20/06/2025
“Aku Memang Keras Kepala”
Rina menatap jendela dapur sambil menyapu rambut yang jatuh ke wajahnya. Hujan mulai turun, tipis-tipis, tapi cukup untuk membuat jemuran basah. Suaminya, Ardi, sudah memperingatkan tadi pagi.
"Sayang, cuacanya mendung. Jemuran jangan ditinggal di luar, ya."
"Ah, enggak bakal hujan. Kamu aja yang terlalu panikan." jawab Rina santai, sambil menenteng keranjang cucian ke halaman.
Sekarang ia berdiri di depan jendela, menghela napas. Hatinya dongkol, tapi bukan pada Ardi. Pada dirinya sendiri.
Saat Ardi pulang, ia menyambutnya dengan teh hangat dan tumpukan baju basah di tangan.
“Kayaknya ada yang keras kepala hari ini,” ujar Ardi sambil menahan tawa.
Rina memelototinya sebentar, lalu tertawa juga. “Aku memang keras kepala, kan?”
Ardi mengangguk, pura-pura serius. “Banget.”
“Tapi kamu tetap cinta, kan?”
“Sayangnya, iya,” kata Ardi sambil mencubit pipinya. “Meski kadang rasanya pengen nyuruh kamu debat sama tembok aja.”
Rina tertawa keras, lalu duduk di samping suaminya. Ia sadar betul—ia sering ingin menang sendiri, keras hati, susah dikasih tahu. Tapi ia juga belajar bahwa mengakui kesalahan tidak membuatnya lemah. Justru di sanalah ia merasa paling manusiawi.
“Besok, kamu yang angkat jemuran deh,” ucap Rina sambil menyenderkan kepala ke bahu Ardi.
“Deal. Tapi kamu janji, kalau aku bilang bakal hujan, jangan bantah dulu.”
“Enggak janji. Tapi aku bakal coba.”
Ardi menggeleng, lalu mengecup keningnya. Di tengah perbedaan kecil dan kepala yang kadang keras, cinta mereka tetap berjalan—karena mereka saling tahu, saling sabar, dan tak pernah berhenti mencoba.