17/07/2025
AYAH PANUTANKU SERTA KEBANGGAANKU
Pada sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah hijau terhampar, hiduplah keluarga sederhana Pak Karto. Ia seorang petani tangguh dengan tangan kapalan dan punggung membungkuk karena kerasnya hidup. Impian terbesarnya adalah melihat anak semata wayangnya, Jaka, menjadi seorang prajurit gagah, membela negara, dan mengangkat derajat keluarga.
Sejak kecil, Jaka selalu terpesona dengan kisah-kisah pahlawan dan seragam loreng yang gagah. Ia sering berlari-lari di pematang sawah, menirukan gerakan baris-berbaris, sementara Pak Karto tersenyum bangga melihat semangat putranya. Namun, untuk mewujudkan impian itu, jalan yang harus ditempuh tidaklah mudah. Biaya pendaftaran dan pelatihan untuk menjadi prajurit tidak sedikit, jauh melampaui kemampuan Pak Karto.
"Jangan khawatir, Nak. Ayah akan mengusahakan segalanya," ujar Pak Karto suatu malam, menepuk pundak Jaka yang tengah murung.
Sejak hari itu, pengorbanan Pak Karto semakin menjadi-jadi. Ia bangun sebelum matahari terbit dan pulang setelah bulan bersinar terang. Selain menggarap sawah sendiri, ia juga menerima pekerjaan serabutan di desa tetangga, mulai dari memanggul hasil panen hingga memperbaiki atap rumah. Tubuhnya seringkali lelah tak terkira, namun semangatnya tak pernah padam. Istrinya, Bu Siti, tak heran melihat suaminya terkadang hanya makan nasi dan garam agar Jaka bisa makan makanan bergizi.
Suatu hari, kekeringan melanda desa. Sawah-sawah mengering, panen gagal, dan harapan seolah ikut mengering. Banyak petani menyerah, namun Pak Karto tidak. Ia tahu, impian Jaka bergantung padanya. Dengan berat hati, ia memutuskan menjual satu-satunya warisan berharga dari kakeknya: sebidang tanah kecil di dekat sungai yang selalu ia idam-idamkan untuk membangun rumah permanen.
"Tidak, Ayah! Jangan! Itu warisan Kakek," Jaka protes ketika tahu keputusan ayahnya.
Pak Karto tersenyum, meski matanya menyiratkan kesedihan. "Warisan terbaik bukanlah tanah, Nak, melainkan masa depanmu. Dan masa depanmu adalah menjadi prajurit."
Dengan uang hasil penjualan tanah, Pak Karto mendaftarkan Jaka. Ia juga memastikan Jaka memiliki seragam dan perlengkapan seadanya yang dibutuhkan selama pelatihan. Jaka, dengan tekad membara, berjanji tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan ayahnya.
Waktu berlalu. Kabar dari Jaka sesekali datang, menceritakan beratnya latihan, disiplin yang ketat, namun juga semangat kebersamaan di antara para calon prajurit. Pak Karto selalu mendengarkan dengan seksama, hatinya berdebar bangga.
Hingga tiba hari yang dinanti-nanti. Sebuah surat resmi datang, mengabarkan bahwa Jaka telah lulus dan resmi menjadi seorang prajurit. Air mata Pak Karto menetes, bercampur haru dan bangga. Ia segera bergegas ke kota tempat upacara kelulusan diadakan.
Ketika Jaka muncul dalam balutan seragam loreng yang gagah, ia berdiri tegak, memancarkan aura prajurit sejati.
Pandangannya menyapu kerumunan dan berhenti pada sosok ayahnya yang kurus, dengan rambut memutih dan wajah berkerut.
Jaka segera menghampiri Pak Karto, memberi hormat. "Ayah," katanya, suaranya sedikit bergetar menahan haru.
Pak Karto hanya mampu mengangguk, tenggorokannya tercekat. Ia meraih tangan Jaka yang kekar, mengelusnya dengan lembut, merasakan kebanggaan yang meluap di dadanya. Semua pengorbanan, semua keringat, semua air mata, terbayar lunas pada hari itu.
"Ayah bangga padamu, Nak," bisiknya, suaranya serak.
Jaka memeluk ayahnya erat, merasakan kehangatan kasih sayang yang tak terbatas. Di balik seragam gagahnya, ia tahu bahwa setiap langkah yang ia pijak sebagai prajurit adalah hasil dari pengorbanan luar biasa seorang ayah. Ia adalah prajurit gagah yang tak akan pernah melupakan akar dan pengorbanan terbesar yang membentuknya.