23/10/2025                                                                            
                                    
                                                                            
                                            Maya menarik napas dalam-dalam, aroma kopi pagi dan debu jalanan yang samar-samar menyengat hidungnya. Di usianya yang ke-28, ia merasa berdiri di persimpangan yang menarik: bukan lagi seorang gadis muda yang baru lulus, tetapi juga belum sepenuhnya merasa "dewasa" seperti yang ia bayangkan dulu.
Empat tahun sejak ia menanggalkan toga, Maya telah memetakan karirnya sebagai seorang arsitek lanskap di sebuah biro konsultan yang cukup terkemuka. Pekerjaannya menuntut kreativitas, ketelitian, dan sesekali, harus bernegosiasi dengan klien yang keras kepala. Ia menyukai dinamikanya, cara ia bisa mengubah sebidang tanah kosong menjadi ruang hidup yang indah dan fungsional.
Namun, hidupnya bukan hanya tentang garis denah dan pohon-pohon. Di luar jam kantor, Maya adalah seorang penjelajah kota yang gigih. Akhir pekannya sering dihabiskan untuk mencoba kedai kopi independen terbaru, memotret detail-detail arsitektur lawas yang sering terlewatkan orang, atau terkadang, menenangkan pikirannya dengan lari jarak jauh di taman kota.
Ia memiliki lingkaran pertemanan yang solid—sisa-sisa persahabatan dari masa kuliah yang telah berubah menjadi semacam "keluarga pilihan." Diskusi mereka kini tidak hanya seputar tugas akhir atau pesta, melainkan tentang investasi, rencana pernikahan teman, dan dilema tentang keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi.
Dalam hal asmara, Maya berada di titik yang disebutnya "cukup tenang." Ada beberapa kencan yang menyenangkan, beberapa hubungan yang mengajarkannya banyak hal, tetapi tidak ada yang benar-benar menetap. Ia tidak terburu-buru. Ia tahu apa yang ia inginkan dan tidak ingin berkompromi hanya demi memenuhi "tenggat waktu" sosial. Baginya, usia 28 adalah masa untuk membangun fondasi, baik dalam karir maupun diri sendiri.
Melihat ke depan, ada ambisi yang berkobar di matanya: sebuah rencana untuk mengambil studi singkat di luar negeri, keinginan untuk merancang taman kota yang ia bisa sebut sepenuhnya miliknya, dan harapan sederhana untuk terus belajar dan tumbuh tanpa henti. Maya tersenyum kecil. Ia tahu, jalan di depannya mungkin tidak lurus, tetapi ia sudah siap dengan peta, sepatu yang nyaman, dan semangat yang tidak mudah padam. Usia 28 adalah babak yang menjanjikan, dan ia siap untuk menuliskan setiap halamannya.