Cerita Si Jibot

Cerita Si Jibot Cerita Si Jibot
Kucing oren, tingkah random, nasib dramatis. Kadang jadi pahlawan, kadang cuma rebahan.

Scroll terus, ketawa terus — tapi siapin tisu juga!

Hari-Hari Salma dan JibotPagi itu, aku sudah terbangun sebelum subuh. Seperti biasa, langkah pertama bukan ke dapur, tap...
13/09/2025

Hari-Hari Salma dan Jibot

Pagi itu, aku sudah terbangun sebelum subuh. Seperti biasa, langkah pertama bukan ke dapur, tapi ke kamar mandi kecil di ujung rumah. Aku harus memastikan air cukup untuk mandi anakku, Rafi, yang sudah masuk TK. Setelah itu, barulah aku sibuk di dapur menanak nasi, menggoreng tempe, menyiapkan bekal sederhana untuk suamiku, Andi.

Kadang aku merasa waktuku selalu dikejar-kejar. Belum selesai menyiapkan sarapan, Rafi sudah memanggil dari kamar, “Bun, kaos kaki Rafi di mana?” Suamiku juga, dengan nada tergesa, “Sayang, kemeja biru sudah disetrika belum?” Aku hanya bisa tersenyum kecut, sambil buru-buru mengaduk sayur bening di atas kompor.

Di sela-sela kesibukan itu, seekor kucing oren melintas di kakiku Jibot. Dia mengeong keras, seakan menuntut perhatian. “Iya, iya, sabar. Kamu juga mau sarapan, ya?” kataku sambil menuangkan nasi ke mangkuk kecil, menambahkan ikan sisa semalam. Aneh ya, meskipun repot, aku tetap tidak tega mengabaikan Jibot. Dia sudah seperti anggota keluarga, selalu ada saat rumah ramai, maupun saat sunyi.

Kadang aku iri sama Jibot. Dia bisa tidur kapan saja, di sofa, di teras, bahkan di atas baju yang baru saja kucuci. Sementara aku, jangankan tidur siang, duduk lima menit saja rasanya sudah kemewahan. Ada-ada saja yang harus dikerjakan: cucian menumpuk, lantai penuh remah roti, PR Rafi yang harus diperhatikan, bahkan suara tetangga yang s**a komentar kalau halaman depan rumahku terlihat berantakan.

Siang hari biasanya waktu paling melelahkan. Rafi pulang sekolah, Andi belum tentu pulang tepat waktu, dan aku harus memastikan rumah tetap rapi. Pernah suatu kali, aku merasa benar-benar lelah. Aku duduk di lantai dapur, menatap piring kotor, dan tanpa sadar air mataku menetes. Saat itu, Jibot datang, duduk di sampingku, diam saja. Tidak mengeong, tidak manja. Hanya duduk. Entah kenapa, rasanya ada teman yang benar-benar mengerti lelahku.

Malam hari, setelah semua tidur, aku baru bisa bernafas lega. Duduk di ruang tamu dengan secangkir teh hangat, ditemani Jibot yang rebah malas di karpet. Kadang aku berpikir, apakah hidupku monoton? Bangun–sibuk–lelah–tidur–ulang lagi besok. Tapi ketika melihat wajah Rafi yang pulas tidur, dan senyum suamiku saat makan bekal di pagi hari, aku sadar di balik lelah ini, ada cinta yang mengisi rumah kecil kami.

Dan entah kenapa, kucing oren itu seperti pengikat tenangku. Jibot tidak pernah menuntut macam-macam, hanya butuh diberi makan dan sedikit kasih sayang. Mungkin itu sebabnya aku begitu menyayanginya.

Aku tahu, banyak yang mungkin meremehkan peran ibu rumah tangga. Tapi percayalah, rasanya seperti mengelola sebuah dunia kecil: anak, suami, rumah, bahkan seekor kucing. Semua harus seimbang.

Kadang aku bertanya-tanya dalam hati
Apakah ada di luar sana yang seperti saya? Seorang ibu rumah tangga biasa, dengan lelah yang sama, cinta yang sama, dan seekor kucing yang jadi teman di sela riuh kehidupan?

Hujan Terakhir JibotHujan sore itu turun deras, menusuk sampai ke tulang. Dina berlari kecil melewati gang sempit menuju...
12/09/2025

Hujan Terakhir Jibot

Hujan sore itu turun deras, menusuk sampai ke tulang. Dina berlari kecil melewati gang sempit menuju kosannya. Bajunya sudah basah, rambutnya menempel di wajah. Begitu sampai di depan pintu, matanya menangkap sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.

Seekor kucing oren, basah kuyup, gemetar di bawah kursi kayu. Matanya bulat, menatap Dina dengan tatapan yang entah kenapa seperti meminta izin untuk hidup.

“Ya ampun… kasihan sekali kamu,” gumam Dina. Ia jongkok, mengulurkan tangan. Kucing itu tidak lari, malah mendekat, menyentuh telapak tangan Dina dengan kepala kecilnya.

Sejak malam itu, kucing itu tinggal bersama Dina. Dina menamainya Jibot.

Hari-hari berikutnya, kebersamaan mereka seperti menyulam benang baru dalam hidup Dina. Setiap kali Dina pulang kuliah larut, Jibot sudah duduk di depan pintu, ekornya bergoyang pelan. Saat Dina belajar hingga larut malam, Jibot meringkuk di atas buku. Dan ketika Dina menangis karena uang beasiswanya telat cair, Jibot hanya duduk diam di samping, seakan berkata, “Aku di sini.”

Dina sering tertawa, “Kamu lebih setia dari manusia, Bot.”

Tahun-tahun berlalu. Dina lulus, lalu mendapat pekerjaan di kota lain. Hari keberangkatan tiba, koper sudah siap. Jibot mengeong keras saat Dina mengunci pintu.

Hati Dina bergetar, ia berjongkok dan memeluk tubuh orennya.
“Aku janji, Bot… suatu hari aku akan jemput kamu. Tunggu aku, ya.”

Jibot hanya menatap dengan mata bulatnya, seolah mengerti.

Waktu berjalan cepat. Dina larut dalam kesibukan: pekerjaan, target, rapat tanpa henti. Janji untuk menjemput Jibot semakin pudar, meski sesekali tetangga mengabarkan: “Kucingmu masih sering duduk di depan kontrakan, loh.”

Dina hanya tersenyum pahit, “Nanti… kalau sudah sempat.”

Tahun demi tahun lewat, janji itu tak pernah terwujud.

Sampai pada satu malam, saat hujan deras mengguyur kota, Dina akhirnya kembali. Dengan koper besar, ia berdiri di depan kontrakan lamanya. Jantungnya berdebar: akankah Jibot masih ada?

Dan benar di sana, di sudut kursi kayu yang rapuh, seekor kucing oren rebah tak bergerak. Basah kuyup, tubuhnya kaku.

“Bot!” Dina berlari, memeluk tubuh dingin itu. Air matanya bercampur hujan. “Maaf… aku terlambat. Maaf…”

Keesokan harinya, Dina hendak menguburkan Jibot di belakang kontrakan. Namun seorang tetangga tua menghampirinya.
“Nak,” katanya pelan, “kucingmu yang dulu… Jibot itu… sudah mati bertahun-tahun lalu.”

Dina tertegun, “Tapi ini…ini Jibotku…”

Orang tua itu menggeleng. “Sejak Jibot mati, selalu ada kucing jalanan lain yang datang bergantian. Anehnya, mereka semua duduk di kursi depan rumahmu, seolah-olah menunggu. Kami sering heran, seakan ada warisan tak terlihat dari Jibot pertama… yang diteruskan kucing-kucing berikutnya.”

Dina membeku. Tangan yang memeluk tubuh kaku itu gemetar. Ternyata yang ia temukan bukanlah Jibot pertama. Ini hanyalah “penunggu” terakhir, seekor kucing asing yang tanpa alasan memilih meneruskan kesetiaan itu.

Hujan masih turun deras sore itu. Dina berdiri menatap jalan kosong. Tangisnya pecah, bibirnya bergetar lirih:

“Jadi yang benar-benar menungguku… bukan hanya Jibot, tapi semua kesetiaan yang kutinggalkan.”

Koper besar itu jatuh di tanah. Dina duduk bersandar pada kursi kayu lapuk, menatap langit kelabu. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, ia benar-benar merasa pulang—meski yang menunggunya sudah tiada.

Berhasil
10/09/2025

Berhasil

Jibot, si kucing oren, dulunya adalah kebanggaan jalanan. Bulunya yang lebat dan warnanya yang cerah membuatnya mudah di...
09/09/2025

Jibot, si kucing oren, dulunya adalah kebanggaan jalanan. Bulunya yang lebat dan warnanya yang cerah membuatnya mudah dikenali, bahkan di antara puluhan kucing liar lainnya. Ia punya tatapan yang cerdas, dan gerakannya gesit seperti bayangan. Jibot tidak pernah kekurangan makanan, berkat keahliannya merayu para pedagang di pasar. Setiap hari, ia akan menatap sendu dengan mata besar oranye-nya, mengusap-usap kaki mereka, dan tak lama kemudian, sepotong ikan atau remah tempe akan jatuh ke tanah. Jibot hidup bebas, berkuasa di wilayahnya, dan ia mencintai kehidupannya.

Namun, musim kemarau tiba, membawa serta kekeringan dan kelangkaan. Pasar menjadi sepi, pedagang berkurang, dan sisa makanan yang biasa ia dapatkan kini hampir tidak ada. Jibot mulai merasa lapar. Tubuhnya yang dulu berisi kini terlihat lebih kurus. Tatapannya tidak lagi cerdas, melainkan penuh keraguan. Ia sering melihat kucing-kucing lain yang lebih lemah menyerah pada kelaparan, tergeletak tak bernyawa di sudut jalan. Ketakutan itu mulai merayapi hatinya.

Suatu sore, saat hujan deras mengguyur, Jibot mencari perlindungan di bawah terpal pasar yang bocor. Perutnya melilit hebat. Ia mendengar suara anak-anak kucing mengeong lemah di kejauhan. Instingnya mengatakan untuk pergi, untuk mencari makanan sendiri, tetapi ia tidak bisa. Ia menemukan tiga anak kucing kecil, basah kuyup dan gemetaran, meringkuk di balik tumpukan karung. Ibunya entah ke mana. Jibot, dengan sisa-sisa kekuatannya, berusaha menghangatkan mereka. Ia menjilati bulu mereka yang basah, mencoba memberi kehangatan dari tubuhnya yang juga kedinginan.

Beberapa hari berikutnya adalah perjuangan. Jibot mencoba mencari makanan, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk anak-anak kucing itu. Ia mencuri sepotong kecil roti dari tong sampah, namun itu tidak cukup. Ia semakin kurus, tenaganya terkuras habis. Anak-anak kucing itu, meskipun sudah berusaha dihangatkan oleh Jibot, tidak bisa bertahan. Satu per satu, mereka berhenti bernapas, tubuh kecil mereka menjadi dingin dan kaku di sampingnya. Jibot hanya bisa menatap, tanpa air mata, karena air matanya sudah mengering seiring dengan harapannya.

Malam terakhirnya, Jibot berbaring di tempat yang sama, di bawah terpal yang bocor. Hujan masih turun, membasahi bulunya yang kusam. Ia tidak lagi merasakan lapar, hanya kehampaan yang luar biasa. Ia melihat ke atas, ke arah langit yang gelap, dan menutup matanya perlahan. Napasnya melambat, hingga akhirnya berhenti. Jibot, si kucing oren yang dulu gagah, kini terbaring tak bergerak, tubuhnya menjadi saksi bisu perjuangan dan kesedihan yang tak terucapkan di tengah kerasnya kehidupan jalanan. Ia pergi, meninggalkan jejak perjuangan yang sepi di antara tetesan hujan.

“Malam Perpisahan Jibot”Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin berhembus pelan di halaman rumah, membawa arom...
08/09/2025

“Malam Perpisahan Jibot”

Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin berhembus pelan di halaman rumah, membawa aroma tanah basah seusai hujan sore tadi. Di teras, lampu kuning temaram menyinari wajah Mia, Rian, dan Bu Lastri yang duduk melingkar. Di tengah mereka, terbaring Jibot kucing oren kesayangan keluarga itu.

Bulu Jibot kusut, matanya sayu, tubuhnya terkulai lemas di pangkuan Mia.

“Bu… sepertinya… Bot nggak kuat lagi,” bisik Mia dengan suara bergetar. Matanya basah, tangannya mengelus pelan kepala Jibot.

Rian yang duduk di sampingnya mencoba menahan tangis, tapi suaranya ikut pecah.
“Bot… maafin aku ya kalau sering ngusir kamu dari meja makan. Aku kira kamu nakal, ternyata kamu paling setia di rumah ini.”

Bu Lastri, dengan daster birunya yang sudah lusuh, menghela napas panjang. Tangannya ikut membelai lembut tubuh Jibot.
“Kucing itu kadang pergi diam-diam, nggak pamit. Kalau besok dia nggak ada… jangan sedih. Kita harus ikhlas. Itu tandanya Allah udah sayang.”

Air mata menetes di p**i Mia. Ia menunduk, suaranya lirih, hampir tak terdengar.
“Bot… kalau kamu capek, nggak apa-apa pergi ya. Kamu keluarga terbaik kami. Terima kasih udah nemenin aku belajar, nemenin Rian waktu dia murung, nemenin Ibu kalau lagi sendiri di dapur…”

Keheningan merayap. Hanya suara jangkrik di halaman dan isak tangis kecil yang terdengar. Semua menatap Jibot, menunggu… seolah ini detik terakhir.

Jibot diam. Nafasnya pelan, matanya merem.

Mia tak kuat lagi, ia menutup wajah dengan kedua tangan. Rian menunduk. Bu Lastri memandang ke langit, berdoa dalam hati.

Tiba-tiba…

“PPRRRRTTTTTTTTTT!!!”

Suara kentut nyaring memecah kesunyian.

Mia terlompat, Rian refleks menengok ke kanan-kiri, sementara Bu Lastri sampai berdiri dengan wajah panik.
“Astaghfirullah, suara apa itu?!”

Jibot membuka mata. Pelan-pelan ia berdiri, menggeliat… lalu lari kencang ke arah dapur.

Dalam hitungan detik, mereka bertiga terkejut melihat Jibot dengan penuh semangat mencakar tutup panci, lalu langsung melahap ikan asin yang lupa disimpan Bu Lastri.

Mia melongo sambil masih berkaca-kaca.
“Jadi… dari tadi dia bukannya sakit… tapi… masuk angin???”

Rian, yang masih menyeka air mata, langsung ngakak sampai terbatuk.
“Bot! Astaga! Aku kira kita barusan drama terakhir bareng kamu… ternyata cuma perut kembung!!”

Bu Lastri memukul dahinya sendiri.
“Ya Allah, kucing macam apa ini. Drama dulu kayak sinetron, ujung-ujungnya ngerebutin ikan asin! Bikin jantung copot aja!”

Mia ikut tertawa, meski masih dengan mata sembab.
“Bot, kamu keterlaluan banget. Masa bikin kita nangis kayak di FTV, terus kabur cuma buat makan?!”

Jibot berhenti mengunyah, menoleh ke arah mereka, lalu ngeong keras. Matanya bulat polos, tapi tatapannya seolah berkata: “Emang kenapa? Aku lapar.”

Dan setelah itu, dengan santai, ia kembali ke teras, naik ke pangkuan Bu Lastri, duduk nyaman, dan… tidur.
Seakan tak terjadi apa-apa.

Mia, Rian, dan Bu Lastri saling pandang. Antara lega, kesal, dan geli. Lalu tawa pecah bersamaan.

Quote Penutup:

✨ “Kadang yang kita kira akhir… cuma awal dari tawa baru.”

Jibot Jadi Bayi, Bu Lastri Jadi EmakPagi itu, suasana rumah agak aneh.Mia baru saja bangun tidur, masih pakai kaos oblon...
08/09/2025

Jibot Jadi Bayi, Bu Lastri Jadi Emak

Pagi itu, suasana rumah agak aneh.
Mia baru saja bangun tidur, masih pakai kaos oblong belel, sementara Rian sibuk ngopi di teras.
Tiba-tiba, Bu Lastri keluar dari kamar dengan penuh percaya diri mengenakan daster bunga-bunga dan membawa gendongan bayi warna pink terang.

“Rian, Mia! Sini dulu!” serunya.
Mia melongo. “Apaan sih, Bu? Jangan-jangan ikut arisan online lagi ya?”
“Bukan!” Bu Lastri mengibas tangannya. “Ibu habis nonton video di Facebook. Katanya, kucing bisa jadi lebih jinak kalau diperlakukan kayak bayi. Jadi mulai hari ini…” ia mengangkat gendongan“…Jibot kita jadi bayi!”

Rian hampir keselek kopinya. “BU, itu KUCING. BUKAN BAYI.”
Mia ngakak sambil nutup mulut. “Aduh, kasihan Jibot… dia nggak tau hidupnya mau dibawa ke mana.”

Tak peduli protes mereka, Bu Lastri langsung nyamperin Jibot yang lagi tidur meringkuk di sofa.
“Sayang, ayo sini, masuk gendongan yaaa…” katanya manja, seperti emak-emak lagi momong beneran.
Dengan sedikit perjuangan, akhirnya Jibot yang polos itu berhasil dimasukin ke gendongan, dipeluk ke dada Bu Lastri.

Dan yang bikin semua absurd:
Jibot dipakein topi bayi bergambar kelinci. Kuping kecilnya nongol, matanya melotot kayak bilang:
“Apa salahku sampai aku ada di posisi ini?”

Mia hampir guling-guling di lantai saking ngakaknya.
“Bu, sumpah… kalau Jibot bisa ngomong, dia pasti udah laporin kita ke Komnas HAM Kucing.”
Rian menutupi wajahnya pakai tangan. “Ini rumah apa daycare kucing, sih?”

Bu Lastri cuek aja. Ia duduk di kursi, gendong Jibot sambil bergoyang pelan ke kanan-kiri.
“Tenang, sayang… tenang… ayo nyanyi dulu, biar bobok yaa…”
Lalu ia mulai menyanyikan lagu nina bobo.

Dan yang makin gila Bu Lastri nyiapin bubur bayi di sendok kecil.
“Yuk, makan, Jibot. Suapan pertama buat si bayi ganteng ibu…”

Mia dan Rian teriak bareng:
“BUUUUU! Itu kucing!!”

Tapi terlambat.
Jibot udah menjilat sendoknya dengan santai, seolah semua itu normal-normal saja.
Bahkan setelahnya, ia sendawa kecil.

Tepat di saat itu, tetangga sebelah Bu Wiwik lewat depan rumah.
Ia nengok ke arah dalam, lalu wajahnya kaget setengah mati.
“Bu Lastri… itu cucu kok… berbulu oren?”

Rumah langsung hening.
Mia nutup muka biar nggak ketawa. Rian langsung berdiri panik.
Tapi Bu Lastri dengan santai menjawab lantang:

“INI ANAK SAYA YANG BUNTING!”

Mia dan Rian langsung menjerit bersamaan.
“BUUUU!!!”

Tetangga bengong, lalu buru-buru jalan lagi sambil ngibrit.

Malam harinya, mereka bertiga duduk di ruang tamu.
Mia masih ketawa tiap ingat kejadian tadi.
Rian cemberut tapi akhirnya ikut ketawa juga.
Sementara Jibot tidur pulas di pangkuan Bu Lastri, masih pakai topi bayi kelinci.

Bu Lastri mengelus kepala kucing itu dan tersenyum.
“Ya udahlah… orang mau bilang apa juga. Yang penting, dia kita rawat. Keluarga itu bukan cuma manusia, kan?”

Mia mengangguk sambil menatap Rian.
“Iya… kadang yang bikin kita ketawa bareng, itu justru yang bikin rumah terasa rumah.”

✨ Quote Penutup:
“Kadang rasa sayang bikin kita ngelakuin hal kocak, tapi dari situ juga kita tahu: keluarga bukan cuma darah, tapi siapa yang kita rawat dengan tulus.”

Untuk Ayah dan Ibu,Anak lelaki kita itu…Kadang keras kepala, kadang susah diatur. Tapi jangan lelah untuk menegurnya den...
29/08/2025

Untuk Ayah dan Ibu,

Anak lelaki kita itu…
Kadang keras kepala, kadang susah diatur. Tapi jangan lelah untuk menegurnya dengan kelembutan.

Gunakan suara yang tenang,
Pilih kata yang baik,
Sampaikan nasihat dengan kasih,
Agar terasa seperti pelukan yang menenangkan.

Kalau pun harus tegas, tetaplah lembut.

Banyak anak laki-laki tumbuh keras bukan karena mereka lahir begitu,
tapi karena sering dibentak, dimarahi, dan diajarkan bahwa “kuat” berarti tidak boleh lembut.

Padahal… tanpa kita sadari, setiap sikap dan kata kita terekam di hati mereka.
Mungkin mereka tidak langsung merespons, tapi mereka mengingat.
Apa yang mereka lihat dan dengar dari kita itulah yang mereka tiru.

Kadang sikap keras mereka hanyalah bayangan dari cara kita mendidik.

Hati anak adalah pusat akhlaknya.
Kalau hatinya keras, perilakunya pun bisa kasar.
Tapi kalau hatinya lembut, ia akan lebih mudah dibimbing jadi pribadi yang bijak.

Mau ajarkan keterampilan? Silakan.
Biarkan dia memanjat pohon, menyusun kayu, atau menanam di kebun.
Tapi saat menasihati, lakukan dengan adab dan penuh rasa.

Ajarkan anak lelaki kita,
bahwa kekuatan sejati bukan ada di otot, tapi di hati.

Kuat itu…
Kuat menahan marah.
Kuat menenangkan diri saat emosi datang.
Kuat menjaga diri dari godaan.
Kuat merendah saat ego meninggi.
Dan kuat untuk tetap memilih kebaikan, meski kejahatan terasa lebih mudah.

Semakin lembut hatinya,
semakin mudah ia tumbuh menjadi lelaki sejati kuat, tapi penuh kasih.

🥹
29/08/2025

🥹

Tisu Buat Bantu Bersihin KucingKadang kucing kita pulang main dengan kaki belepotan atau bulu penuh debu. Rasanya malas ...
29/08/2025

Tisu Buat Bantu Bersihin Kucing

Kadang kucing kita pulang main dengan kaki belepotan atau bulu penuh debu. Rasanya malas kalau harus langsung dimandikan, kan? Nah, di sinilah tisu jadi penyelamat.

Tisu yang biasanya kita pakai sehari-hari bisa juga dipakai buat kucing, asal bebas alkohol dan nggak wangi menyengat. Caranya gampang:
• Lap pelan-pelan bagian kakinya kalau habis jalan-jalan.
• Usap bulu yang kotor biar cepat bersih.
• Kalau ada noda di sekitar wajah, cukup seka lembut.

Praktis banget, apalagi kalau lagi buru-buru atau kucing nggak bisa kena air. Tapi ingat ya, tisu cuma solusi cepat, bukan pengganti mandi rutin.

Dengan sedikit usaha ini, kucing tetap kinclong dan nyaman dipeluk tanpa harus ribet. 🐾

Misteri Bau Ketiak di Rumah Bu LastriSiang itu rumah Bu Lastri ramai seperti biasa. Mia duduk di ruang tamu sambil nonto...
29/08/2025

Misteri Bau Ketiak di Rumah Bu Lastri

Siang itu rumah Bu Lastri ramai seperti biasa. Mia duduk di ruang tamu sambil nonton drama Korea di laptop. Ia sesekali ikut teriak, “Oppaaa~!” tapi tiba-tiba wajahnya berubah kecut.

“Ya ampun… kok ada bau asem sih?” Mia langsung menutup hidung.

Rian yang sedang rebahan di sofa menoleh malas.
“Palingan ketiak kamu tuh, Mi. Udah lama nggak mandi, ya?”

Mia langsung berdiri sambil memelototkan mata.
“Hei! Aku tiap hari mandi dua kali, tahu! Jangan asal nuduh.”

Belum sempat Mia membela diri lebih lanjut, Bu Lastri keluar dari dapur sambil mengipas wajahnya dengan serbet.
“Kalian berdua, diam! Dari tadi Ibu juga cium bau… kayak jemuran nggak kering. Sumpah nyengat banget.”

Mereka semua spontan melirik ke arah Jibot.
Si kucing oren itu duduk kalem di lantai, ekornya bergerak pelan, tatapan matanya seolah polos.

“Bot…” Rian mendekat dengan wajah serius, “jangan bilang bau itu dari ketiak kamu ya?”

Mia langsung meledak, “Mana ada kucing punya ketiak, dasar bego!”

Jibot mendengus, seakan tersinggung. Ia lalu melompat ke meja ruang tamu, dan dengan gaya sok misterius, ia mendorong sebuah botol kecil ke arah mereka: Tosca Deodorant.

Mia dan Rian bengong.
“Lah, ini maksudnya apa?” kata Rian.

Bu Lastri mendekat, mengambil botol itu, lalu spontan mencium dirinya sendiri di bawah lengan. Wajahnya langsung pucat.
“Ya Tuhan… jangan-jangan baunya dari IBU sendiri??”

Mia langsung ngakak sampai terjatuh di sofa.
“HAHAHA! Jadi dari tadi kita nuduh-nuduh, padahal biang keroknya ketiak Ibu!”

Rian pun ikut tertawa, sampai terbatuk-batuk.

Dengan wajah setengah malu tapi masih bergaya santai, Bu Lastri mencoba Tosca Deodorant itu di ketiaknya. Ia mengangkat kedua tangannya, menunggu beberapa detik, lalu tersenyum lega.
“Eh… beneran segar. Hilang baunya. Kayak baru habis mandi.”

Mia masih cekikikan.
“Terima kasih, Jibot. Kalau bukan karena kamu, mungkin kita masih ribut soal ketiak siapa yang bau.”

Jibot hanya menjilat kakinya lalu duduk di pangkuan Bu Lastri. Matanya menyipit, seolah berkata:
“Kalau ada masalah, cari solusinya… jangan cari kambing hitamnya.”

Semua kembali tertawa.

Quote Penutup

✨ “Bau ketiak bisa bikin salah paham. Untung ada solusi, jangan biarkan masalah kecil bikin rusak suasana.”

Siapa yang Pesan Makanan Online?Suatu malam, bel pintu rumah berbunyi.“Ting-tong! Pesanan GoFood!”Bu Lastri keluar denga...
28/08/2025

Siapa yang Pesan Makanan Online?

Suatu malam, bel pintu rumah berbunyi.

“Ting-tong! Pesanan GoFood!”

Bu Lastri keluar dengan daster bunga-bunga, masih pakai roll rambut di kepala.
“Lho, saya nggak pesan, Mas…”

Tapi di tangannya, abang kurir sudah bawa sekotak ikan bakar lengkap sambal.
Rian buru-buru datang, “Bu, mungkin salah alamat…”

Eh, nggak sampai sejam kemudian… datang lagi kurir lain. Kali ini bawa martabak manis setengah keju setengah cokelat.
Mia bengong, “Bu, jangan-jangan ini rezeki nomplok?”

Bu Lastri mencubit Mia. “Rezeki nomplok apanya, ini kalau beneran nggak bayar, bisa viral kita di Facebook, Mia!”

Malam-malam itu jadi aneh. Tiap jam ada kurir nongol, bawa pesanan aneh-aneh: donat, sarden kaleng, sampai ayam geprek level 5.
Semua pesanan atas nama: “Lastri – Rumah Pojok RT 05”.

Bu Lastri sampai garuk-garuk kepala.
“Siapa sih yang usil pake nama Ibu?”

Rian akhirnya curiga. “Mia… coba cek HP kamu!”
Mia: “Aku nggak! HP aku udah lowbat dari sore.”

Mereka pun berpikir keras. Hingga suatu malam, ketahuanlah pelakunya.

Jibot.
Si kucing oren itu duduk di atas HP Rian yang tergeletak di meja. Tangannya sesekali ngetap layar. Lalu muncul notif: “Pesanan Anda sedang diproses.”

“BOTTT!!!” seru Mia dan Rian serempak.

Bu Lastri mendekat, lihat dengan mata kepala sendiri:
Jibot menekan tombol order dengan tenang, lalu menjilat kakinya, seperti habis kerja kantoran.

Akhirnya misteri terpecahkan.
Semua orang ngakak, sekaligus pusing mikirin tagihan GoFood.

Bu Lastri memegang jidat, lalu berkata lirih sambil melotot ke Jibot:
“Bot, kalau mau makan tinggal bilang… jangan pake paylater!”

Jibot cuma mengeong, seolah jawab: “MeongPayLater approved.”

Quote Penutup

✨ “Kadang yang bikin pusing bukan tetangga usil, tapi kucing sendiri yang terlalu pintar.”

Jibot dan Perut yang BerbunyiPerutku berbunyi lagi. Kroook… kroook… Suara itu membuatku gelisah. Aku melirik ke mangkuk ...
21/08/2025

Jibot dan Perut yang Berbunyi

Perutku berbunyi lagi. Kroook… kroook… Suara itu membuatku gelisah. Aku melirik ke mangkuk di pojok dapur kosong. Ah, manusia memang sering lupa.

Aku mulai dengan cara lembut: mendekati tuanku, menggesekkan badanku di kakinya. Ia menoleh sebentar, tersenyum, lalu kembali menatap kotak bercahaya yang selalu ia pelototi. Laptop, katanya. Huh, benda aneh itu sering merebut perhatiannya dariku.

Aku mengeong pelan, suara manja yang biasanya ampuh. Tapi ia hanya berkata, “Iya, Jibot…” lalu sibuk lagi.
Senyum saja tidak bisa membuat perutku kenyang.

Baiklah, saatnya strategi kedua. Aku menempel padanya ke mana pun ia melangkah. Dari ruang tamu ke kamar, dari kamar ke dapur. Tapi tetap saja, tak ada makanan yang turun ke mangkukku.

Aku pun duduk di depan mangkuk kosong, menatapnya tajam. Ekor kucambukkan ke lantai. Pesanku jelas: “Hei, lihat ini kosong!”
Tapi tuanku tak kunjung bergerak.

Perutku semakin ribut. Aku putuskan untuk nekat. Aku meloncat ke meja makan. Ada piring berisi ayam goreng di sana. Baunya… menggoda. Aku tahu ini makanan manusia, tapi kalau perutku dibiarkan begini, aku bisa gila. Aku menjulurkan lidah, hampir menyentuh kulit ayamnya—

“Jibot!” Suara tuanku membuatku terhenti. Ia menatapku dengan wajah campuran kesal dan geli. “Kamu lapar ya? Ya ampun, kenapa nggak bilang dari tadi?”

Aku langsung mengeong keras, sekeras-kerasnya. Ini saatnya jurus pamungkas: tatapan maut. Mata bulatku kuarahkan lurus padanya, seolah berkata, “Lihat aku. Kasihanilah aku. Aku sekarat.”

Dan berhasil. Ia tertawa kecil, lalu membuka lemari. Suara bungkusan makanan kucing dirobek membuat telingaku tegak. Tak lama kemudian, kruk… kruk… butiran makanan jatuh ke mangkuk. Aku berlari dan melahapnya dengan rakus.

Ah, nikmat sekali. Dunia kembali damai. Aku mendengkur puas.
Tuanku menggeleng sambil berkata, “Kalau lapar, kelakuan kamu bisa drama banget, Jibot.”

Aku menoleh sebentar sambil terus mengunyah, lalu berkata dalam hati:

“Hei manusia, lapar itu bukan drama. Itu tragedi. Bedanya, aku tahu cara bikin tragedi ini jadi komedi.”

Address

Bogor

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Cerita Si Jibot posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Cerita Si Jibot:

Share