Artikel Santri At-Taqwa

Artikel Santri At-Taqwa Kumpulan Artikel Santri Pesantren At-Taqwa Depok

Inilah Empat Sifat dalam Manusia: Kendalikan atau Binasa!Oleh: Muhammad Ihsan Maulana(Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depo...
22/09/2025

Inilah Empat Sifat dalam Manusia: Kendalikan atau Binasa!

Oleh: Muhammad Ihsan Maulana
(Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 17 tahun)

Manusia adalah salah satu ciptaan Allah Swt yang paling mulia dibanding ciptaan lain. Namun tidak otomatis, melainkan sejauh mana manusia mampu mengenal dan mengendalikan dirinya.
Sebab dalam diri manusia Allah satukan empat jenis sifat:

Pertama sifat hewan ternak(البهائم), yang mendorong untuk makan, minum, tidur dan kebutuhan jasmani lainnya. Kedua sifat hewan buas(السبع), yitu dorongan amarah, membunuh, memukul menyakiti dan puas ketika dapat mengalahkan lawannya. Inilah sumber sifat bengis dan s**a bertengkar.

Ketiga sifat setan (الشياطين), yaitu dorongan pada perbuatan licik, menipu, korupsi dan lain sejenisnya. Terakhir sifat malaikat(الملائكة), sifat yang membawa diri manusia taat beribadah kepada Tuhannya.

Inilah 4 sifat yang Allah satukan dalam diri manusia. Tugas manusia adalah mengendalikan sifat-sifat tersebut agar tidak dikuasai oleh tiga sifat pertama, melainkan dituntun oleh sifat malaikat

Manusia: Ruh atau Jasad?
Kata imam al-Ghazali, manusia memiliki 2 unsur, yaitu ruh dan jasad. Esensi manusia sebenarnya terletak pada ruhnya, “al-Ruhu haqiqatu jauharika!” begitu kata imam al-Ghazali. Adapun jasad ia layaknya ‘orang asing’ yang sedang menumpang dan singgah.

Buktinya, ketika seseorang merasa bahagia, yang benar-benar merasakan adalah jiwanya, bukan jasad luarnya. Jasad hanya sarana, sementara ruh adalah inti dan esensi. Karenanya, diri kita adalah amanah dari Allah. Kita wajib mengenal diri kita masing-masing dengan sebenar-benarnya. Sebab hal itu akan membawa kita kepada Sang Pencipta.

Nutrisi Empat Sifat
Keempat sifat dalam diri manusia membutuhkan “nutrisinya” masing-masing. Sifat hewan ternak bahagia dengan makan, minum, tidur, nikah dan sifat lainnya yang hanya membawa nafsu sementara.

Sifat hewan buas puas saat memukul, membunuh, atau menjatuhkan lawannya. Sifat setan senang dengan tipu daya, kelicikan, kecurangan dan kejahatan tersembunyi. Sifat malaikat menemukan kebahagiaan ketika bisa melihat atau menyaksikan keindahan keberadaan Tuhannya, tidak ada jalan untuk masuk sifat yang lainnya pada sifat malaikat.

Keempat sifat ini membersamai manusia setiap harinya. Sudah semestinya kita mengendalikan diri dengan keempat sifat yang Allah satukan dalam manusia. Jika tidak mampu mengendalikannya, khususnya tiga pertama, maka manusia akan jatuh hina bahkan terjadi bencana.

Rasulullah Saw kelak akan mengenali umatnya pada hari kiamat melalui bekas wudhu yang memancar cahaya di wajah mereka. Namun ada manusia yang tidak dikenali oleh beliau, meski berada di hadapan beliau, sebab wajah mereka telah diubah oleh Allah menjadi wajah binatang—karena di dunia mereka hidup dengan sifat kebinatangan.

Maka jangan biarkan diri kita jatuh lebih rendah dari binatang atau bahkan lebih hina dari setan. Jadikan diri kita mulia dengan sifat malaikat, sehingga lebih tinggi daripada makhluk manapun, dan dekat dengan Allah Swt.

Wallahu a’lam bis Showab

(Catatan pelajaran “Akhlak” kitab Kimyaus Sa’adah bersama Dr. Muhammad Ardiansyah pada Kamis, 18 September 2025)

Peradaban Islam Dulu Maju Karena Ilmu, Sekarang? Oleh: Muhammad Azmi Balapradana (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 1...
22/09/2025

Peradaban Islam Dulu Maju Karena Ilmu, Sekarang?

Oleh: Muhammad Azmi Balapradana
(Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)

Jika ada pertanyaan: kapan Islam mencapai masa kejayaan ilmu pengetahuan? Umumnya, kita akan menjawab masa Daulah Abasiyyah. Kata pakar Sejarah Peradaban Islam, Dr. Alwi Alatas, di masa itu, Islam benar-benar sedang “naik daun” bahkan menginspirasi peradaban lain.

Kalau pada masa kepemimpinan sahabat seperti Umar Bin Khatab kita dikenalkan dengan berbagai banyak ekspansi dalam bentuk peperangan dan penaklukan, maka pada masa Abasiyyah kita akan dikenalkan ekspansi dalam bentuk ilmu pengetahuan.

“Pada masa itu ilmu pengetahuan sedang berkembang luar biasa dan menjadi ciri khas dari tanda kemajuan peradaban tersebut,” jelas Ustadz Alwi.

Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan ilmu pengetahuan di masa itu berkembang sehingga menjadi fondasi bagi kebangkitan Peradaban Islam.

Pertama, banyaknya ilmu yang diwariskan oleh para ulama-ulama terdahulu sehingga semakin melimpah ruah.

Kedua, banyaknya sumber daya manusia yang dikerahkan untuk menjaga dan melanjutkan warisan ilmu-ilmu tersebut sehingga mampu mengkader para ulama dan ilmuwan.

“Faktor tersebutlah yang menjadikan masa Abasiyyah unggul dalam bidang ilmu, baik yang bersifat ukhrawi maupun yang duniawi,” ujar Ustadz Alwi.

Salah satu potret yang menunjukkan kemajuan ilmu agama pada masa Abasiyyah adalah banyaknya madzhab fiqih yang berkembang. Kala itu, ilmu ushul fiqih juga berkembang pesat.

Bahkan pada masa itu Fiqh bukan sekedar menjadi ilmu pengetahuan belaka, akan tetapi sampai menjadi identitas dari tiap-tiap individu. Ketimbang menyebutkan suku atau ras, masyarakat lebih sering menggunakan sebutan Madzhab atau Thariqat.

Peradaban Islam saat itu juga unggul dalam hal ilmu duniawi. Hal yang paling fenomenal dan menjadi tanda atas keunggulan tersebut adalah terciptanya angka “nol” (0) oleh seorang tokoh Muslim Bernama Al-Khawarizmi.

Kemunculan angka 0 mampu memberikan banyak manfaat kepada bidang keilmuan yang lain seperti matematika. Ia pun juga menjadi fondasi penting bagi ilmu “coding” yang saat ini mulai dianjutkan untuk dipelajari.

Potret lain yang menjadi bukti atas unggulnya masa Abasiyyah dalam keilmuan dunia adalah munculnya banyak pakar bedah, salah satunya adalah sang “bapak bedah”, Al-Zahrawi. Ia menciptakan bermacam-macam alat bedah juga beserta panduan membedah.

Hal ini pun diikuti juga dengan lahirnya rumah sakit modern yang mampu menyaingi rumah sakit rumah sakit lainnya. Rumah sakit Islam pada masa itu jauh lebih higienis dan akurat dalam pengobatannya ketimbang rumah sakit yang dimiliki oleh Barat.

Di sisi lain, banyaknya minat Masyarakat terhadap ilmu inilah yang akhirnya menjadi faktor terlahirnya banyak lembaga-lembaga pendidikan seperti Kutab dan Madrasah. Lembaga-lembaga itu tersebar di Ibu kota (Baghdad) dan banyak kota lainnya seperti Madinah, Kairo, Naisabur, dan Damaskus.

Begitulah Peradaban Islam di masa itu bisa maju, karena ilmu. Melalui fakta-fakta semacam itu kita dapat menarik pelajaran bahwa kalau Peradaban Islam sekarang hendak mengembalikan masa kejayaannya, maka orang-orangnya harus semangat dalam menumbuhkan budaya ilmu.

(Catatan pelajaran “Sejarah Peradaban Islam” bersama Dr. Alwi Alatas 12/09/2025)

INILAH KEUTAMAAN ILMU DALAM ISLAMAtha Mirza dan Ariq Ashim (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 tahun) Masuk pada pe...
22/09/2025

INILAH KEUTAMAAN ILMU DALAM ISLAM

Atha Mirza dan Ariq Ashim
(Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 tahun)

Masuk pada pembahasan pertama kitab Ihya’ Ulumidiin, yaitu kitab al-‘ilm. Di dalamnya imam al-Ghazali membagi menjadi tujuh bab. Pada Kamis, 11 September kemarin kami mulai mengkaji bab pertama yaitu tentang keutamaan ilmu dan orang yang berilmu.

Keutamaan Ilmu

Imam al-Ghazali memulai dengan bab keutamaan ilmu. Dalam Islam, ilmu memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Sehingga, orang yang menuntut ilmu akan memiliki derajat yang tinggi p**a. Dalam hal ini Allah sendiri yang telah menegaskan dalam firman-Nya,

“Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, (Allah) yang menegakkan keadilan. (Demikian p**a) para malaikat dan orang berilmu. Tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Qs. Ali Imran: 18)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa penuntut ilmu (ahli ‘ilmu) memiliki kedudukan yang tinggi. Sebab, Allah memulai penyebutan dengan diri-Nya, kemudian para malaikat, dan selanjutnya menempatkan orang-orang berilmu. Urutan ini menunjukkan betapa mulianya kedudukan ilmu dan penuntut ilmu dalam pandangan Allah

Demikian juga dalam firman-Nya di Surat Ar-Ra’ad ayat 43: “Katakanlah: Cukuplah Allah dan orang yang menguasai ilmu al-Kitab menjadi saksi antara aku dan kamu”

Ayat ini kembali menegaskan kedudukan tinggi orang yang berilmu, bahkan Allah menyebut mereka cukup untuk menjadi saksi kebenaran.

Allah Mengangkat Derajat Orang Berilmu

Al-Quran mengabarkan bahwa “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (Qs. Al-Mujadalah: 11)

Kata “darajat” dalam ayat ini berbentuk jamak muanats salim yang minimal menunjukkan tiga dan tidak batas maksimalnya. Artinya, derajat orang berilmu Allah angkat setinggi-tingginya.

Ibnu abbas kemudian menambahkan, bahwa derajat seorang ulama akhirat lebih tinggi daripada seorang mu’min biasa. Sebab orang mu’min hanya beribadah untuk kebaikan dirinya. Sedangkan ulama akhirat fokus menebar manfaat untuk orang lain, membimbing umat, mengajarkan ilmu tidak hanya memperoleh kebaikan untuk dirinya.

Diriwayatkan, derajat ulama akhirat ialah 700 derajat, dan jarak tempuh lamanya dari derajat satu hingga dua ialah 500 tahun. Riwayat ini tentu tidak mungkin diada-adakan, melainkan bersumber dari Rasulullah

Ayat itu juga menjelaskan bahwa standar kemuliaan bukan pada aspek materi. Sebab jika demikian, maka bagaimana dengan orang miskin? Padahal banyak orang dari kalangan miskin memilki ilmu yang sangat mulia. Banyak dari kalangan kita, khususnya ulama klasik, yang tidak memiliki materi yang besar bahkan tidak punya, tapi mereka memiliki berbagai disiplin ilmu.

Keutamaan ilmu lainnya ada pada firman Allah Swt: “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Qs. Az-Zumar: 9)

Banyak yang keliru karena mengira Allah benar-benar bertanya antara orang yang berilmu dan orang yang tidak memiliki ilmu. Padahal ini pertanyaan retoris (istifham inkari) yang artinya sebuah penegasan bahwa tidak sama kedudukan orang yang berilmu dan yang tidak

Imam al-Ghazali juga mengutip firman Allah tentang kisah Nabi Sulaiman: “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab: ‘Aku akan mendatangkannya kepadamu’...” (Q.S. An-Naml: 40)

Konteks ayat ini adalah ketika Nabi Sulaiman meminta agar singgasana Ratu Balqis dipindahkan ke hadapannya. Seorang jin ifrit yang kuat menawarkan diri untuk melakukannya sebelum Nabi Sulaiman bangkit dari tempat duduknya. Namun, Asif bin Barkhiyā – seorang ahli ilmu dari kalangan manusia – berkata mampu mendatangkannya lebih cepat, bahkan sekejap mata dengan izin Allah.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa kekuatan ilmu lebih unggul daripada kekuatan fisik jin. Dengan izin Allah, Asif dapat melakukan sesuatu yang jin perkasa sekalipun tidak mampu lakukan.

Dari ayat-ayat dan kisah di atas, Imam al-Ghazali menyimpulkan bahwa ilmu adalah sumber kemuliaan yang sejati. Orang yang berilmu: Disebut sejajar dengan malaikat dalam persaksian tauhid, diangkat derajatnya berlipat-lipat tanpa batas, menjadi saksi kebenaran bersama Allah bahkan diunggulkan dari kekuatan fisik Jin.

(Resensi materi kuliah Reading Text Ihya’’Ulumiddin sesi-5 bersama Dr. Muhammad Ardiansyah pada Kamis, 11 September 2025)

Imam Al-Ghazali: Kenali Betul Diri Sendiri, Niscaya Kenal AllahHisyam Ahmad Fahreiza (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depo...
16/09/2025

Imam Al-Ghazali: Kenali Betul Diri Sendiri, Niscaya Kenal Allah

Hisyam Ahmad Fahreiza
(Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)

Dalam kitab Kimiyā’us Sa’ādah Imam al-Ghazali membahas satu pasal tentang “mengenal diri” (ma’rifat an-nafs). Menurutnya, hal ini ialah jalan seorang hamba untuk mengenal Allah (ma’rifatullah), sebagaimana firman Allah:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar…” (Qs. Fushilat: 53).

Seseorang yang mampu mengenal dirinya hanyalah ia sendiri. Hal itu karena dialah yang paling dekat dengan jiwanya. “Jika kalian tidak mengenal diri sendiri, lantas bagaimana mau mengenal tuhan kalian?” catat imam al-Ghazali. Karenanya mengenal diri bukan perkara sepele. Sebab itu mengantarkan pada marifatullah!

Sayangnya, hari ini banyak orang yang mengenal dirinya hanya sebatas jasad, seperti tangan, kepala, kaki, dan tubuhnya. Pandangan ini umumnya kita temukan dalam Peradaban Barat yang sekular dan materialis, membuat mereka gagal memahami hakikat manusia.

Mereka terlalu terpaku dengan hal yang fisik, termasuk terhadap wujud manusia. Ketimbang ruh atau jiwa manusia, mereka hanya terpaku kepada raga atau fisiknya. Akhirnya kebutuhan manusia hanya dibatasi pada tiga hal: sandang, pangan, papan.

Padahal manusia bukan hanya terdiri dari jasad. Ia juga terdiri dari jiwa yang juga membutuhkan asupan dan perhatian. Bahkan dalam Islam, kebutuhan jiwa jauh lebih penting ketimbang kebutuhan jasad. Dengan itu kebutuhan manusia bisa tercukupi secara sempurna seluruhnya.

Imam al-Ghazali membuktikan secara rasional tentang keberadaan jiwa dalam diri manusia. Dalam kitabnya ia mengatakan “Jika kamu marah, kamu mencari musuh, jika kamu lapar kamu mencari makan.” Dari perkataan tersebut dijelaskan bahwa letak marah, lapar, dan lainnya tidak dapat terlihat secara fisik namun terletak dalam jiwa. Artinya keberadaan jiwa itu nyata!

Tetapi kebutuhan jiwa yang disebutkan itu memiliki kesamaan dengan binatang. Seseorang harus mampu mengenali dirinya lebih jauh, dalam arti melampaui sifat hewani. Tidak hanya mengenali jasadnya secara fisik, namun juga batinnya secara mendalam.

Maka Imam al-Ghazali mengatakan “seseorang harus mengetahui hakikat dirinya sendiri, sampai ia tahu siapa dirinya, dari mana ia berasal, mengapa ia ada di dunia, untuk apa diciptakan, dengan apa ia bahagia, dan dengan apa ia celaka.”

Pertanyaan-pertanyaan mendasar inilah yang menuntun manusia menemukan jati dirinya. Ketika seseorang mampu mengenal hakikat dirinya sendiri, asal-usulnya, tujuan penciptaannya, dan jalan kebahagiaannya, maka ia pun akan mengenal siapa Tuhannya.

(Catatan mata kuliah “Akhlak” dengan kitab Kimya Al-Sa’adah bersama Dr. Muhammad Ardiansyah pada Kamis, 11 September 2025)

Meneladani Nabi untuk Memperbaiki DiriOleh: Adzkia Afifah Effendi(Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 tahun)Ustadz A...
14/09/2025

Meneladani Nabi untuk Memperbaiki Diri

Oleh: Adzkia Afifah Effendi
(Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 tahun)

Ustadz Ahmad Damsah Nasution, pada acara Maulid Nabi (5/9/25) di Pesantren At-Taqwa Depok, mengenalkan sosok agung Nabi Muhammad melalui kitab “Itmam al-Ni’mah al-Kubra ‘ala al-‘Alami bi Maulidi Sayyidi Waladi Adam” karya Ibnu Hajar al-Haytami. Kitab kecil itu dikhatamkan saat itu juga.

Ustadz Damsah juga menyinggung tentang keteladanan yang abadi dan sempurna dari Rasulullah bagi para umatnya, yang tersirat dalam kitab tersebut. Menurutnya, di antara contoh keteladanan Nabi:

Pertama, senantiasa berbangga dan menaruh hormat terhadap pendahulu-pendahulu kita sebagai bentuk kesetiaan. Rasulullah sangat berbangga, menghormati dan menyayangi pendahulu-pendahulunya. Sebagaimana dalam beberapa Hadits, beliau menyebut dirinya dengan “ibnu Abdullah,” “ibnu Abdul Muthalib,” “ibnu Hasyim,” dan semacamnya.

Selain itu, Ustadz Damsah juga menjelaskan bahwa kakek dan Nenek moyang Nabi terlahir dari manusia manusia suci mulai sejak Nabi Adam dan Hawa hingga Abdullah bin Abdul Mutthallib dan Aminah. Rasulullah SAW bersabda:

لم أزل أنقل من أصلاب الطاهرين الى أرحام الطاهرات

“Senantiasa aku dipindahkan dari sulbi yang suci kepada rahim yang suci juga.”

“Ayah Nabi, Abdulullah bin Abdul Mutthalib, pun sempat menjadi sosok rebutan wanita Quraiys kala itu. Bahkan ada seorang dukun wanita menawarkan dirinya rela berzina dengan Abdullah lantaran mengetahui ia bakal menjadi sosok ayah dari Nabi pemimpin alam semesta. Tapi Abdullah menolak meski diberikan tawaran unta seratus onta. Hal ini menunjukkan betapa sucinya sosok Abdullah dalam menjaga dirinya,” tutur Ustadz Damsah.

Kedua, tidak pernah berpangku tangan pada garis keturunan. Rasulullah SAW memang terlahir dari nasab yang terhormat. Namun, hal itu tidak menjadikan beliau merasa paling hebat sehingga tidak mengusahakan apa-apa. Beliau dihormati bukan karena garis keturunannya, beliau dihormati karena perangai dan akhlaknya.

Selain hal-hal yang telah disebutkan, tentu masih banyak sekali teladan Rasulullah SAW bagi para umatnya. Meneladani Rasulullah bisa dilakukan oleh kaum muslimin sepanjang waktu. Karena, segala hal yang dilakukan oleh beliau selalu dapat dijadikan pedoman. Mulai dari cara bersosial, beribadah, belajar, dan lain sebagainya.

“Karena kesempurnaan beliau, kata Ibnu Hajar, siapa pun yang berusaha untuk meniru beliau, tidak akan ada yang bisa persis sepertinya,” jelasnya.

Ketika Agama Jadi Eksperimen: Catatan Tentang Kristen di BaratOleh: Farras Zahy Putra Satriawan(Santri SMA Pesantren At-...
13/09/2025

Ketika Agama Jadi Eksperimen: Catatan Tentang Kristen di Barat

Oleh: Farras Zahy Putra Satriawan
(Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 tahun)

Berbicara mengenai arus sekularisme dan sekularisasi di dunia, tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kristianitas di Eropa. Sebab inilah dianggap sebagai awal sekaligus sebab dari lahirnya wajah baru dari “agama modern” Barat. Sebagaimana diketahui, sekularisme merupakan salah satu respons dari penerapan sistem hierarkis dan otoriter Gereja pasca runtuhnya Kekaisaran Romawi barat pada 476 Masehi.

Dalam menyikapi tantangan ini, otoritas Kristen di Eropa melakukan upaya “rekonsiliasi terselubung” dengan kaum sekular. Mereka berusaha menafsirkan sekularisasi sebagai salah satu ajaran Alkitab (Bible). Meskipun tidak bisa dinafikan bahwa sebagian tokoh Kristen Eropa berupaya melakukan resistansi terhadap Kristen, tanpa adanya konsiliasi. Misalnya gagasan de-Hellenisasi oleh Adolf von Harnack, meski pada akhirnya justru menjerumuskan umat Kristen pada paradoks baru.

Dalam Islam and Secularism, Prof. al-Attas menyatakan bahwa, otoritas Kristiani di Eropa telah menghilangkan sakralitas ajarannya sendiri. Ia mengibaratkan Kristen seperti taman kanak-kanak (childish and kindergarten). Analogi ini lahir dari kenyataan bahwa Kristen dipandang sebagai “anak kecil” yang hidup di tengah “lingkungan dewasa” bernama masyarakat sekular Barat (western Secular society). Agar bisa bertahan, anak itu harus mengikuti pola hidup lingkungannya, termasuk dalam konsep ketuhanan.

Berpijak dari filsafat Yunani, otoritas Kristen mencoba merumuskan ulang doktrin Trinitas. Menggunakan sintesa dari fenomenologi Edmund Husserl, eksistensialisme Martin Heidegger dan pemikiran dari beberapa cendekiawan Vienna Circle, konsep tuhan direformulasi hingga memiliki wajah barunya. Tuhan dipahami sebagai sesuatu yang pasti ada, meskipun secara eksistensi fisik tak mampu digapai. Karena eksistensi tidak hanya mencakup apa yang terindra, namun juga apa yang mampu dipikirkan.

Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa pernyataan Prof. al-Attas bukan tuduhan kosong. Sejarah membuktikan bahwa Kristen sering menjadi ‘wadah eksperimen’ dari berbagai pemikiran yang membangun Peradaban Barat. Dari filsafat Yunani hingga filsafat dan pemikiran Barat modern. Akibatnya, Kristianitas tampil bukan sebagai agama universal yang stabil, melainkan sebagai tradisi religius yang lentur mengikuti budaya tempat ia berkembang.

(Resensi Mata kuliah Reading Text “Islam and Secularism” bersama Dr. Nirwan Sjafrin pada Rabu, 20 Agustus 2025)

Rasm Utsmani: Bukan Sekadar Tulisan, Tapi Identitas Qur’anOleh: Shofiya Syakira(Santri SMA At-Taqwa Depok, 17 tahun) Ala...
13/09/2025

Rasm Utsmani: Bukan Sekadar Tulisan, Tapi Identitas Qur’an

Oleh: Shofiya Syakira
(Santri SMA At-Taqwa Depok, 17 tahun)

Alasan utama Khalifah Utsman bin Affan melakukan kodifikasi al-Qur’an ialah untuk meredam pertikaian di kalangan umat terkait perbedaan cara membaca al-Qur’an.

Dengan berbagai pertimbangan matang, beliau membentuk panitia penulisan mushaf, kemudian menyebarkan salinannya ke berbagai wilayah Islam sebagai acuan resmi. Dalam proses ini, beliau menetapkan “Rasm Utsmani” sebagai gaya penulisan mushaf.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah rasm ini bersifat tauqifi (datang dari Allah) atau sekadar ijtihad Utsman sebagai khalifah? Jika tauqifi, maka menulis mushaf dengan Rasm Utsmani wajib hukumnya. Namun bila ijtihadi, maka status hukumnya lebih fleksibel.

Apa itu Rasm Utsmani?

Rasm Utsmani adalah metode penulisan mushaf yang disepakati Utsman bin Affan dan panitia penulis al-Qur’an. Gaya ini berbeda dengan penulisan Arab biasa (rasm imla’i). Ulama kemudian merumuskan kaidah-kaidahnya, sebagaimana dilakukan Abu Amr al-Dani (w. 444 H) dalam kitabnya Al-Muqni’.

Metode ini meliputi: penghapusan huruf (hadzf), penambahan (ziyadah), penggantian (badal), pemisahan (fashl), penggabungan (washl), dan lainnya.

Dari sini terlihat bahwa Rasm Utsmani adalah hasil ijtihad sahabat dalam menjaga keutuhan mushaf, bukan wahyu langsung. Tidak ada dalil sahih yang menegaskan tauqifiyah rasm, sehingga sebagian besar ulama kontemporer menilainya sebagai produk ijtihad. Namun ustadz Bana menegaskan bahwa di sana ada yang berpendapat bahwa rasm ini bersifat tauqifi. Harus kita hormati!

Pandangan Ulama tentang Hukum Penulisan Rasm Utsmani

Ulama pun berbeda pendapat soal menggunakan rasm utsmani:

1. Wajib. Imam Malik (w. 174 H) dan sebagian ulama lain berpendapat bahwa penulisan mushaf wajib mengikuti Rasm Utsmani. Alasannya agar mushaf tidak berubah-ubah sesuai selera tiap generasi. Namun sebagian ulama kontemporer, seperti Syekh Subhi Shalih, menilai pendapat ini lebih bersifat ihtiyath (kehati-hatian) demi menjaga simbol dan keaslian al-Qur’an.

2. Boleh memilih. Sebagian ulama membolehkan menulis mushaf baik dengan Rasm Utsmani maupun Rasm Imla’i.

3. Rasm Utsmani untuk kalangan khusus, rasm imla’i untuk awam. Izzuddin Abdussalam (w. 661 H), al-Zarkasyi (w. 794 H), dan ulama setelahnya berpendapat bahwa mushaf untuk masyarakat umum sebaiknya memakai tulisan standar (imla’i) agar mudah dipahami, sementara Rasm Utsmani tetap dijaga oleh kalangan ahli (khawwash).

Pada akhirnya, kodifikasi mushaf oleh Utsman bin Affan adalah ijtihad beliau untuk menjaga kesatuan umat dan keaslian al-Qur’an. Dengan demikian, Rasm Utsmani bukanlah sesuatu yang tauqifi, melainkan metode penulisan hasil kesepakatan sahabat.

Bagi kalangan ahli, menjaga mushaf dalam Rasm Utsmani tetap penting sebagai warisan otentik. Namun bagi masyarakat umum, menulis al-Qur’an dengan rasm imla’i dibolehkan selama tidak merusak lafaz dan bacaan. Dengan begitu esensi yang dijaga bukan sekadar bentuk tulisan, tetapi keutuhan wahyu Allah.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

(Materi ini disampaikan oleh Ustadz Bana Fatahillah, Lc, M.Ag pada mata kuliah Ulumul Quran pada Senin, 18 Agustus 2025)

Mencintai Rasulullah dengan BerdakwahOleh: Arkan Fathin Jirnadhara & Abdullah Ibrahim Azam (Santri Pesantren At-Taqwa De...
08/09/2025

Mencintai Rasulullah dengan Berdakwah

Oleh: Arkan Fathin Jirnadhara & Abdullah Ibrahim Azam
(Santri Pesantren At-Taqwa Depok, 14 Tahun)

Di mata dai besar KH. M. Zaaf Fadlan Rabbani Al-Garamatan, dakwah termasuk salah satu bukti utama cinta kepada Nabi Muhammad. Dengan gaya tutur yang santai, humoris, sekaligus tegas, ia sampaikan hal itu dalam acara Maulid Nabi Muhammad di Pesantren At-Taqwa (5/9/25),

“Sebagai umat Nabi Muhammad, sudah semestinya kita fokus pada bagaimana cara membuat Rasulullah tersenyum, bahagia, dan ridha. Salah satu caranya, adalah dengan menjadikan dakwah sebagai pekerjaan kita,” ungkap Ustadz Fadhlan.

Berdakwah, kata Ustadz Fadhlan, merupakan aktivitas amat mulia dalam Islam. Sebab ia merupakan tujuan Nabi diutus di tengah umat. Amat besar keinginan Nabi Muhammad SAW untuk mengajak seluruh umat ke surga.

“Maka melanjutkan Risalah Da'wah Rasulullah SAW pun tentu menjadikan Nabi Muhammad SAW bahagia,” tuturnya.

Ustadz Fadhlan kemudian banyak menjelaskan soal keteladanan dan konsistensi Rasulullah dalam berdakwah. Ia juga menceritakan pengalaman yang menyentuh hati saat dirinya berdakwah, mulai dari daerah Papua sampai Somalia.

Ustadz Fadhlan adalah dai asal Papua yang dikenal dengan dakwahnya hingga ke pelosok. Beliau merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN). Melalui pengalaman dakwahnya, ia mengatakan bahwa dakwah bukanlah pekerjaan yang ringan.

Sosoknya dikenal karena telah mengislamkan sekitar 3712 orang Papua dari 220 suku di sana. Metode dakwahnya cukup unik, yakni dengan mengenalkan sabun kepada mereka, menjelaskan betapa penting dan nyamannya kebersihan.

Saat berdakwah di negeri Somalia, Ustadz Fadhlan harus menghadapi situasi berupa air bersih yang sulit ditemukan. Namun, dakwah tetaplah mesti dilaksanakan. Sehingga dengan sentuhan dakwah itulah, semangat anak-anak di sana untuk belajar Al-Qur’an menjadi begitu tinggi.

“Anak-anak Somalia, meski kekurangan air dan hidup serba terbatas, tetap bersemangat menghafal Al-Qur’an. Bahkan, ada anak berusia tujuh tahun yang sudah hafal Juz 30 dengan lancar. Mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai harta berharga yang dijaga di dalam hati,” tutur Ustadz Fadhlan dengan nada haru.

Pesan ini menjadi cambuk motivasi bagi hadirin, terutama para santri. Ustadz Fadhlan menegaskan, jangan sampai kemudahan fasilitas hidup di Indonesia justru membuat kita malas beribadah dan berdakwah.

Kehadiran Ustadz Fadhlan dengan kisah-kisah perjuangan dakwahnya di pedalaman menjadi pengingat berharga: semangat anak-anak kecil yang hidup dalam keterbatasan bisa menjadi teladan bagi kita semua yang hidup dalam kelapangan.

Tak Perlu Tinggalkan Islam Supaya Bisa Berpikir Dan Rajin BelajarOleh: Ariq Ashim Nashrullah(Santri SMA Pesantren At-Taq...
01/09/2025

Tak Perlu Tinggalkan Islam Supaya Bisa Berpikir Dan Rajin Belajar

Oleh: Ariq Ashim Nashrullah
(Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)

Pada 2010, tiga orang profesor mengemukakan hasil riset mereka terhadap 137 negara, termasuk Indonesia. Mereka adalah Richard Lynn, Helmulth Nyborg, John Harvey. Riset ini mengungkapkan adanya korelasi negatif antara ketinggian IQ dengan keimanan seseorang atas suatu agama.

Hasil riset ini mengeluarkan kesimp**an yang unik, kira-kira berbunyi: “Semakin cerdas seseorang, ia semakin sekuler dan bahkan ateis. Semakin bodoh seseorang, ia semakin religius.”

Sebelumnya, sudah ada para peneliti yang mengemukakan hal yang sama, antara lain Howells dan Sinclair (1928) dan Argyle (1950-an). Kurang lebih, ketiganya menyimpulkan bahwa: “Mahasiswa cerdas cenderung tidak memiliki kepercayaan ortodoks dan tidak mendukung sikap-sikap religius”

Verhage (1964), Bell (2002), Kanazawa (2009) pun menyimpulkan hasil serupa. Dari ketiga orang ini, sekurang-kurangnya diperoleh empat temuan: 1) ada hubungan korelasi negatif antara kecerdasan dan keimanan; 2) orang elite yang cerdas semakin kurang religius dibanding penduduk secara umum; 3) di kalangan pelajar, semakin berumur dan semakin berilmu, semakin turun keimanan mereka; 4) sepanjang abad dua puluh, meningkatnya masyarakat yang cerdas diikuti oleh menurunnya keimanan.

Bahkan Verhage, yang melakukan survey terhadap 1538 sampel di Belanda (1964), berani mengatakan kalau “Agnostik & Ateis punya IQ 4, lebih tinggi dari orang beriman”

Begitulah cuplikan beberapa peneliti terkait korelasi negatif antara IQ dan iman yang diutarakan oleh Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya, “Misykat” (terbit pertama kali tahun 2012).

Mereka, kata Prof. Hamid, seakan-akan hendak menyimpulkan dua hal: 1) supaya bisa cerdas harus menjadi sekular atau ateis, menjadi sekular atau ateis akan mencerdaskan; 2) menjadi bodoh disebabkan tingginya keimanan atau religiusitas, menjadi semakin beriman atau religius akan membuat bodoh

Menurutnya, kesimp**an itu jelas mengelirukan. Setidaknya ada dua problem yang patut dipertanyakan: “Apakah tingginya IQ penyebab besarnya penganut ateisme?” dan “Apakah orang menjadi ateis karena semakin cerdas?” Berikut kritik Prof. Hamid

Pertama, kesimp**an para peneliti itu sulit diterima dengan mengetahui adanya fakta sebaliknya. Ada negara seperti Vietnam yang IQ penduduknya lebih rendah dari Singapura, tapi tingkat ateisnya lebih tinggi (81%).

Ada negara seperti Irlandia yang IQ penduduknya 92 tapi presentasi penganut ateisnya hanya 5%. Negara-negara sepertinya, yang tingkat IQ-nya tinggi tapi ateismenya rendah, juga banyak, seperti Malaysia, Brunei, Thailand, termasuk Indonesia.

“DI negeri ASEAN kita justru bisa melihat fenomena orang-orang terpelajar yang cerdas-cerdas dan sukses dalam berkarir bukanlah orang-orang yang ateis atau rendah iman mereka,” tegas Prof. Hamid.

Hal ini menunjukkan bahwa jika IQ rendah tidak melulu disebabkan oleh agama. Bisa jadi kecerdasan seseorang rendah dikarenakan beberapa faktor lain, seperti kemiskinan, wabah penyakit, kesehatan bayi rendah, gizi buruk, dll.

Juga, ini menunjukkan bahwa IQ tinggi tidak melulu disebabkan karena Sekularisme atau Ateisme. Tapi ada faktor-faktor lain seperti banyak kemudahan, kemakmuran, kualitas pendidikan tinggi, dll.

Maka supaya bisa cerdas harus ateis atau orang cerdas pasti ateis, tidak selalu berkaitan, sifatnya lebih kepada simultan. Kesimp**an ini sulit diterima, seperti kesimp**an bahwa “Semakin banyak penduduk yang beriman dan berislam, semakin besar sumber minyak atau sumber alamnya di negeri itu”?

Terlebih, hasil penelitian itu dipengaruhi oleh worldview saintifik sekularistik yang tumbuh di Barat. Agama dan Tuhan tidak boleh dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. “Itulah setting sosial yang melahirkan hipotesis dan juga variabel penelitian ini,” ucapnya.

Kedua, dengan memahami lata belakang sejarah dan sosial Peradaban Barat yang sekular bahkan ateis, menurut Prof. Hamid, lebih tepat kalau masyarakat Barat memilih ateis bukan karena cerdas, tapi karena memang sengaja memilih sekuler, agama sengaja dimarginalkan dan disingkirkan dari ruang publik, bahkan dalam dunia sains.

Kemungkinan kedua adalah karena adanya problem dalam Kristen. Yakni Bibel yang tidak mampu menjelaskan hal-hal yang bersifat saintifik dan masuk akal tentang alam, manusia dan tuhan. Terlebih mereka juga memiliki sejarah yang kelam, mengenai inquisisi gereja dan paus.

Kritik ketiga, adalah mengenai penyempitan makna pada dua istilah sebagai sebab dari worldview sekular yang mengaburkan makna agama dan menjauhkan hakikat spiritual. Pertama istilah “beriman” yang tolak ukurnya hanya berdasarkan pertanyaan: “Apakah Anda orang yang beriman?”

“Dalam Islam variabel keimanan bukan sebatas pertanyaan, tapi juga realisasinya dalam bentuk aksi atau amal. Amal menyangkut perilaku baik-buruk alias akhlak… sangat luas dan kompleks,” jelas Prof. Hamid.

Kedua, makna pada istilah “cerdas” yang disempitkan hanya kepada IQ. Padahal dalam hidup ini, IQ bukan satu-satunya tolak ukur kecerdasan. Ada yang namanya Spiritual Quotion (kecerdasan spiritual), yang dalam Islam semacam hikmah, yang bisa menjadi faktor penting ketika menjalani hidup di dunia.

Agama Islam sendiri memuliakan ilmu dan mendukung aktivitas keilmuan. Bahkan Rasulullah ﷺ sendiri menegaskan, “menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” Maka jika ada muslim yang enggan belajar, berarti dia malas dan tidak mau mengamalkan Hadits Nabi tersebut. Dan jika ada muslim yang cerdas, berarti dia rajin dan semangat untuk menuntut ilmu.

Lagi p**a Rasulullah ﷺ bersabda, "الكيس من دان نفسه وعمل به لما بعد الموت", bahwa orang cerdas itu adalah yang sanggup menundukkan hawa nafsunya, “yang beramal di dunia tapi sekaligus untuk akhiratnya.” Ia yang menang di dunia untuk akhirat.

“Jika di Barat IQ tinggi cenderung ateis, bagaimana Lynn membaca fenomena di dunia Islam saat ini bahwa semakin cerdas dan semakin kaya seorang Muslim semakin dekat dengan Tuhannya alias semakin tinggi keimanannya?” ucap Prof. Hamid

(Tulisan ini merupakan rangkuman dari pembelajaran Islamic Worldview di Pesantren At-Taqwa Depok oleh Ustadz Fatih Madini pertemuan II)

Address

Pesantren At-Taqwa Depok
Depok
16413

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Artikel Santri At-Taqwa posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Artikel Santri At-Taqwa:

Share