25/11/2025
Di usia 86 tahun, saat kebanyakan orang seusianya tak lagi mampu bekerja, Kakek Margono justru masih harus mengandalkan tenaganya untuk bertahan hidup. Dengan mata kanan yang sudah buta dan tubuh yang renta, ia mendorong gerobak tua berisi air keliling dari kampung ke kampung, menempuh jarak hingga 36 kilometer setiap harinya.
Setiap hari, Kakek Margono membawa 8 sampai 12 dirigen air, masing-masing berisi 20 liter. Totalnya mencapai 240 liter air yang harus ia dorong di jalanan yang tidak selalu rata. Satu dirigen air hanya dihargai Rp6.000, dan tak jarang dagangannya tak laku sama sekali.
“Pernah tiga hari gak ada yang beli… s**a gak laku. Tapi yang kakek pikirin cuma wajah istri. Walau kakek gak bisa bahagiain istri, yang penting kakek ingin dia bisa makan…” tuturnya lirih.
Perjuangan itu semakin berat saat malam tiba. Tanpa penerangan, ia tetap berjalan menembus angin dingin sambil menjaga keseimbangan gerobaknya. Suatu kali, di tengah tanjakan, tenaganya habis. Gerobaknya terbalik, seluruh dirigen jatuh dan air tumpah di jalan.
“Kakek cuma bisa nangis… hari itu kakek baru pegang duit lima ribu…” ucapnya sambil menahan tangis.
Lebih memilukan lagi, karena sering kelelahan, Kakek Margono kerap tidur di depan toko, hanya beralaskan sandal dan memeluk lututnya untuk menghangatkan tubuh. Ia menunggu satu pembeli saja yang mungkin datang di tengah malam.
Kondisi kesehatannya pun semakin memburuk. Pembuluh darah di kakinya menonjol dan membengkak akibat puluhan tahun bekerja keras menempuh jarak jauh. Luka-luka kecil kerap muncul dan belum sempat diobati.
“Kalau jalan jauh rasanya sakit dan gatal. Kalau digaruk, jadi luka… takutnya infeksi, nanti kakek gak bisa jualan…” katanya.
Di usia yang seharusnya menjadi masa istirahat, Kakek Margono justru harus berjuang keras agar ia dan istrinya bisa makan setiap hari, sebuah kenyataan memilukan yang masih dialami banyak lansia di tanah air.