18/12/2025
"Saya terima, ni kah dan ka winnya Lintang ayudiningrat binti Praja suseno, dengan ma s ka win sepe rang kat alat salat dan ua ng tunai dua mil yar ru piah, diba yar tu..."
Belum sempat Mas Bara menyelesaikan i jab qo bulnya, ia meri ngis seperti menahan sa kit. Tangan yang tadi untuk menja bat saat i jab qo bul, kini berpindah meme g ang da danya. Kemudian sesaat setelah itu, ia lang sung amb ruk ke belakang dan tidak sadarkan diri.
Seketika, suasana khid mat yang menyeli muti ruang akad berubah menjadi kepanikan mence kam.
​"Bara ...?!!"
​Sebuah je ritan his teris melengking meme cah kesunyian. Bu Rumana, ibunda Mas Bara, yang duduk tak jauh dari kami, lang sung berdiri dengan wajah pi as, mengham bur ke arah Mas Bara yang terka par di atas karpet beludru. Ia memelu k kepala Mas Bara, tangisnya pe cah tak terta hankan.
​Tu buh calon suamiku itu ja tuh tepat di sampingku. Aku membeku di tempat duduk, bingung dan sy ok berat. Dalam hitungan detik, Mas Bara yang sebentar lagi sah menjadi imamku, kini tergeletak tak berdaya dengan wa jah pu cat.
"Tolong panggilkan Dokter! siapapun, tolong panggilkan Dokter?!" teri ak Bu Rumana pa nik.
Seseor ang muncul dari belakang, ia salah satu tamu undangan dari Papa Praja, Ayahku. Or ang itu seor ang Dokter.
Begitu selesai memerik sa calon suamiku, Dokter itu mengge leng pelan. Ia menar ik napas panjang.
​“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un… Maaf, Bu. Saya turut berdu ka cita yang sedalam-dalamnya. Nak Bara... sudah tidak ada,” ucap Dokter itu.
​Seketika, rum ah ini dipenuhi je ritan memi lukan dari Bu Rumana.
​Aku masih duduk kaku di tempatku, menyaksikan semua kepanikan itu. Tu buh Mas Bara hanya berjarak beberapa inci dariku. Wa jahnya yang damai, kini pu cat, matanya tertutup.
​Anehnya, saat semua or ang sibuk menangis dan panik, ada dua perasaan yang berpe rang hebat di dalam da daku.
​Satu sisi, aku merasa s y ok, nge ri, dan i ba. Aku baru saja menyaksikan kema tian di depanku. Mas Bara, yang sebentar lagi akan sah menjadi suamiku, pergi begitu saja.
​Di sisi lain, aku juga merasa le ga. ​Ya, aku selamat dari pernikahan ini. Pernikahan yang tidak pernah aku inginkan. Pernikahan yang dipak sakan oleh Papa Praja dan Mama Nike. Bukan cinta yang menjadi alasannya, melainkan ua ng ma har yang fant as tis, yaitu ua ng dua mili ar ru piah yang sudah menjadi kesepa katan mereka jika aku mau menikah dengan Mas Bara. Rasanya aku seperti diju al oleh Papa kan dungku sendiri.
​Ua ng itu adalah satu-satunya alasan Papa ngo tot menjodohkanku dengan Mas Bara, an ak tunggal seo rang pengusaha ka ya. Tadinya, begitu i jab ka bul selesai, ua ng itu akan segera berpindah tangan, menyelesaikan semua masalah keu angan Papa dan Mama Nike. Dan kini, ua ng itu pasti akan ba tal didapatkan, dan aku ba tal teri kat.
​Aku tidak bisa membo hongi diriku sendiri. Aku tidak pernah mencintai Mas Bara. Aku belum mengenalnya lebih dalam, mengetahui namanya pun baru kemarin. Aku tidak ingin menikah dengannya hanya demi agar Papa dan Mama Nike mendapatkan u ang banyak, setelah apa yang mereka lakukan padaku dan Mama Ayuna, Mama kan dungku. Tetapi kini, takdir berkata lain, seolah semesta berpihak padaku.
"Dasar an ak pembawa si al!!" bisik Mama Nike sambil melo tot, membuyarkan lamunanku. Setelah berkata demikian, Mama Nike kemudian pergi.
​Aku terus duduk k aku, menyaksikan ora ng- ora ng sibuk mengurus jena zah Mas Bara. Begitupun Papa dan Mama Nike, mereka terlihat sangat terpu kul. Tetapi aku tahu, yang mereka tangisi bukan kehilangan seo rang calon menantu, melainkan hilangnya ua ng dua mi li ar di depan mata.
​Diantara mereka semua, tidak ada satu pun yang menoleh ke arahku. Aku benar-benar terlupakan, seolah aku hanyalah dekorasi yang gagal di acara ini. Tetapi itu lebih baik, dari pada aku diperlakukan bagai pembantu di ru mah or ang tuaku sendiri bersama Mama, seperti biasanya.
Namaku Lintang ayu diningrat. Aku an ak kan dung Papa Praja dan Mama Ayuna. Di ru mah ini, aku dan Mama Ayuna diperlakukan seperti pembantu semenjak Papa menikah lagi dengan Mama Nike, saat aku kelas enam SD, dan sekarang usiaku sudah 20 tahun. Setelah lulus SMA, aku juga tidak kuliah, kata Papa u angnya sudah buat kuliah Citra, an ak Mama Nike.
Sejak beberapa bulan yang lalu, perusahaan Papa bang krut, hanya karena menuruti gaya he don Mama Nike dan Citra. Makanya, aku dijodohkan dengan Mas Bara, agar mereka dapat ua ng. Yang paling mengejutkan lagi, ternyata Mas Bara mempunyai kelainan, emo sinya bisa mele dak kapan saja jika ada masalah sepe le, makanya dia dijodohkan sama aku, bukan sama Citra meskipun an ak ora ng ka ya. Aku sendiri sudah berusaha ke ras meno lak perjodohan ini, tetapi apalah dayaku, tidak mungkin melawan or ang tuaku sendiri.
Tiba-tiba, sebuah tangan ha ngat menyen tuh ba huku, membuatku berjing kat kaget. Ternyata beliau adalah Mama Ayuna, Mama kan dungku, istri pertama Papa Praja, yang sudah lama diab aikan dan tera singkan di ru mah ini, sementara Mama Nike, istri kedua Papa, dia sangat berkua sa.
​“Nak… Lintang Sa yang…” bisik Mama. Wa jahnya sembab, tetapi matanya meman carkan keha ngatan, kemudian berlu tut di sampingku. “Ayo, Nak. Kita masuk ke ka mar. Kamu tidak bisa terus di sini.”
​Aku membiarkan Mama menuntunku. Tu buhku lem as, sepenuhnya bersan dar pada dirinya. Kami berjalan melewati hiruk pikuk du ka, melewati Papa yang sedang menelpon dengan wajah te gang, dan melewati Mama Nike yang sibuk memberi instruksi kepada pelayan dengan ekspresi ma rah.
​Tak ada dari mereka yang menghentikan kami.
​Begitu masuk kamar dan pintu ka marku tertutup, aku amb ruk dalam pelu kan Mama.
​“Mama…” Hanya itu yang bisa kuucapkan.
​“Iya, Sa yang. Mama di sini. Kamu aman sekarang,” bisik Mama.
​Aku memelu k Mama e rat- e rat, menum pahkan segala keta k*tan yang mence kam. Aku tahu, ba dai sesungguhnya belum dimulai. Kema tian Mas Bara memang membebaskanku dari ik atan pernikahan yang tidak kuinginkan, tetapi pada saat yang sama, aku juga menca but satu-satunya harapan Papa untuk mendapatkan ua ng yang banyak.
​“Ma, aku ta k*t. Papa pasti mar ah besar setelah ini.” Aku mena rik diri dari pelu kan Mama, mengu sap air mata di p**i.
​Mama menang kup kedua p**iku, menatapku dalam-dalam. “Kamu jangan ta k*t, Sa yang ada Mama di sini."
​Kami berdua terdiam, hanya suara tangisan samar dari luar ka mar yang menjadi latar belakang kege lisahan kami. Beberapa saat kemudian, suara mobil sirine yang semakin menjauh menandakan jena zah Mas Bara telah dibawa pulang ke r u mahnya.
Saat ​Mama baru saja hendak menuangkan segelas air untukku, matanya menang kap sesuatu di sudut ka mar.
​“Nak… sepertinya ini kesempatan kita,” bisik Mama.
Bersambung-
(1)
Judul : Duka Sebelum Akad
Penulis : Cahaya terang
Tayang eksklusif hanya di K B M app.