03/12/2025
Alam adalah kembaran manusia. Ia bernafas bersama kita, tumbuh bersama kita, dan sakit ketika kita menyakitinya. Apa yang terjadi pada bumi, sesungguhnya adalah cerminan dari apa yang terjadi pada jiwa manusia. Ketika manusia rakus, hutan menipis. Ketika manusia marah, bumi bergetar. Ketika manusia serakah, laut pun meninggi dan menelan pantai-pantai kecil yang dulu sunyi dan damai.
Di banyak tempat, kita sering bicara tentang menjaga alam, seolah alam adalah sesuatu diluar diri kita. Padahal, menjaga alam sejatinya adalah menjaga diri sendiri. Sebab tanah yang kita injak bukan sekadar hamparan debu, ia adalah asal mula tubuh kita. Dari tanah kita diciptakan, dan ke tanah p**a kita akan kembali. Maka setiap kali bumi terluka, bagian dari kita pun ikut retak, hanya saja kita tak selalu peka untuk merasakannya.
Bapa Fun dan Mama Fun dari Mollo, Nusa Tenggara Timur, pernah berkata, โKami tidak memisahkan manusia dengan alam. Gunung, air, batu, dan pohon semuanya keluarga.โ Kalimat sederhana itu mungkin terdengar seperti peribahasa lama, tapi sejatinya mengandung kebijaksanaan yang nyaris hilang dari peradaban modern. Dalam pandangan orang Mollo, manusia bukan penguasa alam, melainkan saudara yang hidup berdampingan dengannya. Maka mereka memperlakukan bumi bukan dengan rakus, tapi dengan hormat.
Sayangnya, di banyak tempat lain, manusia mulai lupa. Kita menebang lebih cepat dari yang bisa kita tanam. Kita menggali lebih dalam dari yang bisa kita pulihkan. Kita mengejar hasil, tapi jarang merenungkan akibat. Dan perlahan, bumi memberi isyarat, bukan dengan marah, tapi dengan peringatan lembut yang sering kita abaikan cuaca yang tak menentu, air yang tak lagi jernih, angin yang membawa panas, bukan kesejukan. Semua itu bukan hukuman, tapi pesan bahwa keseimbangan sedang terganggu, dan manusia lupa siapa dirinya.
Dalam Al-Qurโan, Allah berfirman:
โTelah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali.โ (QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini bukan kutukan, melainkan ajakan untuk sadar. Alam bukan musuh, ia guru. Ia tidak pernah menuntut, tapi selalu mengingatkan. Hujan turun tanpa pilih tempat, matahari terbit tanpa hitung siapa yang pantas. Ia mengajarkan keikhlasan yang tak lagi dimiliki banyak manusia memberi tanpa menuntut balas, memberi tanpa batas waktu.Bapa Fun berkata, โKalau kami menebang pohon, kami minta izin. Kami tahu, pohon juga hidup dan punya perasaan.โ Kalimat itu mungkin terdengar aneh bagi orang kota, tapi di sanalah letak kearifan sejati. Izin bukan karena takut, tapi karena hormat. Karena mereka tahu, segala yang tumbuh di bumi bukan milik manusia, melainkan titipan. Dan setiap titipan pasti akan diminta pertanggungjawaban.
Masyarakat Mollo percaya bahwa alam memiliki bahasa sendiri. Batu yang retak, daun yang layu, angin yang berubah arah, semuanya bicara. Hanya saja, manusia modern kehilangan kemampuan mendengar. Kita terlalu sibuk dengan kebisingan buatan, hingga lupa mendengar pesan lembut dari alam. Padahal, bila kita mau hening sejenak, bumi sering kali berbisik, bahwa ia lelah, tapi tetap memberi; bahwa ia terluka, tapi tetap menumbuhkan.
Dalam tradisi Mollo, perempuan dianggap penjaga bumi. Mereka menanam, merawat, dan melindungi tanah seperti mereka menjaga kehidupan. Karena bagi mereka, alam bukan sekadar sumber pangan, tapi sumber makna. Di setiap butir jagung, mereka melihat kasih Tuhan. Di setiap tetes hujan, mereka melihat pengingat untuk bersyukur. Alam bukan sekadar sumber hidup, tapi juga sumber pelajaran tentang bagaimana seharusnya manusia hidup.
Kita mungkin tak tinggal di Mollo, tapi pesan mereka adalah pesan untuk seluruh dunia. Bahwa merawat alam bukan sekadar menanam pohon, tapi menanam kesadaran. Bukan hanya tentang hutan dan gunung, tapi tentang cara manusia memandang hidup. Sebab bila manusia melihat alam sebagai kembaran dirinya, ia akan lebih lembut dalam bertindak, lebih sadar dalam mengambil, dan lebih tulus dalam memberi.Bumi ini tidak butuh manusia untuk hidup, tapi manusia membutuhkan bumi untuk bertahan. Karena itu, menjaga alam bukan jasa, tapi kewajiban. Kita tak sedang menolong bumi, kita sedang menolong diri sendiri agar masih punya tempat untuk p**ang.
Dan barangkali, itulah makna sejati dari kalimat "Alam adalah kembaran manusia.โ Ketika kita melihat hutan gundul, sebetulnya kita sedang melihat hati yang gersang. Ketika sungai kotor, sebetulnya itu cerminan pikiran yang tak lagi jernih. Dan ketika bumi seimbang, itulah tanda manusia sedang damai dengan dirinya sendiri.
---
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.