22/03/2025
Revisi Undang-Undang TNI ini secara keseluruhan justru tidak menyentuh mandat reformasi terhadap TNI yaitu reorganisasi struktur teritorial. Masyarakat sipil telah belajar banyak dari sejarah rezim Orde Baru dan sistem komando teritorialnya. Sistem ini dipertahankan sebagai basis kekuatan angkatan bersenjata di daerah-daerah, yang memungkinkan mereka untuk mengakses sumber-sumber ekonomi di akar rumput (berhadapan dengan rakyat) dan mempertahankan peran mereka sebagai pemain penting dalam politik lokal. Ini memungkinkan militer untuk mengakses pendanaan ilegal di luar APBN. Menciptakan negara di dalam negara, dan revisi UU TNI menguatkan upaya tersebut. Penguatan dwi-fungsi ini berbarengan dengan penambahan Komando Daerah Militer (Kodam) yang awalnya 15 menjadi 37, serta pembangunan 100 Batalion Teritorial Pembangunan. Revisi Draf RUU TNI juga bertentangan dengan hasil rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), dan instrumen Hak Asasi Manusia Internasional seperti Statuta Roma dan Convention Against Torture (CAT). Dalam rekomendasi ICCPR Pasal 25, Indonesia harus menjamin partisipasi publik dalam seluruh pengambilan keputusan. Kurangnya partisipasi publik ini juga bertentangan dengan rekomendasi UPR tahun 2022, dimana pemerintah berjanji untuk meningkatkan dialog yang inklusif dengan masyarakat sipil, lembaga hak asasi manusia, serta pemangku kepentingan lainnya. Dalam UPR tahun 2022, Indonesia juga mendapatkan rekomendasi untuk tidak melibatkan TNI dalam proyek atau bisnis (Business and Human Rights Issue). Tidak hanya itu, Special Rapporteur PBB juga telah beberapa kali memberikan peringatan terkait keterlibatan TNI dalam berbagai proyek PSN di Indonesia. Pembahasan yang terburu-buru ini juga menunjukkan tidak konsistennya pemerintah dalam forum-forum HAM Internasional. Ketiadaan mekanisme pencegahan penyiksaan dalam operasi militer dalam draf revisi tersebut mengabaikan kewajiban Indonesia dalam CAT. Rancangan revisi UU TNI yang melindungi pelaku pelanggaran HAM berat tersebut bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk segera meratifikasi Statuta Roma ICC sebagaimana dijanjikan dalam UPR 2017. Alhasil, kehadiran militer hari ini akan membahayakan supremasi sipil, demokrasi dan hak asasi manusia di satu sisi, di sisi lain melanggengkan praktek bisnis dan intervensi kehidupan politik. Sekarang, rakyat Indonesia hanya memiliki dua pilihan: kembali ke zaman kegelapan itu, atau dengan lantang meneriakkan "Jangan terulang! Pukul balik militerisme!".
By Instagram: