
14/07/2025
IBUKU DIHINA, IBU MERTUA DIANGGAP TAK SELEVEL DENGANNYA
Namaku Rina. Aku baru satu tahun menikah dengan Dimas, pria yang sangat aku cintai. Tapi kebahagiaan itu tak pernah benar-benar utuh, karena sejak awal, ibuku selalu jadi sasaran hinaan dari ibu mertuaku.
“Ibumu itu cuma penjual gorengan, Rina. Bagaimana bisa keluarga kami disandingkan dengan orang seperti itu?” ucap ibu mertuaku suatu hari, saat aku sedang membantu di dapur.
Aku hanya diam, menunduk, menahan air mata. Aku tidak pernah malu dengan ibuku. Ia wanita hebat, membesarkanku sendirian setelah ayah meninggal, bangun subuh tiap hari untuk menyiapkan dagangan, menyekolahkanku hingga sarjana. Tapi semua itu tidak cukup di mata ibu mertuaku yang berasal dari keluarga terpandang.
Aku tahu, sejak awal pernikahan ini tak sepenuhnya ia setujui. Ia selalu ingin Dimas menikah dengan gadis dari “keluarga terpandang” — bukan aku, anak dari janda penjual gorengan.
Puncaknya terjadi ketika ibuku datang menjenguk cucunya. Dengan senyum tulus dan tangan yang membawa kotak gorengan hangat, ibu duduk di ruang tamu menunggu. Tapi ibu mertuaku malah mencibir.
“Bau minyak! Rumah jadi seperti warung pinggir jalan!”
Aku mendengarnya dari dapur. Darahku mendidih. Tapi ibuku… hanya tersenyum. Seakan kata-kata itu tak menusuk hatinya.
“Ibu minta maaf kalau ganggu,” kata ibu sambil perlahan bangkit dan pamit pulang.
Setelah itu, aku menangis di kamar. Dimas mencoba menenangkanku, tapi aku tahu, ini tak akan selesai hanya dengan kata maaf. Hatiku hancur. Aku tidak ingin hidup bersama seseorang yang menghina orangtuaku, tak peduli seberapa tinggi statusnya.
Beberapa hari kemudian, aku membawa Dimas dan bayi kami ke rumah ibuku. Di sana, aku berdiri dan memegang tangan ibu.
“Ibu, mulai sekarang… izinkan kami lebih sering di sini. Aku ingin anakku tumbuh mengenal perempuan yang paling kuat dan paling mulia yang pernah aku kenal.”
Ibu tertegun, lalu memelukku erat. Tak ada kata, hanya air mata haru. Aku tahu, darah bangsawan tak membuat seseorang jadi mulia. Tapi hati yang sabar, yang tetap memberi meski dihina — itulah derajat sejati.
Pesan moral: Derajat manusia tidak ditentukan dari status sosial, tapi dari hati yang kuat dan tulus. Jangan pernah meremehkan orang lain hanya karena latar belakangnya.