Nita Syafira I

Nita Syafira I Follow Me✅✅✅

Alvin mengungkung Isya cepat-cepat, Isya mencoba mendorongnya. "Mau ngapain sih om?""Menurut kamu? Saya mau ngapain?" go...
29/09/2025

Alvin mengungkung Isya cepat-cepat, Isya mencoba mendorongnya. "Mau ngapain sih om?"

"Menurut kamu? Saya mau ngapain?" godanya.

Tangan Alvin membelai wajah Isya dengan lembut, Isya yang merasakan sentuhan itu hanya bisa menelan salivanya. Apa lagi ketika tangan Alvin berada di bibir Isya. Rasa berdebar-debar di dada tiba-tiba hadir tanpa di undang.

"Malam ini, saya mau ...."

"Nggak, jangan sampai dia ngapa-ngapain gue, karena gue udah ...," batin Isya.

Isya sudah lama tidak ingin di sentu h suaminya sendiri, apa yang akan terjadi jika Isya gadi s polos dan lugu itu ternyata sudah tidak suci lagi?!

"Isya? Ternyata kamu udah ... siapa yang menyentuhmu? Saya ingat, ini pertama kalinya kita ...."

Apa yang sebenarnya terjadi?

Reni Nofita Adinda Ra

KATANYA DIBAYAR UNTUK MENYVSUI ANAKNYA TAPI TERNYATA BAPAKNYA MINTA JATAH MIM1 JUGABab 3"What the f*ck, Alison! Aku hamp...
29/09/2025

KATANYA DIBAYAR UNTUK MENYVSUI ANAKNYA TAPI TERNYATA BAPAKNYA MINTA JATAH MIM1 JUGA

Bab 3

"What the f*ck, Alison! Aku hampir menodongkan pist0l karena kukira kau ornag asing yang mengendap masuk ke kamarku," decak Alexei emosi pada sosok bernama Alison Morte, adik sepupunya, Nickolas Morte.

"Pakai kembali coath-mu! Jika tidak nanti kau akan kedinginan," titah Alexei datar.

"Aku tak akan kedinginan selama didekap tubuhmu, Lex." Alison yang tak mengindahkan kata-kata Alexei kini mulai bergelayut manja dengan kedua tangannya ditempatkan pada leher beton sang bos Mafia.

Namun, tak sesuai harapan, Alexei dengan segera melepaskan pertautan tangan Alison lalu medorongnya pelan. "Perlukah kuingatkan berkali-kali jika aku telah beristri, Ali? Aku bahkan sudah memiliki putra sekarang."

Bibir Alison pun dikerutkan pertanda merajuk, "Tapi, kudengar dari Nick jika Erika tidak sadarkan diri. Aku hanya ... ingin sekedar menghiburmu," kilah Alison mengeluarkan jurus puppy eyes.

"Pasti Nick juga yang memberikan kunci dengan alasan ini, kan?"

"Aku serius, Lex. Aku tidak ingin kau larut dalam kesedihan. Izinkan pelukanku menenangkanmu."

Alison datang seolah menawarkan penghiburan, tapi pada kenyataannya Alexei tahu betul niat gadis berambut gelombang highlight kecokelatan sedad* itu.

Sebuah sejarah kedekatan pernah terjadi antara Alison dan Alexei sebelum pria itu dijodohkan dan menikah dengan Erika. Keduanya pernah menjalani hubungan tanpa status, lebih tepatnya bed friend.

Alison bukankah adik kandung Nick melainkan adik sambung karena ibu Nick–adik dari ayah Alexei dan juga seorang janda dinikahi ayah Alison bernama Carl Morte. Keluarga Morte sendiri terkenal sebagai broker senjata di dunia gelap sekaligus partner mafia Black Magma dalam menjalankan bisnis dan juga sebagai keluarga.

Tapi sayang, takdir berkata lain pada Alison yang sangat mencintai Alexei yang bahkan terobsesi menjadi mafia Queen pendamping sejati Alexei. Sang bos Mafia yang tidak berniat berkomitmen dan harus menjalani tradisi pernikahan dengan Mafia tandingan, membuat Alison geram dan tersayat hingga menyimpan dendam sekaligus obsesi lebih parah hingga saat ini, tanpa diketahui Alexei.

"Aku akan selalu mendukungmu, tapi aku juga akan menunggumu, Lex," tutur Alison berucap dalam jarak dekat, bibirnya nyaris bersentuhan belah ranum Alexei. "Aku berhak medapat kesempatan, bukan?" imbuhnya lagi.

"Ali—"

"Maaf bukan maksudku berharap Erika tidak pulih," sela Alison yang tubuhnya mundur satu langkah, mengambil taktik pura-pura merelakan.

"Ali sudah kukatakan beberapa kali momen kita hanya sebatas bed friend dan kita setuju untuk itu. Kau dan Nick bahkan adalah keluarga."

"Jangan begitu, Lex. Kau tau kita bukan keluarga. Aku ... masih menyimpan perasaan itu. Aku akan tetap mendoakan Erika dan bayimu. Tolong jangan menjauh dariku, hmm?"

"Ali—"

"Stop, Lex. Aku akan ke kamarku dan kau bisa memanggilku jika kau butuh, hmm?"

Alison terpaksa mengalah dan berinisiatif keluar kamar Alexei, sembari berharap aktingnya dapat mempengaruhi mental sang bos mafia.

Tak lama setelah keluar kamar, raut wajah sendu Alison berubah datar lebih ke arah kesal.

Ia lantas mempercepat langkahnya menuju kamar hotel yang telah disewanya tepat di ujung lorong, lantai yang sama dengan kamar Alexei.

Dad*nya yang geram dan panas berefek membanting tas cluth nya ke sofa sesaat setelah masuk ke dalam kamar.

"AARRGGGH! geramnya sembari bergelagat frustrasi dan tak tenang.

Wajah Alison terlihat jelas sedang kesumat, urai lehernya menegang kuat. "Mengapa mereka tidak mati!? Dasar pelac*r sial*n!" umpat Alison mengacu pada Erika.

Tak ingin membuang waktu, Alison mengambil ponselnya dan cepat-cepat menghubungi seseorang.

"Halo, Bos."

"Mereka masih hidup, Bre**sek!"

"Maaf, kami sudah melakukan seolah terjadi kecelakaan. Tapi ... hasil bukanlah kami yang menentukan, Bos."

"Kal!u begitu bereskan! Aku mau dimulai dari bayinya yang harus segera disingkirkan."

"Tapi ... rumah sakit sedang dijaga ketat, Bos. Anak buah Alexei dimana-mana?"

"Mulailah gunakan otak tol*lmu itu! Aku akan membayar double."

"Baa-ik. Akan kukerjakan malam ini."

Panggilan pun berakhir. Sunggingan licik terbit dari sudut bibir Alison yang ranum setelahnya.

Hanya keturunanku yang akan menjadi penerus mafia Black Magma. Tunggu mafia queen-mu ini, Lex.

***

"Pulanglah, Kak. Aku bisa sendiri. Banyak suster berjaga jika aku butuh sesuatu."

"Apa kau yakin? Thomas baru p**ang besok. Tapi, dia bilang akan langsung kemari. Juga ... dengan ayah dan ibu." Ayah dan Ibu yang dimaksud Kenan adalah mertua Eve.

"Jangan berbohong demi menghiburku, Kak. Jelas-jelas ayah dan ibu tidak jadi datang karena ... cucu mereka tiada imbas kesembronoanku." Suara Eve melemah karwena mengetahui fakta pahit kedua mertuanya.

Mendengar kalimat barusan, Kenan yang duduk di sisi brankar segera mendekat. "Hey, itu tidak benar. Mereka hanya sedikit kecewa saja, Eve. Kau sudah melakukan yang terbaik. Kau wanita yang kuat," hibur Kenan tulus pada sang adik ipar.

Sebelum pecah ketuban dadakan, kedua orang tua suaminya alis mertua rajin berkomunikasi dengan Eve melalui ponsel Kenan dikarenakan keduanya tinggal di pinggir kota sedangkan Kenan tinggal di dekat apartment Eve dan Thomas.

Eve sendiri sudah berstatus yatim piatu semenjak dijodohkan dengan Thomas. Dengan kata lain, hanya Kenan yang menemani Eve sesaat sebelum proses lahiran berlangsung sementara sang suami sedang dinas di luar kota.

Eve mungkin masih percaya Thomas akan datang menjenguknya besok, tapi tidak dengan kedua mertuanya. Mereka terdengar kecewa saat dikabari jika buah hati Eve alias cucu pertama mereka meninggal dunia. Seketika, mereka berubah pikiran, memutuskan untuk tidak jadi datang.

Lebih parahnya, di saat Eve butuh penghiburan dari sosok orang tua, malah hujatan yang Eve dapat dari mertuanya.

"Bagaimana bisa kau sampai melahirkan prematur dan cucuku sampai meninggal, Eve? Kau sangat teledor apa bagaimana, hah? Dasar menantu payah. Kami tidak jadi datang kalau begitu. Kenan yang akan mewakili."

Tanpa mereka bertanya keadaan Eve yang sedang down, perkataan mertuanya serupa pisau yang sukses menghujam jantung Eve.

"Baiklah, kau menang. maaf Aku berbohong," sesal Kenan

Di sisi lain, tak ingin terkesan bucin, Kenan harus tetap menunjukan sikap wajar agar Eve tidak tidak curiga dan tetap nyaman saat berada di dekatnya.

Meski masih ingin menemani, bahkan menginap di ruang rawat malam ini, Kenan terpaksa p**ang sesuai permintaan Eve. "Kalau begitu, aku p**ang dulu. Telpon aku kapan pun, hmm?"

Eve latas menganggukan kepalanya. Seiras itu, satu kecupan didaratkan oleh Kenan ke kening Eve.

Rasanya terkesan aneh. Walau begitu, Eve tidak memiliki energi untuk memperdebatkan. Eve menganggap kecupan tadi hanyalah sebagai penguat sesama anggota keluarga saja.

Tengah malam menjelang, Eve tak kunjung dapat memejam mata karena banyak hal yang hinggap di benaknya. Penasaran akan identitas Alexei, pria misterius beraura powerfull dan bengis hingga antusias menunggu menyusui Baby Zachary lagi kini sedang memenuhi pikirannya.

"Bukankah tengah malam biasanya bayi menangis? Mengapa suster belum memanggilku? Apa ... air sus*ku masih ada sisa stok?" Eve menerka-nerka sembari bergelagat gelisah.

Menyusui Baby Zach rupanya sudah mulai menjadi candu karena dengan begitu rupanya Eve bisa mengenang rasanya menjadi seorang ibu terutama setelah kepergian bayi pertamanya, mendiang Baby Damian.

Tak bisa lagi menahan resah, Eve lantas berinisiatif menuju ruangan bayi dimana Baby Zach berada. Meski dijaga oleh anak buah Alexei, Eve salah satu yang diberi akses karena telah resmi menjadi ibu sus* putranya.

Saat sudah berada di area dekat ruangan bayi, anehnya Eve merasa bahwa tidak ada penjagaan sama sekali. Padahal, tadi cukup banyak beberapa anak buah Alexei yang berjaga di sana.

Eve lantas mencoba menghiraukan dan segera msuk ke dalam ruangan khusus bayi. Untuk baby Zach sendiri, box bayinya sudah ditempatkan terpisah dan menyendiri di salah satu sudut ruangan tersebut sesuai permintaan Alexei.

Hal aneh atau lebih tepatnya janggal kembali dirasakan Eve saat melihat sekitar area ruang bayi sama sekali tak ada suster yang menjaga. Tak lama saat matanya masih mengedar, Eve malah memergoki seorang perawat pria mengenakan masker medis sedang menggendong baby Zach.

"Permisi," sapa Eve yang langsung membuat tubuh perawat pria itu sedikit mengerjat terkejut. "Mau dibawa kemana Baby Zach?" tambah Eve bertanya.

Untuk sesaat, tak ada jawaban dari sang perawat melainkan hening yang menggantung di udara. Perawat itu hanya membelakangi Eve. Sementara sang wanita kini mulai khawatir.

DEG!

Benar saja, saat dirasa Eve lengah, perawat pria itu kabur dan berhasil keluar membawa Baby Zach keluar ruangan.

"Hey! Kembalikan Baby Zach!" Eve secara spontan memekik dan langsung mengejar sang perawat.

Aksi kejar-kejaran pun terjadi intens, sayangnya langkah kaki Eve tidak secepat sang perawat karena baru saja melahirkan tadi siang.

Di sisi lain, dari kejauhan Eve dapat melihat sosok Nick yang sedang menelpon tak jauh dari lorong rumah sakit.

"NICK! PERAWAT ITU MEMBAWA LARI BABY ZACH!" teriak Eve sembari masih berlari kepayahan.

"Oh sh*t!"

Nick kalang kabut berlari mengejar target yang Eve maksud.

Di sisi lain.

Setelah membersihkan diri di kamarnya, Alison kembali ke kamar Alexei.

Meski sudah diperingati jika Alexei banyak kerjaan alias sibuk, Alison tetap merajuk berdalih ingin ditemani Alexei minum.

"Baiklah, tapi hanya beberapa gelas saja."

"Iya, aku janji," ujar Alison bernada manja.

Alexei akhinya minum wine bersama dengan Alison. Selain tak tega pada sepupu angkatnya yang baru saja tiba dari Italia, Alexei rupanya butuh mood booster alkohol untuk sedikit meringankan beban hidup.

Tak lama keduanya terlarut dalam obrolan santai mengenang masa lalu dan juga profesi dunia mafia. Hingga ... tiba-tiba anak buah Alexei menginterupsi, menelpon sang bos mafia.

"Ada apa?"

"Ada situasi darurat, Bos. Bayi Anda diculik seseorang dan kami sedang melakukan pengejaran. Target terpojok tapi ... bayi Anda sedang digendongnya."

"APA!"

****

Judul : Ibu Susu Pemikat Tuan Mafia

TE KOR GARA-GARA NGGAK PERNAH BELANJA, APES KOK TERUS-TERUSAN.RASA IN, MAS!!!“Gi*la kamu, Ra! Kamu ajukan syarat seperti...
29/09/2025

TE KOR GARA-GARA NGGAK PERNAH BELANJA, APES KOK TERUS-TERUSAN.
RASA IN, MAS!!!

“Gi*la kamu, Ra! Kamu ajukan syarat seperti itu pada suamimu? Dan ia terima begitu saja? Wah … hebat kamu, Ra. Berani banget, kenapa nggak dari dulu, sih?” Desti, sahabat Rara di tempat kerja, ge ram dengan tingkah Ervan.

Ya, Desti mengenal suami sahabatnya itu. Dirinya p**a saksi perjalanan hubungan romantis Rara. Tapi setelah menikah, perlahan sifat Ervan tampak belangnya. Desti-lah tempat Rara berkeluh kesah. Rutinitasnya mengecek tempat usaha jadi ajang pertemuan keduanya, walaupun hanya satu bulan sekali.

Rara dan Ervan bertemu di restoran, pria itu menyangka Rara adalah karyawan di sana. Dugaan Ervan tidaklah salah, tapi tanpa dia ketahui Rara adalah pengelola restoran itu.

Sejak umur lima belas tahun ia mulai bantu-bantu di sebuah tempat makan sederhana sambil bersekolah. Pemilik pun tak pelit ilmu, semua hal ia ajarkan pada gadis manis itu. Rara yang berasal dari panti asuhan, sangat giat bekerja demi adik-adiknya.

Hingga tiga tahun kemudian mujur berpihak pada Rara. Setelah lulus sekolah, seorang wanita tua tiba-tiba mengajaknya bekerja sama. Wanita tua itu meminta Rara untuk mengelola restoran cabang barunya. Wanita itu juga menawarkan pada Rara untuk menjadi pemilik resto sepenuhnya dengan cara menyicil, cukup membayar modal awalnya saja. Rara pun tak melewatkan kesempatan itu.

“Malah melamun … tega kamu kacangin aku setelah lama nggak bertemu, Ra!” protes Desti karena sahabatnya hanya diam sedari tadi.

“Maaf, Des, nggak ada maksud kok,” kilah Rara kemudian meminum teh panas yang disajikan Desti, “aku hanya kangen tempat ini. Sudah lama aku nggak ke sini.”

“Iya juga, sih. Biasanya sebulan sekali datang, tapi ini sudah hampir dua bulan kamu nggak cek kondisi restomu.”

“Belum jadi restoku, Desti, doakan saja aku bisa membayar lunas. Tahu sendiri setelah menikah aku full di rumah, hanya gaji pokok sebagai pengelola yang aku terima. Kuranglah kalau buat bayar cicilan.” Rara tertawa, sedikit sumbang sebenarnya.

“Pasti, Bestie, aku selalu mendoakanmu. Lagi p**a sudah hampir sepuluh tahun kamu irit agar bisa memiliki resto ini. Ehh … menikah bukannya tambah enak malah dapat suami super irit.
Tapi aku senang akhirnya kamu sadar, Ra. Pria kayak Ervan memang harus diberi pelajaran. Punya istri harusnya dibahagiakan, bukan hanya dipe ras tenaganya,” geram Desti.

“Yang tak kusukai adalah dia melarangku punya anak, Des. Alasannya ingin punya rumah dan mobil dulu, tapi aku tak pernah diberi tahu berapa jumlah tabungannya. Usiaku hampir tiga puluh tahun, nggak mungkin aku menunda lagi untuk punya anak. Jika dengan kehamilan ini Mas Ervan berubah, aku tak peduli dan sama sekali tak menyesali keputusanku. Jika dia tetap menolak anak ini, aku akan rawat dia sendiri.”

“Aku akan selalu mendukungmu, Ra.” Desti memeluk sahabatnya itu.

“Makasih kamu selalu ada di sampingku, Des,” ucap Rara, tulus.

“Kamu sarapan belum, Ra?” Desti melepas pelukan begitu mengingat hal tersebut.

Rara menggeleng, “nggak sempat, Des.”

“Ya, sudah. Aku ambilkan, kamu tunggu di sini! Mulai sekarang, kamu nggak usah ikut ke depan, ya. Cukup kerjakan bagianmu dan nggak boleh terlalu capek. Ingat kamu sedang hamil!”

“Siap, Bos!”

***

Sep**ang kerja, Ervan mendapati rumah sepi. Ia memutuskan untuk berbelanja sesuai perintah istrinya. Mau tak mau pria itu menerima semua syarat dari Rara. Tak ada jalan lain karena pasti akan lebih boros jika semuanya ia pegang sendiri.

Untuk sarapan dan makan siang tadi Ervan harus membeli dan tentu saja dengan jumlah u ang yang tak sedikit. Belum lagi jika harus laundry dan membersihkan rumah, entah berapa lagi bi aya yang dikeluarkan.

“Wahh … tumben Pak Ervan ke warung. Ada angin apa, nih?” celetuk penjual sayur serba ada, Mang Dudung.

Yang disapa hanya tersenyum kecut, enggan menimpali. Mang Dudung pun seketika diam mendapat respon dingin. Sedangkan Ervan, mulai awas melihat isi warung.

“Mang, saya minta ayam sekilo, yang paha. Nila sekilo sama udangnya juga sekilo. Tolong sekalian dibersihkan!”

“Siap, Pak Ervan!” Gegas pemilik warung memberi perintah anak buahnya sesuai permintaan pelanggan barunya itu. Mang Dudung pun segera menatap Ervan kembali, lalu bertanya, “ada lagi Pak Ervan? Sayurnya nggak beli juga?”

Ervan melihat stan sayuran segar di depan Mang Dudung. Berpikir sejenak apa yang ia ingin makan.

“Boleh, Mang. Kangkung, terong sama sayuran buat bikin sop, buat sambal tomat juga,” perintah Ervan sambil menggerakkan jari telunjuk ke arah sayuran yang dimaksud.

“Sudah, Pak. Ada lagi?”

“Sudah, Mang, tolong di nota, ya!” ujar Ervan sambil mengeluarkan selembar u ang biru dari dompetnya.

“Totalnya Rp 149.500, Pak,” jawab Mang Dudung beberapa saat kemudian.

Iris mata Ervan membesar seiring rasa terkejutnya. Tertegun lalu tersadar. Kenapa mahal sekali, batinnya.

“Mang, saya memang jarang belanja. Tapi yaa, jangan menaikkan harga seperti itu. Masak saya cuma belanja sedikit habisnya segitu?” protes Ervan kemudian.

“Maaf, Pak, justru karena jarang belanja pasti tidak tahu harga-harga sekarang. Kalau Bapak tidak percaya, tanya saja pada Ibu-Ibu di sini?” jawab Mang Dudung.

“Bener Mang Dudung, Pak Ervan! Memang segitu harganya. Makanya, Pak, kalau istri belanja ditanyain berapa harga kebutuhan sekarang, u ang belanjanya kurang atau tidak. Begitu!” sungut seseibu yang sedang memilih sayur.

“Ya, sudah,” jawab Ervan tak ingin malu. Lalu, ia merogoh dompet di kantong dan mengambil selembar u*ng merah. “Ini, Mang, jangan lupa kembaliannya,” ucap Ervan sambil memberikan lembaran itu.

“Hanya sisa 500 perak, Pak. Aku kasih penyedap, ya?”

“Nggak, u*ng saja. Walau cuma 500 juga berharga itu,” tolak Ervan, ketus.

Mang Dudung memberi koin 500 dan seketika Ervan pun meninggalkan warung setelah mengambil belanjaannya.

“Kelihatannya dia pelit, ya, Mang!” celetuk seseibu tadi.

“Memang, Bu. Istrinya saja sering cuma belanja tahu tempe di sini,” jawab Mang Dudung yang masih bisa didengar oleh Ervan.

“Bo*oh amat,” batin Ervan, tak peduli.

"Aku menginginkanmu, Mas…." Di depan sebuah kamar, Laura memeluk erat punggung pria yang ada di depannya. Pandangannya k...
29/09/2025

"Aku menginginkanmu, Mas…."

Di depan sebuah kamar, Laura memeluk erat punggung pria yang ada di depannya. Pandangannya kabur, sementara otaknya tidak bisa diajak bekerja sama. Alkohol yang ia tenggak beberapa saat lalu seolah telah melumpuhkan akal sehatnya.

Saat ini, ia hanya menginginkan kehangatan dan sentuhan.

"Laura, apa yang kau lakukan?!" Suara bariton pria dalam dekapannya itu terdengar menahan geraman. Tangannya yang besar dan kokoh berusaha melepas tangan Laura yang melingkari tubuh atletisnya.

"Aku sudah lelah menunggu, Mas!" seru Laura dengan suara serak, tak mau melepas dekapannya meski pria itu terus menolak.

Pria itu menyergah napas kasar, lalu menyentak tangan Laura hingga terlepas. "Hentikan, Laura!"

Bukannya menyerah, Laura justru mendorong tubuh kekar pria itu masuk ke dalam kamar.

Meski dalam pengaruh minuman keras, dia cukup mampu mengunci tubuh pria itu. Apalagi, ia tampak tidak mengantisipasi tindakan Laura sama sekali.

"Beri aku kehangatan, Mas," racau wanita itu lagi. Suaranya terdengar memohon sekaligus putus asa.

Di balik sikap beraninya itu, sepasang mata Laura justru menyiratkan kesedihan. Ia belum pernah mendapatkan nafkah batin dari suaminya yang selalu sibuk, hingga tidak ada waktu sedikit pun untuknya.

Dan malam ini, Laura sudah lelah menunggu. Ia ingin disentuh oleh suaminya. Laura bertekad melakukan apapun agar suaminya itu mau bercinta dengannya.

“Laura, kamu mabuk. Sadarlah…,” ujar David, pria itu, dengan suara tertahan. “Aku bukan....” Belum sempat melanjutkan kata-katanya, Laura sudah lebih dulu membungkam David dengan bibirnya.

Serangan bertubi-tubi membuat pertahanan David akhirnya roboh. Hasrat yang meronta untuk dipenuhi tak mungkin lagi bisa ditahan. Pria itu membawa tubuh mungil Laura ke atas tempat tidur.

"Jangan salahkan aku, Laura … kamu yang memaksaku!" ujar David menatap Laura dalam.

Laura mengangguk samar, lalu mengalungkan tangan di leher David.

Kini, pria itu yang memegang kendali. Di bawah kungkungannya, Laura tampak memejamkan mata, membiarkan David menyentuh titik-titik sensitif di tubuhnya.

Tubuh Laura tersentak saat gelenyar panas menyengatnya, membuat punggungnya melengkung. Kedua tangannya mencengkeram sprei dengan kuat kala merasakan sesuatu yang asing seolah hendak mengoyak inti tubuhnya.

Laura merintih. Bukan karena nikmat, melainkan karena rasa sakit yang membuat tubuhnya menegang.

David menghentikan gerakannya saat itu juga. "Kamu … masih perawan?"

Sepasang matanya membulat sempurna, terkejut sekaligus bertanya-tanya.

Laura mengangguk samar. Sementara David terlalu bingung, tidak tahu harus melakukan apa.

"Mas, ayo lanjutkan…." Rengekan Laura kembali terdengar. Ia menarik leher David agar mendekat, sekaligus untuk mencari kekuatan di sana.

Sudah alang tanggung, David melanjutkan lagi aktivitasnya. Ia melakukannya dengan hati-hati dan penuh kelembutan, hingga Laura bisa membiasakan dirinya.

Laura tidak lagi merintih. Kamar itu kini penuh dengan erangan dan desahan nikmat yang saling bersahutan. Laura sama sekali lupa dengan rasa sakit yang tadi ia rasakan.

Kini ia merasa penuh. Tidak hanya tubuhnya, tapi juga hatinya.

Akhirnya… ia bisa merasakan rasanya bercinta.

Tak hanya satu pelepasan, malam itu mereka terus berbagi peluh hingga Laura kehabisan tenaga dan jatuh tertidur dalam dekapan David.

Keesokan harinya, Laura membuka mata terlebih dahulu. Dia memegangi kepalanya yang terasa pening.

Kilatan aktivitas semalam mencuat, membuat wanita cantik itu mengembangkan senyuman.

Laura segera memeluk pria yang tengah membelakanginya, bahkan menyatukan kulit telanjang mereka di bawah selimut. Namun, ada yang berbeda dari suaminya itu.

Tangan Laura meraba-raba, menyusuri kulit hangat pria itu, hingga berhenti di perutnya yang sixpack.

Sebentar … tubuh suaminya tidak sekekar dan seatletis ini.

Laura bangun, menopang tubuhnya dengan sebelah tangan.

Benar saja! Terlihat dengan jelas jika warna kulit suaminya sangat berbeda.

Jantung Laura seketika berdetak satu tempo lebih cepat saat menyadari siapa pria yang terlelap di sebelahnya itu.

"Pak David?!"

Ternyata yang tidur bersamanya semalam bukan Rendra suaminya, melainkan … David … paman suaminya sendiri!

Kepala Laura seolah baru saja dihantam godam. "Tidak, tidak mungkin…." Laura menggeleng, tidak mau menerima kenyataan ini.

Karena salah mengambil minuman di acara reuni semalam, Laura p**ang dalam keadaan mabuk. Dan ketika melihat David, dia mengira itu adalah Rendra.

"Apa yang sudah kulakukan?" Air mata jatuh membasahi p**i Laura. Bibirnya turut bergetar saking takutnya.

Dengan hati tak karuan, Laura memakai pakaiannya kembali. Setelah itu dia keluar dengan rasa bersalah yang besar.

**

Di kamar mandi, Laura mengguyur tubuhnya di bawah pancuran shower.

Dia sungguh marah pada dirinya sendiri yang begitu bodoh dan ceroboh. Bagaimana bisa ia salah mengenali orang lain sebagai suaminya?!

Wanita itu terisak dengan keras, merasa jijik dengan tubuhnya sendiri. Mahkota yang seharusnya untuk Rendra, kini telah dia berikan kepada David.

Lantas bagaimana nanti jika Rendra sudah siap menyentuhnya, dan mendapati dirinya sudah tidak lagi suci?

"Maafkan aku Mas Rendra … maaf aku tidak bisa menjaga diri."

Selepas mandi, Laura duduk di depan meja rias. Bekas kecupan David di lehernya sangat banyak sehingga membuatnya jijik.

Tangannya berusaha menghapus jejak bibir pria itu. Namun, sekeras apapun dia mengusap lehernya, jejak itu tetap ada.

"Bagaimana jika Mas Rendra tahu?"

Rasa frustrasi datang menyerang dan Laura menangis kembali.

Saat itu, ia mendengar suara langkah mendekati kamar.

"Laura Sayang?"

Panggilan mesra itu membuat hatinya pilu. Buru-buru Laura menghapus air matanya lalu mengoles jejak merah keunguan di lehernya dengan alas bedak.

"Mas." Laura berdiri dengan menunjukkan senyuman manisnya saat seorang pria tampan dengan memakai jas lengkap berjalan masuk ke dalam kamar.

Dia mengambil tas jinjing yang dibawa Rendra lalu mencium tangan pria itu.

"Bagaimana perjalanan bisnisnya?" Laura menatap wajah lelah suaminya.

"Lancar, sayang. Minggu depan aku harus keluar negeri untuk mengurus proyeknya," ujar Rendra sambil tersenyum tipis.

Semenjak menggantikan posisi David sebagai CEO di perusahaan, Rendra memang terus bekerja keras. Bukan hanya demi perusahaan, tapi juga untuk memberi Laura hidup yang layak.

Laura jadi semakin merasa bersalah.

"Mas, kamu sudah sarapan?" Wanita itu kembali bertanya.

"Belum. Setelah aku membersihkan diri, kita turun sarapan ya." Rendra mengecup sekilas pucuk kepala istrinya, lalu masuk ke kamar mandi.

Laura terduduk lemas di kursi. Hatinya perih karena sudah mengkhianati suaminya.

"Maafkan aku, Mas…."

Bersambung...

"Aaaaaah.... emmmhh... ooohh!" #4“Abaang… ah… n4kal, ih…”Suara itu terdengar lirih dari dalam gudang, diiringi tawa keci...
29/09/2025

"Aaaaaah.... emmmhh... ooohh!"

#4

“Abaang… ah… n4kal, ih…”
Suara itu terdengar lirih dari dalam gudang, diiringi tawa kecil yang m4nja.

Tiba-tiba, di balik pintu, tampak seorang wanita sederhana berdiri terpaku. Ia mengintip dengan hati bergetar, lalu air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Tangannya gemetar, mencoba menutup mulut agar isaknya tidak terdengar.

Aku terbangun dari tidurku dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi pelipisku. Aku menatap langit-langit kamar, terasa kosong, namun hatiku bergemuruh.

“Mimpi…?” gumamku setengah tidak percaya. Bayangan sosok wanita dalam mimpi masih begitu jelas, tatapannya, tangisnya, bahkan suara lirih terasa begitu nyata.

Aku mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, mencoba menepis perasaan itu, tapi justru semakin menyesakkan. Ada sedih yang sulit dijelaskan, seolah mimpi itu bukan sekadar bunga tidur… melainkan sebuah pertanda.

***

“Ya ampun, ngapain kamu pindah ke Desa Rantau Panjang? Segitu patah hatinya kamu, Dika? Perempuan di Medan ini kan banyak. Nanti Mama kenalkan sama anak teman-teman Mama.”

“Kapok sama cewek Medan, Ma. Kebanyakan matre. Walaupun ga semua sih. Nanti ditikung lagi sama anak pejabat,” ucapku malas.

Aku masih geram mengingat kejadian seminggu lalu. Tunanganku, Selena, ketahuan check in dengan anak salah satu anggota DPRD. Tanpa pikir panjang, aku langsung memutuskan pertunangan itu. Gila saja kalau aku mau meneruskan hubungan dengan b3tina centong nasi seperti dia.

“Loh, jadi kamu mau cari jodoh di mana? Nggak semua cewek Medan kayak Selena itu. Masih banyak yang baik, Nak.”

“Nggak semua sih, Ma. Tapi untuk sementara, Dika nggak mau mikir ke arah sana dulu. Dika mau serius mengurus lahan sawit kita di Rantau Panjang dan Riau. Setelah tiga bulan di Rantau Panjang, baru Dika ke Riau. Lagian Papa juga sudah sakit-sakitan. Jadi, Dika yang harus bertanggung jawab. Kita nggak boleh sembarangan percaya sama orang,” ucapku meyakinkan Mama.

“Ya, Mama senang kalau kamu mau mengurus lahan sawit keluarga. Biar bagaimanapun, itu milikmu setelah Papa dan Mama nggak ada. Tapi hati-hati ya, Nak. Jangan sampai terg0da dengan g4dis desa. Mama takut karena patah hati, kamu malah cari pelarian sama per3mpuan di sana,” ucap Mama mewanti-wanti.

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Mama. Lagi p**a, lebih baik g4dis desa yang sederhana daripada g4dis kota yang hanya bikin sakit kepala.

Aku sudah bosan dengan perjalanan cintaku bersama per3mpuan kota.Ada yang matrenya naudzubillah, baru jadian sehari sudah minta dibelikan iPhone keluaran terbaru. Tidak tanggung-tanggung, ia meminta tiga iPhone sekaligus.

Ada p**a yang pergaulannya bebas, tiap malam dugem dan m4buk terus, dia mengatakan kalau dirinya ratu party di kota Medan. Dan yang terakhir, Selena, ketahuan selingkuh dengan anak pejabat.

Tapi jujur saja, aku ke Desa Rantau Panjang memang benar-benar ingin mengurus lahan sawit, bukan untuk memikirkan jodoh. Toh usiaku masih 27 tahun. Menikah di umur 30 atau bahkan 40 pun tidak masalah. Aku lelaki, berbeda dengan wanita.

Dengan menumpang bus malam, aku menuju Desa Rantau Panjang. Mama sebenarnya menyarankan agar aku membawa mobil dan ditemani sopir, tetapi aku menolak. Ada misi tersembunyi yang ingin aku jalankan. Bahkan, aku sempat berpesan kepada Mama agar tidak memberi tahu Pak Udin mengenai kedatanganku.

Sesampainya di Desa Rantau Panjang, aku berpura-pura menjadi tukang dodos di lahanku sendiri. Semua itu kulakukan demi memantau kerja Pak Udin. Setahun belakangan, pendapatan dari lahan sawit keluarga kami turun drastis. Yang awalnya bisa mencapai dua ratus juta rupiah setiap panen, kini merosot hingga hanya seratus lima puluh juta. Alasannya selalu sama, harga buah turun, musim kemarau, dan berbagai dalih lainnya.

Papa sudah terlalu tua, tidak segesit dulu. Apa pun yang dikatakan orang kepercayaannya, ia percaya begitu saja, meskipun kadang jelas ada kejanggalan dan sekarang tugaskulah sebagai anak untuk memantau dan menyelidiki ini semua.

“Kak, ada sarapan apa?” tanyaku di warung yang berada di persimpangan jalan desa ini.

“Ada lontong sayur dan nasi uduk, Bang,” ucapnya ramah. Aku pun memesan nasi uduk. Pagi ini adalah hari pertamaku berpura-pura menjadi tukang dodos. Sebelum jam delapan, aku sudah harus sampai di lahan, sesuai pesan Pak Udin semalam.

“Abang tukang dodos di lahan PTPN atau di mana?” tanya penjual warung itu sambil menata piring.

“Di lahan Pak Ahmad,” jawabku sekenanya. Aku tak ingin banyak bicara, khawatir kalau g4dis ini bersikap genit seperti g4dis desa yang kutemui kemarin. Lagi p**a, aku sedang menikmati nasi uduk yang rasanya sungguh lezat. Tak kusangka, di warung kecil ini ada sarapan selezat ini—tidak kalah dengan nasi uduk di Medan yang sedang viral dan kerap dikunjungi artis.

“Bang, lahan Pak Ahmad itu kan melewati jalan afdeling. Di sana tidak ada warung nasi. Abang mau mendodos tapi tidak bawa bekal dan minuman?” ucapnya.

Benar juga kata g4dis itu. Aku memang tidak kepikiran. Maklumlah, aku bukan tukang dodos sungguhan, jadi tidak tahu perlengkapan apa saja yang seharusnya dibawa.

“Oh, iya juga ya,” sahutku agak kebingungan. G4dis itu hanya tersenyum sopan.

Namun saat hendak memb4yar, mendadak aku panik. D0mpetku entah di mana. Ya Tuhan, bagaimana bisa sampai tertinggal? Aku merutuki diri sendiri, bingung mencari alasan di depan penjaga warung ini.

“Maaf, Kak, d0mpetku ketinggalan. Besok aku janji akan b4yar,” ucapku meyakinkan dengan wajah menahan malu.

“Tidak apa-apa, Bang. Besok-besok kalau lewat sini lagi baru b4yar. Ini sekalian saya bawakan bekal makan siang dan air minum. Kasihan nanti Abang capek-capek mendodos siang bolong tanpa bawa bekal,” ucapnya tulus, tanpa sedikit pun gurat g3nit di wajahnya.

“Lagian, tidak b4yar juga tidak apa-apa, Bang. Kebetulan setiap Jumat saya memang berniat bersedekah. Ya, kebetulan saja kali ini ada Abang yang sedang kesusahan. Tidak ada salahnya saya bersedekah Jumat dengan Abang,” tambahnya lagi.

Aku menelan ludah. Dia… bersedekah padaku? Ya ampun, malunya diriku. Tapi ternyata penyamaranku tidak sia-sia juga. Kaos lusuh milik Pak Warno, sopir keluargaku, kaos partai dengan warna yang sudah pudar, ternyata berhasil menunjang penampilanku sebagai tukang dodos.

G4dis penjual warung ini benar-benar iba padaku. Mungkin ia mengira alasanku soal dompet yang tertinggal hanyalah kebohongan.

Malam itu aku p**ang cukup larut karena ladang sedang panen. Aku menunggu hingga proses penimbangan selesai agar tahu berapa hasilnya, apakah sesuai dengan laporan yang akan Pak Udin sampaikan nanti kepada Papaku. Setelah ditotal, hasil bersih dan setelah dipotong biaya panen mencapai 213 juta. Aku ingin tahu, berapa angka yang akan dilaporkan Pak Udin kepada Papa.

Aku p**ang dengan menumpang motor Eko-pemuda setempat yang berprofesi tukang dodos juga. Namun, entah kenapa, motornya ngadat ketika hampir sampai di tempat tinggalku.

“Kenapa, Ko?” tanyaku.

“Enggak tahu nih, mogok, hehe. Maklum motor butut,” jawabnya santai. Lalu ia menyarankan agar aku berjalan kaki saja karena rumah tempatku tinggal tidak terlalu jauh lagi.

“Dika, kalau mau cepat, lewat saja gang di ujung situ. Nanti ada kebun, kamu lurus saja, sampai deh di rumah Bu Salmiah,” ucap Eko memberi jalan pintas.

Karena tu-buhku sudah terlalu lelah dan ingin segera membersihkan diri lalu beristirahat, aku pun mengikuti saran Eko.

Aku melewati kebun yang cukup gelap. Namun, tiba-tiba saja seorang w4nita menabrakku. Aku kaget, dia pun sama terkejutnya.

“Tolong! Tolong aku, dia mau berbuat jahat padaku!” teriaknya sambil menggenggam lenganku erat-erat.

Tak lama kemudian, seorang lelaki datang, disusul oleh beberapa warga yang berdatangan. Anehnya, pria brengs3k itu malah menuduh aku dan perempuan itu berbuat m3sum. Rasanya ingin sekali aku menon-jok wajah begundal kampung itu karena saking emosinya. Lebih parah lagi, warga justru tidak mau mendengarkan penjelasan per3mpuan itu. Kasihan benar dia, sudah ketakutan, malah difitnah p**a.

Yang lebih gila lagi, beberapa warga menyarankan agar aku dan perempuan itu dinikahkan saja karena dianggap telah berbuat yang tidak-tidak. Buset! Kenal saja tidak, masa tiba-tiba main menikahkan begitu saja?

Akhirnya, aku dan perempuan itu dibawa masuk ke dalam sebuah rumah untuk disidang.

Saat melangkah masuk yang entah rumah siapa, aku menoleh ke arah perempuan itu. Betapa kagetnya aku ketika menyadari bahwa ia adalah penjual warung yang pernah memberiku sedekah Jumat. Ia hanya tertunduk, air matanya jatuh berurai. Hati ini terasa iba melihatnya. Ia dipo-jokkan, dih!na, padahal jelas terlihat ia wanita baik-baik.

Ketika ia mencoba meminta pembelaan pada ayahnya, justru tamp4ran ker4s mendarat di p**inya hingga ia tersungkur ke lantai. Ya Allah, mereka ini manusia atau bin4tang? Begitu teganya mereka memperlakukan kasar pada perempuan manis berhati mulia itu.

Tak tega rasanya, aku pun menghampiri dan menyentuh bahunya, berusaha meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.

“Kau harus menikahi anakku!” ucap ayah perempuan itu lantang.

“Betul! Kalian memang harus menikah. Pas sekali, yang satu penjaga warung, yang satu lagi tukang dodos. Pasangan serasi, bukan?” ucap begundal kampung yang ingin menodai w4nita penjaga warung itu dengan nada mengejek. Aku menatapnya t4jam. Sekaya apa sih dia?

“Hei, tukang dodos! Ingat, ya, setelah menikah jangan tinggal di rumah ini. Bawa istrimu ke gubuk reotmu!” sindir seorang wanita tua dengan nada t4jam. Sejak tadi matanya tak pernah lepas memandang penuh keb3ncian pada penjaga warung itu.

Wanita malang itu hanya bisa menangis tersedu-sedu. Air matanya mengalir deras, bahunya bergetar hebat. Wajahnya tertunduk, seakan menanggung beban dunia seorang diri.

Entah mengapa, hatiku begitu terenyuh melihatnya. Ada perasaan tidak asing yang menyeruak, perasaan ingin melindungi, perasaan ingin berdiri di sisinya.

Apa benar aku harus menikahinya?

Address

Central Jakarta

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Nita Syafira I posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share