29/09/2025
"Aaaaaah.... emmmhh... ooohh!"
#4
“Abaang… ah… n4kal, ih…”
Suara itu terdengar lirih dari dalam gudang, diiringi tawa kecil yang m4nja.
Tiba-tiba, di balik pintu, tampak seorang wanita sederhana berdiri terpaku. Ia mengintip dengan hati bergetar, lalu air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Tangannya gemetar, mencoba menutup mulut agar isaknya tidak terdengar.
Aku terbangun dari tidurku dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi pelipisku. Aku menatap langit-langit kamar, terasa kosong, namun hatiku bergemuruh.
“Mimpi…?” gumamku setengah tidak percaya. Bayangan sosok wanita dalam mimpi masih begitu jelas, tatapannya, tangisnya, bahkan suara lirih terasa begitu nyata.
Aku mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, mencoba menepis perasaan itu, tapi justru semakin menyesakkan. Ada sedih yang sulit dijelaskan, seolah mimpi itu bukan sekadar bunga tidur… melainkan sebuah pertanda.
***
“Ya ampun, ngapain kamu pindah ke Desa Rantau Panjang? Segitu patah hatinya kamu, Dika? Perempuan di Medan ini kan banyak. Nanti Mama kenalkan sama anak teman-teman Mama.”
“Kapok sama cewek Medan, Ma. Kebanyakan matre. Walaupun ga semua sih. Nanti ditikung lagi sama anak pejabat,” ucapku malas.
Aku masih geram mengingat kejadian seminggu lalu. Tunanganku, Selena, ketahuan check in dengan anak salah satu anggota DPRD. Tanpa pikir panjang, aku langsung memutuskan pertunangan itu. Gila saja kalau aku mau meneruskan hubungan dengan b3tina centong nasi seperti dia.
“Loh, jadi kamu mau cari jodoh di mana? Nggak semua cewek Medan kayak Selena itu. Masih banyak yang baik, Nak.”
“Nggak semua sih, Ma. Tapi untuk sementara, Dika nggak mau mikir ke arah sana dulu. Dika mau serius mengurus lahan sawit kita di Rantau Panjang dan Riau. Setelah tiga bulan di Rantau Panjang, baru Dika ke Riau. Lagian Papa juga sudah sakit-sakitan. Jadi, Dika yang harus bertanggung jawab. Kita nggak boleh sembarangan percaya sama orang,” ucapku meyakinkan Mama.
“Ya, Mama senang kalau kamu mau mengurus lahan sawit keluarga. Biar bagaimanapun, itu milikmu setelah Papa dan Mama nggak ada. Tapi hati-hati ya, Nak. Jangan sampai terg0da dengan g4dis desa. Mama takut karena patah hati, kamu malah cari pelarian sama per3mpuan di sana,” ucap Mama mewanti-wanti.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Mama. Lagi p**a, lebih baik g4dis desa yang sederhana daripada g4dis kota yang hanya bikin sakit kepala.
Aku sudah bosan dengan perjalanan cintaku bersama per3mpuan kota.Ada yang matrenya naudzubillah, baru jadian sehari sudah minta dibelikan iPhone keluaran terbaru. Tidak tanggung-tanggung, ia meminta tiga iPhone sekaligus.
Ada p**a yang pergaulannya bebas, tiap malam dugem dan m4buk terus, dia mengatakan kalau dirinya ratu party di kota Medan. Dan yang terakhir, Selena, ketahuan selingkuh dengan anak pejabat.
Tapi jujur saja, aku ke Desa Rantau Panjang memang benar-benar ingin mengurus lahan sawit, bukan untuk memikirkan jodoh. Toh usiaku masih 27 tahun. Menikah di umur 30 atau bahkan 40 pun tidak masalah. Aku lelaki, berbeda dengan wanita.
Dengan menumpang bus malam, aku menuju Desa Rantau Panjang. Mama sebenarnya menyarankan agar aku membawa mobil dan ditemani sopir, tetapi aku menolak. Ada misi tersembunyi yang ingin aku jalankan. Bahkan, aku sempat berpesan kepada Mama agar tidak memberi tahu Pak Udin mengenai kedatanganku.
Sesampainya di Desa Rantau Panjang, aku berpura-pura menjadi tukang dodos di lahanku sendiri. Semua itu kulakukan demi memantau kerja Pak Udin. Setahun belakangan, pendapatan dari lahan sawit keluarga kami turun drastis. Yang awalnya bisa mencapai dua ratus juta rupiah setiap panen, kini merosot hingga hanya seratus lima puluh juta. Alasannya selalu sama, harga buah turun, musim kemarau, dan berbagai dalih lainnya.
Papa sudah terlalu tua, tidak segesit dulu. Apa pun yang dikatakan orang kepercayaannya, ia percaya begitu saja, meskipun kadang jelas ada kejanggalan dan sekarang tugaskulah sebagai anak untuk memantau dan menyelidiki ini semua.
“Kak, ada sarapan apa?” tanyaku di warung yang berada di persimpangan jalan desa ini.
“Ada lontong sayur dan nasi uduk, Bang,” ucapnya ramah. Aku pun memesan nasi uduk. Pagi ini adalah hari pertamaku berpura-pura menjadi tukang dodos. Sebelum jam delapan, aku sudah harus sampai di lahan, sesuai pesan Pak Udin semalam.
“Abang tukang dodos di lahan PTPN atau di mana?” tanya penjual warung itu sambil menata piring.
“Di lahan Pak Ahmad,” jawabku sekenanya. Aku tak ingin banyak bicara, khawatir kalau g4dis ini bersikap genit seperti g4dis desa yang kutemui kemarin. Lagi p**a, aku sedang menikmati nasi uduk yang rasanya sungguh lezat. Tak kusangka, di warung kecil ini ada sarapan selezat ini—tidak kalah dengan nasi uduk di Medan yang sedang viral dan kerap dikunjungi artis.
“Bang, lahan Pak Ahmad itu kan melewati jalan afdeling. Di sana tidak ada warung nasi. Abang mau mendodos tapi tidak bawa bekal dan minuman?” ucapnya.
Benar juga kata g4dis itu. Aku memang tidak kepikiran. Maklumlah, aku bukan tukang dodos sungguhan, jadi tidak tahu perlengkapan apa saja yang seharusnya dibawa.
“Oh, iya juga ya,” sahutku agak kebingungan. G4dis itu hanya tersenyum sopan.
Namun saat hendak memb4yar, mendadak aku panik. D0mpetku entah di mana. Ya Tuhan, bagaimana bisa sampai tertinggal? Aku merutuki diri sendiri, bingung mencari alasan di depan penjaga warung ini.
“Maaf, Kak, d0mpetku ketinggalan. Besok aku janji akan b4yar,” ucapku meyakinkan dengan wajah menahan malu.
“Tidak apa-apa, Bang. Besok-besok kalau lewat sini lagi baru b4yar. Ini sekalian saya bawakan bekal makan siang dan air minum. Kasihan nanti Abang capek-capek mendodos siang bolong tanpa bawa bekal,” ucapnya tulus, tanpa sedikit pun gurat g3nit di wajahnya.
“Lagian, tidak b4yar juga tidak apa-apa, Bang. Kebetulan setiap Jumat saya memang berniat bersedekah. Ya, kebetulan saja kali ini ada Abang yang sedang kesusahan. Tidak ada salahnya saya bersedekah Jumat dengan Abang,” tambahnya lagi.
Aku menelan ludah. Dia… bersedekah padaku? Ya ampun, malunya diriku. Tapi ternyata penyamaranku tidak sia-sia juga. Kaos lusuh milik Pak Warno, sopir keluargaku, kaos partai dengan warna yang sudah pudar, ternyata berhasil menunjang penampilanku sebagai tukang dodos.
G4dis penjual warung ini benar-benar iba padaku. Mungkin ia mengira alasanku soal dompet yang tertinggal hanyalah kebohongan.
Malam itu aku p**ang cukup larut karena ladang sedang panen. Aku menunggu hingga proses penimbangan selesai agar tahu berapa hasilnya, apakah sesuai dengan laporan yang akan Pak Udin sampaikan nanti kepada Papaku. Setelah ditotal, hasil bersih dan setelah dipotong biaya panen mencapai 213 juta. Aku ingin tahu, berapa angka yang akan dilaporkan Pak Udin kepada Papa.
Aku p**ang dengan menumpang motor Eko-pemuda setempat yang berprofesi tukang dodos juga. Namun, entah kenapa, motornya ngadat ketika hampir sampai di tempat tinggalku.
“Kenapa, Ko?” tanyaku.
“Enggak tahu nih, mogok, hehe. Maklum motor butut,” jawabnya santai. Lalu ia menyarankan agar aku berjalan kaki saja karena rumah tempatku tinggal tidak terlalu jauh lagi.
“Dika, kalau mau cepat, lewat saja gang di ujung situ. Nanti ada kebun, kamu lurus saja, sampai deh di rumah Bu Salmiah,” ucap Eko memberi jalan pintas.
Karena tu-buhku sudah terlalu lelah dan ingin segera membersihkan diri lalu beristirahat, aku pun mengikuti saran Eko.
Aku melewati kebun yang cukup gelap. Namun, tiba-tiba saja seorang w4nita menabrakku. Aku kaget, dia pun sama terkejutnya.
“Tolong! Tolong aku, dia mau berbuat jahat padaku!” teriaknya sambil menggenggam lenganku erat-erat.
Tak lama kemudian, seorang lelaki datang, disusul oleh beberapa warga yang berdatangan. Anehnya, pria brengs3k itu malah menuduh aku dan perempuan itu berbuat m3sum. Rasanya ingin sekali aku menon-jok wajah begundal kampung itu karena saking emosinya. Lebih parah lagi, warga justru tidak mau mendengarkan penjelasan per3mpuan itu. Kasihan benar dia, sudah ketakutan, malah difitnah p**a.
Yang lebih gila lagi, beberapa warga menyarankan agar aku dan perempuan itu dinikahkan saja karena dianggap telah berbuat yang tidak-tidak. Buset! Kenal saja tidak, masa tiba-tiba main menikahkan begitu saja?
Akhirnya, aku dan perempuan itu dibawa masuk ke dalam sebuah rumah untuk disidang.
Saat melangkah masuk yang entah rumah siapa, aku menoleh ke arah perempuan itu. Betapa kagetnya aku ketika menyadari bahwa ia adalah penjual warung yang pernah memberiku sedekah Jumat. Ia hanya tertunduk, air matanya jatuh berurai. Hati ini terasa iba melihatnya. Ia dipo-jokkan, dih!na, padahal jelas terlihat ia wanita baik-baik.
Ketika ia mencoba meminta pembelaan pada ayahnya, justru tamp4ran ker4s mendarat di p**inya hingga ia tersungkur ke lantai. Ya Allah, mereka ini manusia atau bin4tang? Begitu teganya mereka memperlakukan kasar pada perempuan manis berhati mulia itu.
Tak tega rasanya, aku pun menghampiri dan menyentuh bahunya, berusaha meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.
“Kau harus menikahi anakku!” ucap ayah perempuan itu lantang.
“Betul! Kalian memang harus menikah. Pas sekali, yang satu penjaga warung, yang satu lagi tukang dodos. Pasangan serasi, bukan?” ucap begundal kampung yang ingin menodai w4nita penjaga warung itu dengan nada mengejek. Aku menatapnya t4jam. Sekaya apa sih dia?
“Hei, tukang dodos! Ingat, ya, setelah menikah jangan tinggal di rumah ini. Bawa istrimu ke gubuk reotmu!” sindir seorang wanita tua dengan nada t4jam. Sejak tadi matanya tak pernah lepas memandang penuh keb3ncian pada penjaga warung itu.
Wanita malang itu hanya bisa menangis tersedu-sedu. Air matanya mengalir deras, bahunya bergetar hebat. Wajahnya tertunduk, seakan menanggung beban dunia seorang diri.
Entah mengapa, hatiku begitu terenyuh melihatnya. Ada perasaan tidak asing yang menyeruak, perasaan ingin melindungi, perasaan ingin berdiri di sisinya.
Apa benar aku harus menikahinya?