
13/09/2025
Hari-Hari Salma dan Jibot
Pagi itu, aku sudah terbangun sebelum subuh. Seperti biasa, langkah pertama bukan ke dapur, tapi ke kamar mandi kecil di ujung rumah. Aku harus memastikan air cukup untuk mandi anakku, Rafi, yang sudah masuk TK. Setelah itu, barulah aku sibuk di dapur menanak nasi, menggoreng tempe, menyiapkan bekal sederhana untuk suamiku, Andi.
Kadang aku merasa waktuku selalu dikejar-kejar. Belum selesai menyiapkan sarapan, Rafi sudah memanggil dari kamar, “Bun, kaos kaki Rafi di mana?” Suamiku juga, dengan nada tergesa, “Sayang, kemeja biru sudah disetrika belum?” Aku hanya bisa tersenyum kecut, sambil buru-buru mengaduk sayur bening di atas kompor.
Di sela-sela kesibukan itu, seekor kucing oren melintas di kakiku Jibot. Dia mengeong keras, seakan menuntut perhatian. “Iya, iya, sabar. Kamu juga mau sarapan, ya?” kataku sambil menuangkan nasi ke mangkuk kecil, menambahkan ikan sisa semalam. Aneh ya, meskipun repot, aku tetap tidak tega mengabaikan Jibot. Dia sudah seperti anggota keluarga, selalu ada saat rumah ramai, maupun saat sunyi.
Kadang aku iri sama Jibot. Dia bisa tidur kapan saja, di sofa, di teras, bahkan di atas baju yang baru saja kucuci. Sementara aku, jangankan tidur siang, duduk lima menit saja rasanya sudah kemewahan. Ada-ada saja yang harus dikerjakan: cucian menumpuk, lantai penuh remah roti, PR Rafi yang harus diperhatikan, bahkan suara tetangga yang s**a komentar kalau halaman depan rumahku terlihat berantakan.
Siang hari biasanya waktu paling melelahkan. Rafi pulang sekolah, Andi belum tentu pulang tepat waktu, dan aku harus memastikan rumah tetap rapi. Pernah suatu kali, aku merasa benar-benar lelah. Aku duduk di lantai dapur, menatap piring kotor, dan tanpa sadar air mataku menetes. Saat itu, Jibot datang, duduk di sampingku, diam saja. Tidak mengeong, tidak manja. Hanya duduk. Entah kenapa, rasanya ada teman yang benar-benar mengerti lelahku.
Malam hari, setelah semua tidur, aku baru bisa bernafas lega. Duduk di ruang tamu dengan secangkir teh hangat, ditemani Jibot yang rebah malas di karpet. Kadang aku berpikir, apakah hidupku monoton? Bangun–sibuk–lelah–tidur–ulang lagi besok. Tapi ketika melihat wajah Rafi yang pulas tidur, dan senyum suamiku saat makan bekal di pagi hari, aku sadar di balik lelah ini, ada cinta yang mengisi rumah kecil kami.
Dan entah kenapa, kucing oren itu seperti pengikat tenangku. Jibot tidak pernah menuntut macam-macam, hanya butuh diberi makan dan sedikit kasih sayang. Mungkin itu sebabnya aku begitu menyayanginya.
Aku tahu, banyak yang mungkin meremehkan peran ibu rumah tangga. Tapi percayalah, rasanya seperti mengelola sebuah dunia kecil: anak, suami, rumah, bahkan seekor kucing. Semua harus seimbang.
Kadang aku bertanya-tanya dalam hati
Apakah ada di luar sana yang seperti saya? Seorang ibu rumah tangga biasa, dengan lelah yang sama, cinta yang sama, dan seekor kucing yang jadi teman di sela riuh kehidupan?