Motivasi Kehidupan

  • Home
  • Motivasi Kehidupan

Motivasi Kehidupan Selamat datang di Motivasi Kehidupan — tempat di mana kisah-kisah tentang keimanan, harapan, dan pengabdian menjadi kenyataan.

Kami membuat konten Islami untuk mengingatkan, menginspirasi, dan menyentuh hati di seluruh dunia.

ANAK TUKANG KUBUR DAN RAHASIA TERLARANGDi sebuah desa terpencil bernama Karangjati, tinggal seorang lelaki tua bernama P...
12/07/2025

ANAK TUKANG KUBUR DAN RAHASIA TERLARANG

Di sebuah desa terpencil bernama Karangjati, tinggal seorang lelaki tua bernama Pak Rifa’i, seorang penggali kubur yang dikenal pendiam dan jarang bergaul. Ia tinggal hanya berdua dengan anak angkatnya, Fathir—seorang remaja laki-laki yang santun, cerdas, dan selalu membantu ayahnya di pemakaman sejak usia 9 tahun.

Namun sejak kecil, Fathir selalu dilarang oleh ayahnya untuk bermain di bagian belakang makam tua yang tertutup pohon beringin besar. Setiap kali Fathir bertanya, Pak Rifa’i hanya berkata:
“Jangan pernah ke sana, Nak. Di sana... ada aib besar yang tak boleh dibuka.”
Larangan itu menumbuhkan rasa penasaran dalam hati Fathir. Tapi karena ia sangat menghormati ayahnya, ia menahan diri. Hingga suatu malam, hujan deras mengguyur desa. Tanah pemakaman longsor, dan salah satu kuburan di dekat pohon beringin ambrol. Esok paginya, warga menemukan tulang belulang yang dibungkus kain kafan hitam—bukan putih seperti biasa.

Desa geger. Warga menuduh Pak Rifa’i menyembunyikan sesuatu.
“Apa ini? Siapa yang dikubur di sana? Kenapa kain kafannya hitam?!”
Pak Rifa’i diam. Wajahnya pucat. Dan Fathir, untuk pertama kalinya, melihat ayahnya menangis.
Kabar menyebar cepat. Sebagian warga mendesak kepala desa untuk menginterogasi Pak Rifa’i. Namun sebelum malam tiba, Pak Rifa’i memanggil Fathir ke ruang belakang dan menyerahkan sebuah kotak kayu usang.
“Buka ini jika Ayah tak kembali dari masjid malam ini. Kau akan tahu siapa dirimu... dan kenapa kau harus tahu semuanya.”

Malam itu, Pak Rifa’i tak pernah kembali. Ia ditemukan wafat di sajadah, dengan wajah tersenyum dan tangan menggenggam tasbih. Tangis Fathir pecah. Ia p**ang, membuka kotak kayu yang disimpan di bawah tempat tidur.
Di dalamnya, ia menemukan dua benda: Surat pernyataan adopsi, dan secarik foto bayi yang terbungkus selimut rumah sakit dengan label: “Bayi Perempuan - Tidak Diinginkan”.
Bayi perempuan?

Fathir panik. Ia mulai menggali arsip rumah sakit tua yang sudah lama tak beroperasi, dan akhirnya menemukan kebenaran memilukan:
Fathir… adalah seorang anak perempuan yang lahir dari hubungan gelap antara anak kepala desa dan seorang buruh tani. Karena malu, bayi itu dibuang diam-diam di pekuburan malam-malam, dibungkus kain kafan hitam agar orang mengira itu jenazah. Tapi malam itu, Pak Rifa’i menemukan bayi itu masih hidup. Ia mengangkatnya, membesarkannya... dan menamainya Fathir.

Air mata Fathir menetes tanpa henti. Ia, yang selama ini bangga sebagai anak lelaki dan ingin menjadi imam masjid, kini terhenyak oleh kebenaran yang mengubah segalanya. Ia merasa hancur, ditolak oleh dunia bahkan sebelum bisa bicara.
Minggu-minggu berlalu. Warga masih mencibir nama Pak Rifa’i. Fitnah tersebar: “Dia penggali kubur yang sembunyikan mayat haram!” “Bayi jin yang dikutuk!” dan lainnya.

Namun Fathir tak tinggal diam.
Di hari ke-40 wafatnya ayah angkatnya, Fathir berdiri di depan mimbar masjid, dengan suara tenang dan mata merah:
“Saya bukan anak kandung Pak Rifa’i. Tapi beliaulah orang yang menyelamatkan saya dari kehinaan kalian. Ia tidak melihat saya sebagai aib. Tapi sebagai amanah Allah yang harus diselamatkan. Ia membesarkan saya dengan iman, bukan dengan caci maki.”

Masjid hening. Beberapa warga mulai menangis.
“Kalian bilang saya kutukan. Tapi saya hafal Al-Qur’an. Kalian bilang saya haram. Tapi saya disuapi oleh tangan yang jujur dan salat malam setiap hari.”
“Lalu... siapa sebenarnya yang lebih kotor? Orang yang membuang bayi... atau orang yang menyelamatkannya dari kehancuran?”
Tangis pecah di masjid. Kepala desa berdiri dan menunduk dalam-dalam. Ia tahu anaknya lah yang dulu membuang bayi itu.

Fathir melangkah keluar masjid, berjalan ke makam Pak Rifa’i, dan duduk di samping pusaranya.
“Ayah… aku bukan siapa-siapa. Tapi aku ingin jadi orang yang tak menolak takdir Allah. Seperti Ayah.”

🌿 Hikmah Islami di Akhir Cerita:
Dalam Islam, tidak ada manusia yang hina karena asal usulnya. Yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada Allah. Bahkan anak yang dibuang pun bisa tumbuh menjadi insan mulia jika dididik dalam iman.
Allah berfirman:
"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa."
(QS. Al-Hujurat: 13)

Takdir kita bukan ditentukan dari siapa kita lahir. Tapi bagaimana kita menerima ketetapan Allah dan berjuang menjadi hamba-Nya yang bertaqwa.

Pernahkah kamu merasa ditolak oleh dunia, namun diterima oleh seseorang yang justru bukan keluarga kandungmu?

Apa makna "ayah sejati" bagimu—orang yang melahirkanmu, atau yang membesarkanmu dengan cinta dan doa?

AYAH TAK PERNAH JANJI PULANGMagrib baru saja usai. Adzan Isya menggema dari masjid kecil di ujung kampung. Tapi di seram...
12/07/2025

AYAH TAK PERNAH JANJI PULANG

Magrib baru saja usai. Adzan Isya menggema dari masjid kecil di ujung kampung. Tapi di serambi rumah reyot itu, seorang anak laki-laki berusia 8 tahun masih duduk memeluk tas sekolahnya.
Namanya Rafi.

Ia belum mau masuk rumah. Ia masih menunggu… seperti malam-malam sebelumnya.
Menunggu seseorang yang sudah 34 malam tak pernah kembali.
“Ayah janji mau p**ang malam itu, Bu…” suara kecil Rafi bergetar, menahan tangis.
Bu Nisa mengelus rambut anak semata wayangnya. Senyumnya lemah, matanya sembab.

“Iya, Nak… Ayah janji. Tapi… ada janji Allah yang lebih dulu dipanggil.”
Rafi menunduk. Ia belum bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya—Pak Surya, seorang driver ojek online—meninggal dalam kecelakaan tabrak lari saat mengantar makanan terakhir di malam hujan sebulan lalu.
Tubuhnya ditemukan warga, tergelatak di trotoar dengan helm masih menempel dan handphone masih memutar suara “orderan.”

Saat jenazah dibawa ke rumah, Rafi pingsan. Ia tidak percaya. Karena malam sebelumnya, ayahnya menjanjikan satu hal:
“Besok Ayah antar Rafi beli sepatu baru, ya… Ayah janji.”
Rafi memeluk kata-kata itu. Ia menolak kenyataan. Baginya, ayah hanya sedang terlambat p**ang.
Hari-hari setelah itu begitu gelap.

Bu Nisa mencoba kuat. Ia menjahit dari pagi sampai malam. Tapi nafkah tak lagi cukup. Utang rumah kontrakan menumpuk. Bahkan listrik pernah diputus.
Rafi mulai berubah. Ia murung. Tidak mau ke sekolah. Ia hanya duduk menunggu di jendela. Setiap suara motor membuatnya lari ke pintu.
Tapi Ayah tak pernah datang.

Hingga suatu malam… Rafi bermimpi. Dalam mimpi itu, ia melihat Ayah duduk di pinggir ranjangnya. Wajahnya bersinar, seperti bulan.
“Maafin Ayah ya, Nak… Ayah nggak sempat p**ang. Tapi Ayah lihat kamu tiap malam. Ayah denger semua doa kamu.”
“Rafi harus jaga Ibu ya… Kalau kamu kuat, Ayah tenang.”

Rafi terbangun. Air matanya mengalir deras. Tapi ada yang berbeda. Pagi itu, ia salat subuh untuk pertama kalinya sejak Ayah pergi.
Ia memeluk ibunya, lama sekali.
“Bu… Rafi mau sekolah lagi…”
Beberapa hari kemudian, wali kelas Rafi menemukan secarik kertas di meja ujian. Itu bukan soal matematika. Tapi sebuah tulisan tangan kecil:
“Ayah… maaf Rafi belum bisa bahagiain Ayah sekarang. Tapi suatu hari, Rafi janji bakal pakai toga… dan Ayah pasti lihat dari surga.”

Hikmah Islami dari Kisah Ini:
Allah berfirman dalam QS. At-Tur:26-28:
"Dahulu kami di dunia, dalam keluarga kami, merasa takut (akan azab). Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya dahulu kami menyembah-Nya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Baik lagi Maha Penyayang."

Kisah ini mengajarkan bahwa kehilangan bukan akhir dari segalanya. Dalam gelapnya duka, Allah hadir memberi cahaya melalui doa dan keikhlasan. Rafi kehilangan ayahnya, tapi Allah mengganti dengan kekuatan yang tumbuh dari doa dan mimpi sang ayah.

Kadang… cinta tak selalu berbentuk pelukan. Tapi dalam bentuk keteguhan hati untuk bangkit, walau harus berdiri sendiri.

💬 Apakah kamu pernah kehilangan seseorang yang sangat kamu cintai?

Apa yang paling ingin kamu katakan pada mereka sekarang, jika diberi satu kesempatan?

Tulis di kolom komentar…

Karena doa dari hati yang tulus… bisa menembus batas antara dunia dan akhirat.

LANGKAH KAKI UMI DITENGAH LUMPURDi sebuah desa kecil di pinggiran Garut, hidup seorang janda tua bernama Umi Fatimah ber...
12/07/2025

LANGKAH KAKI UMI DITENGAH LUMPUR

Di sebuah desa kecil di pinggiran Garut, hidup seorang janda tua bernama Umi Fatimah bersama cucunya yang yatim, Zahra.
Putri satu-satunya Umi meninggal saat melahirkan Zahra, sedangkan menantunya pergi tanpa kabar, meninggalkan bayi merah dan wanita tua yang bahkan kakinya sudah mulai gemetar jika berjalan jauh.

Sejak kecil, Zahra tumbuh tanpa tahu bagaimana rasanya dibelai seorang ayah. Yang ia tahu hanyalah pelukan Umi yang hangat, aroma minyak kayu putih, dan suara dzikir lirih menjelang subuh.
Setiap hari, Umi berjualan sayur keliling kampung. Dengan keranjang rotan tua yang digendong di punggungnya, ia berjalan menyusuri jalanan berbatu dan berlumpur. Hujan atau panas tak pernah membuat langkahnya berhenti.

“Umi, kenapa gak istirahat aja? Biar Zahra bantu...” kata Zahra suatu pagi.
Umi hanya tersenyum dan menjawab pelan, “Nak... ilmu itu mahal. Kalau Umi istirahat, nanti siapa yang bayar seragam sekolah Zahra?”
Zahra memeluk Umi. Matanya sembab.
Namun, hidup tak selalu bisa ditebak.
Suatu malam, Zahra p**ang sekolah dengan tubuh demam dan batuk berdarah. Umi panik, menggigil menahan cemas, tapi tetap mencoba tegar.

Setelah meminjam uang ke tetangga dan menjual cincin kawinnya yang tersisa, Umi membawa Zahra ke rumah sakit. Dokter memvonis Zahra mengidap TBC akut.
Butuh perawatan serius dan asupan gizi yang baik.
Umi tak menyerah. Ia mulai bekerja di ladang milik tetangga, mencangkul dengan tangan gemetar. Di malam hari, ia memulung botol bekas di pasar malam. Tak jarang, ia hanya makan nasi dan garam agar bisa membelikan susu untuk Zahra.

Suatu malam, Zahra menggenggam tangan Umi dan berbisik, “Zahra mau sembuh, Umi... Zahra mau bikin Umi bangga...”
Dan Zahra memang anak yang luar biasa.
Meski sakit, ia tetap belajar, membaca buku-buku bekas dan menulis dengan pensil patah yang diasah berulang kali.

Hingga suatu hari, Zahra mengirimkan esainya ke sebuah lomba nasional bertema: "Perjuangan Tak Terlihat di Balik Cita-Cita."
Dalam esai itu, Zahra menulis:
“Umi tidak pernah kuliah. Tapi ia dosen terbaik dalam hidupku. Ia tak punya gelar, tapi ilmunya mengajarkanku keteguhan hati. Umi adalah madrasah pertamaku... dan mungkin yang paling berharga sepanjang hidupku.”
Tak disangka, esai itu memenangkan juara pertama.

Zahra diundang ke Jakarta, mewakili anak-anak dari daerah terpencil untuk berbicara di forum pendidikan nasional.
Saat naik ke panggung, Zahra mengenakan baju kurung sederhana.
Dan di kursi paling depan, duduk Umi Fatimah dengan kerudung lusuh tapi wajah bersinar. Ia tak henti berdoa sambil menggenggam tas plastik yang berisi keripik untuk buah tangan.
Ketika Zahra menyebut nama Umi di pidatonya, seisi ruangan hening... lalu riuh oleh tepuk tangan.

Air mata Umi mengalir.
Tangannya bergetar saat Zahra memeluknya erat di depan ratusan tamu undangan.
“Umi bukan hanya pahlawan pendidikan Zahra... tapi juga pahlawan surga.”

🌿 Hikmah Islami di Akhir Cerita:
Allah berfirman dalam surah Al-Insan ayat 9:
“Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu karena mengharap wajah Allah semata; kami tidak menghendaki balasan dan tidak p**a ucapan terima kasih.” (QS. Al-Insan: 9)

Umi Fatimah tak pernah meminta pujian.
Ia hanya ingin melihat cucunya menjadi orang yang berilmu dan bertaqwa.

Kisah ini mengajarkan bahwa cinta yang tulus karena Allah, kerja keras tanpa pamrih, dan doa yang istiqamah... tak pernah sia-sia di mata-Nya.

Pernahkah kita merenungi, seberapa banyak pengorbanan orang tua yang tak kita lihat?

Berapa banyak “Umi Fatimah” dalam hidup kita... yang diam-diam menahan sakit demi senyum kita?

Tulis di kolom komentar:

Apa pengorbanan paling besar yang pernah orang tuamu lakukan untukmu… yang tak pernah kamu lupakan? 🌙

TIGA TAHUN IBU TAK PERNAH MENYENTUH DAGING Di sebuah rumah kontrakan kecil di pinggiran Bekasi, tinggal seorang ibu tung...
12/07/2025

TIGA TAHUN IBU TAK PERNAH MENYENTUH DAGING

Di sebuah rumah kontrakan kecil di pinggiran Bekasi, tinggal seorang ibu tunggal bernama Bu Sulastri dan anak semata wayangnya, Ilham yang duduk di kelas 2 SMP.
Suaminya meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan kerja. Sejak saat itu, Bu Sulastri bekerja sebagai buruh cuci dari rumah ke rumah. Upahnya tak seberapa, tapi cukup untuk membayar kontrakan, uang sekolah Ilham, dan makan sehari-hari. Meski kadang, hanya nasi dan garam.

Setiap hari, Ilham membawa bekal nasi putih dan telur dadar. Ia selalu bersyukur.
Namun ada satu hal yang tak pernah disadari Ilham…
Ibunya tak pernah ikut makan daging. Bahkan di hari Idul Adha sekali pun.
Suatu hari, di rumah makan sederhana tempat Ilham dan ibunya mampir karena hujan turun tiba-tiba...

Ilham:
"Bu, pesan ayam goreng satu ya. Ibu mau juga?"
Bu Sulastri tersenyum kecil.
"Enggak usah, Nak. Ibu masih kenyang. Tadi Ibu habis minum teh manis di rumah Bu Wati."
Ilham mengangguk polos, tak curiga. Ia menikmati ayam gorengnya, sementara ibunya hanya menatap sambil mengelus kepala anaknya.
Tapi hari itu, sang pemilik warung yang mengenal Bu Sulastri sejak dulu memanggil Ilham ke dapur secara diam-diam.

Bu Lilis (berbisik):
"Ilham… kamu tahu nggak? Ibumu itu udah tiga tahun nggak pernah makan daging, Nak. Kalau dia dikasih daging kurban, pasti dia kasih semua ke kamu. Katanya, perut kamu lebih butuh."
Ilham terdiam. Matanya panas.
“Tiga tahun?”
Kata itu terus menggema di kepalanya. Selama ini ia mengira ibunya hanya sedang tidak lapar. Atau sedang puasa. Tapi ternyata…

Malam itu, Ilham memandang ibunya yang tertidur dengan tubuh kurusnya di atas tikar tipis. Ia mengambil ponsel pinjaman dari temannya dan menulis status Facebook:
"Ada yang tahu kerja sambilan untuk anak SMP? Saya ingin belikan ayam goreng untuk ibu saya. Sudah lama beliau tak menyentuh daging, tapi selalu bilang kenyang hanya karena minum teh."
Status itu viral.

Esoknya, banyak tetangga datang membawa bahan makanan. Ada yang membawakan daging, ayam, beras, bahkan tawaran beasiswa.
Tapi yang membuat Bu Sulastri menangis adalah ketika Ilham menyodorkan sebuah kantong plastik berisi ayam goreng hangat.

Ilham:
"Bu… kali ini Ibu harus makan. Ini bukan sisa, bukan juga hadiah. Ini hasil Ilham bantu bersihin halaman tetangga tadi pagi."
Bu Sulastri menatap wajah anaknya.
Lalu menangis.
Tangis yang sudah lama ia tahan.

Bu Sulastri:
"Kamu tahu, Nak… Ibu nggak pernah lapar karena Allah selalu cukupkan hati Ibu dengan melihat kamu kenyang. Tapi hari ini… Ibu merasa sangat kaya."
Ilham memeluk ibunya.
"Aku janji, Bu. Kelak aku akan buat Ibu kenyang setiap hari. Bukan cuma perut… tapi juga hatimu."

Beberapa tahun kemudian…
Ilham lulus kuliah dengan beasiswa penuh. Ia kini bekerja di perusahaan besar. Tapi satu hal yang tak pernah berubah:
Setiap malam Jumat, ia selalu p**ang membawa ayam goreng hangat.
Ia tak pernah lupa masa ketika ibunya berpura-pura kenyang…
Hanya demi memastikan anaknya tidak kelaparan.

🕊️ Pesan Hikmah Islami:
"Seorang ibu bisa pura-pura kenyang meski perutnya kosong. Ia bisa menahan lapar, tapi tak sanggup melihat anaknya kekurangan. Pengorbanannya tak terlihat, tapi dicatat oleh Allah dengan penuh kemuliaan."

Pernahkah kamu menyadari bahwa ibumu diam-diam banyak mengorbankan kebutuhannya demi kamu?

Apa satu hal kecil yang pernah kamu lakukan untuk membalas cinta beliau?

Jika ibumu masih ada, apa yang ingin kamu lakukan untuk membuatnya bahagia hari ini?

ANAK ITU BUKAN DAR4HKU SENDIRIDi sebuah kampung pesisir yang sederhana, tinggal seorang nelayan tua bernama Pak Mukhlis,...
12/07/2025

ANAK ITU BUKAN DAR4HKU SENDIRI

Di sebuah kampung pesisir yang sederhana, tinggal seorang nelayan tua bernama Pak Mukhlis, bersama istrinya Bu Nur dan seorang anak remaja bernama Arfan.
Tak banyak yang tahu kisah di balik keluarga kecil ini. Mereka terlihat seperti ayah-ibu-anak pada umumnya. Namun, di balik tatapan tenang Pak Mukhlis, ada rahasia yang ia pendam bertahun-tahun… Arfan bukan anak kandungnya.

Arfan adalah anak dari adik Bu Nur, yang meninggal dunia saat Arfan masih bayi. Ibu kandungnya pergi tanpa jejak, dan ayahnya tak pernah diketahui siapa. Demi kasih sayang dan iba, Pak Mukhlis menerima Arfan menjadi bagian hidup mereka.
Namun, seiring waktu… luka lama yang tak pernah dibahas mulai menyakitkan diam-diam.

Pagi hari di dapur rumah.
Bu Nur (menyiapkan sarapan):
"Yah… Arfan mulai berubah, ya? Sudah jarang ngobrol, sering p**ang malam."
Pak Mukhlis (menatap kosong ke arah laut):
"Namanya juga anak remaja, Bu. Mungkin pengaruh teman-temannya."

Bu Nur:
"Tapi aku takut, Yah. Takut dia salah jalan… dia bukan anak kecil lagi."
Pak Mukhlis (diam sejenak, lalu berkata lirih):
"Dia bukan anak kita, Bu… tapi aku ingin tetap jadi ayah baginya. Meski dia tak pernah panggil aku ‘Ayah’ seumur hidupnya."

Sore hari di depan rumah.
Arfan (membanting pintu pagar, p**ang dengan wajah kesal):
"Bu! Aku nggak mau sekolah lagi! Aku mau kerja! Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya tetap miskin juga?!"
Bu Nur (kaget, mencoba menenangkan):
"Nak, sabar… kamu kenapa?"
Pak Mukhlis (berdiri di ambang pintu):
"Arfan… kita nggak pernah paksa kamu jadi kaya. Tapi kalau kamu mau hidup benar, kamu butuh ilmu, Nak."

Arfan (melotot):
"Jangan sok jadi ayah, Pak! Bapak bukan ayahku! Jangan sok mengatur hidupku!"
Sunyi. Kalimat itu menghantam dada Pak Mukhlis seperti ombak menghantam karang tua.
Bu Nur menangis. Tapi Pak Mukhlis hanya mengangguk pelan, lalu masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata.

Malam hari, hujan turun deras.
Bu Nur (dengan mata bengkak):
"Yah… maafkan aku. Aku yang minta kamu rawat Arfan dulu. Tapi sekarang dia malah menyakiti hatimu."
Pak Mukhlis (tersenyum getir):
"Aku ikhlas, Bu… Tapi kadang, aku bertanya… apa aku terlalu berharap dia akan memanggilku ‘Ayah’ suatu hari?"
Air mata mengalir diam-diam di p**i lelaki tua itu.

Hari-hari berikutnya, Arfan makin jarang p**ang. Ia mulai ikut teman-temannya bekerja di luar kota. Setiap kali p**ang, wajahnya keras, dan kata-katanya tajam.
Suatu malam, Arfan p**ang dengan luka lebam di wajah. Bu Nur panik, merawatnya. Tapi Pak Mukhlis hanya duduk di pojok ruang tamu, menatap anak itu tanpa bicara.

Arfan:
"Aku berantem sama bos. Dia ngatain aku anak haram, anak buangan… Aku nggak tahan!"
Pak Mukhlis (berdiri pelan, lalu berkata lembut):
"Nak… kamu bukan anak buangan. Kamu dibesarkan dengan cinta, bukan darah. Tapi kadang, cinta tak cukup kalau kamu sendiri tak mau menghargai pengorbanan orang lain."
Arfan (terdiam, wajahnya menegang):
"Aku… aku nggak pernah diminta lahir seperti ini, Pak."
Pak Mukhlis:
"Aku juga nggak pernah diminta jadi ayahmu. Tapi aku rela. Rela kehilangan tenaga, uang, waktu, bahkan harga diri… demi kamu."
Air mata Arfan jatuh. Tapi ia masih terlalu keras kepala untuk meminta maaf.

Beberapa minggu kemudian.
Pak Mukhlis jatuh sakit. Paru-parunya lemah, ia tak kuat melaut lagi. Bu Nur kebingungan, dan Arfan entah ke mana. Saat malam turun, hanya suara ombak dan derit ranjang tua menemani kesunyian.

Hingga suatu malam, pintu rumah terbuka. Arfan berdiri di sana, wajahnya basah oleh air hujan.
Arfan (dengan suara bergetar):
"Bu… Bapak… aku p**ang. Aku… aku salah. Aku kejar dunia sampai lupa siapa yang menyelamatkan hidupku dari gelap."
Pak Mukhlis tersenyum tipis, menggenggam tangan Arfan yang dingin.

Pak Mukhlis:
"Kamu tak perlu berdarah sama denganku, Nak. Cukup jadi anak yang sabar… itu sudah cukup buat seorang ayah sepertiku."

🌙 Pesan Islami:
Dalam Islam, ikatan darah bukan satu-satunya bentuk keluarga. "Bukanlah dari golongan kami orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak menghormati yang tua." (HR. Tirmidzi)

Kebaikan yang tulus bukan tentang siapa yang melahirkan, tapi siapa yang memilih mencintai tanpa pamrih. Dan kedurhakaan bukan selalu karena niat buruk, kadang hanya karena hati yang buta oleh amarah.

Pernahkah kamu menyakiti seseorang yang diam-diam selama ini mencintaimu tanpa syarat?

Pernahkah kamu lupa bahwa kasih sayang bisa datang bukan dari darah… tapi dari ketulusan?

Tuliskan di kolom komentar…

Siapa sosok “Pak Mukhlis” dalam hidupmu yang ingin sekali kamu minta maaf padanya… sebelum terlambat.

SEPIRING NASI UNTUK ABI YANG HILANGPukul lima sore di Gang Kenanga, aroma tumisan bawang menyebar dari rumah kecil berca...
12/07/2025

SEPIRING NASI UNTUK ABI YANG HILANG

Pukul lima sore di Gang Kenanga, aroma tumisan bawang menyebar dari rumah kecil bercat biru pudar di ujung gang.
Di dalamnya, seorang gadis belasan tahun tengah sibuk di dapur. Namanya Aira. Usianya 13 tahun. Tapi beban hidupnya mungkin setara orang dewasa.

Setiap hari, selepas p**ang sekolah, Aira memasak dua piring nasi. Satu untuk dirinya. Satu lagi untuk Abi-nya — ayah yang sudah tiga tahun menghilang tanpa kabar.
"Aira… masak apa hari ini?" tanya Umi yang duduk di kursi roda, menatap putrinya dengan tatapan lemah namun hangat.
"Aira masak sambal teri, Umi. Kesukaan Abi," jawab Aira sambil menyeka keringat.
"Abi kamu itu entah di mana, Nak… Sudahlah, jangan terlalu berharap," suara Umi lirih.
Tapi Aira tetap tersenyum. "Kalau suatu hari Abi p**ang dan lapar, Aira ingin dia tahu… piringnya nggak pernah kosong."

Sejak sang ayah pergi tanpa jejak setelah bangkrut dan terlibat utang, kehidupan mereka berubah drastis. Dulu keluarga ini tak kekurangan. Tapi sekarang, mereka hidup dari bantuan tetangga dan hasil kerja sampingan Aira sebagai pengantar kue.
Tiap malam, sebelum tidur, Aira menulis di buku kecil:
“Abi, hari ini Aira masak sambal teri. Umi senyum pas makan. Tapi Aira nangis, karena ingat Abi belum p**ang.”
Satu hari, langit Gang Kenanga mendung pekat.

Aira p**ang dari masjid dengan seplastik bubur. Di depan rumahnya, seorang laki-laki lusuh tertunduk di bawah hujan. Kumal, berjanggut, dan memeluk lutut.
Aira memicingkan mata. "Pak, kenapa duduk di situ? Lagi sakit?"
Pria itu hanya menunduk. Tapi saat menoleh… dunia Aira seolah berhenti.
"Abi…?"
Pria itu menangis. Tersedu. Dan berkata dengan suara parau, "Maafkan Abi… Abi gagal jadi imam buat kalian… Abi pikir menjauh itu lebih baik… Tapi ternyata, cuma nambah luka…"
Aira langsung memeluk tubuh ayahnya yang dingin dan basah.

Di dalam rumah, Umi yang shock hanya bisa menatap suaminya dalam diam. Tak lama kemudian, air mata pun jatuh. "Selama ini aku cuma ingin satu… kamu p**ang, dalam keadaan apapun."
Hari-hari setelah itu berubah. Abi yang dulu pekerja keras, kini menjadi lebih banyak diam, menangis, dan sering sujud lama sekali saat salat.

Tetangga-tetangga pun mulai berbisik-bisik.
"Itu Pak Fadhil ya? Yang dulu bisnisnya sukses?"
"Iya… katanya habis bangkrut, terus hilang…"
Tapi Aira selalu menjawab dengan bangga, "Abi saya sudah kembali. Itu lebih dari cukup."
Beberapa minggu setelah p**ang, Pak Fadhil mulai ikut membersihkan masjid. Tak banyak bicara. Tapi selalu datang lebih awal dari siapa pun. Ia belajar menerima hinaan, dan memilih untuk merajut kembali hidupnya dengan taubat dan air mata.
Suatu malam, Aira kembali menulis di bukunya:
“Abi sudah p**ang. Tapi yang lebih penting… Abi juga sudah kembali ke Allah.”

Penutup cerita:
Abi Aira akhirnya kembali menemukan cahaya setelah tenggelam dalam gelapnya dunia. Ia sadar, seburuk apapun masa lalu, selama nyawa masih ada, jalan taubat masih terbuka.

Dan Aira? Gadis kecil itu mengajarkan dunia bahwa kesetiaan tak selalu butuh janji. Tapi cukup dengan sepiring nasi yang tak pernah dibiarkan dingin.

📝 Pernahkah kamu menanti seseorang yang pergi begitu saja?

Atau pernahkah kamu menjadi orang yang meninggalkan?

💬 Ceritakan di komentar…

Mungkin kisahmu bisa jadi kekuatan untuk yang sedang menunggu atau yang ingin p**ang.

SAAT AZAN TERAKHIR ITU UNTUKKUMatahari mulai tenggelam di ufuk barat. Cahaya jingga menari di permukaan laut, seolah lan...
12/07/2025

SAAT AZAN TERAKHIR ITU UNTUKKU

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Cahaya jingga menari di permukaan laut, seolah langit ingin menyimpan rahasia yang tak sanggup diungkapkan manusia.
Di bibir pantai Karimunjawa, seorang pria berdiri mematung. Matanya sembab, bajunya lusuh, dan tangannya menggenggam sebuah surat—lecek, usang, tapi penuh harapan yang telah lama karam.

Namanya Damar. Usianya 30 tahun. Ia baru saja kehilangan seseorang yang paling ia cinta—Ayla, istrinya.
Mereka baru menikah setahun. Bukan pasangan kaya raya, tapi bahagia. Hidup sederhana di Yogyakarta, Damar bekerja sebagai guru honorer, sementara Ayla menjahit di rumah.

Hidup mereka seperti doa-doa yang terkabul pelan-pelan. Sampai suatu hari, Ayla mengeluh sakit perut yang tak tertahankan. Rumah sakit, tes, hasil laboratorium. Dan vonis itu datang bagai petir di siang bolong:
Kanker ovarium stadium lanjut.
Dunia Damar runtuh.
Ia mencoba kuat, menjadi suami yang tak menangis di depan istri. Tapi malam-malamnya basah oleh air mata. Ia jual motor, gadaikan rumah warisan, demi kemoterapi Ayla.

Ayla tak pernah mengeluh. Di atas kasur rumah sakit, ia masih tersenyum.
“Mas, kalau aku nggak ada nanti… jangan tinggalin sholat ya… karena aku ingin ketemu kamu lagi, tapi di surga.”
Damar menangis. Ia yang selama ini lalai dengan sholat, merasa tertampar. Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, Damar kembali sujud… dan hatinya retak oleh penyesalan.

Tiga bulan kemudian…
Ayla meninggal. Tepat setelah azan Maghrib berkumandang.
Damar memeluk tubuh istrinya yang sudah dingin. Ia berbisik, “Azan tadi… mungkin memang untukmu, Sayang…”
Setelah pemakaman, Damar pergi. Ia tinggalkan semua—pekerjaan, rumah, dan kehidupannya di kota. Ia pindah ke Karimunjawa, menjadi guru mengaji untuk anak-anak nelayan. Satu-satunya peninggalan Ayla yang ia bawa hanyalah mushaf kecil dan surat terakhir dari istrinya.

Di surat itu tertulis:
“Mas, aku tahu kamu mungkin akan patah. Tapi jangan tenggelam. Jadilah perahu, bukan batu. Dan tolong ajarkan anak-anak di luar sana agar mereka mengenal Allah sedari kecil. Kalau Mas lakukan itu, aku akan tenang… sangat tenang.”

Tiga tahun kemudian
Damar berdiri di pinggir pantai, di tengah acara khatam Quran anak-anak didiknya. Mereka membaca dengan tartil, wajah polos penuh cahaya. Saat itu, muadzin di masjid kecil Karimunjawa mengumandangkan azan Maghrib.
Damar terdiam.

Air matanya menetes. Tapi kali ini bukan karena kehilangan.
Melainkan karena rasa syukur. Bahwa dari luka, lahir cahaya.
Bahwa dari kehilangan, lahir pengabdian.
“Ayla…” bisiknya pelan. “Azan ini bukan untuk kematian lagi… tapi mungkin, untuk kehidupan yang baru. Untuk janji yang perlahan Mas tunaikan.”

🕌 Hikmah:
Dalam hidup, kita mungkin kehilangan orang yang paling kita cinta. Tapi kehilangan itu bukan akhir. Terkadang, itu adalah jalan Allah untuk menuntun kita p**ang—p**ang kepada-Nya. Cinta yang sejati bukan hanya ada di pelukan, tapi dalam doa yang terus hidup, bahkan setelah tubuh terpisah oleh kematian.

“Barang siapa yang sabar, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.”
(HR. Bukhari)

Apakah kamu pernah merasa kehilangan yang begitu dalam?

Apakah kamu pernah merasa Allah mengambil sesuatu… hanya agar kamu lebih dekat kepada-Nya?

Tulis di kolom komentar, bagaimana kamu berdamai dengan luka yang pernah Allah titipkan…

KETIKA AYAH DIHINA DIDEPANKUNamaku Alya. Sejak kecil, aku dibesarkan oleh ayahku, Pak Idris, seorang penarik ojek pangka...
11/07/2025

KETIKA AYAH DIHINA DIDEPANKU

Namaku Alya. Sejak kecil, aku dibesarkan oleh ayahku, Pak Idris, seorang penarik ojek pangkalan. Ibuku meninggal saat aku berumur 5 tahun. Ayah tidak pernah menikah lagi. Ia lebih memilih menjadi ayah sekaligus ibu untukku.

Pak Idris bukan pria banyak bicara. Ia pendiam, sabar, dan tidak pernah marah meski hidupnya sulit. Ia hanya lulusan SD. Tapi semangatnya menyekolahkanku tinggi. Katanya:
“Aku gak bisa wariskan rumah mewah, tapi aku mau kamu jadi orang berilmu.”
Setiap hari, ayah bangun jam 4 pagi, sholat malam, lalu bersiap narik ojek. Helmnya sudah butut, motornya tua, tapi wajahnya selalu ramah. Ia selalu sempat mencium keningku sebelum berangkat.

Saat SMA, aku diterima di sekolah unggulan berbasis internasional. Semua siswa di sana berasal dari keluarga berada. Sementara aku... hanya anak tukang ojek.
Awalnya aku bangga dengan ayahku. Tapi lingkungan sekolah perlahan mengubah itu.
Teman-teman sering membicarakan ayah mereka: ada yang pengusaha, ada yang direktur, ada yang anggota dewan. Lalu mereka menoleh padaku dan bertanya:
“Bokap lo kerja apa, Ly?”

Aku tersenyum canggung. “PNS… bagian lapangan,” jawabku asal.
Aku mulai menyembunyikan siapa ayahku sebenarnya. Aku larang ayah menjemputku di sekolah. Aku suruh dia menunggu di gang belakang.
Ayah menurut. Ia tidak pernah protes.

Sampai suatu hari, sekolah mengadakan seminar karier. Semua siswa diminta membawa orang tuanya untuk hadir dan berbicara tentang profesi mereka.
Aku panik. Aku ingin menolak ikut. Tapi wali kelasku memaksa.
Terpaksa, aku undang ayah. Tapi aku memohon:
“Yah, tolong banget pakai baju rapi, jangan naik motor yang itu ya. Pinjam aja ke Pak RT…”
Ayah diam. Ia hanya tersenyum tipis dan mengangguk.

Hari itu datang. Aula dipenuhi orang tua berpenampilan necis. Jas, sepatu mengilap, parfum mahal. Aku gelisah menunggu ayah. Tapi ia tak kunjung datang.
Sampai akhirnya… pintu terbuka.
Ayah masuk. Mengenakan kemeja yang terlalu besar, dan tetap dengan motor tuanya yang diparkir di depan sekolah. Beberapa siswa tertawa kecil.

“Itu siapa?”
“Pakaiannya… ih, kayak tukang…”
Lalu seseorang berbisik keras:
“Jangan bilang itu ayahnya Alya…”
Darahku mendidih. Tapi bukan karena mereka menghina. Tapi karena… aku merasa malu.
Saat ayah diminta maju ke depan, aku menunduk. Aku pura-pura sibuk dengan HP. Ayah naik ke podium dengan senyum sederhana.

“Nama saya Idris. Saya tukang ojek. Tapi saya bukan hanya narik penumpang. Saya juga narik harapan, supaya anak saya bisa duduk di ruangan ini… bareng anak-anak orang hebat.”
Ruangan sunyi.
“Saya tahu saya gak punya gelar, gak punya bahasa yang indah. Tapi saya punya doa. Dan tiap pagi saya doakan anak saya, Alya, biar bisa lebih tinggi dari saya. Karena buat saya, sukses itu… ketika anak kita gak perlu hidup seberat kita.”
Air mataku jatuh tanpa bisa ditahan. Aku berdiri, berjalan cepat ke depan, memeluk ayahku erat.
“Maafin aku, Yah… maafin aku yang pernah malu sama Ayah…”

🌿 Hikmah Islami:
Dalam Islam, orang tua tidak dinilai dari pekerjaan atau hartanya. Tapi dari keikhlasan dan cinta tanpa syarat yang mereka berikan.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya...” (QS. Al-Ankabut: 8)

Rasa malu pada orang tua bukan tanda dewasa, tapi tanda kita kehilangan arah.

🔹 Pernahkah kita merasa malu terhadap orang tua kita karena keadaan mereka?

🔹 Sudahkah kita benar-benar menunjukkan rasa syukur atas setiap keringat yang mereka teteskan untuk kita?

🔹 Jika hari ini adalah hari terakhir mereka hidup… apa yang ingin kita katakan?

📝 Tulis di kolom komentar:

Jika kamu bisa bicara jujur ke ayah atau ibumu hari ini… apa yang ingin kamu ucapkan dari hati terdalam?

Address


Telephone

+628558575485

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Motivasi Kehidupan posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Motivasi Kehidupan:

Shortcuts

  • Address
  • Telephone
  • Alerts
  • Contact The Business
  • Claim ownership or report listing
  • Want your business to be the top-listed Media Company?

Share