Joe Brendo

Joe Brendo ikuti trus keseruan drama kehidupan đź’ž

"Saya terima, ni kah dan ka winnya Lintang ayudiningrat binti Praja suseno, dengan ma s ka win sepe rang kat alat salat ...
18/12/2025

"Saya terima, ni kah dan ka winnya Lintang ayudiningrat binti Praja suseno, dengan ma s ka win sepe rang kat alat salat dan ua ng tunai dua mil yar ru piah, diba yar tu..."

Belum sempat Mas Bara menyelesaikan i jab qo bulnya, ia meri ngis seperti menahan sa kit. Tangan yang tadi untuk menja bat saat i jab qo bul, kini berpindah meme g ang da danya. Kemudian sesaat setelah itu, ia lang sung amb ruk ke belakang dan tidak sadarkan diri.

Seketika, suasana khid mat yang menyeli muti ruang akad berubah menjadi kepanikan mence kam.

​"Bara ...?!!"

​Sebuah je ritan his teris melengking meme cah kesunyian. Bu Rumana, ibunda Mas Bara, yang duduk tak jauh dari kami, lang sung berdiri dengan wajah pi as, mengham bur ke arah Mas Bara yang terka par di atas karpet beludru. Ia memelu k kepala Mas Bara, tangisnya pe cah tak terta hankan.

​Tu buh calon suamiku itu ja tuh tepat di sampingku. Aku membeku di tempat duduk, bingung dan sy ok berat. Dalam hitungan detik, Mas Bara yang sebentar lagi sah menjadi imamku, kini tergeletak tak berdaya dengan wa jah pu cat.

"Tolong panggilkan Dokter! siapapun, tolong panggilkan Dokter?!" teri ak Bu Rumana pa nik.

Seseor ang muncul dari belakang, ia salah satu tamu undangan dari Papa Praja, Ayahku. Or ang itu seor ang Dokter.

Begitu selesai memerik sa calon suamiku, Dokter itu mengge leng pelan. Ia menar ik napas panjang.

​“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un… Maaf, Bu. Saya turut berdu ka cita yang sedalam-dalamnya. Nak Bara... sudah tidak ada,” ucap Dokter itu.

​Seketika, rum ah ini dipenuhi je ritan memi lukan dari Bu Rumana.

​Aku masih duduk kaku di tempatku, menyaksikan semua kepanikan itu. Tu buh Mas Bara hanya berjarak beberapa inci dariku. Wa jahnya yang damai, kini pu cat, matanya tertutup.

​Anehnya, saat semua or ang sibuk menangis dan panik, ada dua perasaan yang berpe rang hebat di dalam da daku.

​Satu sisi, aku merasa s y ok, nge ri, dan i ba. Aku baru saja menyaksikan kema tian di depanku. Mas Bara, yang sebentar lagi akan sah menjadi suamiku, pergi begitu saja.

​Di sisi lain, aku juga merasa le ga. ​Ya, aku selamat dari pernikahan ini. Pernikahan yang tidak pernah aku inginkan. Pernikahan yang dipak sakan oleh Papa Praja dan Mama Nike. Bukan cinta yang menjadi alasannya, melainkan ua ng ma har yang fant as tis, yaitu ua ng dua mili ar ru piah yang sudah menjadi kesepa katan mereka jika aku mau menikah dengan Mas Bara. Rasanya aku seperti diju al oleh Papa kan dungku sendiri.

​Ua ng itu adalah satu-satunya alasan Papa ngo tot menjodohkanku dengan Mas Bara, an ak tunggal seo rang pengusaha ka ya. Tadinya, begitu i jab ka bul selesai, ua ng itu akan segera berpindah tangan, menyelesaikan semua masalah keu angan Papa dan Mama Nike. Dan kini, ua ng itu pasti akan ba tal didapatkan, dan aku ba tal teri kat.

​Aku tidak bisa membo hongi diriku sendiri. Aku tidak pernah mencintai Mas Bara. Aku belum mengenalnya lebih dalam, mengetahui namanya pun baru kemarin. Aku tidak ingin menikah dengannya hanya demi agar Papa dan Mama Nike mendapatkan u ang banyak, setelah apa yang mereka lakukan padaku dan Mama Ayuna, Mama kan dungku. Tetapi kini, takdir berkata lain, seolah semesta berpihak padaku.

"Dasar an ak pembawa si al!!" bisik Mama Nike sambil melo tot, membuyarkan lamunanku. Setelah berkata demikian, Mama Nike kemudian pergi.

​Aku terus duduk k aku, menyaksikan ora ng- ora ng sibuk mengurus jena zah Mas Bara. Begitupun Papa dan Mama Nike, mereka terlihat sangat terpu kul. Tetapi aku tahu, yang mereka tangisi bukan kehilangan seo rang calon menantu, melainkan hilangnya ua ng dua mi li ar di depan mata.

​Diantara mereka semua, tidak ada satu pun yang menoleh ke arahku. Aku benar-benar terlupakan, seolah aku hanyalah dekorasi yang gagal di acara ini. Tetapi itu lebih baik, dari pada aku diperlakukan bagai pembantu di ru mah or ang tuaku sendiri bersama Mama, seperti biasanya.

Namaku Lintang ayu diningrat. Aku an ak kan dung Papa Praja dan Mama Ayuna. Di ru mah ini, aku dan Mama Ayuna diperlakukan seperti pembantu semenjak Papa menikah lagi dengan Mama Nike, saat aku kelas enam SD, dan sekarang usiaku sudah 20 tahun. Setelah lulus SMA, aku juga tidak kuliah, kata Papa u angnya sudah buat kuliah Citra, an ak Mama Nike.

Sejak beberapa bulan yang lalu, perusahaan Papa bang krut, hanya karena menuruti gaya he don Mama Nike dan Citra. Makanya, aku dijodohkan dengan Mas Bara, agar mereka dapat ua ng. Yang paling mengejutkan lagi, ternyata Mas Bara mempunyai kelainan, emo sinya bisa mele dak kapan saja jika ada masalah sepe le, makanya dia dijodohkan sama aku, bukan sama Citra meskipun an ak ora ng ka ya. Aku sendiri sudah berusaha ke ras meno lak perjodohan ini, tetapi apalah dayaku, tidak mungkin melawan or ang tuaku sendiri.

Tiba-tiba, sebuah tangan ha ngat menyen tuh ba huku, membuatku berjing kat kaget. Ternyata beliau adalah Mama Ayuna, Mama kan dungku, istri pertama Papa Praja, yang sudah lama diab aikan dan tera singkan di ru mah ini, sementara Mama Nike, istri kedua Papa, dia sangat berkua sa.

​“Nak… Lintang Sa yang…” bisik Mama. Wa jahnya sembab, tetapi matanya meman carkan keha ngatan, kemudian berlu tut di sampingku. “Ayo, Nak. Kita masuk ke ka mar. Kamu tidak bisa terus di sini.”

​Aku membiarkan Mama menuntunku. Tu buhku lem as, sepenuhnya bersan dar pada dirinya. Kami berjalan melewati hiruk pikuk du ka, melewati Papa yang sedang menelpon dengan wajah te gang, dan melewati Mama Nike yang sibuk memberi instruksi kepada pelayan dengan ekspresi ma rah.

​Tak ada dari mereka yang menghentikan kami.

​Begitu masuk kamar dan pintu ka marku tertutup, aku amb ruk dalam pelu kan Mama.

​“Mama…” Hanya itu yang bisa kuucapkan.

​“Iya, Sa yang. Mama di sini. Kamu aman sekarang,” bisik Mama.

​Aku memelu k Mama e rat- e rat, menum pahkan segala keta k*tan yang mence kam. Aku tahu, ba dai sesungguhnya belum dimulai. Kema tian Mas Bara memang membebaskanku dari ik atan pernikahan yang tidak kuinginkan, tetapi pada saat yang sama, aku juga menca but satu-satunya harapan Papa untuk mendapatkan ua ng yang banyak.

​“Ma, aku ta k*t. Papa pasti mar ah besar setelah ini.” Aku mena rik diri dari pelu kan Mama, mengu sap air mata di p**i.

​Mama menang kup kedua p**iku, menatapku dalam-dalam. “Kamu jangan ta k*t, Sa yang ada Mama di sini."

​Kami berdua terdiam, hanya suara tangisan samar dari luar ka mar yang menjadi latar belakang kege lisahan kami. Beberapa saat kemudian, suara mobil sirine yang semakin menjauh menandakan jena zah Mas Bara telah dibawa pulang ke r u mahnya.

Saat ​Mama baru saja hendak menuangkan segelas air untukku, matanya menang kap sesuatu di sudut ka mar.

​“Nak… sepertinya ini kesempatan kita,” bisik Mama.

Bersambung-

(1)
Judul : Duka Sebelum Akad
Penulis : Cahaya terang
Tayang eksklusif hanya di K B M app.

DOA YANG TAK LAGI SAMA🌺🌺🌺B A B 1“Kamu benar-benar cantik, s a y a n g.”“Ah! Masa Rom! Cantikan mana aku sama Nayla?”“Ya ...
18/12/2025

DOA YANG TAK LAGI SAMA

🌺🌺🌺

B A B 1

“Kamu benar-benar cantik, s a y a n g.”

“Ah! Masa Rom! Cantikan mana aku sama Nayla?”

“Ya cantikan kamu lah! Nayla itu apa!? Bisanya cuma di dapur aja, dandan nggak bisa, beda sama kamu.”

“Kan karena aku harus kerja kantoran, Rom! Kudu tampil m e n a r i k setiap harinya, ya kali ke kantor aku p a k a i daster!”

“Nah! Itu bedanya kamu sama Nayla, s a y a n g.”

“Rom! Udahan yuk! T a k u t Nayla udah bangun!”

Nayla berdiri mematung di ambang pintu. M a t anya membulat, napasnya terc e k a t di tenggorokan, seolah waktu berhenti berputar di sekelilingnya.

Sementara. Irma membeku di tempat, tangannya g e m e t a r saat mencoba meraih blus yang tercecer di lantai. Romi, yang baru saja selesai mengenakan8 piyamanya, menoleh dengan wajah pucat pasi.

“Kalian…”

"Ka-kamu udah bangun, Nay?" Romi berusaha terdengar tenang, tapi suaranya bergetar.

Nayla tidak menjawab. B i b i r nya mengatup rapat, berusaha menahan gemuruh di d a d anya yang terasa sesak. M a t anya menelusuri kekacauan di k a m a r tamu itu, p a k a i a n yang berserakan, rambut Irma yang acak-acakan, dan ekspresi bersalah di wajah suaminya.

"Kalian..." suara Nayla nyaris terc e k a t. "Sejak kapan?"

Irma menundukkan kepala, tak berani menatap m a t a Nayla yang penuh l u k a. "Nayla, aku... aku bisa jelasin..."

"Jelasin apa, Irma?" Suara Nayla meninggi, tangannya meng e p a l di sisi t u b u hnya. "Kamu sahabatku! Aku percaya sama kamu! Aku kasih kamu tempat untuk menginap, buat sahur bareng... tapi ini yang kamu lakuin?"

Romi melangkah maju, mencoba meraih t a n g a n istrinya. "Nay, aku khilaf... aku--"

"Jangan s e n t u h aku!" Nayla menepis tangannya dengan k a s a r. M a t anya memerah, air m a t a yang sejak tadi tertahan mulai mengalir di p**inya. "Aku pikir aku cukup buat kamu, Rom. Tapi ternyata aku cuma istri yang nggak cukup m e n a r i k, ya? Nggak cukup baik?"

"Nayla, aku..." Irma bersuara lirih, tapi Nayla me m o t o ngnya cepat.

"Diam! Kamu tahu, aku selalu membelamu saat orang lain ngomongin kamu dibelakang. Aku pikir kamu teman baik yang tulus! Tapi ternyata kamu p e n g h i a n a t!"

Romi menghela napas berat, tahu penjelasan apapun tak akan memperbaiki situasi. "Aku salah, Nay. Aku siap terima h u k u m a n apapun dari kamu."

Nayla menatapnya penuh l u k a. "H u k u m a n? Kamu pikir permintaan maafmu bisa nyembuhin h a t i aku yang sudah h a n c u r ini?"

Sejenak, k a m a r itu dipenuhi keheningan yang menc e k a m. Air m a t a Nayla terus mengalir, tapi suaranya terdengar tegas saat akhirnya ia berkata, "Aku nggak bisa tinggal di rumah ini lagi. Kalian berdua... keluar dari hidupku."

Romi p a n i k melihat Nayla berbalik dan melangkah cepat meninggalkan k a m a r tamu. Tanpa pikir panjang, ia mengejarnya ke k a m a r mereka di ujung koridor.

"Nay! Tunggu!" serunya, suaranya parau dan dipenuhi keputusasaan.

Nayla membuka pintu k a m a r dengan kasar, memb a n t i n gnya hingga terbuka lebar. Tangannya g e m e t a r saat menarik koper dari lemari. Air m a t a terus membanjiri wajahnya, tapi ia menolak menunjukkan kelemahannya di hadapan pria yang telah meng k h i a n a t inya.

Romi masuk ke k a m a r tepat saat Nayla mulai memasukkan p a k a i a n ke dalam koper dengan gerakan tergesa-gesa. "Nay, t o l o n g! Jangan gini... Kita bisa bicarakan ini baik-baik," pintanya, mencoba meraih tangannya lagi.

"Bicarain apa, Rom?" Nayla membalikkan badan dengan tatapan penuh a m a r a h dan l u k a. "Kamu udah cukup jelas kok tadi! Aku bukan istri yang m e n a r i k, nggak bisa dandan secantik Irma, ya kan? Itu yang ada dipikiranmu selama ini?!"

"Bukan gitu, Nay... Aku salah. Aku b o d o h. Aku nggak pernah niat n y a k i t i n kamu," suara Romi bergetar, matanya memohon pengertian.

"Kamu nggak niat n y a k i t i n aku, tapi kamu t i d u r sama sahabat aku sendiri!" Nayla menyeka air m a t a nya dengan k a s a r. "Apa aku kurang buat kamu, Rom? Apa
c i n t a aku kurang besar buat bikin kamu nggak lirik perempuan lain?!"

Romi m e r e m a s rambutnya dengan f r u s t a s i. "Aku nggak tahu kenapa aku bisa kayak gini, Nay... Aku cuma... Aku lemah. Aku nyesel!"

"Penyesalan kamu nggak akan bisa balikin rasa percaya aku lagi," bisik Nayla, suaranya lemah tapi m e n u s u k h a t i Romi dalam-dalam. "Aku nggak bisa tinggal di rumah ini lagi. Aku nggak bisa napas di sini."

Romi merasa dunianya r u n t u h mendengar kata-kata itu. Ia berlutut di hadapan Nayla, memegang kedua tangan istrinya dengan erat meski Nayla mencoba menepisnya. "Nay, aku mohon... Jangan pergi. Aku butuh kamu. Aku c i n t a kamu. Beri aku satu kesempatan buat perbaiki semuanya."

Nayla terdiam sejenak, d a d anya naik-turun menahan e m o s i yang berkecamuk. Ia menatap pria yang pernah menjadi seluruh dunia nya itu dengan m a t a penuh l u k a. "Kalau kamu beneran c i n t a aku, kamu nggak akan ngeh a n c u rin h a t i aku begini, Rom."

Dengan tarikan napas panjang, Nayla melepaskan tangannya dari g e n g g a m a n Romi dan menutup koper yang sudah hampir penuh. "Aku pergi malam ini. Jangan cari aku."

"Nayla, t o l o n g..." Romi mencoba menghentikannya sekali lagi, tapi Nayla sudah melangkah menuju pintu.

Sebelum keluar, Nayla menoleh sekali lagi dengan tatapan yang begitu dingin hingga Romi merasa h a t inya mencelos. "Kamu udah buat pilihanmu, Rom. Sekarang aku buat pilihan aku."

Saat Nayla melangkah menuju pintu, suara Romi tiba-tiba menjadi dingin dan t a j a m. "Kalau kamu pergi, Nay... B i s n i s Papa kamu akan h a n c u r."

Langkah Nayla terhenti seketika. T u b u hnya membeku di ambang pintu, napasnya terc e k a t. Ia perlahan menoleh, menatap Romi dengan m a t a yang penuh kebingungan dan kekecewaan. "Apa maksud kamu, Rom?"

Romi berdiri perlahan, ekspresi penuh keputusasaan di wajahnya berganti menjadi a n c a m a n yang tersirat jelas. "Aku yang selama ini menahan para i n v e s t o r supaya nggak mundur. Kalau kamu pergi dari hidup aku, aku nggak akan lagi peduli dengan b i s n i s keluarga kamu. Aku bisa buat semuanya h a n c u r dalam sekejap."

Nayla merasa d a d anya semakin sesak, m a r a h bercampur l u k a menguasai pikirannya. "Kamu tega n g a n c a m aku pakai keluarga aku sendiri?" suaranya bergetar, menahan e m o s i yang memuncak.

"Aku nggak punya pilihan lain, Nay. Aku nggak bisa kehilangan kamu," Romi mengakui dengan suara rendah, m a t anya berkaca-kaca. "Aku tahu aku salah, tapi aku nggak mau hidup tanpa kamu."

Ruangan terasa m e n c e k a m. Nayla berdiri di sana, hatinya bertarung antara a m a r a h dan c i n t a yang masih tersisa. Tangannya menge p a l erat di sisi t u b u hnya, mencoba menenangkan gejolak di dalam dirinya.

"Kamu benar-benar keterlaluan, Rom," bisiknya, tetapi langkahnya tak lagi bergerak meninggalkan k a m a r itu.

Nayla terdiam di tepi r a n j a n g, pandangannya kosong menatap pintu k a m a r yang baru saja tertutup. Suara langkah kaki suaminya perlahan menghilang di balik pintu, menyisakan keheningan yang menyesakkan.

H a t inya terasa berat, seolah ada ribuan b e b a n yang menekan d a d anya. Air m a t a menggenang di pelupuk m a t anya, tetapi ia menahannya—sekuat tenaga.

"Kamu tega?" batinnya berbisik lirih, suaranya nyaris tak terdengar di antara gelombang rasa s a k i t yang mengh a n t a m. "Kenapa kamu dan Irma tega melakukan ini di belakangku?"

Pikirannya berputar, memutar kembali p o t o n gan-p o to n gan kenyataan yang begitu sulit ia terima. Percakapan samar yang ia dengar di telepon tadi masih terngiang jelas di kepalanya—suara lembut Irma yang dulu ia anggap sahabat, kini terdengar seperti b e l a t i yang meng o y a k kepercayaannya.

Nayla menghela napas panjang, mencoba mer e d a m gemuruh e m o s inya. Tangannya meng e p a l di atas p a h a, bergetar menahan a m a r a h dan pengk h i a n a t an yang tak mampu ia cerna. Rasa percaya yang ia bangun selama bertahun-tahun r u n t u h begitu saja dalam hitungan detik.

"Aku nggak pantas diperlakukan seperti ini," gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. H a t inya berontak, tapi t u b u hnya terasa lemah.

Bayangan suaminya—yang selama ini ia percaya dan c i n t a i—menari di benaknya. Setiap j a n j i manis, setiap perhatian kecil, kini terasa seperti keb o h o n gan belaka. Dan Irma... Sosok yang selalu ada dalam s u k a dan d u k a, ternyata m e m e l u k suaminya di belakang punggungnya.

^^^bersambung^^^

🌺🌺🌺

Judul : DOA YANG TAK LAGI SAMA

Penulis : Jingga Violletha

Aplikasi : KBMapp

Tujuh tahun menemani kekasihku yang pengangguran. setelah dia jadi P N S, aku malah dibuang begitu saja. Tapi dia tak ta...
18/12/2025

Tujuh tahun menemani kekasihku yang pengangguran. setelah dia jadi P N S, aku malah dibuang begitu saja. Tapi dia tak tahu... balasan dariku akan membuatnya menyesal seumur hidup!

__Balas Dendam Setelah Dicampakkan (5)__

Aku berdiri dengan tangan terlipat di d a d a, mencoba menahan gejolak emosi yang terus meluap. Mataku tak lepas dari c i n c i n di tangan Ratih, yang kini tampak semakin mengesalkan.

Apa yang lebih menyakitkan dari melihat benda yang dulu kupilih dengan hati-hati, kini dikenakan oleh wanita yang bahkan tak tahu apa artinya cinta?

"Jadi, Tante, kalau begitu... aku cuma datang untuk ambil barang-barang milikku."

Aku menyebutnya dengan nada datar, meskipun dalam hati terasa seperti ada seribu pedang menusvk. Tante Fina tetap diam, wajahnya makin cemas.

Aku bisa melihat ketegangan dalam diri wanita itu saat ini. Mungkin dia khawatir kalau aku akan m e l e d a k, atau lebih buruk lagi, membuka semua rahasia yang selama ini mereka sembunyikan.

"Ayu..." Tante Fina mencoba berkata, suaranya agak gemetar, "Jangan membuat suasana semakin buruk. Kita bisa bicarakan ini nanti, dengan tenang."

"Tenang?" aku tertawa kecil, suaraku lebih mirip c e m o o h a n.

"Tante minta aku tenang? Setelah semua yang terjadi? Tante pikir aku datang ke sini cuma untuk mendengarkan ceramah tentang 'setara' dari calon menantu baru Tante?" Aku mengarah ke Ratih dengan tatapan t a j a m.

Ratih hanya tersenyum, senyum yang sama sekali tidak menggugah hatiku. Senyum penuh kepuasan, seolah dia sudah memenangkan sesuatu yang besar. Dia tampak bangga dengan seragam P N S-nya.

“Bang Bima sudah memilih, Mbak Ayu. Itu kenyataan yang harus Mbak terima,” katanya dengan nada yang lebih tinggi, seolah dia merasa lebih berhak atas Bima karena statusnya yang sekarang sudah P N S.

"Bukan urusanku kalau Mbak merasa tersinggung. Abang pantas mendapatkan yang lebih baik," sambungnya lagi dengan raut wajah a n g k u h tak terkira.

Aku menahan napas, menatapnya dengan pandangan kosong, mencoba mengendalikan diriku agar tidak melontarkan kata-kata yang lebih t a j a m.

Wajahnya, meskipun cantik, tidak lebih dari sekedar fasad, sebuah topeng kosong yang hanya mengandalkan label dan status sosial.

"Begitu ya?" aku kembali melirik Tante Fina, yang kini semakin gelisah.

"Aku kira kita ini keluarga, Tante. Tapi ternyata aku cuma diperlakukan seperti barang yang bisa dibuang saat tak lagi berguna." Aku melihat ke arah wanita paruh baya itu dengan wajah sinis.

Tante Fina terdiam, tak bisa membela diri lagi. Aku tahu, dia juga tahu bahwa dia bukan lagi di pihak yang benar. Semua yang terjadi selama ini... semua sikap dingin dan manipulatif mereka—yang kuanggap keluarga—ternyata hanya demi memanfaatkan keadaanku. Sebagai batu loncatan untuk Bima, yang kini sudah mendapatkan segalanya yang dia inginkan.

Aku mengambil napas dalam, mencoba menenangkan diri. Sakitnya begitu dalam, tapi aku tak akan menunjukkan itu di depan mereka.

"Jadi, kalau begitu... Aku akan ambil barang-barangku. Setelah itu, aku tak akan mengganggu lagi."

Aku mengucapkannya dengan suara rendah, namun tetap penuh dengan kejelasan. Mereka tak perlu tahu betapa sakitnya kata-kata itu keluar dari mulutku.

Tante Fina, meskipun berusaha tetap tenang, mengangguk pelan. "Ayu, tolong... jangan membuat ini lebih rumit."

Ia masih berusaha mempertahankan senyum di bibirnya. Pertahanan diri agar aku tak mempermalukan dia di depan calon menantu kebanggaannya.

Aku hanya tersenyum tipis. Senyum yang mungkin terlihat tenang, namun di baliknya ada a m a r a h yang m e m b a r a.

"Kalian yang membuatnya rumit, Tante. Aku hanya datang untuk mengambil apa yang menjadi milikku."

Aku melangkah menuju lemari yang berada di sudut ruangan. Semua barang-barangku yang dulu dipinjam Tante Fina tanpa permisi kini akan kuambil kembali semuanya.

Gamis-gamis cantik yang berasal dari butik ternama, tas mahal yang entah sudah berapa kali digunakan tanpa izin, dan p e r h i a s a n yang selama ini kubiarkan dia pakai karena rasa hormat padanya, sekarang akan kubawa pulang.

Aku menarik gamis-gamis itu dengan gerakan yang sengaja aku buat perlahan, seolah memberi waktu bagi Tante Fina untuk meresapi apa yang akan terjadi.

Tanganku gemetar sedikit, bukan karena ragu, tapi karena kesal. Mengapa aku harus menjadi orang yang disakiti? Bahkan barang-barang kecil yang aku beli dengan usaha sendiri pun harus direbut begitu saja tanpa permisi.

"Y... Ayu, apa yang kamu lakukan?" Tante Fina terkejut, suaranya bergetar. "Itu—itu gamis kes**aan Tante!" Dia tampak panik.

"Tante lupa ini aku yang beli? Aku tak pernah bilang beliin ini untuk Tante kan?" tegurku mengingatkan.

Aku menatapnya dengan t a j a m, melipat gamis-gamis itu dengan perlahan, dan memasukkannya ke dalam tas. Tak ada satu pun kata maaf yang keluar dari mulutku.

Tante Fina tampak setengah tak rela, wajahnya pucat, dan aku bisa melihat bagaimana ekspresi kekhawatirannya muncul. Pasti dia merasa kehilangan muka di hadapan calon menantunya yang sekarang berada di sana.

Aku mengangkat tas mahal itu, tas yang baru kubeli namun langsung dia pakai karena menyukainya.

"Ini juga tas punyaku. Aku baru beli waktu Tante bawa pulang dari rumahku tanpa pamit," ucapku lagi belum selesai.

Aku tak bisa menahan senyum s i n i s ku, meski dalam hatiku ada perasaan sesak yang sulit aku sembunyikan.

"Ayu!" Tante Fina menggelengkan kepalanya.

"Kamu ini k e j a m sekali. Semua barang itu sudah sering Tante pakai. Itu sudah seperti milik Tante sendiri," katanya dengan wajah tak percaya.

"Barang-barang ini milikku, Tante Fina. Biarpun sering Tante pakai, tetap saja aku yang punya."

Aku menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa lagi disembunyikan. "Aku hanya mengambil milikku, Tante." Suaraku datar, tanpa emosi yang bisa mereka baca.

"Aku hanya mengambil barang-barang yang memang milikku. Toh Tante juga sudah punya calon menantu baru kan? Masa gak mau tetep make barang-barang dari mantan anak Tante yang cuma jualan kecil-kecilan?" kataku menambahkan.

Tante Fina tampak semakin kehilangan muka. Wajahnya memerah, dan matanya mulai berkaca-kaca.

Aku tahu, di dalam dirinya ada perasaan cemas, tak*t, dan mungkin sedikit malu karena perbuatannya. Tapi aku tidak akan memberi kesempatan untuk itu. Semua yang dia lakukan—semua sikap manipulatif yang dia tunjukkan—terlalu menyakitkan untuk dibiarkan begitu saja.

Tiba-tiba, Ratih, yang sejak tadi hanya diam di tempat, melangkah maju dengan senyum yang tetap terjaga di wajahnya, meski tampak sedikit kikuk dengan situasi ini.

"Tenang saja, Tante Fina," katanya dengan suara penuh keyakinan, bahkan sedikit sombong. "Nanti Ratih akan belikan barang-barang yang jauh lebih mahal untuk calon mertuaku. Barang-barang seperti ini tidak sebanding dengan apa yang bisa saya berikan." Wanita itu berkata dengan wajah sombongnya.

Senyum kemenangan kembali muncul di wajah Ratih, dan aku bisa melihat bagaimana dia merasa lebih unggul sekarang.

Seperti layaknya orang yang merasa bisa membeli segalanya dengan u a n g, dia mencoba menunjukkan superioritasnya di depan kami. Aku hampir tertawa melihat kepura-puraannya, namun aku menahannya.

Tante Fina hanya terdiam, wajahnya semakin memucat. Mungkin dia merasa malu, atau mungkin juga cemas, karena di balik semua harta dan status yang dikejar, dia tahu apa yang sebenarnya hilang. Sementara aku, aku hanya bisa tersenyum tipis.

"Wah, Tante Fina beruntung sekali. Calon menantu Tante sangat luar biasa. Kalau begitu... bagaimana kalau u t a n g-u t a n g Tante Fina sama anaknya sekalian kamu yang bayar?"

Baca versi tamat di aplikasi KBM
Judul: Balas Dendam Setelah Dicampakkan
Penulis: LiaRoeslan

(7) "Tinggalkan suamimu dan menikahlah denganku," ditengah ombak perselingkuhan suami dan sahabatnya, dia mendengar kali...
18/12/2025

(7) "Tinggalkan suamimu dan menikahlah denganku," ditengah ombak perselingkuhan suami dan sahabatnya, dia mendengar kalimat itu dari adik iparnya yang cuek dan dingin.

***

Bab 7

'Jangan hubungi aku sementara sampai aku hubungi kamu,' Yanuar mengirim pesan pada Sandra.
'Kok gitu? Bukannya kamu janji kita ketemu lagi nanti? Jadi kan, mas?' dengan cepat pesan balasan sudah Yanuar terima.

'Tunggu kabar dariku, ada banyak yang perlu aku bahas sama kamu, tapi jangan pernah kirim pesan atau telepon duluan seperti hari ini,' begitu balasan Yanuar, yang kemudian segera menghapus seluruh pesan mereka tanpa jejak, bahkan juga memblokir nomer Sandra dengan sengaja. Tanpa peduli jika di seberang sana Sandra akan marah padanya. Baginya, hanya dia yang boleh mengendalikan semuanya.

Hingga Yanuar dikagetkan dengan keberadaan Larissa yang tiba-tiba berada tepat di sampingnya dan melongok seolah melihat ponselnya. Yanuar bahkan tak menyadari sejak kapan istrinya itu ada di sana.

"Kenapa kaget sih, mas? Dah kayak apa aja? Kenapa? Kamu lihat b*kep?" Larissa menuduh.

"Sembarangan! Aku nggak pernah nonton begituan," sangkal Yanuar.

Larissa tak berkomentar, hanya tersenyum meski semua hanya samaran. Dalam hati dia mengutuk, tidak pernah melihat film prn tapi bermain bersama wanita lain bahkan lebih hina. Hanya saja Larissa memilih diam, sementara dia akan berpura-pura tidak tahu.

"Ya, ya, aku percaya. Tapi mas, hari ini aku mau ketemu Marsha, kami mau bikin konten masak bareng. Sekalian nanti mau ketemu Mika, ada yang mau dibahas. Boleh kan?" Larissa meminta ijin, masih bersikap seolah tak ada apa-apa. Dia juga mulai bermain peran menjadi istri idaman, bersikap baik seperti biasanya, tak menunjukkan perubahan apapun. Dia merasa dirinya harus cukup cerdas dalam bersikap.

"Oke, aku anter. Nanti biar aku jemput," ucap Yanuar.

"Nggak usah. Kamu pasti sibuk tuh di kantor. Aku bisa naik taxi online atau minta anter Mika sih," ucap Larissa.

"Padahal boleh banget kalau mau aku jemput," Yanuar bersikap sok perhatian dan membuat Larissa sejatinya merasa muak, tapi ditutupi dengan sikap penuh kemanisan.

"Oke, kalau mas maksa," jawabnya sembari bergelayut manja pada bahu suaminya. "Tapi kayaknya aku juga mau ketemu Sandra deh, mas mau temenin juga? Ke apartemen? Kayaknya seru bahas pacar baru Sandra," Larissa dengan sengaja membahas kembali perihal pacar Sandra. Tapi Yanuar sama sekali tak menunjukkan perubahan ekspresi.

"Kamu kepo banget sih? Nggak biasanya loh kamu kayak gini. Kepo soal urusan orang, meskipun sahabat kamu sendiri. Berita gonjang-ganjing Ana aja kamu nggak pernah tuh ada bahas sama aku" ucap Yanuar.

Entah apa tujuannya, tapi dalam benak Larissa, dia merasa bahwa Yanuar ingin menghentikannya.

"Tanpa aku bahas, Ana bakal naik ke populer, beritanya bakal nongol di mana-mana tanpa aku perlu korek info. Dia juga orangnya tipe yang dar-der-dor banget. Tanpa aku tanya bakal cerita sendiri dia. Lihat aja cara dia ngomong di depan media. Bukan Ana namanya kalau nggak kayak mercon, meledak. Kalau Ana punya pacar sekejap setelah cerai juga aku rasa wajar. Cantik, body oke, kaya, populer. Laki punya istri sampai cerai demi dia ada loh, meski dia nggak mau. Ditolak sama dia. Dia itu tipe wanita mahal, nggak bakal gampang, apalagi sama suami orang. Ogah ih, yang single kaya raya juga bisa tunduk di kaki dia," ucap Larissa sembari memasangkan dasi di kerah leher Yanuar.

Yanuar hanya diam, sama sekali tak membalas. Ucapan Larissa benar-benar membuatnya berpikir keras. Tiba-tiba saja terpikir jika Larissa pun mungkin akan dengan mudah mendapatkan penggantinya jika mereka berpisah. Bahkan saat ini mungkin sudah ada pria yang menunggunya menjadi janda. Tapi tidak, dia takkan membiarkan Larissa lepas darinya.

"Kalau menurut kamu, okean mana aku sama Ana?" tanya Larissa yang kini menatap manik mata Yanuar.

"Ya pasti kamu lah. Kamu lebih segalanya dibanding siapapun. Ana sekalipun, nggak bisa dibandingkan," jawab Yanuar, sorot matanya tetap sama, tak berubah.

"Kalau Sandra?" Larissa mencari jawaban.

"Apalagi cuma Sandra," jawab Yanuar cepat dan terlihat yakin.

"Hanya soal fisik atau... Ehhhmm, kalau jadi istri?"

"Jangan ngada-ngada kamu, sayang! Kamu oke dalam segala hal. Termasuk pasangan ideal, istri terbaik buatku, nggak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Bahkan kalau aku disuguhi seribu bidadari,"

Larissa tersenyum kecil. Kalimat itu terdengar lucu di telinganya. Kebohongan besar yang mungkin kemarin akan terdengar sangat manis tapi kini dia takkan termakan olehnya. Tapi dia berpura-pura menikmati saja.

"Kalau kamu sampai selingkuh, tahu kan kamu apa, mas?" tanya Larissa.

"Makhluk paling tidak bersyukur di dunia, serakah, dan akan mendekam di neraka. Selingkuh itu dosa, apalagi zina," demi ingin meyakinkan Larissa bahwa dia setia, Yanuar berkata demikian. Tanpa tak*t dia telah menyumpahi dirinya sendiri.

Mengerikan sekali saat seseorang menyadari tindakannya adalah sebuah dosa tapi tetap melakukannya. Tanda bahwa dia berani melawan Tuhannya.

"Aku pegang ucapan kamu. Demi Tuhan, ucapan kamu sudah dicatat para malaikat dan akan dimintai pertanggungjawaban nanti. Udah aku catat baik-baik juga. Kalau kamu selingkuh..." Larissa dengan sengaja merapatkan dasi Yanuar lebih keras dan ketat hingga membuat Yanuar terkejut karena sedikit tercekik.

Yanuar berpikir bahwa Larissa akan mencekiknya jika ketahuan berselingkuh. Dia bahkan merasa bahwa Larissa mungkin akan melakukan hal yang lebih mengerikan dibanding itu.

"Maaf, mas. Aku jadi kebawa suasana topik kita pagi ini. Aku percaya kok kalau kamu setia. Yuk, berangkat!" ucap Larissa yang sudah kembali merapikan kemeja suaminya dengan lembut sebelum membalik tubuh dan berjalan menuju ke arah meja rias.

Ada senyum tipis tersungging di bibirnya, nampak ada kepuasan tersendiri. Dalam hatinya dia telah bersumpah bahwa dia akan membuat perhitungan dengan sang suami dan juga selingkuhannya. Yang jelas semua tidak akan mudah. Dengan segala hal yang Larissa miliki, dia akan membuat keduanya hancur tanpa sisa.

Larissa meraih ponsel yang semula diletakkan di atas meja rias. Dia memiliki sesuatu besar yang telah dia rencanakan setelah semalaman berpikir hingga tak bisa tidur. Larissa akan memastikan semuanya akan berjalan dengan lancar.

Mereka pun berangkat bersama. Meski di tengah perjalanan Larissa membatalkan rencananya.

"Mas, gimana ya? Marsha sama Mitha tiba-tiba aja undur pertemuan. Gimana kalau aku ik*t kamu ke kantor aja?" ucap Larissa. Dia memiliki sebuah rencana yang tak Yanuar duga.

"Ngapain kamu ke kantor? Nggak mau ke tempat lain aja? Bisa kok aku temenin dulu," Yanuar tidak menyetujui, tapi justru menawarkan hal lain.

Cara bicaranya cukup santai, tapi Larissa merasa jika Yanuar sedang menghindarkan dirinya dari apa yang dia sembunyikan di kantor. Sebab kebohongannya sedikit banyaknya juga melibatkan pekerjaannya dan mungkin rekan-rekan kerjanya.

Benar saja. Sesuai yang Larissa duga, Yanuar mulai dilanda gelisah jika saja Larissa akan mengorek informasi atau bahkan tanpa sengaja mendapatkan informasi yang justru akan membuat semua kebohongannya akan terungkap. Terlebih jika Larissa bertemu Diana, sekretarisnya.

"Aku tahu Om Darmawan selalu ada di kantor di hari ini. Aku mau nyapa beliau sekalian," jawab Larissa. "Ehmm, kalau mungkin bisa d**g aku tahu rincian gaji kamu. Sejauh ini aku belum pernah tahu loh. Rasanya mendadak aku kepo. Berapa persen sih yang kamu kasih ke aku?" Larissa dengan sengaja mengorek informasi.

"Kalau soal itu, aku nggak pernah loh sembunyikan dari kamu. Kamu tahu semuanya kan, sayang?" Yanuar terlihat berusaha bersikap santai, membuat Larissa tersenyum karena berhasil membuat Yanuar tidak tenang. Rasanya begitu menyenangkan saat melihat Yanuar terlihat resah.

"Ehmmm, tapi slip gaji bisa dimanipulasi. Kalau aku tahu langsung dari pusat, rasanya nggak bakal bisa kamu manipulasi. Kalau perlu sekalian mutasi rekening biar aku tahu ke mana semua gaji kamu. Barangkali kamu s**a jajan di luar tanpa aku tahu," ucapan Larissa terus tertuju pada perselingkuhan Yanuar, secara tersirat.

"Aku kalau jajan di luar juga selalu bawa pulang dimakan bareng sama keluarga kan, dek, sayang. Mana pernah aku jajan sendirian. Aku selalu ingat kalian semua di rumah," Yanuar masih menjawab santai, meski ekspresinya tak lagi dapat membohongi Larissa bahwa dia begitu tak tenang dengan segala pertanyaan dan pernyataan Larissa.

"Tapi bukan jajan makanan maksudku, mas. Masa kamu nggak paham? Jajan permen, perempuan menor,"

Yanuar tiba-tiba menghentikan laju kendaraannya, menginjak pedal rem tanpa aba-aba hingga tubuh mereka sedikit terpental ke depan.

"Maaf, sayang. Aku tadi lihat kucing nyebrang. Kamu nggak papa, kan?" Yanuar yang berbuat, dirinya sendiri yang panik dan kini memeriksa Larissa, memastikan istrinya baik-baik saja. Meski ya, perihal kucing hanyalah sebuah alasan. Sebenarnya dirinya terkejut dengan ucapan Larissa, kini Yanuar curiga jika Larissa mulai mengendus perselingkuhannya.

Meski dalam hati Larissa kini semakin dibuat geram, dia berpikir bahwa Yanuar berniat mencelakainya. Atau ini adalah sebuah ancaman. Pikirannya seringkali tak terkendali sejak mengetahui perselingkuhan suaminya.

"Aku nggak papa sih, aku kira kamu kaget gara-gara ucapanmu. Tapi syukur kucingnya selamat," Larissa membenarkan posisi duduknya sembari melihat kucing yang berjalan pelan di tepi jalan.

Yanuar melongok ke arah luar, rupanya benar ada kucing. Dia merasa benar-benar beruntung sekarang. Dia menghembuskan nafas lega. "Hari ini kamu kenapa sih? Perasaan yang kamu bahas aneh-aneh aja," ucapnya seolah benar-benar tak ada apapun.

"Biasa, mas. Perempuan kan gitu, baperan. Aku habis lihat berita, tahu kan sekarang aku hobi scroll sosmed kalau lagi bosen, masa fyp-ku full berita selingkuh. Tiba-tiba aku bayangin ada di posisi itu," Larissa tersenyum.

"Tapi ya udah lah, mas. Ayo lanjut, khawatir kalau mobil kita diem di sini kelewat lama malah disamperin polisi, tuh lihat ada tanda dilarang berhenti," Larissa menunjuk satu arah.

Yanuar mulai mengemudikan mobilnya. "Jadi kamu beneran mau ke kantor?"

Larissa tak menjawab pertanyaan Yanuar sebab fokus pada ponselnya yang berdering. Panggilan telepon dari Xavier. Rasanya aneh jika dia mengangkat telepon sekarang saat bersama Yanuar, jadilah dia menolak panggilan tersebut.

"Kenapa nggak dijawab? Siapa yang telepon?" Yanuar mengalihkan pertanyaan.

"Marsha, mas. Anter aku ke rumahnya aja deh. Ana sama Mikha juga udah otewe ke rumah Marsha katanya," Larissa menjawab dengan kebohongan.

"Nggak ik*t ke kantor nih ceritanya?" Yanuar berbasa-basi, padahal dalam hati merasa merdeka, bebas.

"Lain kali aja ketemu Om Darmawan. Main ke rumahnya aja. Nggak bagus juga aku ik*t ke kantor kesannya kayak nggak percaya sama kamu sampai dibuntuti segala," Larissa bermain peran, berpura-pura percaya, tapi dirinya penuh dengan rencana.

Dan rencana pertamanya adalah menemui Xavier yang baru saja mengirimkan pesan padanya.

Ada banyak hal yang ingin dia bahas bersama adik iparnya itu. riwayat panggilan dari Larissa.

****

Judul : Skandal Bersama Adik Ipar
Penulis : Sahila Han
KBM App

Address

Jakarta

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Joe Brendo posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share