26/12/2025
Kesultanan Melayu di Indonesia: Kekuasaan yang Dilumpuhkan, Sejarah yang Dipinggirkan
Narasi bahwa kesultanan Melayu di Indonesia “dibu*uh” sering dianggap berlebihan. Namun menafikannya sepenuhnya juga tidak jujur. Fakta sejarah menunjukkan bahwa yang dihancurkan bukan sekadar kerajaan, melainkan seluruh sistem kedaulatan politik Melayu, secara bertahap dan sistematis.
Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-20, kesultanan Melayu—terutama di Sumatra dan pesisir Kalimantan—merupakan kekuatan utama perdagangan, diplomasi, dan hukum Islam di Nusantara. Palembang, Jambi, Siak, Riau-Lingga, Indragiri, Deli, Asahan, Sambas, hingga Pontianak bukan kerajaan kecil. Mereka menguasai jalur strategis Selat Malaka dan Sungai Musi, berhubungan langsung dengan Turki Utsmani, Arab, India, dan Cina.
Namun justru karena kekuatan itulah, kesultanan Melayu menjadi target utama kolonialisme Belanda.
Belanda tidak selalu datang dengan pembantaian massal. Metode yang lebih efektif adalah melumpuhkan kedaulatan dari dalam: memaksakan perjanjian, mencabut hak pajak, membubarkan angkatan bersenjata, dan mengubah sultan menjadi simbol tanpa kuasa. Ketika perlawanan terjadi, barulah kekerasan digunakan.
Kasus Palembang Darussalam (1821–1823) menunjukkan pola itu dengan jelas. Setelah perlawanan bersenjata, Belanda menghancurkan pusat kekuasaan kesultanan, mengasingkan Sultan Mahmud Badaruddin II, dan menghapus institusi politiknya. Hal serupa terjadi di Jambi, ketika Sultan Thaha Syaifuddin gugur dalam perang pada 1904, menandai berakhirnya kesultanan secara de facto.
Riau-Lingga bahkan dibubarkan secara administratif pada 1911. Tanpa perang besar, tanpa pengadilan rakyat. Satu keputusan kolonial cukup untuk menghapus sebuah negara Melayu yang pernah berdaulat.
Yang jarang dibicarakan adalah apa yang terjadi setelah itu. Ketika Indonesia merdeka, negara baru memilih bentuk republik yang terpusat. Kesultanan tidak dikembalikan kekuasaannya. Mereka diintegrasikan sebagai unsur budaya, bukan sebagai entitas politik. Di titik inilah, penghapusan sejarah menjadi lebih halus tapi lebih permanen.
Dalam buku pelajaran, peran kesultanan Melayu sering dipersempit menjadi catatan samping: “kerajaan daerah”, “berakhir karena Belanda”, lalu selesai. Tidak ada pembahasan mendalam tentang sistem hukum, ekonomi, diplomasi, atau kontribusinya dalam pembentukan identitas Nusantara. Akibatnya, generasi hari ini tumbuh dengan kesan seolah-olah Melayu tidak pernah menjadi poros kekuasaan.
Padahal bahasa nasional Indonesia berakar dari bahasa Melayu. Jalur dakwah Islam di Nusantara sebagian besar bergerak melalui pelabuhan-pelabuhan Melayu. Hukum adat dan struktur sosial pesisir dibentuk oleh kesultanan, bukan oleh kolonial atau negara modern.
Maka, pertanyaannya bukan apakah sejarah Melayu “dibu*uh” secara fisik. Yang lebih relevan adalah ini:
Mengapa kekuasaan Melayu dihancurkan, lalu perannya dikecilkan dalam ingatan kolektif?
Jawabannya terletak pada logika kekuasaan. Kolonialisme tidak hanya menaklukkan wilayah, tapi juga narasi. Negara modern tidak selalu menghapus dengan senjata, tapi sering dengan kurikulum.
Kesultanan Melayu tidak lenyap karena lemah. Mereka dilumpuhkan karena terlalu strategis. Dan sejarah mereka tidak hilang karena tidak penting, tetapi karena terlalu berpengaruh untuk dibiarkan hidup utuh dalam kesadaran publik.