19/12/2025
Negara berutang tanpa rem, Defisit APBN 2026 diproyeksi akan terus melebar hingga Rp 750 Triliun.
Oleh : Arman Budiyono.
Defisit APBN 2026 diproyeksi akan terus melebar. Tekanan fiskal yang tidak terselesaikan di 2025 justru diperkirakan berlanjut dan memburuk pada tahun berikutnya. Defisit anggaran diperkirakan berada di kisaran Rp 700 triliun hingga Rp 750 triliun, sebuah level yang menandai semakin jauhnya APBN dari prinsip kehati-hatian fiskal.
Pelebaran defisit ini menjadi sinyal bahwa negara belum mampu keluar dari pola lama, yakni menutup ketimpangan pendapatan dan belanja dengan utang baru. Ketika defisit membesar, kebutuhan pembiayaan otomatis melonjak, dan pada 2026 pemerintah hampir pasti kembali membanjiri pasar dengan surat utang negara.
Dengan defisit yang meningkat dan beban surat utang jatuh tempo yang sangat besar, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) secara bruto pada 2026 diperkirakan dapat mencapai sekitar Rp 1.585 triliun. Level ini mencerminkan tekanan pembiayaan yang akut, sekaligus memperlihatkan betapa APBN semakin bergantung pada pasar obligasi untuk sekadar bertahan.
Dalam kondisi seperti ini, ruang penurunan imbal hasil SBN menjadi semakin sempit. Pasokan SBN yang besar berisiko membuat pergerakan yield menjadi kaku, bahkan tertahan di level tinggi, meskipun arah kebijakan moneter masih cenderung longgar. Pasar obligasi tidak hanya merespons suku bunga acuan, tetapi juga volume suplai dan persepsi risiko fiskal.
Jika penerbitan surat utang pemerintah terus meningkat akibat defisit yang melebar, maka logika pasar akan bekerja dengan sederhana, yaitu suplai naik, risiko meningkat, dan investor menuntut kompensasi yang lebih tinggi. Akibatnya, yield sulit turun, bahkan berpotensi berbalik naik, terlepas dari peluang penurunan suku bunga acuan.
Proyeksi ekonom memang memperkirakan yield SBN tenor 10 tahun pada 2026 berada di kisaran 5,6 hingga 6,2 persen, lebih rendah dibanding asumsi pemerintah dalam APBN yang berada di level 6,9 persen. Namun proyeksi ini tampak semakin sulit jika dikonfrontasikan dengan realitas pembiayaan. Banjir SBN berpotensi menahan penurunan yield di pasar, membuat optimisme tersebut lebih menyerupai harapan daripada kepastian.
Pelebaran defisit APBN 2026 pada akhirnya akan memperlihatkan jebakan struktural yang semakin dalam. Negara terpaksa menerbitkan utang baru bukan untuk mempercepat pembangunan, melainkan untuk menutup defisit lama dan membayar kewajiban jatuh tempo. APBN berubah fungsi, dari instrumen pembangunan menjadi mesin refinancing yang bekerja tanpa henti.
Dalam jangka menengah, kondisi seperti ini akan menggerus fleksibilitas fiskal. Beban bunga utang akan menyita porsi belanja yang semakin besar, menyempitkan ruang bagi belanja produktif dan perlindungan sosial. Ketika itu terjadi, APBN tidak lagi menjadi bantalan ekonomi, melainkan sumber kerentanan terhadap krisis ekonomi.
Defisit yang terus melebar, penerbitan SBN yang masif, dan yield yang terjebak adalah kombinasi berbahaya. Jika tidak ada koreksi kebijakan yang serius, APBN 2026 berpotensi menjadi titik di mana risiko fiskal tidak lagi bersifat laten, tetapi mulai terasa nyata di pasar dan di kehidupan ekonomi masyarakat.
Lambat laun kita semua akan menyaksikan, krisis fiskal yang dipelihara oleh defisit yang dibiarkan melebar, hingga suatu hari ruang kebijakan benar-benar habis dan negara tak lagi punya pilihan selain membayar harga dari kelalaian yang ditumpuk bertahun-tahun.
Lebih buruknya lagi, beban bunga yang terus membesar akan menggerogoti APBN dari dalam. Setiap tahun, porsi belanja negara yang habis untuk membayar bunga dan pokok utang akan semakin besar, sementara ruang untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur produktif, dan perlindungan sosial semakin menyempit. Negara akan terjebak dalam kondisi membiayai utang masa lalu, bukan menyiapkan masa depan bagi anak bangsa.
Ketika belanja produktif dikorbankan demi membayar utang, pertumbuhan ekonomi akan kehilangan daya dorongnya. Basis penerimaan negara tidak tumbuh, sementara kebutuhan belanja tetap meningkat. Lingkaran setan fiskal mulai terbentuk, defisit melahirkan utang, utang melahirkan beban bunga, beban bunga melahirkan defisit baru.
Dalam kondisi seperti ini, setiap guncangan kecil bisa berdampak sangat besar. Perlambatan ekonomi global, pelemahan rupiah, atau penurunan minat investor terhadap SBN dapat langsung memukul stabilitas fiskal. APBN kehilangan perannya sebagai penyangga ekonomi, dan justru menjadi saluran transmisi krisis.
APBN 2026, dengan defisit yang kian melebar dan ketergantungan ekstrem pada utang, berpotensi menjadi titik balik yang kelam. Bukan karena satu kebijakan yang keliru, tetapi karena akumulasi kelalaian yang dibiarkan terlalu lama di era presiden sebelumnya. Negara berjalan terus dengan keyakinan palsu bahwa semuanya masih terkendali, padahal fondasi fiskalnya semakin rapuh dan pendapatan negara semakin seret.
Ketika semua batas itu tercapai, krisis fiskal nantinya tidak akan diumumkan secara resmi. Krisis Fiskal akan hadir dalam bentuk yang lebih sunyi namun menyakitkan, belanja publik yang akan dipangkas, pajak yang tentunya akan dinaikkan, daya beli yang semakin tertekan, dan kesejahteraan yang perlahan terkikis dan menekan ekonomi masyarakat khususnya kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Saat itulah rakyat akan menyadari bahwa defisit yang dulu dianggap wajar, utang yang disebut aman oleh Purbaya, dan APBN yang dulu diklaim stabil ternyata hanyalah penundaan dari konsekuensi yang kini harus dibayar mahal.
(Arman Budiyono).
Oleh : Arman Budiyono.Defisit APBN 2026 diproyeksi akan terus melebar. Tekanan fiskal yang tidak terselesaikan di 2025 justru diperkirakan berlanjut d