. "Aku tidak bisa lupain kamu. Sampai sekarang aku tidak terima kamu putusin aku," tegasnya.

Astaga, kenapa aku harus bertemu dengannya. Tuhan, tolong.

Bersambung...

Baca selengkapnya di KBM app.

Judul ; MEMBALASKAN SAKIT HATI IBU PADA PELAKOR

Penulis ; Tika Pena
MEMBALASKAN SAKIT HATI IBU PADA PELAKOR(Tamat) - Tika Pena
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App.

“Apa tidak ada kata lain, selain ucapan terima kasih yang sudah kamu ucapkan seribu kali?” goda Adnan sengaja membuat An...
08/10/2025

“Apa tidak ada kata lain, selain ucapan terima kasih yang sudah kamu ucapkan seribu kali?” goda Adnan sengaja membuat Ana bingung.

💐Bingkisan

“Pihak kepolisian menemukan bukti bahwa jam tangan itu milik seorang laki-laki bernama Hans.” Dokter Adnan berkata santai.

“Hans?” Ana memastikan ucapan Adnan.

“Ya, jam tangan itu atas nama Hans Jatmika, dengan nota pembelian menggunakan kartu kredit atas nama Salma Amanda,” ujar Adnan menjelaskan sambil menoleh sekilas kepada gadis yang duduk di sebelahnya.

“Berarti, Salma yang membeli untuk Hans.” Ana termenung meremas ujung bajunya karena merasakan sakit hati untuk kesekian kalinya.

“Benarkah dia hanya mantan tunanganmu?” tanya Adnan pelan.

“Iya, aku tahu dia selingkuh dengan adik tiriku, jadi aku yang meninggalkannya. Dan Salma meminta maaf padaku, makanya dia mengajakku untuk traveling. Karena aku suka traveling. Ternyata ini semua rencana jahat mereka.”

“Kamu merasa mereka yang menjebakmu hingga kemari?”

“Sepertinya, iya. Karena Salma yang shareloc saat kami akan traveling. Dia sudah menungguku di suatu tempat untuk menjelajah sebuah desa bersama-sama.” Ana yang berwajah sendu itu menatap ke arah depan dengan sudut mata yang sudah tergenang air mata.

“Jarak antara TKP dengan tempatku menemukanmu, itu lumayan jauh. Artinya, kamu sudah terbawa arus dengan jarak sekitar lima kilometer. Allah masih melindungimu.”

Sudut mata gadis berbulu mata lentik itu terlihat meneteskan air mata. Dengan cepat diusapnya pipi yang dilewati buliran bening tanpa permisi. Suara serak terisak terdengar, tapi berusaha ditahannya.

“Detak jantungmu sempat berhenti saat tiba di rumah sakit.” Adnan ingin melihat reaksi Ana saat tahu dirinya sempat mengalami henti detak jantung.

“Terima kasih, Pak Dokter, sudah menyelamatkanku. Kalau bukan Pak Dokter yang menyelamatkanku, mungkin aku akan menjadi mayat tanpa identitas yang terkubur dengan seribu misteri.”

“Apa tidak ada kata lain, selain ucapan terima kasih yang sudah kamu ucapkan seribu kali?” goda Adnan sengaja membuat Ana bingung.

“Maksud Pak Dokter apa?” Ana mengerutkan alisnya pertanda heran.

“Nggak ada maksud, bercanda,” tawa Adnan membuat Ana tersipu malu dan menundukkan kepalanya.

‘Andai kamu tahu, Nona Ana. Kamu sudah memporak-porandakan hatiku selama ini.’ Adnan membatin sambil tersenyum.

Sesampainya di kantor polisi, mereka berjalan beriringan masuk ke ruang laporan. Pihak kepolisian yang sudah mengenal Adnan, segera mempersilahkan mereka masuk dan berbincang tentang perkembangan hasil penyidikan.

“Jika Nona Ana bersedia mengangkat kasus dengan cepat, kami akan segera menangkap saudara Hans Jatmika bersama Salma Amanda.”

“Tidak, Pak. Jika diizinkan, saya ingin membalas secara elegan. Biarkan mereka bahagia terlebih dahulu, jika sudah saatnya, saya akan minta bantuan Bapak untuk menangkap mereka.” Ana berkata dengan tegas.

Adnan menatap Ana dengan versi berbeda. Kali ini, terlihat sikap Ana yang tegas dan berwibawa di depan polisi serta cerdas dan sopan dalam bertutur kata. Tidak seperti sebelumnya, hanya menjadi pasien yang lemah dan tergantung pada orang lain.

‘Siapa dia sebenarnya? Kenapa aroma kewibawaannya terpancar saat berbicara di sini?’ batin Adnan masih belum mengalihkan perhatiannya dari Ana.

Saat Ana merasa diperhatikan oleh Adnan yang duduk di sebelahnya, Ana menoleh. Mata mereka bersitatap membuat hati Ana tidak karuan dan salah tingkah. Gadis itu segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Baik, Nona. Kami akan menunggu konfirmasi dari Nona Ana. Dan kami juga sudah mengkonfirmasi ke kantor pusat kota tempat tinggal Nona, dan mereka juga melakukan pengawasan pada kediaman Nona Ana yang ditempati oleh tiga orang. Dua di antaranya adalah tersangka.” Polisi itu menutup map berkas kasus Ana demi menunggu Ana membutuhkan bantuan.

“Terima kasih, Pak.” Ana menganggukkan kepala pelan.

“Sudah boleh pergi, Pak?” tanya Adnan basa-basi.

“Oh, silahkan. Mungkin ingin jalan-jalan menikmati udara di sekitar. Laporan sudah selesai dan sudah ditetapkan tersangkanya. Serta orang bayaran yang disewa mereka untuk menganiaya Nona Ana.”

“Baik, Pak. Terima kasih banyak. Kami mohon pamit, karena Nona Ana masih butuh istirahat.”

“Baik, silahkan. Semoga semakin membaik atas perawatan dokter cintanya.” Polisi itu tersenyum karena sudah tahu kedekatan antara dokter dan pasien itu.

Ana menutup wajahnya malu, lalu berpamitan. Mereka melanjutkan perjalanan di jalan kota sekitar dengan mobil yang dikendarai pelan-pelan.

Ana memperhatikan gedung-gedung tinggi, senyumnya pudar teringat sesuatu yang terjadi sebelumnya. Ingatannya kembali ke beberapa bulan lalu.

“Ana, maafkan aku. Aku khilaf. Aku janji akan perbaiki semua kesalahanku.” Hans memohon kepada Ana yang membatalkan pertunangan mereka karena Hans ketahuan pergi ke hotel bersama Salma.

“Kalau kesalahan lain, aku bisa memaafkanmu. Tapi untuk sebuah perselingkuhan, maaf. Aku tidak bisa. Silahkan kamu pergi bersamanya,” ujar Ana dengan tenang di sebuah ruangan pribadinya di kantor itu.

“Ana, aku mohon. Aku akan tinggalkan Salma.”

“Setelah kamu menikmati tubuhnya, lalu kamu mau tinggalin dia seenaknya? Aku tidak keberatan kamu bersama dia, tapi jangan pernah mendekatiku lagi. Silahkan keluar dari ruanganku!” ujar Ana tegas sambil membuka pintu meminta Hans keluar.

Dengan langkah gontai, Hans keluar. Wajah penuh amarah dan merasa terhina oleh usiran Ana, bigbos sekaligus tunangannya, membuatnya ingin melakukan hal nekat. Sementara Ana, di dalam ruangan terdiam, meraup wajahnya dengan kasar karena bingung dan marah. Kesetiaannya sebagai kekasih telah dikhianati oleh Hans bersama adik tirinya. Dia melepas semua beban dengan mengikhlaskan Hans bersama Salma.

“Hey, kamu dengar aku?” Lambaian tangan Adnan di depan wajahnya membuatnya terkejut tersadar dari lamunannya.

“Ah, apa?” tanya Ana bingung.

“Jadi, barusan melamunkan mantan?” tanya Adnan setengah mengejeknya.

“Enggak. Maaf.” Ana menunduk malu.

“Kita sampai. Kamu tunggu di sini sebentar. Aku ambil barang dulu. Jangan kemana-mana.” Adnan turun dari mobil setelah memastikan Ana diam di dalam mobil.

Terlihat Adnan masuk ke sebuah toko yang Ana tidak tahu untuk apa. Dia hanya terdiam menatap ke luar jendela menatap para pedagang di pinggir jalan. Para pengamen, yang berjalan dari sebuah toko ke toko lain untuk menyanyikan lagu agar mendapat rejeki, meski sekedar recehan.

“Mbak, mau minum? Cemilan, permen,” tawar seorang pedagang asongan di depan pintu mobil.

“Enggak, Dek. Terima kasih,” jawab Ana dengan senyum lembut.

Tak lama, Adnan keluar toko membawa bingkisan yang ditenteng dalam sebuah paper bag besar. Saat sudah berada di luar toko, seseorang menyusul Adnan keluar toko memanggilnya. Senyum wanita itu tersungging sambil menyerahkan sebuah amplop. Adnan pun menerima sambil tertawa dan terlihat berbicara sebentar. Namun, pembicaraan mereka tidak didengar oleh Ana karena jaraknya agak jauh dari mobil.

“Tawa Pak Dokter sungguh manis. Ah! Ana, jangan berlebihan kamu!” Ana memperingatkan dirinya sendiri saat melihat Dokter Adnan tertawa lepas seolah tidak memiliki beban apapun. Berbeda dengan dirinya yang kini justru menjadi beban untuk Adnan.

“Kita pulang atau kamu mau makan sesuatu dulu? Sekarang jam empat sore.” Adnan menutup pintu setelah meletakkan bingkisan di jok tengah.

“Pulang saja.” Ana menjawab singkat.

“Baiklah.” Adnan segera menghidupkan mesin mobil dan menyetirnya pulang.

“Itu bingkisan apa?” tanya Ana pelan.

“Aku mau lamaran.” Adnan melirik Ana dengan ekor mata ingin melihat reaksi gadis tersebut.

Bersambung.

#7

Mampir ke KBMApp, yuk 🫰

Judul : Gadis yang Kutemukan di Sungai
Penulis : Zhandriecka

Address

Jalan Paving
Blora
58254

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Nona Fortuna posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share