12/11/2025
“Di sebuah kafe yang nyaman, seorang pria muda duduk sambil menatap layar laptop barunya. Di meja seberang, seorang kurir yang kelelahan meneguk air mineral sambil menunggu pesanan berikutnya. Di luar jendela, ada orang tua duduk di bawah pohon dengan kertas bertuliskan : Butuh pekerjaan, apa saja. Tiga pemandangan dalam satu sore tiga kehidupan dalam satu dunia yang sama, tapi rasanya begitu berbeda. Dunia yang katanya makmur, tapi entah mengapa semakin banyak yang lapar.”
Kita hidup di zaman angka ekonomi naik, tapi banyak hati justru turun. Gaji sebagian orang sudah menyentuh angka yang dulu hanya bisa dibayangkan, tapi sebagian lain bahkan tak tahu harus makan apa malam ini. Satu sisi dunia memesan kopi seharga setengah upah harian, sementara di sisi lain seseorang rela berjalan belasan kilometer demi uang yang bahkan tak cukup untuk membeli roti. Tak salah bila orang berjuang keras hingga sukses, tapi barangkali, yang mulai hilang adalah rasa bahwa keberhasilan bukan untuk meninggikan diri, melainkan untuk menunduk melihat siapa yang tertinggal.
Kesenjangan sosial kini bukan sekadar data dalam laporan tahunan, tapi tentang jarak emosional yang tumbuh di antara manusia. Dulu, si kaya dan miskin masih saling menyapa di jalan yang sama. Kini, tembok pemisahnya bukan lagi dari batu, tapi dari pandangan mata yang tak saling menengok. Yang bergaji besar merasa aman di ruang ber-AC, yang penganggur merasa kecil di antara gedung yang tak pernah berhenti tumbuh. Ironinya, keduanya sama-sama lelah, hanya saja yang satu letih karena bekerja tanpa henti, dan yang lain letih karena tak tahu harus mulai dari mana.
Al-Qur’an dengan lembut mengingatkan, “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan dan diberi kesenangan, dia berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Tetapi apabila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, dia berkata: ‘Tuhanku telah menghinakanku.’ Tidak! Sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim dan tidak saling mengajak memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Fajr: 15–18). Ayat itu menegur dengan halus, bahwa ukuran kemuliaan bukan pada besarnya pendapatan, tapi pada seberapa luas hati kita menolong orang lain. Sebab rezeki bukan hadiah pribadi, melainkan amanah untuk dibagi.
Kini, banyak yang merasa bangga pada angka di slip gaji, tapi malu membantu orang yang sedang jatuh. Banyak yang paham teori ekonomi, tapi lupa bahwa perut orang lapar tak mengenal istilah pertumbuhan mikro-makro. Kita terlalu sering memuji pencapaian individu, tapi jarang menanyakan bagaimana keadaan mereka yang tertinggal. Seolah dunia ini hanya punya ruang bagi pemenang, padahal Tuhan mencintai mereka yang tetap berusaha meski kalah.
Barangkali, di sinilah kita perlu berhenti sejenak. Merenung bahwa di balik setiap angka pendapatan per kapita, ada kisah manusia yang berjuang mencari kerja. Ada lulusan yang mengirimkan ratusan lamaran tanpa jawaban. Ada ayah yang pura-pura kuat di depan anaknya meski tak tahu besok akan makan apa. Dan di antara mereka, masih ada yang tersenyum bukan karena bahagia, tapi karena tak punya pilihan lain selain bersyukur.
Kita sering mengira bahwa rasa syukur cukup diucapkan lewat doa, padahal salah satu bentuk syukur terbesar adalah membuat orang lain ikut merasakan nikmat yang sama. Bila gaji kita tinggi, maka tanggung jawab kita pun tinggi. Bila hidup kita lapang, maka ujian kita bukan lagi mencari uang, melainkan menjaga agar uang tidak mengeraskan hati. Karena kesenjangan sosial sejatinya bukan disebabkan oleh yang miskin terlalu malas, tapi oleh yang mampu terlalu tenang melihat ketimpangan.
Gotong royong nilai lama yang perlahan menghilang mungkin satu-satunya jembatan yang bisa menyatukan jarak ini. Ia mengajarkan bahwa kemajuan tidak akan berarti bila hanya dirasakan sebagian orang. Bahwa tangan yang memberi tidak lebih tinggi dari tangan yang menerima, sebab keduanya sedang berperan dalam satu keindahan yang sama: saling menguatkan. Bila masyarakat kita mau menghidupkan kembali semangat itu, barangkali tak perlu ada yang mencuri, tak perlu ada yang mengemis pekerjaan, karena yang berlebih akan otomatis menolong yang kekurangan bukan karena kasihan, tapi karena merasa satu tubuh.
Peradaban yang besar bukanlah yang memiliki gedung tertinggi, tapi yang memiliki rasa kemanusiaan paling dalam. Tidak ada kebanggaan dalam gaji besar bila tetangga masih kelaparan. Tidak ada kemajuan sejati bila anak muda masih harus antre berjam-jam hanya untuk melamar kerja yang belum tentu diterima. Dan tidak ada kesejahteraan bila kita masih menutup mata pada kesenjangan yang kian lebar.
Barangkali, sudah saatnya kita menata kembali cara memandang rezeki. Bahwa bekerja keras itu mulia, tapi berbagi hasil kerja jauh lebih luhur. Bahwa kesuksesan sejati bukan tentang naik kelas sosial, tapi tentang seberapa banyak yang bisa ikut naik bersama kita. Karena Tuhan tidak bertanya seberapa banyak gaji kita, tapi seberapa banyak hati yang terbantu karena gaji itu. Dan mungkin, di hari ketika dunia terasa tidak adil, Tuhan sedang menunggu siapa di antara kita yang mau menjadi jembatan agar keadilan itu hidup kembali.
---
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik