
20/08/2025
"Shadow Economy Bukan di Pasar Tradisional atau di pinggiran jalanan, Tapi di Istana dan Meja Kolega Presiden.”
Oleh : Arman Budiyono.
Rencana pemerintah untuk mengejar pajak dari aktivitas shadow economy pada 2026 terdengar gagah di atas kertas, tetapi getir di telinga rakyat kecil.
Lagi-lagi, yang dibidik adalah sektor-sektor yang menjadi urat nadi hidup orang kecil, warung eceran, pedagang makanan, penjual emas skala kecil, hingga nelayan tradisional. Mereka yang setiap hari berjuang dari pagi buta hingga malam, hanya untuk membawa pulang sekadar sesuap nasi, kini dicap sebagai bagian dari shadow economy yang harus ditertibkan dan dipajaki.
Apakah warung sederhana di pinggir jalan benar-benar musuh negara? Apakah nelayan yang melaut dengan perahu reyot menjadi penyebab bocornya kas negara? Apakah pedagang kecil yang berjualan gorengan di depan rumah adalah biang kerok defisit APBN? Apakah pedagang starling yang berjualan kopi dan minuman, pedagang siomay dan batagor, dan pedagang kecil lainnya harus diperas keringatnya dengan pajak?
Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya membuat kita marah. Karena kenyataannya, rakyat kecil justru diperlakukan seakan-akan mereka adalah pencuri uang negara, sementara pencuri sesungguhnya justru duduk manis di kursi empuk kekuasaan.
Lihatlah kenyataan yang jauh lebih pahit. Setiap tahun, triliunan rupiah raib akibat korupsi. Setiap tahun, para konglomerat dengan mudah menyembunyikan hartanya di luar negeri. Setiap tahun, pengusaha besar bermain dengan celah hukum untuk menghindari pajak.
Namun, mengapa yang dikejar justru rakyat kecil? Mengapa yang dituding sebagai “ekonomi bayangan” adalah orang-orang yang berjualan seadanya di pasar tradisional, di pinggiran jalanan, dan di tempat-tempat kumuh, bukan para raksasa yang menguasai pasar dengan kekuatan modalnya?
Inilah wajah ketidakadilan itu. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Negara begitu garang kepada yang lemah, tetapi jinak terhadap yang kuat. Rakyat kecil dipaksa tunduk, sementara yang besar dibiarkan berkelit. Kebijakan ini, jika benar-benar dijalankan tanpa hati nurani, hanyalah bentuk lain dari pemerasan yang dilegalkan.
Pajak seharusnya menjadi instrumen keadilan sosial. Tetapi jika yang dikejar adalah rakyat kecil yang bahkan tidak mengerti bagaimana cara mengisi formulir pajak, sementara para pengemplang kakap tetap bebas, maka pajak telah berubah menjadi cambuk yang mencambuk rakyat miskin dan menjadi selimut hangat bagi para elit.
Bangsa ini tidak akan runtuh karena warteg atau warung kopi kecil yang tidak tercatat dalam sistem. Bangsa ini justru runtuh karena kerakusan penguasa, karena pengemplang pajak besar yang dibiarkan merajalela, karena korupsi yang mengalir deras tanpa pernah berhenti. Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin mengejar pajak, kejarlah mereka yang bersembunyi di balik istana kaca, bukan mereka yang berjualan di emperan jalan.
Rakyat kecil sudah membayar dengan keringat, darah, dan air mata. Jangan lagi dituding sebagai beban. Karena sesungguhnya, yang benar-benar membebani bangsa ini bukanlah pedagang kecil atau nelayan miskin, melainkan para penguasa rakus dan elit ekonomi yang dengan tenang menguras kekayaan negeri ini.
“Warung kecil, tukang siomay batagor, dan pedagang starling bukan musuh negara. Nelayan miskin bukan biang kerok defisit APBN.
Kalau mau adil, kejarlah konglomerat dan koruptor!
Karena merekalah shadow economy yang sesungguhnya.”