Ajo Rete

Ajo Rete Menerima jasa promo bermacam novel…📔
"Jangan biarkan pendapat orang lain tentangmu menjadi pendapatmu atas dirimu sendiri" ~NAK~

"Halo, Mas. Kami nggak jadi ke kontrakan kalian, ya. Kalian yang ke rumah aja. Soalnya calon suami aku mau datang melama...
23/06/2025

"Halo, Mas. Kami nggak jadi ke kontrakan kalian, ya. Kalian yang ke rumah aja. Soalnya calon suami aku mau datang melamar."

Kamila sengaja menghubungi Andreas. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk pamer? Menunjukkan bahwa dia lebih bahagia karena mendapatkan lelaki yang secara finansial jauh lebih baik dari mantan kekasihnya yang dia aanggap mokondo.

"Oke. Manti aku dan Hanum ke sana." Andreas sedang di perjalanan untuk menjemput istrinya. Ia menjawab panggilan dari Kamila dengan enggan. Maksudnya, Kamila harusnya menghubungi istrinya bukan dirinya. Bagaimanapun mereka dulunya pernah punya hubungan. Ia tidak mau ada kesalahpahaman.

"Kamu kayak nggak ikhlas banget jawabnya, Mas? Kamu cemburu, ya, aku bisa dapetin laki-laki yang lebih baik dari kamu?"

Apa, sih?

Andreas mengerutkan dahinya. Mantannya ini lama-lama makin aneh saja. Mana tadi bilang kontrakan. Siapa juga yang tinggal di kontrakan?

"Nggak ikhlas gimana? Aku sudah punya istri. Jadi tidak ada alasan untuk tidak ikhlas atau cemburu."

"Ya kalaupun kamu cemburu itu wajar sih, Mas. Biar gimanapun aku itu lebih baik dari Hanum. Aku tahu kamu itu cuma pura-pura cinta sama adik aku. Padahal sebenarnya kamu itu belum move on 'kan? Buktinya denger aku mau lamaran aja kamu langsung sewot."

Astagfirullah. Siapa juga yang sewot?

"Aku lagi di perjalanan, Mil. Kamu jangan bikin orang emosi."

Siapa juga yang belum move on? Ia bahkan sudah ilfeel se- ilfeel-llfeel-nya pada mantannya itu.

"Nggak usah emosi, Mas. Santai aja. Oh iya, kamu ke sini nggak usah bawa gorengan ya. Di rumah sudah ada makanan yang enak-enak. Jangan bikin malu keluargaku di depan calon suamiku."

Ini Kamila mabuk kecubung apa gimana sih? Kok bisa dulu ia cinta pada wanita seperti ini?

Lagian siapa juga yang mau bawa gorengan ke rumah? Pede sekali dia.

"Rerserah." Andreas langsung mematikan telepon. Jangan sampai dia darah tinggi gara-gara bicara dengan Kamila. Karena wanita itu selalu bicara di luar galaksi. Tak masuk di nalar.

***

23/06/2025

Nikahan yang lagi viral Bunda Kandung VS Bunda Tiri

Spoiler partKamila nampak tegang karena acara akad akan segera dimulai. Sesekali ia melirik adiknya, yang nampak mesra d...
23/06/2025

Spoiler part

Kamila nampak tegang karena acara akad akan segera dimulai. Sesekali ia melirik adiknya, yang nampak mesra dengan suaminya. Entah kenapa Kamila ada rasa tidak s**a melihat kemesraan mereka. Padahal ia sendiri sebentar lagi akan menikah dengan pria pilihannya. Yang menarik perhatian Kamila lagi adalah, Hanum semakin cantik saja. Dan hal itu membuatnya tidak s**a.

part acak

Fokusnya lalu kembali ke depan. Di sana ada Arfian yang hendak mengucapkan ikrar ijab qabul.

"Saya terima nikah dan kawinnya Kamila Larasati binti Ahmad Rahmadi dengan mas kawin emas 10 gram dan mobil Daihatsu Ayla dibayar kredit."

"Bagaimana para saksi?"

"SAH!"

Seruan sah menggema di ruangan. Seharusnya pengantin wanita menangis terharu. Tapi Kamila malah memaku kebingungan. Ia tak salah dengar maharnya dibayar kredit?

Ini maksudnya bagaimana?

Saat penghulu menjelaskan tadi ia kurang begitu menyimak karena sibuk memperhatikan sang mantan yang semakin tampan dan adiknya yang semakin cantik.

"Tunggu. Maksudnya gimana, Mas? Kenapa maharnya dibayar kredit? Terus mobilnya 'kan aku mintanya Lexus kenapa Daihatsu Ayla?"

Kamila sontak berdiri marah dan membuat situasi mendadak tegang.

Judul : Pura-Pura di PHK, Padahal Aku Bosnya

Penulis : Brakasena

Nekad pergi karena tidak mau berbagi suami. Ternyata nasib baik berpihak padaku. Seseorang mencariku, tak disangka dia a...
23/06/2025

Nekad pergi karena tidak mau berbagi suami. Ternyata nasib baik berpihak padaku. Seseorang mencariku, tak disangka dia adalah ....

___________

Part 2

Rumah Pak Majid letaknya tidak jauh dari terminal. Kami berjalan selama 10 menit untuk sampai ke sana. Rumahnya sederhana, tinggal hanya berdua dengan istrinya. Katanya anak-anaknya semuanya sudah punya keluarga dan tidak tinggal di kota ini.

Pak Majid dulunya orang kepercayaan Mas Topan. Jadi dia tahu pasti bagaimana kondisi pabrik batako milik kami saat itu. Pun ketika terpaksa usaha itu terhenti.

Aku juga mengerti tentang bisnis itu karena sering terlibat. Aku bukan tipe wanita yang cuma pvas berdiam diri di rumah.

Pak Samsul adalah seorang pengusaha properti. Ia sudah lama bekerja sama dengan kami yang menjadi salah satu pemasok batako untuk proyek Pak Samsul.

Namun sayangnya kepercayaan kami ternoda. Tahun lalu pak Samsul tidak membayar barang yang sudah ia pake untuk proyeknya. Selama bertahun-tahun dia jadi pelanggan dan bisa dipercaya. Sudah biasa melakukan pemb4y^ran di akhir.

Kami merasa dit1pu dan produksi pun berhenti. Mau menggugat melalui jalur hvkum tidak ada d4na. Akhirnya kami kehilangan semua aset untuk menutupi berbagai bi4ya termasuk memb4yar gaji karyawan yang ditunggak.

Bu Ita, wanita paruh baya yang menjadi istri Pak Majid pun tidak masalah dengan kedatanganku. Meski aku baru pertama kali bertemu dengannya, namun Bu Ita seperti yang sudah kenal denganku. Rupanya Pak Majid sering bercerita tentang keluargaku.

"Bu Zahra tinggal di sini aja. Kebetulan saya tidak ada teman. Tapi maaf, keadaan kami seperti ini."

"Nanti merepotkan, Bu."

"Insya Allah tidak. Bapak sudah sering cerita tentang keluarga Bu Zahra yang baik. Dulu sewaktu Bapak kerja pada Ibu, kami sering ditolong, diberi pinj4man. Sekarang giliran kami yang menolong Ibu meski hanya semampunya. " Mata Bu Ita mengerjap.

"Terima kasih sebelumnya, Bu."

Alhamdulillah malam ini Malika bisa tidur di tempat yang layak meski hanya beralas kasur busa yang sudah tipis. Selepas berbuka, Pak Majid dan istrinya pergi solat tarawih. Sedangkan aku tak ikut lantaran Malika sudah terlelap.

Bersyukur tadi sore bertemu Pak Majid di terminal. Kalau tidak, entah tidur di mana malam ini. Kupandangi wajah Malika yang begitu lelap. Beribu maaf kembali terucap tanpa suara. Mungkin aku egois dengan membawa Malika pergi seperti ini. Tapi aku akan berusaha bangkit untuk mencukupi kebutuhannya.

Aku jadi teringat dengan anak sulungku, Marsha. Tahun lalu ia terpaksa keluar pesantren lantaran tak ada bi^ya. Marsha kini bersekolah di SMA umum dan hidup mandiri. Saat kuajak pindah ke kampung dulu, ia menolak. Sebenarnya tak tega melihatnya sekolah sambil jualan on-line, tapi itu pilihannya.

Meraih ponsel bermaksud menghubungi Marsha, namun aku baru ingat kalau sudah beberapa hari ini paketan kuotaku habis. Kembali kuusap da da yang terasa sesak. Semoga saja ada jalan rezeki agar aku tidak tergantung pada siapa pun kecuali pada Allah dan diriku sendiri.

***

Paginya selepas subuh, Pak Majid sudah berangkat lagi mulung. Sedangkan Bu Ita di rumah kerjanya memilih barang yang dikumpulkan suaminya. Aku pun membantu. Selain memang tidak ada kerjaan, aku juga tidak ingin terkesan menumpang dan berpangku tangan.

Menjelang siang aku pun pamit untuk mengisi pulsa. Atas penunjuk Bu Ita aku mendatangi konter terdekat. Bukan hanya mengisi kuota tapi aku juga menggantinya dengan nomor baru. Mulai saat ini aku sudah tidak mau berhubungan dengan Mas Topan dan keluarganya yang ternyata sekongkol menutupi pers3lingkvhan Mas Topan dan Farida.

Kupandangi uam^ng lima ribu sisa memb€li kartu baru. Lalu beralih menatap wajah Malika yang berjalan di sebelahku. Besok aku ikut mulung saja dengan Pak Majid supaya punya penghasilan sendiri. Tak enak juga lama-lama menumpang di rumah Pak Majid.

"Haus, Ma." Malika merengek sambil berhenti.

"Mama gendong, ya."

"Mau ja jan minuman dingin." Anak itu menunjuk sebuah minimarket di seberang jalan.

"Sekarang 'kan lagi puasa. Tidak ada yang menjval minuman dingin. Nanti minumnya di rumah Pak Majid aja, ya."

Aku terpaksa berbohong. U^ng lima ribu mana cukup memb3li minuman dingin di toko itu. Belum lagi kalau Malika minta jajan lain.

Segera aku meraih tubuh mungilnya lalu menggendongnya dan pergi. Lagi-lagi batinku menangis, semakin kuat tekad untuk bekerja apapun itu yang penting halal.

***

Jam istirahat sekolah aku pun menghubungi anak sulungku itu. Menjelaskan pelan-pelan tentang apa yang terjadi antara aku dan ayahnya. Marsha sudah cukup dewasa untuk mengetahui ini.

"Mama tinggal sama aku aja di kosan."

"Nggak, Mama tidak mau Papa tahu di mana Mama berada. Kamu harus merahasiakan keberadaan Mama. Papa tidak mau menceraikan Mama tapi Mama tidak mau dimadu."

"Mama ada u^ng gak? Nanti Marsha kirim."

"Tidak usah, Mama masih ada, kok. Buat ja jan kamu aja. Mama juga minta maaf kalau selama ini sangat minim ngasih u^ng jajan untuk Marsha."

Aku kembali berbohong pada anakku, mengatakan punya u4ng padahal hanya ada lima ri bu. Aku tidak ingin membebani Marsha, dia sudah bisa berjuang sendiri pun aku sudah merasa jadi orang tua yang gagal.

Menjelang dzuhur Pak Majid pulang. Kata Bu Ita, di bulan puasa siang hari Pak Majid istirahat dulu. Nanti pergi lagi sore hari. Setelah sholat dhuhur Pak Majid memanggilku.

Aku ingat ucapannya kemarin di terminal sebelum aku ikut pulang ke sini, bahwa ada seseorang yang mencariku.

"Ibu ingat, kemarin saya bilang apa waktu dia terminal?"

"Ada seseorang yang mencari kami?"

"Betul, beliau tidak bilang siapa dan apa keperluannya. Cuma menitipkan ini." Pak Majid menyerahkan secarik kertas berisi nomor telepon.

"Saat itu saya ingin memberikan nomor telepon Ibu pada orang itu, tapi saya tidak bawa ponsel. Sampai di rumah saya mencoba menghubungi Ibu, tapi nomor kalian tidak aktif."

"Begitu pulang kampung, kami mengganti semua nomor karena banyak pesan masuk dari pelanggan. Aku tidak bisa menjelaskan satu persatu pada mereka kalau pabrik ditutup. Makanya kami memutuskan untuk mengganti nomor."

"Oh, begitu, ya? Coba Ibu hubungi nomor itu, siapa tahu penting."

Aku menurut, membuka ponsel yang kebetulan sudah ada paket kuotanya. Segera kuketik angka-angka yang tertera di kertas tersebut.

Namun hingga beberapa detik hanya berdering. Tidak ada jawaban.

"Orangnya mungkin sedang sibuk. Coba nanti ulang beberapa menit lagi."

"Apa dia memenitip pesan lain selain memberikan nomor ini?"

"Tidak, Bu. Hanya bilang kalau saya bertemu Ibu, tolong sampaikan supaya hubungi dia."

Lima menit kemudian aku mencoba kembali menghubungi nomor tersebut. Berharap kali ini ada jawaban, jujur saja aku was-was karena orang ini masih teka-teki.

"Hallo .... "

Alhamdulillah ada jawaban, suara seorang laki-laki.

"Iya .... "

"Dengan siapa?"

"Saya Zahra."

"Bu Zahra istrinya Pak Topan?"

"Betul "

"Alhamdulillah, akhirnya Ibu menghubungi saya. Perkenalkan, saya Fauzan anaknya Pak Samsul."

Mataku sontak membola ketika mendengar pria di seberang sana memperkenalkan diri sebagai anaknya Pak Samsul.

Bersambung

🫘🫘🫘

Bisa dibaca di KBM aplikasi

Judul : Masakanku Tak Lagi Dimakan
Penulis : Tetiimulyati

Mantan suamiku tidak pernah menyangka aku akan datang ke pesta pernikahannya yang kedua, apalagi dengan menggandeng koma...
23/06/2025

Mantan suamiku tidak pernah menyangka aku akan datang ke pesta pernikahannya yang kedua, apalagi dengan menggandeng komandannya sendiri. Ia pikir, setelah meninggalkanku begitu saja, hidupnya akan mulus dan bahagia. Tapi tidak, aku akan tunjukkan bahwa aku bisa bangkit dan membuatnya menyesal telah men yia-nyiakanku.

BAB 1

"Kalau sampai akhir tahun ini istrimu belum juga ha-mil, lebih baik pikirkan ulang pernikahanmu, Bima. Kasihan kamu kalau terus menunggu tanpa kepastian. Sudah tiga tahun, tapi belum juga ada tanda-tanda akan punya anak. Padahal menikah itu bukan cuma soal cinta, tapi juga tentang keturunan."

"Bu, mohon bersabar, ya. Saya dan Khansa juga sedang berusaha."

"Usaha itu dilihat dari hasilnya. Tapi ini? Ibu rasa istrimu memang sulit untuk h4mil, Bima. Mungkin kamu harus mempertimbangkan untuk menikah lagi dengan seseorang yang bisa memberimu keturunan."

Tanpa sengaja, Khansa yang baru saja pulang dari kegiatan organisasi mendengar percakapan itu dari depan pintu. Awalnya ia hendak masuk dan menyapa, tapi langkahnya terhenti seketika. Hatinya yang semula tenang langsung terasa se sak.

Khansa tidak menyangka ibu mertuanya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, wanita itu tampak baik dan penuh perhatian. Khansa bahkan telah menganggapnya seperti ibu kandung sendiri.

Ia menarik napas panjang, lalu memberanikan diri masuk sambil mengucap salam, “Assalamualaikum.”

Bima dan ibunya langsung menoleh, tampak terkejut melihat kedatangan Khansa yang tiba-tiba. Namun, Khansa tetap tersenyum, berpura-pura tidak mendengar apapun.

Wajah ibu mertuanya yang biasanya hangat kini terlihat dingin. Ia hanya melirik Khansa sebentar, lalu kembali menatap putranya.

“Ibu pulang dulu, ya.”

“Kenapa buru-buru, Bu?” tanya Khansa sopan.

“Ada arisan,” jawabnya singkat. Tanpa menunggu lagi, ia pun pergi setelah mengingatkan Bima tentang sesuatu dengan lirikan penuh arti.

Setelah ibunya pergi, Khansa memandangi suaminya. Bima tampak diam dan gelisah, wajahnya kusut dan mata kosong.

“Mas Bima…” panggil Khansa lembut.

Bima tidak menjawab, hanya menutup wajah dengan tangannya.

“Mas, aku dengar percakapan kalian tadi.”

Bima masih diam.

“Kamu nggak akan mengikuti saran Ibu, kan?”

Dengan suara pelan, Bima akhirnya berkata, “Sudah tiga tahun, Sa. Sampai kapan kita harus menunggu? Aku sering jadi bahan lelucon. Teman-teman mengolok-olokku, bilang aku kurang… dan Ibu juga terus menanyakan cucu. Aku jadi merasa terbebani.”

Khansa menghela napas. Ia tahu beban itu nyata, meski sebenarnya tak harus ditanggung Bima sendirian.

“Mas, kita sudah berusaha, kan? Pemeriksaan me dis sudah dilakukan, hasilnya kita sehat. Tapi kalau memang belum waktunya, kita hanya bisa bersabar dan terus berdoa.”

Bima tak menjawab. Khansa menyentuh lengannya, mencoba menenangkan, tapi sang suami tetap murung.

Malam harinya, makan malam mereka terasa dingin dan sunyi. Tak ada percakapan hangat seperti biasanya. Khansa mencoba membuka obrolan, namun Bima hanya merespons seadanya.

“Mas, jangan diam seperti ini, ya. Aku jadi merasa seperti disalahkan.”

Bima hanya menghela napas, lalu mempercepat makannya dan minum air dengan tergesa. “Aku nginep di barak malam ini,” katanya singkat.

Khansa terkejut. “Lho, kenapa mendadak begitu?”

Namun Bima tidak menjawab. Ia langsung pergi, meninggalkan Khansa yang merasa semakin terpuruk.

Malam itu, Khansa tak bisa tidur. Ia merasa sendirian, resah memikirkan rumah tangganya. Ia mencari-cari informasi di internet, membaca berbagai cara agar bisa segera memiliki anak, tapi hampir semua sudah pernah ia coba. Hanya satu yang belum, yaitu prog ram ba yi t a-bung. Tapi biayanya sangat ma hal.

Gaji Bima pas-pasan. Untuk kebutuhan sehari-hari saja mereka harus hemat, apalagi ditambah tanggung jawab Bima terhadap ibunya. Khansa tidak pernah mengeluh soal itu, ia paham kewajiban anak terhadap orang tua. Tapi artinya, pilihan untuk mengikuti program ba yi tabung jelas sulit mereka jangkau.

“Aku juga ingin punya anak, Mas. Tapi bagaimana caranya?” bisik Khansa lirih, air matanya mulai jatuh.

Keesokan harinya, Khansa menemani Bu Danton ke salon. Istri perwira berpangkat Lettu itu sangat baik, bahkan kerap mengajaknya makan dan membayar semua keperluan tanpa diminta. Hari itu, Khansa membantu menjaga putri kecil Bu Danton yang sedang aktif-aktifnya belajar berjalan.

Saat menunggu di luar, Khansa tidak sengaja mendengar percakapan dua wanita yang membicarakan sesuatu dengan tertawa lepas. Mereka menyebut-nyebut istilah yang asing bagi Khansa, tapi cukup membuatnya heran—gigolo.

Sepulang dari salon, mereka makan bersama, dan Khansa pun menceritakan percakapan tadi.

“Oh iya, Bu. Tadi saya nggak sengaja dengar dua ibu-ibu ngobrol dan menyebut soal… gigolo.”

Bu Danton kaget. “Wah, bicara seperti itu di tempat umum? Dunia makin aneh saja.”

Khansa yang polos bertanya, “Gi go lo itu apa ya, Bu?”

“Ya... seperti pria yang men ju 4l jasa, mirip dengan wanita penghibur. Tapi untuk laki-laki.”

Khansa membe la lak, terkejut dengan penjelasan itu. “Laki-laki juga… ada yang seperti itu?”

Bu Danton tertawa. “Iya. Dunia ini macam-macam, Bu Bima. Tapi yang penting, kita tetap jaga diri, jangan sampai terjebak ke hal-hal seperti itu.”

Khansa mengangguk pelan. Tapi dalam hati, muncul perasaan tidak nyaman. Ia buru-buru mengusir pikiran-pikiran yang tidak seharusnya ada.

Sesampainya di rumah, Khansa mendapati rumah kosong. Ia menelepon Bima.

“Halo, Mas. Kamu ke mana? Kok nggak kabarin aku?”

“Lagi di rumah Ibu.”

“Lho, kenapa nggak bilang? Setidaknya kasih tahu, supaya aku nggak khawatir.”

“Aku nginep di sini malam ini.”

“Hah? Tapi tadi malam kan kamu juga nggak pulang?”

“Aku lagi ngobrol sama Ibu. Aku tutup dulu, ya.”

“Mas Bima, tapi—”

Telepon langsung dimatikan.

Khansa merasa ke ce wa. Ia pun memutuskan untuk menyusul ke rumah mertuanya. Tapi di depan rumah, Khansa melihat sesuatu yang membuat d a-danya sesak—seorang wanita muda baru saja keluar dari rumah mertuanya, dan disambut dengan sangat akrab.

Yang membuat Khansa tercekat, wanita itu bukan orang asing. Ia adalah mantan kekasih Bima, yang kini berprofesi sebagai bidan.

“Mengapa dia bisa ada di sana?” gumam Khansa pelan, hati kecilnya mulai merasa tak tenang.

“Jangan-jangan…”

---

Judul : Dulu D i b u4ng, Kini Istri Komandan
Penulis : Brata Yudha
Selengkapnya KBM App

Suamiku dih1n4 m1sk1n  karena kerja serabutan. Namun kedatangan ibu mertua secara dadakan, membuat semua keluargaku bung...
23/06/2025

Suamiku dih1n4 m1sk1n karena kerja serabutan. Namun kedatangan ibu mertua secara dadakan, membuat semua keluargaku bungkam. Siapa sebenarnya suamiku...

KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNG
Part 4

"Pak Udin, apa benar ini rumahnya? Kita salah alamat kali, masa adikku tinggal di rumah yang mirip kandang k4mbing begini?"

Deg!

J4ntungku berdetak lebih cepat saat mendengar ucapan seorang wanita yang berdiri di samping wanita paruh baya itu. Mungkin, wanita paruh baya itu adalah ibunya.

"Menurut informasi dari penjual sayur tadi, inilah rumahnya," sahut Pak supir itu.

"Ya ampun, mirip kandang k4mbing, kok bisa adikku tinggal di tempat seperti ini? Mana banyak k0t0ran k4mbing lagi tuh! Pasti adikku tidur dengan k4mbing juga, menyesal sekali aku ikut Ibu ke sini!" Wanita yang satunya lagi ikut mengomentari rumah ini dengan mengomel tiada henti.

"Kalian ini, jaga ucapan kalian, kalau pemilik rumah ini dengar gimana?" Satu wanita yang berjilbab coklat itu menegur.

"Biarin, emang kenyataannya begini kok, mirip kandang k4mbing di tempat nenek kita di kampung. Mana bisa di sebut rumah."

Lancar sekali muncungnya mengatakan bahwa rumahku mirip kandang k4mbing. Ini tidak bisa dibiarkan saja. Gayanya orang berpendidikan tapi tidak tahu cara berbicara dengan baik.

Secepat kil4t aku meny4mbar jilbab instan dan keluar dari rumah, menuruni lima anak tangga yang terbuat dari kayu bulat. Menghampiri mereka yang berjumlah lima orang yang sedang berdiri sambil menatap ke arahku.

"Assalamualaikum, nyari siapa ya? Ada keperluan apa datang kemari?" tanyaku setelah berdiri di depan mobil mereka.

Dua wanita yang menyebut rumahku mirip kandang k4mbing tampak saling berbisik sambil menatapku.

"Wa'alaikumsallam, apa benar ini rumahnya Ilham?" ucap wanita paruh baya yang masih cantik diusianya yang tidak muda lagi.

Deru motor suamiku terdengar. Aku urung menjawab saat Mas Ilham sudah tampak dari kejauhan.

Semua memandang ke arah Mas Ilham. Begitu juga Mas Ilham yang tampak keheranan.

Motornya berhenti sebelum sampai ke rumah. Ada apa dengan suamiku?

"Ilham! Ibu merindukanmu, Nak!"

"I-ibu? I-ibunya Mas Ilham?" Aku tergagap sambil menutup mulutku dengan sebelah tangan. Mataku tidak lepas dari menatap suamiku yang turun dari motor dan menghampiri ibunya.

"Apa kabarmu, Nak?"

"Aku sangat baik, Bu. Ibu tahu dari mana kalau Ilham tinggal di sini?"

"Jaka yang memberitahu, Ibu. Kamu sering menelpon dia, tapi kamu tidak pernah menelpon ibumu ini."

"Maafkan, Ilham, Bu. Ilham hanya menuruti perintah yang Ibu berikan, Ibu yang menyuruh Ilham untuk tidak menghubungi Ibu, bila Ilham tetap menikah dengan anak bungsu. Ilham sudah menurutinya, Bu."

"Jadi, kalau ibumu menyuruhmu terjun dari tebing, kamu mau menurutinya juga?"

"Ilham akan menurutinya juga, Bu. Karena Ilham tahu, Ibu tidak mungkin menyuruh Ilham untuk melakukan itu."

"Anak nakal, bertahun-tahun kamu menyiks4 Ibu dengan kerinduan, apa kamu tidak merindukan ibumu ini, hah?"

"Sangat Rindu, Bu. Ilham sangat Rindu."

Tidak sengaja aku meneteskan air mata saat menyaksikan suamiku kembali memeluk ibunya dengan tangis yang berderai dari keduanya.

"Dia istriku, Bu. Anggita namanya," ucap suamiku sambil menunjuk ke arahku. Tanpa dipersilakan untuk datang mendekat, aku menghampiri. Kuraih tangan Ibu mertuaku dan menciu-mnya takzim.

Kepalaku yang sudah tertutup jilbab instan terasa diusap oleh tangan ibunya Mas Ilham.

"Apa wanita ini yang membuatmu menuruti perintah, Ibu? Wanita ini sudah berhasil membuat ibumu tersiksa menahan kerinduan terhadap anaknya," kata Ibu mertuaku sambil menatapku dengan tatapan dingin.

"Bu-"

"Pulang lah, Ilham. Ini bukan tempatmu, pulang lah bersama Ibu," po-tong ibu mertua saat Mas Ilham ingin berbicara.

Mas Ilham memandang wajahku, kemudian menggenggam tanganku erat.

"Ilham bukan anak kecil lagi, Bu. Ilham sudah mempunyai istri, dan sebentar lagi Ilham juga akan mempunyai anak," ucap Mas Ilham membuatku sedikit terkejut mendengarnya.

"Istrimu, ha-mil?" tanya Ibu mertua.

"Mas, ak-"

"Iya, Bu. Istriku sedang ha-mil muda, ha-mil anakku, cucu Ibu," po-tong Mas Ilham. Aku hanya bisa menatapnya tidak percaya.

Suamiku, kenapa dia bisa berbohong? Aku tidak ha-mil, kenapa dia bilang aku ha-mil?

"Kita masuk dulu, tidak enak dilihat orang-orang, ayo, Bu. Kita masuk," ucapku sambil berbalik badan menuju rumah.

Dengan cepat kuraih karpet yang ada dibawah tempat tidur, dan membentangkannya di ruang keluarga.

______

"Anggita, kamar mandi di mana?"

"Astagfirullah." Aku yang sedang menjerang air terkejut.

"Maaf, kamu kaget, ya? Kak Titin mau numpang ke kamar mandi," ucap kakaknya Mas Ilham, Kak Irna namanya.

Kak Titin yang mau ke kamar mandi, tapi Kak Irna yang berbicara.

"Ada dibawah, Kak." Aku membuka pintu dapur dan menunjuk ke arah kamar mandi yang dikelilingi dengan atap daun.

"Tenang saja, Kak. Tidak ada yang mengi-ntip kok," kataku.

"Yakin, tidak ada yang mengin-tip? Itu kamar mandi kok modelannya begitu? Beda seratus persen dari kamar mandi yang ada di rumahku!" ucap Kak Titin.

"Aku temenin, ayo," ajak Kak Irna.

Kak Titin ini terbilang judes, beda dengan Kak Irna. Mungkin, aku belum terbiasa. Jadi, merasa tidak enak hati saat kakak iparku berkunjung ke sini.

"Tidak usah! Kebeletnya sudah hilang," ucap Kak Titin dan kembali ke depan.

"Santai, Anggita. Kak Titin memang seperti itu, tapi aslinya baik kok, kamu bikin apa?" Kak Irna tersenyum sambil melihat ke arah tanganku yang memegang sendok dan tempat gula.

"Mau bikin teh, Kak," jawabku.

"Gulanya sedikit saja, karena kami semua kurang s**a yang manis-manis, karena kami sudah manis," kelakarnya membuatku tersenyum menanggapi.

Wanita berjilbab coklat itu membantuku menata gelas dan termos berisi air teh ke dalam nampan. Lalu membawanya ke depan.

Aku pun menyalin kue ba-sah yang dibeli Mas Ilham ke dalam piring dan membawanya ke depan.

"Ibu prihatin melihat kondisi rumahmu seperti ini, Ilham. Bisa Ibu bayangkan saat cucu Ibu berlari dan terja-tuh kebawah tangga itu, bisa bahaya cucu Ibu."

Bergetar tanganku saat mendengar ucapan Ibu mertuaku.

Tidak, sebelum Ibu mertua membayangkan hal yang tidak seharusnya dia bayangkan, aku harus segera meminta Mas Ilham untuk jujur.

Lebih baik jujur walau pada akhirnya hal yang menyakitkan yang harus kuterima. Dari pada terus berbohong untuk kebahagiaan sesaat.

Dapat kubayangkan betapa terlukanya hati Ibu mertua saat kebohongan ini terus berlanjut. Sebelum terlalu larut biarlah kuminta suamiku untuk jujur saja.

"Mas, bisa ke kamar sebentar, aku mau ngomong sebentar saja," ucapku.

Ibu mertua memandangku heran, aku mempersilakan mereka untuk menikmati teh dan kue yang sudah kusuguhkan.

"Ada apa, Sayang?" Setibanya di kamar, Mas Ilham bertanya dengan volume suara yang sangat kecil.

Jarak dari kamar ke ruang tamu hanya beberapa langkah saja, jadi bisa di dengar kalau kami berbicara dengan suara yang besar.

"Jujur saja, Mas. Aku tidak s**a kamu berbohong tentang keha-milan yang kamu katakan itu."

"Berbohong? Aku tidak sedang berbohong, Sayang. Kamu beneran ha-mil," ucap Mas Ilham membuatku menghela nafas panjang.

"Aku sudah mengeceknya, dan kamu juga melihat hasilnya, 'kan?" kataku sambil duduk, aku mengusap wajah seraya beristighfar.

Secara tidak langsung, suamiku sudah membuat hatiku sedih. Hampir empat tahun penantian buah hati, garis dua tidak kunjung datang.

Entah sudah berapa banyak alat tes keha-milan yang habis terbu-ang sia-sia.

Mas Ilham tampak sibuk mencari sesuatu di dalam saku celananya.

"Nyari apa, Mas?"

"Ini, coba lihat ini," ucapnya dengan senyum yang merekah. Aku berdiri dan ikut melihat tespek ditangannya.

"Dua garis merah, Mas!" ucapku spontan dengan suara keras.

"Iya, kamu sih buru-buru membu-angnya, Mas nemu dan Mas simpan, tapi kelupaan mau ngasih tahu ke kamu."

"Aku ha-mil, Mas!" Aku kesenangan dan memeluknya erat.

Jan-tungku berdebar-debar sangat cepat. Inikah yang dirasakan oleh wanita-wanita yang berada di luaran sana, rasa bahagia dan terharu saat mengetahui kalau dirinya sedang berbadan dua.

"Anggita! Anak tidak tahu terima kasih, keluar kamu!"

"Astagfirullah," ucapku saat mendengar suara ibuku berteriak.

"Apa yang membuat Ibu marah? Ayo, kita keluar," ajak Mas Ilham.

Sudah tamat di aplikasi kbm App.
Judul: KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNG
Penulis: anisah1797

Berpura-Pura Miskin Demi Menguji Cinta, Jawabannya Bikin Hati TersayatDi sebuah kota besar yang megah, hiduplah seorang ...
22/06/2025

Berpura-Pura Miskin Demi Menguji Cinta, Jawabannya Bikin Hati Tersayat

Di sebuah kota besar yang megah, hiduplah seorang pemuda bernama Rayyan. Ia anak semata wayang dari keluarga konglomerat yang dikenal luas di negeri itu. Meski terlahir dalam limpahan harta, Rayyan tumbuh sebagai pribadi yang rendah hati, cerdas, dan matang secara emosional. Namun satu hal yang belum ia miliki yaitu pendamping hidup yang benar-benar mencintainya, bukan hartanya.

Usia 29 tahun, Rayyan didesak oleh kedua orang tuanya untuk segera menikah. Setelah melewati serangkaian proses taaruf modern dan keluarga, akhirnya terpilihlah dua perempuan luar biasa yang menjadi kandidat istri untuknya.

Yang pertama bernama Nadira. Seorang ahli ekonomi lulusan Harvard, putri dari seorang taipan properti ternama. Wawasannya tajam, pembawaannya anggun, dan kemampuannya berdiplomasi memukau banyak orang. Ia lembut dalam bicara, santun dalam sikap, dan karismanya tak bisa diabaikan.

Yang kedua bernama Khayla. Seorang dokter muda, anak dari pemilik jaringan rumah sakit internasional. Ia dikenal cerdas, penuh kasih sayang, dan berkepribadian tenang. Meski sangat terpandang, ia justru tampak lebih membumi dibanding kebanyakan gadis sekelasnya. Khayla mencintai anak kecil, rajin ikut misi kemanusiaan, dan punya empati yang sangat dalam.

Dua-duanya memikat. Dua-duanya memuliakan orang tua. Dua-duanya tak ada cela dalam adab dan logika. Rayyan dan kedua orang tuanya pun kebingungan.

“Tak bisa memilih berdasarkan prestasi atau latar belakang, semua begitu baik,” kata ibunya suatu malam sambil menatap langit-langit kamar. “Yang kita butuhkan adalah hati yang paling tulus.”

Dan Rayyan pun memutuskan, ia harus menguji ketulusan itu. Maka ia merancang sebuah sandiwara.

Rayyan berpura-pura mengalami kehancuran finansial. Ia menyebarkan kabar bahwa ia dijebak oleh rekan bisnis dan mengalami kerugian miliaran rupiah. Seluruh aset dibekukan. Ia bahkan mengatakan bahwa ibunya jatuh sakit dan kini ia benar-benar tak punya apa-apa. Dengan berat hati, ia menemui kedua calon istri itu satu per satu dan berkata dengan mata berkaca-kaca:

“Aku tahu ini di luar batas, tapi jika kamu sungguh mencintaiku… bisakah kamu bantu aku bertahan sebentar saja? Ibuku butuh pengobatan. Aku… aku bahkan tak sanggup beli obatnya.”

---

Pertama, ia menemui Nadira.

Gadis itu diam lama. Wajahnya tak menunjukkan kemarahan, tapi sorot matanya berubah.
“Aku turut prihatin, Rayyan… Tapi aku rasa ini bukan waktunya bicara soal cinta. Dalam pernikahan, kita butuh fondasi. Dan fondasi itu salah satunya adalah stabilitas ekonomi. Kita tidak sedang membangun cerita film.”

Rayyan hanya mengangguk. Ia tidak marah. Ia mengerti. Tapi hatinya mencatat segalanya.

---

Hari berikutnya, ia menemui Khayla. Ia mengulang cerita yang sama. Gadis itu terdiam. Air matanya jatuh tanpa suara. Lalu tanpa berpikir panjang, ia meraih tangan Rayyan dan berkata,
“Tenang… Aku di sini. Kamu tidak sendiri. Selama kamu mau bangkit, aku akan bersamamu. Untuk ibumu, aku akan lakukan apa pun. Dia seperti ibuku juga sekarang.”

Rayyan nyaris tak bisa berkata-kata. Tapi ia masih menahan kebenaran. Ia ingin melihat seberapa jauh Khayla akan berjuang bersamanya.

---

Hari-hari berlalu. Khayla tak sekadar berkata manis. Ia benar-benar turun tangan. Ia menyuplai makanan bergizi untuk ibunda Rayyan, mengirimkan perawat pribadi, dan bahkan menyediakan mobil ambulans diam-diam. Ia tak pernah bertanya kapan semua ini akan selesai. Yang ia pikirkan hanya satu: memastikan Rayyan dan ibunya tetap bisa bertahan.

Sebulan kemudian, Rayyan datang ke rumah Khayla. Kali ini dengan wajah yang berbeda. Ia membawa seluruh keluarganya.

“Maafkan aku,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua yang aku katakan… tidak benar. Aku tidak bangkrut. Ibu baik-baik saja. Tapi hatiku tidak bisa tenang jika memilih pendamping tanpa menguji niat terdalamnya. Dan kamu… telah membuktikan dirimu.”

Air mata Khayla tumpah. Ia merasa lega, campur haru, campur cinta yang begitu dalam. Dan hari itu juga, Rayyan langsung melamarnya di depan seluruh keluarga.

Pernikahan mereka digelar dengan penuh kemegahan. Mahar yang diberikan Rayyan bukan hanya berlian atau mobil mewah, tapi sebidang tanah puluhan hektar di luar kota, rumah pribadi untuk orang tua Khayla, dan beasiswa penuh untuk misi kesehatan yang selama ini diimpikannya.

Bu Sarah memeluk menantunya sambil berkata,
“Terima kasih karena mencintai anak saya bukan saat dia hebat, tapi saat dia seolah tak punya apa-apa.”

---

Beberapa minggu kemudian, Nadira mendengar bahwa Rayyan ternyata hanya berpura-pura bangkrut. Ia terkejut, lalu mencoba menghubungi Rayyan kembali.

“Aku salah, Rayyan… Aku terlalu cepat menilai. Aku bisa berubah.”

Tapi Rayyan menjawab dengan tenang, tanpa amarah.
“Kau tak salah, Nadira. Kau hanya memilih berdasarkan nilai yang kau yakini. Tapi aku pun memilih berdasarkan nilai yang aku cari yaitu ketulusan.”

Dan Nadira hanya bisa memandangi layar ponselnya. Menyesali kata-katanya yang dulu begitu logis,namun ternyata telah menutup pintu kebahagiaan yang tulus.

Sementara itu, Rayyan dan Khayla membangun hidup baru yang penuh makna. Mereka tidak hanya hidup dalam cinta, tapi saling tumbuh dan mensupport satu sama lain. Karena cinta sejati… bukan tentang siapa yang datang saat semuanya indah, tapi siapa yang tetap tinggal ketika segalanya terlihat runtuh.

Salam hangat dari Pelukan KATA

Address

Jakarta

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Ajo Rete posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share