16/02/2025
TEMPO DULU ETIKA PERANG DALAM TRADISI BATAK KUNO
Ketentuan perang pada masa lalu di wilayah Batak sangat ketat dan dihormati.
Tindakan yang dapat memicu perang meliputi:
- Pelanggaran hukum,
- Penyelesaian masalah secara main hakim sendiri,
- Pembalasan dendam,
- Pencurian ternak,
- Pembunuhan, dan
- Penjarahan.
Namun, sebelum perang benar-benar terjadi, biasanya ada upaya mediasi yang dilakukan oleh pihak-pihak netral atau diplomat yang berpengaruh. Kepiawaian berbicara sering kali lebih efektif dibandingkan penggunaan senjata.
Jika upaya mediasi dan ultimatum gagal, perang akan dimulai dengan tembakan pertama ke arah musuh. Tembakan ini disambut sorak-sorai oleh kedua belah pihak.
Struktur Kepemimpinan dalam Perang
Perang dipimpin oleh Raja Partahi yang dipilih rakyat karena kekayaan, keberanian, kepandaian berdebat, dan keramahannya. Raja Partahi memiliki empat menteri sebagai berikut:
1. Pande Radja (Perdana Menteri): Mengawasi kesiapan senjata seperti senapan, pisau, dan tali serta memastikan persediaan bubuk mesiu dan makanan mencukupi.
2. Pande Mauli : Bertugas menjaga kesatuan dan kesiapan pas**an.
3. Pande Namora : Menteri keuangan yang mengelola dana perang. Jika ada prajurit miskin, ia bahkan rela meminjamkan uang. Semua prajurit wajib menyumbang ke kas umum, yang dapat diganti dengan babi atau ayam di kemudian hari.
4. Pande Nabolon : Seorang ahli astronomi yang menentukan hari baik untuk memulai peperangan berdasarkan posisi benda langit.
Sebelum perang dimulai, diadakan acara makan bersama yang disebut "parbahean." Dalam acara ini, kerbau disembelih, dan para tetua memberikan restu dengan pidato yang bersemangat. Raja kemudian memimpin upacara dengan membawa beras yang diberkati. Dia memohon kepada para leluhur dan dewa-dewa, termasuk Mulajadi Nabolon, Batara Guru, dan Soripada, untuk memberikan kemenangan dalam perang.
Hak dan Aturan Perang
Seperti masyarakat adat lainnya, orang Batak memiliki aturan perang yang ketat:
1. Tidak berperang pada malam hari.
2. Tidak mengganggu petani yang sedang bekerja di sawah.
3.Tidak mengganggu orang yang sedang makan, karena makan dianggap sebagai momen sakral dan penting bagi masyarakat Batak.
Selain itu, orang yang membawa makanan suci untuk upacara tidak boleh diserang. Mereka dianggap sebagai "Palang Merah." Pengangkut makanan yang membawa sajian seperti babi panggang dan nasi dalam upacara rekonsiliasi juga dihormati. Tindakan menyerang orang yang membawa makanan ini dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hukum perang.
Bahkan perempuan yang sedang hamil dan penggembala ternak dianggap sebagai pihak netral yang tidak boleh diganggu.