Artikel Santri At-Taqwa

Artikel Santri At-Taqwa Kumpulan Artikel Santri Pesantren At-Taqwa Depok

Ketika Sepatah Dua Patah Kata Menjadi Begitu IstimewaOleh: Qaulan Tsaqila Qurana (Santriwati SMA Pesantren At-Taqwa Depo...
30/07/2025

Ketika Sepatah Dua Patah Kata Menjadi Begitu Istimewa

Oleh: Qaulan Tsaqila Qurana
(Santriwati SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 15 Tahun)

“Sepatah dua patah kata”, merupakan suatu ungkapan halus yang biasa digunakan untuk memaknai suatu perkataan yang disampaikan dengan ringkas dan jelas. Namun, “sepatah dua patah kata” boleh jadi menjadi teramat istimewa, bahkan didudukkan pada keutamaan yang tinggi.

Dalam konteks dakwah, hal inilah yang ditekankan oleh Sayyid Utsman bin Yahya kepada para penuntut ilmu dalam kitabnya, Manhaj al-Istiqomah. Dalam pengantar kitabnya itu beliau menyatakan bahwa tujuan penulisan kitab tersebut setidaknya ada tiga.

Pertama, Untuk menyampaikan kebenaran dalam perkara agama. Kedua, menyampaikan ilmu, dan memberi peringatan untuk kaum muslimin. Ketiga, Menyelamatkan mereka dari keburukan dan kejahatan dunia dan akhirat.

Tidak sebatas itu, Sayyid Utsman kemudian menjelaskan tujuan-tujuannya itu satu persatu, dengan dalil yang menguatkan. Mengapa tujuan-tujuan tersebut diperlukan? Hal ini diterangkan langsung olehnya.

Latar belakang masyarakat pada masa tersebut, juga masih teramat kuatnya pengaruh mistik Hindu-Buddha, membutuhkan dakwah yang berkelanjutan. Agama dan aliran kepercayaan pada masa lalu mereka boleh jadi sudah ditinggalkan. Namun kepercayaan, takhayyul, ataupun khurafatnya tidak jarang masih membekas.

Sebagaimana ungkapan Mohammad Natsir dalam bukunya, Pesan Perjuangan Seorang Bapak, bahwa di antara tantangan dakwah adalah nativisasi. Yakni kala tradisi-tradisi lama diangkat kembali, sampai tradisi-tradisi tersebut dianggap sebagai bagian dari agama, sehingga terjadi kesesatan-kesesatan yang dianggap normal di antara masyarakat.

Sayyid Utsman menerangkan, sesajen-sesajen yang dipersembahkan kepada makhluk-makhluk ghaib, diletakkan di pojokan-pojokan, ketika pesta pernikahan, dengan harapan akan menyelamatkan diri mereka, dan lain sebagainya. Hal demikian masih terjadi pada masa tersebut, dan mungkin masih berlaku di beberapa daerah hingga kini.

Kepada para penuntut ilmu, Ulama asli Betawi ini pun mengutip hadits Nabi di dalam kitab Ihya’ 'Ulumiddin, bahwa Allah tidak memberi ilmu kepada seseorang kecuali jika ia menyampaikan ilmu-ilmunya. Ia mencantumkan juga hadits lain, bahwa sebaik-baik pemberian dan petunjuk ialah sepatah ilmu yang disampaikan kepada orang lain.

Bahkan dalam penjelasan Ustadz Dr. Suidat selaku pengajar kitab ini, "menyampaikan ilmu sesedikit apa pun itu, barang sepatah dua patah kata, lebih baik dari pada beribadah satu tahun.” Perlu diperhatikan, bukan hanya setara dengan ibadah satu-dua kali, tapi ibadah yang dilakukan selama setahun.

Begitu istimewanya ilmu, begitu mulianya ia, hingga sepatah dua patah kata berisi ilmu pun dapat mengalahkan ibadah yang dilakukan dalam kurun waktu satu tahun (tanpa ilmu). Bersesuaian dengan hadits yang menyebutkan tentang keutamaannya, Rasulullah pun memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menyampaikan ilmu.

Nabi bersabda, “Ballighuu 'annii wa-lau aayatan” (HR. Bukhari), sampaikanlah — ilmu yang kalian dapat — dariku, walaupun hanya mampu satu ayat. Telah jelas betapa mulianya ilmu, dan kemuliaan yang diraih oleh orang yang menyampaikannya sesedikit apa pun itu. Maka tidak ada alasan untuk tidak melakukannya.

Allah Swt. Berfirman, “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, Sebutkan kepada-Ku nama semua benda ini, jika kalian yang benar!” Bahkan Nabi Adam pun, tidak akan dapat menjawabnya, jika tidak diajarkan oleh Allah.

(Sekelumit Catatan Mata Pelajaran Naskah Melayu bersama Ust. Dr. Suidat)

Imam Al-Ghazali Bukan Falasifah, Tapi Philosopher!Oleh: Farrel Ahmad Wijaksana (Santri SMA At-Taqwa College, 17 Tahun)Ke...
29/07/2025

Imam Al-Ghazali Bukan Falasifah, Tapi Philosopher!

Oleh: Farrel Ahmad Wijaksana (Santri SMA At-Taqwa College, 17 Tahun)

Ketika membahas filsafat Islam, maka kita akan menjumpai banyak misconception dan kekeliruan. Misalnya, apakah yang dimaksud sebagai filsafat Islam itu tasawwuf? Atau apakah filsafat Islam itu sama dengan kalam? Nomenklatur bagi istilah “filsafat“ dalam Islam sangat beragam. Ada yang menyebutkannya sebagai falsafah, hikmah, kalam, bahkan ulumul awail (ilmu-ilmu terdahulu). Pembahasan filsafat sendiri masih sering dipertanyakan—bahkan dikesampingkan—keabsahannya, yang mana ini berbeda dengan disiplin ilmu lainnya dalam Islam. Sampai sekarang diskursus filsafat memiliki stigma “kurang” baik di kalangan umat Islam itu sendiri.

Pada akhirnya, kesalahpahaman dan pencampuradukan konsep yang tidak tepat terletak pada: bagaimana kita memaknai istilah itu sendiri. Filsafat Islam tidak sepenuhnnya sama dengan filsafat Barat, sebagaimana yang sering disalahpahami orang. Kekeliruan tentang makna dan maksud filsafat Islam bersumber kepada pemaknaan filsafat dengan kerangka berpikir Barat, di mana generalisasi dan penyamaan yang tidak nyambung dipaksakan; hingga pada akhirnya melahirkan pemahaman salah yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Filsafat yang berkembang di Barat tidak sama dengan filsafat yang berkembang di Islam. Filsafat di Islam berkembang karena agama, sedangkan filsafat di Barat perlahan membuang agama. Mengutip perkataan Syed Hossein Nasr, bahwa keunikan filsafat Islam dibanding dengan sistem filsafat lainnya terletak pada pembahasaan tentang Nabi dan apa yang dibawa oleh Nabi. Oleh karena itu, filsafat Islam disebut sebagai prophetic philosophy. Lebih lanjut lagi, dalam kuliahnya, Ustadz Khayrurrijal mengatakan tentang asal filsafat Islam; “tentang origin-nya (filsafat Islam) bermula pada worldview Islam”. Dapat disimpulkan, filsafat Islam itu unik, dan tidak sama dengan filsafat Barat atau filsafat-filsafat lainnya.

Sebelum filsafat berkembang secara pesat dalam Islam, kalam telah lebih dahulu berkembang berkat peran kaum Muktazilah yang dipimpin oleh Washil bin Atha—meski peran Ibnu Sina, al-Farabi, dll., dalam filsafat Islam juga memiliki pengaruh. Baru ketika Imam al-Ghazali berkiprah, pertemuan di antara tasawwuf, kalam, dan filsafat—yang waktu itu tidak terpisah dengan sains, matematika, logika, dan ilmu alam—menjadi lebih intens.

Sebagai tokoh pelopor-sentral dalam perkembangan tradisi keilmuan Islam, Imam al-Ghazali juga menjadi titik penting dalam pemaknaan filsafat dalam Islam. Imam al-Ghazali berhasil meletakkan dasar integrasi di antara tasawwuf, kalam, dan filsafat; tanpa harus kehilangan makna sebenarnya dalam Islam. Secara lebih khusus, dalam filsafat al-Ghazali meringkas pemikiran inti filsafat Yunani dalam Maqashid al-Falasifah, kemudian mengkritik pandangan filsafat Yunani tersebut dan “failasuf“ muslim sebelumnya dalam kitab Tahafut al-Falasifah.

Oleh karena itu, ketika Imam al-Ghazali disebut sebagai bagian dari “falasifah“ sebenarnya tidak tepat. Karena istilah tersebut merujuk kepada pemikiran filsafat Yunani yang beliau sendiri kritik. Akan tetapi, mengatakan bahwa Sang Hujjatul Islam “membunuh“ filsafat adalah pernyataan yang hiperbolik dan tidak benar. Karena sesungguhnya, al-Ghazali justru menjadi pelopor berkembangnya filsafat Islam; yaitu filsafat yang bernafaskan tasawwuf dan diperkuat oleh kalam, yang pada dasarnya sesuai dengan epistemologi Islam. Pernyataan bahwa Imam al-Ghazali membunuh filsafat hanya sesuai jika filsafat dalam konteks ini adalah filsafat Barat; dan lebih tepatnya lagi, pemikiran filsafat failasuf Yunani yang berkembang dalam umat Islam.

Imam al-Ghazali bukan salah satu dari falasifah! Tapi beliau adalah pelopor bagi filsafat Islam yang lebih murni. Meski bukan termasuk kelompok falasifah, Imam al-Ghazali tetap dapat dipandang sebagai seorang philosopher.

(Artikel ini ditulis atas pemaparan Ustadz Khayrurrijal dalam mata kuliah “Filsafat Islam I“ sesi pertama.)

Oleh: Farrel Ahmad Wijaksana (Santri SMA At-Taqwa College, 17 Tahun)

MITSAQ 2025Oleh: M. Rofi Abdurrohiim (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 17 Tahun)Sebelum memulai pembelajarannya, san...
29/07/2025

MITSAQ 2025

Oleh: M. Rofi Abdurrohiim
(Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 17 Tahun)

Sebelum memulai pembelajarannya, santri baru Pesantren At-Taqwa Depok mengikuti MITSAQ, Masa Indah Ta’aruf Santri At-Taqwa. MITSAQ berlangsung satu pekan, dari Ahad, 20 Juli sampai Ahad, 26 Juli 2025.

Selama MITSAQ berlangsung, para santri baru SMP dan SMA itu mengenal seluk beluk Pesantren At-Taqwa, mulai dari sejarah berdirinya At-Taqwa, sampai ilmu-ilmu penting yang diajarkan di At-Taqwa.

Puluhan santri baru itu menyimak sejarah berdirinya At-Taqwa yang disampaikan oleh Mudir At-Taqwa, Dr. Muhammad Ardiansyah. Pesantren At-Taqwa, kata Ustadz Ardi, bermula dari ruko sederhana dengan hanya sembilan santri, sampai akhirnya mendapat wakaf tanah khusus pesantren. Setelah itu, barulah pembangunan pesantren berlangsung secara berkala.

Melalui gambar-gambar yang Ustadz Ardi tampilkan, mereka melihat bagaimana santri-santri angkatan awal belajar di tempat-tempat sederhana, bahkan di lapangan dengan hanya modal alas karpet.

“Belajar bisa di mana pun dan kapan pun. Sebab, segala hal yang dapat membuat wawasan keilmuan kita bertambah, itu belajar namanya,” tuturnya.

Usai menelusuri perjalanan panjang Pesantren At-Taqwa, para santri baru mulai menelaah tentang adab, elemen utama dan terpenting dalam pendidikan di At-Taqwa. Giliran Sekretaris Jendral sekaligus guru Bahasa Arab Melayu, Dr. Suidat, yang menyampaikan.

Adab, kata Ustadz Suidat, adalah faktor utama kesuksesan setiap murid, terlebih jika dia sudah berilmu. Menurutnya, ada dua adab penting yang harus diperhatikan oleh para santri. Pertama, adab kepada diri sendiri dengan menjaga kesehatan diri, supaya bisa konsisten belajar. Kedua, adab kepada ilmu dengan niat yang benar, supaya ilmu yang dipelajari tidak salah digunakan.

“Pelajaran adab di At-Taqwa tidak hanya melalui kitab-kitab klasik berbahasa arab saja, tapi juga mempelajari kitab-kitab yang berbahasa Arab Melayu. Inilah salah satu kekhasan Pesantren At-Taqwa,” tuturnya.

Ilmu penting sekaligus khas dan wajib dipelajari di At-Taqwa, yang mereka tengah kenali, adalah Sejarah Keagungan Peradaban Islam, baik di masa Nabi Muhammad sampai kekhilafahan sekaligus sejarah Islam di Nusantara dan perjuangan para pahlawannya. Ustadz Ahda Abid Al-Ghifari yang mengenalkan.

Belajar sejarah, kata Ustadz Ahda, begitu penting karena dua hal. Pertama, dengan belajar sejarah, para pemuda Muslim dan Muslimah bisa memahami tujuan penting hidupnya, yakni untuk melanjutkan perjuangan Para Nabi, Sahabat, dan Ulama dalam memperjuangkan agamanya.

“Dengan belajar sejarah juga, kita bisa mengenal tokoh-tokoh yang bisa menjadi penguat jiwa dakwah dan perjuangan kita bagi Islam sekaligus bagi Indonesia,” ucapnya.

Sebagaimana pesantren pada umumnya, mereka juga menyimak dengan seksama mengenai ilmu Bahasa Arab bersama Ustadz Bana Fatahillah. Merujuk Hadits Nabi, ia menjelaskan kalau Bahasa Arab penting dipelajari karena tiga hal: 1) Nabi Muhammad berbangsa Arab; 2) Bahasa Arab adalah Bahasa Surga; 3) Al-Quran diturunkan dalam Bahasa Arab.

“Pelajarilah bahasa Arab, karena ia bagian dari agama kalian,” ucap Ustadz Bana mengutip Sahabat Umar bin Khatthab.

Ilmu Beladiri, sebagai salah satu pelajaran wajib (fardhu ‘ain) di At-Taqwa, juga mereka dengar penjelasannya dan mereka saksikan langsung demonstrasinya oleh para santri senior. Beladiri itu bernama Syufu Taesyukhan.

Ustadz Ganjar Nugraha, selaku pengajar Syufu, menyampaikan kepada para santri baru bahwa Syufu adalah beladiri Muslim. Fokusnya terbilang menyeluruh. Baik ketangkasan maupun ketahanan, pukulan, tendangan, maupun bantingan, diajarkan secara bertahap dan serius.

“Sebagai beladiri Islam, Syufu Taesyukhan bukan sekedar bela diri dengan tujuan untuk melindungi diri sendiri dan orang lain, akan tetapi juga untuk keagungan agama Islam,” tegasnya.

Beladiri, di At-Taqwa, masuk dalam kurikulum wajib. Ia diklasifikasikan sebagai ilmu fardhu ‘ain yang mesti dipelajari oleh semua santri. Harapannya ialah supaya kematangan intelektual diikuti dengan kesiapan kebugaran fisik dan ketahanan mental.

Selain menyimak hal-hal itu, para santri baru juga merasakan langsung bagaimana At-Taqwa menanamkan adab. Mereka mencicipi langsung bagaimana rasanya shalat tahajjud setiap hari, caranya membersihkan asrama, kamar mandi, dan lingkungan, sampai rasanya hidup dalam aturan yang penuh pendisiplinan.

Mereka juga merasakan itu secara langsung ketika mengikuti acara At-Taqwa Camp di Bukit Sikabayan, Bogor. Di sana mereka belajar tentang keberanian dan kemandirian. Para santri belajar, bahwa mendapatkan ilmu itu tidak hanya terbatas pada hitung-hitungan, menghafal, tapi juga melalui pengalaman.

Berbagai materi soft skill ditanamkan kepada mereka. Mulai dari kebersamaan, kreativitas sampai problem solving. Beragam games diberikan untuk melatih kerja sama. Acara jurit malam, yang penuh kesan bukan cekam, diadakan untuk menumbuhkan keberanian. Pelatihan kedisiplinan fisik juga dijalani melalui perjalanan menuju Curug Ciampea.

Begitulah serangkaian acara MITSAQ yang dijalani selama satu pekan. Mereka tidak hanya mendapatkan lebih banyak wawasan, tapi juga lebih banyak pengalaman, nilai-nilai kedisiplinan, sampai “rasa mondok” yang sulit dijelaskan oleh lisan.

Selamat Belajar Ilmu dan Adab di Pesantren At-Taqwa Depok!Oleh: Azkya Adhawiya Zain & Shofiyah Syakira(Santri SMA Pesant...
29/07/2025

Selamat Belajar Ilmu dan Adab di Pesantren At-Taqwa Depok!

Oleh: Azkya Adhawiya Zain & Shofiyah Syakira
(Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 15 Tahun)

Masa Indah Taaruf Santri At-Taqwa (MITSAQ), pada Sabtu (26/07/25) resmi ditutup. Para santri baru, kini, siap menempuh pembelajaran di Pesantren At-Taqwa Depok. Siap belajar ilmu dan adab.

Sekertaris Jendral pesantren, Dr. Suidat, mengingatkan kembali enam pesan Imam Syafi’i supaya sukses meraih ilmu. “Santri harus berusaha memiliki enam hal untuk meraih ilmu, yaitu cerdas, semangat, sabar, bekal, guru yang bijak, waktu yang lama,” tuturnya.

Kayla, salah satu santri baru tingkat satu SMP, mengaku sangat senang dengan kegiatan MITSAQ. Kegiatan ini, katanya, menyenangkan dan memberikan banyak pendidikan untuk kebaikan dirinya.

“Kegiatan MITSAQ menyenangkan dan penuh hal baru, saya bersyukur atas hikmah dan pelajaran selama sepekan ini. Semoga dapat menjadi awal yang baik dalam menjalani masa belajar berikutnya,” tuturnya.

MITSAQ merupakan kegiatan menyambut santri baru. Kegiatan ini berlangsung selama sepekan, terhitung sejak Ahad (20/07/25) hingga Sabtu (26/07/25), dan diisi dengan berbagai aktivitas, mulai dari pengenalan pesantren, pembelajaran, games, camping dan lainnya.

Selama tujuh hari tersebut, para guruaktif mengenalkan seluk beluk pondok kepada santri baru. Ada pun materi yang disampaikan sebagai pengantar sebelum mereka aktif pembelajaran di kelas, mulai dari peraturan, kegiatan harian, sejarah, bahasa Arab, hingga bela diri.

Pada hari ketiga kegiatan, mereka mengikuti At-Taqwa Camp, bukan sekedar berkemah tetapi juga menumbuhkan nilai kedisiplinan, tanggung jawab dan ukhuwah. Kegiatan camping diakhiri pada hari Jumat (25/07/25), dan para santri mendapatkan banyak pengalaman, cerita, dan pelajaran.

Puncak acara MITSAQ, ialah pada penutupan yang dilaksanakan pada Sabtu (26/07/25). Ustadz Suidat memberikan pesan nasehat sebagai bentuk penyemangat agar santri bersungguh sungguh dan bersabar dalam menuntut ilmu di pesantren.

Sebagaimana misi besarnya, At-Taqwa berharap para santri baru dapat menjadi good man, pribadi yang baik bermanfaat dengan ilmu yang telah didapatkan di sini. Bahkan berharap para santri dapat menjadi pejuang muslim yang berilmu dan beradab.

Untuk itulah kegiatan sepekan ini dibuat. Diharapkan waktu tujuh hari ini dapat menjadi langkah awal bagi para santri baru untuk berjuang menjadi manusia beradab. Menjadi pribadi yang disiplin, mandiri, peduli, dan bertanggung jawab dalam kesehariannya.

*Pengantar Ihyā Ulumiddīn: Tantangan Umat dan Harapan Imam Al-Ghazali*Kayla Danish dan Farras Zahy(Santri SMA At-Taqwa C...
25/07/2025

*Pengantar Ihyā Ulumiddīn: Tantangan Umat dan Harapan Imam Al-Ghazali*

Kayla Danish dan Farras Zahy
(Santri SMA At-Taqwa College, 17 tahun)

Kamis, (24/7/2025) kemarin menjadi pertemuan pertama santri ATCO 1 (Setingkat SMA kelas 2) dengan mapel Reading Text Ihya ‘Ulumiddin karya Imam al-Ghazali (w. 505 H). Pelajaran ini diampu langsung oleh Mudir Pesantren, Dr. Muhammad Ardiansyah, sosok yang menaruh perhatian besar dengan pemikiran imam al-Ghazali.

Ihyā’ merupakan karya monumental dan masyhur. Ia telah diterbitkan dalam berbagai versi, diteliti (tahqīq), dikaji dan dijadikan rujukan utama baik oleh Sarjana Timur maupun Barat dalam pembahasan mengenai ilmu, penyucian hati atau tasawuf. Kitab ini merupakan hasil dari pengalaman, renungan, serta pandangan Imam al-Ghazali terhadap sekitarnya.

Pertemuan pertama ini kami membabahas mukaddimah. Ust Ardi menjelaskan bahwa Ihya dilatarbelakangi oleh respon imam al-Ghazali dengan problematika umat. Sang Imam mendapati bahwa kerusakan umat Islam sangat kompleks, baik dari paradigma berpikir maupun berperilaku, baik di kalangan awam sampai ulamanya.

Banyak ulama yang mendalami ilmu-ilmu agama hanya untuk mendapat atensi masyarakat, maupun tempat di sisi penguasa. Hal ini berimbas kepada cara pikir masyarakat terhadap ilmu itu sendiri, yang seringkali bisa mengakibatkan seseorang menjadi kufur. Bagi imam al-Ghazali, lanjut ustadz Ardi, benang merah dari permasalahan ini adalah rusaknya para ulama, yang mengakibatkan rusaknya masyarakat. Hal ini bersumber dari rusaknya niat menuntut ilmu, dan siklus ini terus berulang.

Imam al-Ghazali bermaksud untuk memperbaiki para ulama yang ‘dianggap’ sebagai pemimpin masyarakat dalam berbagai lini kehidupan, terutama dalam urusan beragama. Jika ulama-nya cinta dunia, rusak, maka bagaimana dengan rakyat dan pemimpinnya.

Hal lain yang mendorong imam al-Ghazali ialah adanya kekaguman berlebih di hati masyarakat dengan sains yang dibawa ilmuwan muslim seperti Ibnu sina, Al-Farabi dan lainnya. Dampak terberatnya, tidak sedikit dari masyarakat awam bahkan dari kalangan ulama melupakan ilmu agama hingga kehilangan arah, ragu bahkan sampai murtad juga menjadi atheis. Inilah mengapa kitab tersebut diberi judul Ihya’ Ulumiddin, dengan harapan menghidupkan kembali ilmu agama

Ustadz Ardi menjelaskan bahwa problematika yang ditemukan imam al-Ghazali sangat relevan dengan kasus hari ini. Di mana hari ini, banyak orang mempelajari suatu ilmu hanya sebagai “gimmick” intelektual tanpa memahami hakikat dari ilmu itu sendiri. Terlebih di era di mana informasi sangat mudah diakses melalui media sosial. Dan masalah ini, lagi-lagi disebabkan oleh rusaknya niat. Ilmu hanya sebatas guna mencari atensi, alih-alih menggapai ridha Ilahi.

Sebagai penutup, Ustadz Ardi, mengutip Imam al-Ghazali yang menganalogikan agama sebagai sebuah kapal, dan kapal itu sedang berlubang. Jika dibiarkan, ia akan membahayakan para penumpangnya. Dan Ihya lahir untuk menambal kebocoran itu, sebelum ia menjadi musibah besar bagi umat Islam. Baik dulu, kini, dan nanti.

*Catatan #1 Pelajaran Reading Text Ihya Ulūmiddīn

6 Pesan Penting Sang ImamOleh: Amirah Abdullah (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)“Tidaklah engkau mendapatk...
22/07/2025

6 Pesan Penting Sang Imam

Oleh: Amirah Abdullah
(Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)

“Tidaklah engkau mendapatkan ilmu kecuali dengan enam hal: kecerdasan, semangat (kesungguhan), sabar, bekal, guru yang bijak, serta waktu yang lama”
(Imam Syafi’i)

Memahami lagi tentang ilmu dan niat para santri selama belajar di pondok, Ustadz Ardiansyah selaku Mudir Pesantren At-Taqwa Depok kembali mengingatkan bagaimana personifikasi seorang penuntut ilmu yang sesuai dan ideal dengan agama Islam.

Hal itu disampaikan dalam momentum kedatangan para santri pasca perp**angan panjang (18/7/25) dengan merujuk ungkapan Imam Syafi’i. Tujuannya agar niat belajar santri kembali benar sebagaimana mestinya, dan supaya ilmu dapat benar-benar diraih dengan maksimal.

Pertama seorang penuntut ilmu harus memiliki kecerdasan akal. Cerdas tidak harus pintar, atau paling cepat menghafal, juga paling cepat paham. Disebut cerdas ialah apabila seseorang memiliki kemampuan untuk berpikir dan kemauan untuk melakukannya.

Kedua adalah semangat, yakni dengan senantiasa merasa tidak cukup dengan yang telah kita pelajari. "Semangat kita dalam menuntut ilmu tidak boleh putus", tegasnya kepada para santri.

Sebagai penuntut ilmu, kita tidak semestinya merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki. Dengan begitu, kita senantiasa merasa ingin tahu dan menkaji ilmu lebih jauh lagi.

Ketiga adalah sabar, tantangan-tantangan dalam menuntut ilmu itu banyak dan beragam. Sulit memahami pelajaran, berat dalam hafalan, atau lainnya, harus dihadapi dengan kesabaran yang tinggi.

“Dengan begitu, nilai kita sebagai penuntut ilmu diuji” pungkas ustadz Ardi.

Keempat adalah bekal, menuntut ilmu meniscayakan perlu pada bekal. Sebagaimana makanan fisik perlu biaya dan modal, ilmu sebagai makanan jiwa pun perlu kepada keduanya.

Baik untuk keperluan penunjang, maupun kesadaran untuk membantu hidup para guru ataupun ahli ilmu. Kita — para santri, sudah ditanggung orang tua untuk bekal, maka amanah bagi kita ialah dengan memanfaatkan masa menuntut ilmu kita semaksimal mungkin.

Kelima adalah guru yang bijak, sepintar-pintarnya pembelajar otodidak tanpa guru pengajar langsung pasti akan sulit mengamalkan ilmunya. Terlebih dalam ilmu agama, para ulama tegas mengingatkan. Lau laa al-Isnaad laqaala man syaa-a maa syaa-a.

Kalaulah tidak ada rantai sanad keilmuan, sungguh nanti setiap orang akan berbicara apapun yang dia inginkan. Juga diperingati dalam maqalah lain. Apabila seseorang tidak memiliki guru, maka setan lah yang akan menjadi guru — yang mengarahkan petunjuk — baginya.

Keenam, menuntut ilmu perlu jangka waktu yang lama. maka untuk mempertahankan tekad kita dalam melaksanakannya, diperlukan kesabaran, modal, kecerdasan, dan semangat, dan arahan guru selama panjangnya masa pembelajaran kita.

Dari enam pesan tadi, kita saksikan bahwa menjadi penuntut ilmu tidaklah mudah. Namun ganjarannya amat besar karena beratnya tantangan yang harus dihadapi. Pesan tersebut amat penting bagi para santri.

Sebab, waktu enam tahun di pesantren adalah waktu yang amat sedikit. Bila tidak mempersiapkan semaksimal mungkin, boleh jadi masa yang berlalu menjadi terlewat sia-sia.

Oleh: Amirah Abdullah (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)

Tak Ragu Serahkan Anaknya Ke Pesantren At-Taqwa Depok, Wali Santri: InsyaAllah Kurikulumnya Sesuai dengan Fitrah Manusia...
21/07/2025

Tak Ragu Serahkan Anaknya Ke Pesantren At-Taqwa Depok,
Wali Santri: InsyaAllah Kurikulumnya Sesuai dengan Fitrah Manusia

Oleh: Annisa Nayla Rahma
(Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 15 tahun)

Ahad pagi (20/7/25), Pesantren At-Taqwa Depok kembali menyapa santri barunya dalam agenda pembukaan MITSAQ, Masa Indah Ta’aruf Santri At-Taqwa. Acara ini merupakan salah satu tradisi dalam pondok yang diberlakukan selama 1 pekan (20-26 Juli 2025). Tujuannya agar para santri mampu menyesuaikan dengan lingkungan baru di pesantren.

Suasana awal acara diiringi senyuman hangat dan semangat dari wajah santri-santri baru yang diantarkan oleh keluarganya, sambil membawa tas-tas besar yang berisikan keperluan untuk memenuhi kebutuhannya di asrama.

Begitu pembukaan MITSAQ berakhir, suasana antara para santri dan keluarga seketika berubah menjadi haru. Ada yang saling berpelukan. Ada orang tua yang menguatkan anaknya dengan nasihat. Bahkan ada saja santri yang menangis deras seperti tidak ingin berpisah.

Namun dibalik itu, Ibunda dari ananda Sahla yang masuk jenjang Shoul-Lin (tingkat SMP) menyatakan rasa syukurnya terhadap pengalaman kali ini.

“Alhamdulillah kali ini bisa bergabung dengan keluarga besar At-Taqwa, sekaligus menambah pengalaman bagi diri saya sendiri,” ucapnya ketika diwawancarai.

Adapun alasannya memilih Pesantren At-Taqwa Depok adalah karena kurikulumnya. “Kurikulum pesantren ini sesuai dengan fitrah diciptakannya manusia,” tuturnya.

Adapun perwakilan lain dari wali santri ananda Sarah yang berada di tingkat Shoul-Lin mengharapkan Yayasan At-Taqwa Depok lebih baik ke depannya.

“Semoga tentunya At-Taqwa bisa lebih baik selanjutnya, bisa memberikan fasilitas yang lebih baik, agar santri lebih nyaman dalam aktivitas belajarnya, meskipun memang kita bisa belajar di mana saja,” ungkapnya.

Acara Pembukaan MITSAQ diisi dengan nasihat pendidikan oleh Pembina Pesantren At-Taqwa Depok Dr. Adian Husaini. Dilanjutkan dengan pengenalan guru pesantren sekaligus pemotivasian belajar oleh yang disampaikan secara antusias oleh Dr. Muhammad Ardiansyah selaku Mudir At-Taqwa.

Juga diisi dengan sosialisasi tata adab pesantren oleh Sekretaris Umum At-Taqwa, Dr. Suidat. Tujuannya agar para wali santri sejalan dengan sistem pendidikan yang dirancang oleh guru-guru At-Taqwa, sehingga menghasilkan hasil yang sama. Dan rangkaian acara setelahnya ialah testimoni yang dibawakan oleh Syamil (perwakilan dari Shoul-Lin, setingkat SMP) dan Qotrunnada (perwakilan dari PRISTAC, setingkat SMA).

Editor: Fatih Madini

Misi Besar Pesantren At-Taqwa Depok: Melahirkan Manusia Baik dan BermanfaatOleh: Darian Al-Fatih Alamsya Pohan (Santri S...
21/07/2025

Misi Besar Pesantren At-Taqwa Depok: Melahirkan Manusia Baik dan Bermanfaat

Oleh: Darian Al-Fatih Alamsya Pohan (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)

Pembina Pesantren At-Taqwa Depok, Dr. Adian Husaini, pada Ahad (20/7/25) memaparkan kembali seputar misi besar pesantren At-Taqwa kepada para santri baru dan beserta orang tuanya dalam acara Pembukaan MITSAQ, Masa Indah Ta’aruf Santri At-Taqwa.

Ustadz Adian menegaskan bahwa tujuan besar pendidikan di At-Taqwa adalah untuk melahirkan manusia-manusia baik melalui pendidikan adab dan pengajaran ilmu. “Model pendidikan ideal dalam Islam sudah baku, yakni penanaman adab lalu pengajaran ilmu,” ucapnya.

Menurutnya, problem terbesar umat Islam hari ini adalah hilangnya adab. Sementara tujuan inti pembelajaran telah disalahpahami: mencari ilmu hanya supaya bisa bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

“Akhirnya para murid maupun santri tidak dididik untuk menjadi manusia yang baik dan bermanfaat dengan ilmunya. Tidak p**a diarahkan untuk menjadi pejuang yang mengamalkan dan mengajarkan ilmu-ilmunya,” tutur Ustadz Adian.

Padahal, katanya, Allah sudah menegaskan bahwa manusia yang paling mulia adalah yang paling bertaqwa. Nabi Muhammad juga menegaskan kalau mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat.

Selain untuk mencegah lahirnya para penjahat berilmu, dengan mengedepankan penanaman adab, para santri juga bisa meraih “pekerjaan” yang tidak akan bisa digantikan oleh AI, yakni guru.

“Bukan guru sebagai tukang ngajar bayaran, tapi guru sebagai mujahid intelektual yang tidak hanya mempunyai ilmu, tapi juga hikmah,” ungkapnya.

Terlebih, di At-Taqwa, para santri juga diajarkan berbagai macam skill yang relevan dengan kebutuhan zaman, khususnya menulis dan public speaking. At-Taqwa juga menekankan soal budaya literasi yang tinggi dan beradab.

Maka melalui Pesantren At-Taqwa Depok, Ustadz Adian ingin melahirkan generasi unggul. Tidak hanya unggul dalam soal ilmu, tapi juga soal adab. Ia mampu menjadi manusia berilmu yang baik dan bermanfaat, yang mau berjuang demi agama dan bangsanya sendiri.

Mudir Pesantren At-Taqwa Depok, Dr. Muhammad Ardiansyah, mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dipenuhi untuk mewujudkan tujuan mulia itu. Pertama, adalah niat yang ikhlas karena Allah dalam diri murid, dibersamai dengan ikhtiyar yang kuat untuk fokus menuntut ilmu.

Kedua, adalah adanya kesungguhan dan keseriusan dari tiga pihak: murid, guru, dan orang tua. Murid siap dan mau menerima pembelajaran, serta istiqomah dalam menuntut ilmu. Guru serius mendidik dan mengajar. Orang tua menunjang kebutuhan materi maupun pendampingan bagi si anak, sekaligus ridha dan mempercayai pondok ini sepenuhnya dalam mendidik santri.

https://attaqwa.id/liputan/baca/misi-besar-pesantren-at-taqwa-depok-melahirkan-manusia-baik-dan-bermanfaat

PESANTREN AT-TAQWA DEPOK: MODEL PESANTREN IDEAL Oleh: Afkarmalik Hasan (Santri SMA At-Taqwa Depok, 16 Tahun)DEPOK - Pada...
02/07/2025

PESANTREN AT-TAQWA DEPOK: MODEL PESANTREN IDEAL

Oleh: Afkarmalik Hasan (Santri SMA At-Taqwa Depok, 16 Tahun)

DEPOK - Pada 30 Juni 2024, Pondok Pesantren At-Taqwa melaksanakan wisuda yang diselenggarakan di Gedung Sasono Mulyo, Depok. Pada wisuda kali ini, Pesantren At-Taqwa meluluskan 15 santri dari jenjang ATCO dan 4 santri dari jenjang PRISTAC. Sebelum diwisuda, para santri ATCO diwajibkan untuk menulis skripsi. Skripsi tersebut nantinya akan diujikan di hadapan para guru.

Pada kesempatan tersebut, Dr. Muhammad Ardiansyah, menceritakan perjalanannya dalam membangun Pesantren At-Taqwa. Ketika awal merintis, pesantren masih belum memiliki apa-apa, namun proses pendidikan sudah berjalan. “Yang terpenting dalam pendidikan adalah yang dipelajari dan siapa yang mengajarkan” ujarnya.

Wisuda kali ini dihadiri oleh beberapa tokoh, salah satunya perwakilan Kementerian Agama Kota Depok H. Shalahuddin Al-Ayyubi. Menurutnya, Pesantren At-Taqwa dengan ketinggian budaya literasinya, layak menjadi pesantren ideal untuk Indonesia. Hal tersebut dikarenakan, At-Taqwa sudah memenuhi tiga fungsi utama pesantren, yaitu li diiniyyah (keagamaan), li ijtima’iyyah (kemasyarakatan), dan li tarbiyyah (pendidikan)

Selain dari Kementerian Agama, pada acara kali ini juga hadir anggota DPRD Jawa Barat, yaitu H. Ricky Kurniawan. Menurutnya, santri identik sebagai entitas kebaikan. Hal tersebut dikarenakan, selama menimba ilmu di pesantren, seorang santri mendapatkan pendidikan adab. Pesantren juga berperan penting dalam mempertahankan Islam di Indonesia

Bapak Ricky juga menjelaskan, bahwa “Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah pesantren terbanyak, yaitu sekitar 15.000 lebih. Oleh karena itu, pesantren tidak dapat dipisahkan dari struktur masyarakat Jawa Barat.” Selain itu, ia juga memuji Pesantren At-Taqwa yang menawarkan budaya literasi, dan menjadi garda terdepan dalam menjaga akidah dan NKRI.

Setelah sambutan tersebut, acara dilanjutkan dengan atraksi bela diri syufu dan pemaparan oleh alumni Pesantren At-Taqwa, Fatih Madini. Ia menjelaskan bahwa agama Islam membangun budaya literasi yang beradab. Sejarah Islam dibangun oleh ilmu, dan budaya ilmu adalah pondasi peradaban. Ia mengutip perkataan Franz Rosenthal, yaitu “Ilmu itu Islam, dan orang Islam pasti berilmu.”

Selain itu, salah satu dosen ATCO, Dr. Akmal Syafril juga mengapresiasi santri At-Taqwa yang mampu menulis skripsi dengan baik. Dalam pandangannya, siswa setingkat SMA sudah harus mampu membuat penelitian dan menganalisis suatu hal. Ia juga senang karena diberikan amanah untuk menjadi pembimbing penulisan skripsi.

Acara wisuda ditutup oleh pemaparan dari pendiri Pesantren At-Taqwa, Dr. Adian Husaini. Ia menegaskan bahwa Pesantren At-Taqwa menerapkan pendidikan untuk membentuk budaya literasi tinggi dan beradab.

Hal tersebut diapresiasi oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, yang secara khusus memberikan ucapan selamat milad ke-10 Pesantren At-Taqwa Depok, melalui video singkat.

Menurut Mendikdasmen, Pesantren At-Taqwa Depok, bukan hanya mendalami ilmu-ilmu agama, tetapi juga membentuk budaya literasi. Para santri dididik senang membaca dan menulis. (***)

Address

Pesantren At-Taqwa Depok
Depok
16413

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Artikel Santri At-Taqwa posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Artikel Santri At-Taqwa:

Share