20/06/2025
Sekolah mengajarkan banyak hal: rumus, hafalan, sistem, bahkan kepatuhan. Tapi satu hal yang tak bisa dijadwalkan dalam kurikulum adalah kejujuran. Ia bukan mata pelajaran. Ia tak bisa diluluskan dengan ujian tulis. Kejujuran bukan hasil dari ceramah panjang atau nilai rapor yang tinggi. Ia tumbuh di tempat yang tak terlihat: dalam batin, dalam pilihan sehari-hari, dan dalam sunyi saat tak ada yang mengawasi.
Banyak orang pandai, tapi tak bisa dipercaya. Banyak yang berseragam, berbicara tentang etika, tapi lupa menjaga kata dan janji. Karena kejujuran bukan dibentuk oleh lencana, gelar, atau jabatan. Kejujuran adalah keberanian. Keberanian untuk tak bersembunyi di balik kepura-puraan. Keberanian untuk menanggung resiko dari mengatakan yang benar, meski menyakitkan.
Masyarakat bisa runtuh bukan karena kebodohan, tapi karena hilangnya kejujuran. Orang cerdas bisa membangun jembatan, tapi kalau tak jujur, ia akan menurunkan kualitasnya agar untung lebih besar. Politikus bisa bicara soal kemajuan, tapi kalau tak jujur, ia hanya membangun pencitraan sambil memperbesar kekuasaan. Maka, kejujuran bukan cuma perkara pribadi—ia adalah fondasi dari segala peradaban.
Dan justru karena ia tak diajarkan, maka setiap orang harus belajar menghidupkannya sendiri. Dari rumah, dari kegagalan, dari perasaan bersalah yang tak diabaikan. Kejujuran harus diasah lewat keputusan-keputusan kecil: mengakui kesalahan, menolak jalan pintas, berani berkata tidak pada sesuatu yang menguntungkan tapi tak pantas.
Kalau kau ingin tahu apakah seseorang itu terpelajar, jangan lihat gelarnya. Lihat apakah ia bisa jujur ketika tak ada yang melihat. Karena hanya orang yang berani jujur—meski hidupnya jadi lebih sulit—yang bisa dipercaya untuk memikul hal-hal yang lebih besar.