30/09/2025
“Dokter Adnan, apa tidak sebaiknya Nyonya Adnan dijemur pagi hari, hari ini Dokter tidak ada jadwal pagi, kan? Bisa bantuin Nyonya berjemur?” Ana menoleh terkejut mendengar celoteh suster itu.
💐Semakin Dekat
“Bu Ana, kalau boleh kami tahu, siapa Hans itu?”
“Hans?” tanya Ana memastikan mereka menanyakan Hans.
“Apakah Bu Ana mengenal nama itu?”
“Dia mantan tunangan saya, Pak.” Ana menjawab sambil menunduk
“Di mana dia sekarang? Apakah ada hubungan dengan Bu Ana sebelum mengalami musibah?”
“Tidak tahu, Pak.”
“Baiklah, saya rasa cukup sekian dulu, Dokter Adnan. Dan kami akan membawa laporan hasil visum sebagai bahan penyelidikan lebih lanjut. Terima kasih, Bu Ana, atas informasi dan keterangannya. Kami akan sambungkan laporan ini ke kota tempat Bu Ana tinggal.” Polisi itu menyalami Ana lalu mereka pergi.
“Besok aku bawa perhiasanmu. Aku lupa membawanya kemari.”
“Tidak apa-apa. Terima kasih, Dok. Sudah menyelamatkan aku.” Ana menatap Dokter tampan itu dengan senyuman tulus.
‘Senyumnya, Astaghfirullah. Manis sekali,’ batin Adnan membalas senyuman Ana.
“Sama-sama. Istirahatlah.” Adnan kembali memeriksa berkas rekam medis milik Ana yang dibawa suster, lalu keluar ruangan.
Sebelum mencapai pintu keluar, suster itu memanggil Dokter Adnan.
“Dokter Adnan, apa tidak sebaiknya Nyonya Adnan dijemur pagi hari, hari ini Dokter tidak ada jadwal pagi, kan? Bisa bantuin Nyonya berjemur?” Ana menoleh terkejut mendengar celoteh suster itu.
Adnan yang masih menghadap pintu itu tersenyum tipis mendengar penuturan suster, lalu menyamarkan senyumnya dan berbalik.
“Maaf.” Suster itu menutup mulut karena salah menyebut nama pasien.
“Nona Ana maksud saya, Dok.” Suster itu meralat ucapannya.
“Baiklah, aku bantu Nona Ana berjemur.” Adnan kembali mendekati mereka.
Suster segera menata kursi roda dan mendekatkan ke brankar. Saat Adnan mendekati Ana hendak membopongnya, Ana menghindar.
“Dok.” Ana mencegah Dokter Adnan membopongnya.
“Kenapa? Aku hanya membantumu duduk di kursi roda. Kakimu masih belum pulih.”
Adnan tanpa ragu langsung meletakkan lengan kirinya di pinggang Ana, dan lengan kanan menopang kedua kaki pasiennya. Gadis itu tampak berpegangan pada bahu Dokter. Setelah duduk dengan baik pada kursi roda, dia mengucapkan terima kasih.
“Dok, ke taman belakang saja, sinar matahari lebih lama.” Suster itu seolah-olah memang memberi ruang kepada mereka berdua.
Adnan tersenyum di belakang Ana yang sudah duduk manis di kursi roda dengan kaki menjuntai dipasang pengaman karena masih belum bisa digerakkan dengan sempurna. Ana hanya menunduk malu mendengar kelakar suster itu.
Adnan mendorong kursi roda gadis manis yang masih sama-sama jomblo pergi ke taman belakang rumah sakit. Sinar matahari belum terlalu tinggi, sehingga masih hangat menyentuh kulit. Dokter penyuka warna biru itu mengunci kursi roda menghadap ke utara, sehingga tubuh Ana terkena paparan sinar matahari, tetapi tidak terlalu silau.
“Kamu ingat nomor keluargamu? Kita hubungi mereka.” Adnan duduk di bangku sebelah kursi roda Ana.
“Tidak perlu. Aku di sini lebih nyaman.” Ana memejamkan mata seolah-olah beban di hidupnya begitu berat sehingga memilih berada di sana saja.
“Kamu tidak ingin sembuh?”
“Aku ingin sembuh, tapi tidak ingin kembali ke mereka, jika aku tidak diharapkan kembali.”
“Terus, kalau kamu udah sembuh, mau tinggal di mana?”
“Dok, aku mau minta tolong, boleh?”
“Tentu saja. Apa yang harus aku lakukan?”
“Aku ingin melihat ibu dan adik tiriku, apakah mereka mencariku?”
“Boleh. Sebutkan saja alamat kamu. Nanti aku bantu.”
“Tapi jangan katakan pada mereka jika aku masih hidup.”
“Kenapa begitu?”
“Nanti Dokter akan tahu sendiri jawabannya.” Ana menoleh ke arah Dokter, di saat bersamaan, Adnan juga menatapnya.
Ana segera menunduk malu saat matanya bersitatap dengan dokter yang telah menyelamatkan hidupnya. Entah dengan cara apa dia membalas kebaikan dan ketulusan dokter itu.
“Fiuuw … fiiuuuw ….”
Siulan itu membuat suasana berubah. Adnan maupun Ana menoleh ke arah suara siulan yang terkesan meledek ke arah mereka. Membuat gadis berambut panjang tersebut tersipu malu dan menunduk. Setiap nadanya seperti tawa yang tak terucap. Bima, lagi-lagi membuat kekonyolan yang merubah suasana romantis menjadi canggung.
“Selamat pagi, Nyonya Adnan, bagaimana kabarnya? Sudah banyak perkembangan sepertinya. Dokter Adnan sudah berhasil menyembuhkan Nyonya Adnan.”
Plak!
Gebukan manja mendarat di punggung Bima karena sudah membuat Ana malu sampai menunduk. Pasien spesial sang dokter itu hanya memilin ujung bajunya dalam keadaan menunduk tersipu malu.
“Aduh! Apa, sih, Pak Dokter? Aku menyapa Nyonya, bukan menyapa Pak Dokter.” Bima duduk di sebelah Adnan.
Bima menyerahkan rantang yang sedari tadi dipegangnya ke Adnan. Adnan menerima rantang kecil bersusun tiga itu dengan senyuman, karena dia tahu itu pasti dari Safira.
“Kata Adik Ipar, suruh nyuapin calon Kakak Ipar,” ucap Bima meledek lagi.
“Nona Ana mau sarapan?” tawar Adnan lembut.
“Aku sudah sarapan, Dok.” Ana menoleh ke arah lain agar tidak terkesan malu.
“Capcay, masakan adik ipar enak loh, Kak,” goda Bima sambil tertawa.
“Jadi kamu sudah mencicipinya?” tanya Adnan kepada Bima.
“Sudah, di rumah.”
“Awas aja kalau berani macam-macam!” Adnan mengepalkan tangannya sebagai peringatan setengah bercanda kepada Bima.
“Enggak, mana berani macam-macam sama adik Pak Dokter,” ujar Bima sambil mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V.
“Aku ambilkan mangkok dulu,” ucap Bima bergegas ke ruang pantry di rumah sakit.
“Nah, makanlah.” Bima menyerahkan mangkok, sendok kepada Adnan.
Adnan membuka rantang dan menyendok nasi ke mangkok sedikit, lalu menuangkan sayur capcay serta telur goreng ke mangkok dan menyerahkannya kepada Ana.
“Dok, gimana sih, disuruh makan sendiri? Sini, aku suapin!” gerutu Bima mengambil mangkok dari tangan Ana.
Adnan mengambil alih mangkok dari tangan Bima, karena biarpun cuma candaan, Adnan sungguh tidak rela jika pasien istimewanya disuapin lelaki lain.
Bima tersenyum menang, bisa membuat dua insan yang sama-sama jomblo itu saling berdekatan. Adnan tanpa canggung menyuapi Ana tapi gadis itu justru ragu dan tersipu malu. Menerima suapan demi suapan.
Ketika matahari telah tinggi, Adnan membawa Ana kembali ke kamarnya dan memintanya istirahat. Ana hanya mengangguk tak lupa mengucapkan terima kasih kepada dokter. Bima hanya mengekor sesekali meledek sahabatnya dan sengaja membuat pasien muda itu sering tersipu malu.
“Bim, besok kita akan mencari TKP Ana dibegal.”
“Serius? Aku ikut andilkah?”
“Kamu akan jadi saksi penemuan Ana. Kita juga belum tahu lokasi di mana pembegalan terjadi. Karena Ana sendiri bukan warga sini, jadi agak kesulitan menentukan lokasi. Apalagi warga mengatakan daerah kita maupun hulu itu aman,” tegas Adnan sambil melangkah menuju ruang prakteknya.
“Baiklah. Aku kembali ke desa dulu. Hari ini ada penyuluhan.”
Adnan hanya melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Adnan melanjutkan tugasnya sebagai dokter dan memeriksa beberapa pasien yang sedang antrian.
Keesokan harinya, beberapa polisi menggiring mobil Adnan yang didampingi beberapa suster membawa Ana menuju lokasi dia dibegal. Gadis penyuka warna hitam itu masih agak bingung dengan lokasi karena tidak mengenali tempat itu. Adnan pelan-pelan menyetir mobil dan menanyakan kira-kira apa yang diingat oleh pasien saat peritiwa itu terjadi. Dia menjelaskan ada sebuah pos kamling berwarna biru dengan kentongan besar menggantung dan lampu berwarna putih tidak terlalu terang.
“Itu Desa Kalibaru wetan, Dok. Pos kamling delapan.” Salah satu suster mengenali ciri pos kamling yang disebut Ana.
Setelah tiba di pos kamling tersebut, Ana justru berteriak histeris ketakutan.
“Aargt!” Ana menutup kedua telinga sambil memejamkan mata menunduk ketakutan. Airmata pun mengalir deras di kedua pipinya.
Bersambung.
#4
Mampir ke KBMApp, yuk 🫰
Judul : Gadis yang Kutemukan di Sungai
Penulis : Zhandriecka