Joe Brendo

Joe Brendo ikuti trus keseruan drama kehidupan đź’ž

Langkah keduanya terhenti saat ada wanita muda bertubuh kurus dengan wajah pucat berdiri di teras menggend**g anak laki-...
25/09/2025

Langkah keduanya terhenti saat ada wanita muda bertubuh kurus dengan wajah pucat berdiri di teras menggend**g anak laki-laki berusia lima tahun. Terlihat jelas jika wanita muda sedang tidak baik-baik saja. Sementara anak laki-laki meronta minta turun dan berlari menghampiri Sam dan Ayung.

🌷Papa?

Ayung bernapas lega setelah mengenali suara lelaki yang membekapnya, tak lain adalah Fikri. Tak lama dari mereka masuk lorong sempit, lewatlah tiga orang lelaki yang semalam mengeroyok mereka. Sudah pasti tiga orang itu mencari Sam dan istrinya. Beruntung adik Sam yang sudah berseragam SMA, hendak ke sekolah lebih memilih mampir ke rumah sakit terlebih dahulu.

“Ayo, cepat,” ujar Fikri menarik lengan kakak iparnya menuju ruang VVIP tempat Sam dirawat.

Dengan cepat Fikri mendorong tubuh kakak iparnya masuk ruangan lalu menutupnya rapat. Sementara Ayung masih gemetar karena terkejut sekaligus ketakutan. Bunyi berisik Fikri dan Ayung itu membuat Sam perlahan membuka mata.

“Kakak ipar, maaf.” Fikri menangkupkan kedua tangan minta maaf kepada kakak iparnya.

“Tidak apa, seharusnya aku yang bilang terima kasih. Maaf merepotkan,” jawab Ayung pelan.

“Ada apa?” tanya Sam lirih.

“Mereka ada di sini, dan hampir saja kakak ipar ketahuan mereka.” Fikri mendekati abangnya dan melihat kondisi.

“Abang sudah baikkan?” tanya Fikri pelan.

“Sudah. Apa kakak iparmu keluar kamar?” tanya Sam lirih menatap Ayung yang menunduk takut.

“Iya, entah mau kemana kakak ipar,” jawab Fikri.

“Tunggu aku sembuh, aku akan menghukummu lagi, Ayung, jika kamu tidak menurut,” ancam Sam pelan.

“Ma-maaf,” ujar Ayung semakin menunduk meremas ujung bajunya.

“Kalau perlu apa-apa, tolong panggil suster, jangan keluar sendirian, Kakak Ipar. Aku pamit dulu, mau sekolah. Nanti agak siangan Om W***y akan kemari.” Fikri salim ke Sam dan mencium punggung tangannya.

“Hati-hati,” jawab Sam.

Ayung terdiam masih berdiri di tempat belum bergerak maupun berpindah tempat. Sam melihat hal itu justru semakin gemas terhadap kepolosan sang istri. Lalu melambaikan tangan memanggil wanita yang dinikahi dua minggu lalu.

“Ma-maaf,” kata Ayung lali mendekat sambil menunduk.

“Duduk,” pinta Sam lembut.

Sam yang masih terbaring, menatap istrinya dengan seksama. Mengusap p**i istrinya yang masih dalam keadaan menunduk.

“Kamu mau kemana?” tanya Sam lembut.

“Mau beli sesuatu,” jawab Ayung lirih.

“Katakan beli apa?” tanya Sam lagi.

“Roti tawar,” jawab Ayung semakin menunduk.

“Kamu lapar?” tanya Sam.

“Bu-bukan, i-itu, anu,” jawab Ayung bingung hendak menjelaskan.

Sam mengernyitkan dahi melihat Ayung gagap dan gugup.

“Anu apa? Kamu kedatangan tamu?” tanya Sam memastikan.

Ayung mengangguk pelan. Sam menjadi tersenyum melihat istrinya.

“Baiklah, ambilkan ponselku,” pinta Sam lembut.

Ayung berdiri menuju meja kecil tempat meletakkan barang-barang dan mengambil ponsel suaminya. Sam menerima ponsel lalu menelpon seseorang.

“Om, bisa belikan pemb-alut?”

“Pemb-alut? Buat siapa, Sam?” tanya W***y heran dengan permintaan sang ponakan.

“Udah, pokoknya beliin,” jawab Sam langsung menutup telpon.

“Udah,” ujar Sam menatap Ayung.

“Terima kasih, tapi jangan hukum Ayung,” pinta Ayung.

Tiba-tiba pintu terbuka, terlihat Dokter dan suster datang untuk memeriksa Sam.

“Perkembangan sudah cukup baik, jika merasa nyeri di kepala, bisa minum obat anti nyeri. Jangan banyak bergerak dulu, terutama kepala.” Dokter itu memeriksa selang infus dan perban di kepala Sam, sementara suster memeriksa tekanan darah dan denyut nadi.

“Semua normal, Dok,” ujar suster itu.

“Terima kasih, Dok,” ujar Sam tersenyum.

“Baiklah, Mas Sam, rutin minum obat, semoga lekas sembuh.” Dokter dan suster keluar ruangan disusul masuknya perawat rumah sakit yang membawa sarapan untuk pasien.

“Sarapan dulu, Mas, Mbak, ini obat untuk pagi hari. Atas nama Mas Samudera,” ujar perawat membaca nama yang ada di label obat agar tidak salah mengantar.

“Baik sus, terima kasih,” ujar Ayung membawa nampan ke dekat ranjang.

“Bisa menaikan ranjang bagian kepala?” tanya Sam.

Ayung menggeleng, lalu perawat langsung mendekat ranjang dan menekan salah satu tombol yang ada di samping ranjang.

“Ini untuk menaikkan ranjang bagian kepala. Nanti setelah selesai, tekan tombol ini untuk mengembalikan letak brankar normal kembali. Ini, bisa dilipat jika pasien ingin turun ranjang.” Perawat mengajari Ayung menekan tombol-tombol di brankar rumah sakit.

“Baik, Sus, terima kasih,” ujar Ayung.

Posisi Sam sudah setengah duduk, dengan kepala masih miring, karena bagian belakang kepala masih diperban tebal ada bekas jahitan sehingga sakit jika dia gunakan bersandar. Ayung menyuapkan bubur itu dengan pelan dan telaten. Sementara kedua netra Sam, justru menatap lekat-lekat wajah istrinya yang bulat dan masih imut. Selain usianya yang masih belia, dia juga gadis yang manis dan berwajah bersih.

“Jangan tatap aku, Mas,” protes Ayung sambil kembali menyuapkan sendok bubur lagi.

“Menatap istri sendiri itu halal, kenapa tidak boleh?” tanya Sam pelan.

“Aku malu,” jawab Ayung jujur.

“Kenapa harus malu? Kita ini suami istri, kan?” ujar Sam membuat wajah Ayung merona.

“Sudah, sarapan dulu, habis ini minum obat,” pinta Ayung.

Setelah menyuapi Sam, Ayung menyiapkan segelas air hangat dan melihat obat-obatan yang harus dikonsumsi suaminya untuk pagi hari.

“Ayung,” panggil Sam pelan saat istrinya meletakkan nampan ke meja tempat menyimpan makanan.

Ayung menoleh, melihat suaminya hanya bisa bersuara tanpa bisa banyak bergerak, membuat hatinya perih, apalagi cedera suaminya dikarenakan melindungi dirinya. Namun, semua itu dia tutupi dengan senyuman tulus merawat Sam.

Belum juga Sam kembali berbicara, pintu ruang VVIP terbuka dan munculah lelaki setengah baya menenteng plastik hitam.

“Sam,” panggil lelaki setengah baya terhenti saat melihat ada wanita muda di ruangan tersebut.

“Om,” jawab Sam pelan.

“Ini?” Lelaki bernama W***y menunjuk ke arah Ayung untuk menanyakan siapa si gadis .

“Oh, kenalkan, Om, dia Ayung, istriku,” jawab Sam pelan.

“Istri?” W***y terkejut dengan pernyataan sang ponakan.

“Iya, istriku, aku menikahinya dua minggu lalu,” jawab Sam lagi.

“Kamu balik dari Kanada menghilang selama tiga minggu, kembali sambil membawa istri? Pantesan aja papamu stress ngurus kamu, Sam! Masalah yang di rumah belum kelar, malah kamu bawa masalah lagi.” W***y menggerutu mendekati brankar sang ponakan.

“Siapa namamu?” tanya W***y.

“Namanya Ayung, usia sembilan belas tahun berasal dari Jember, Jawa Timur,” jawab Sam membuat W***y membelalakan matanya.

“Jawa Timur? Astaga, Sam. Apa orang tuanya tidak khawatir kamu bawa anak orang jauh-jauh dari Jawa Timur ke Jakarta,” gumam W***y duduk di dekat Sam.

“Dia yatim paitu, jadi udah hakku membawanya kemanapun aku pergi,” jawab Sam.

Tampak W***y mengusap wajahnya ikut stress memikirkan sang ponakan yang memang terkenal badung sejak kecil. Kini, di usia 24 tahun, dia malah berani menikahi anak orang. Masih terlalu muda, tapi apa boleh buat?

“Kamu nggak tahu apa yang terjadi di rumah orang tuamu?” tanya W***y lirih.

“Emang apa yang terjadi?” tanya Sam penasaran.

“Nanti saja ketika pulang, kamu juga akan tahu, akibat ulahmu, kedua orang tuamu yang menanggung,” jawab W***y.

“Ini, titipanmu, kan?” W***y menyerahkan plastik hitam ke Ayung.

“Terima kasih,” ujar Ayung sopan menerima plastik tersebut.

Terlihat jelas jika W***y juga ikut pusing melihat Sam yang kembali dari menghilangnya malah membawa istri.

Seminggu kemudian, Sam diizinkan rawat jalan. Rayyan meminta putra bungsunya untuk kembali ke rumah bersama Ayung. Mereka dijemput oleh Rayyan sendirian. Dan selama seminggu di rumah sakit, mama Sam sama sekali tidak menjenguknya, tapi mengatakan menanti mereka di rumah.

Setelah menyelesaikan administrasi, Rayyan membawa anak dan menantunya menuju lahan parkir di mana mobilnya berada. Sam selalu menggandeng lengan Ayung, tidak pernah melepasnya barang sedikitpun. Hal tersebut juga tak luput dari pengawasan sang papa, hingga papanya tahu bahwa putra bungsunya tidak main-main dengan pernikahannya.

Mobil memasuki halaman bangunan luas dan mewah. Ayung menatap bangunan berlantai tiga dengan takjub. Meski ragu dan takut, wanita berjilbab turun mengikuti langkah kaki suaminya. Hanya satu yang Ayung takutkan. Bertemu mertua perempuan.

Langkah keduanya terhenti saat ada wanita muda bertubuh kurus dengan wajah pucat berdiri di teras menggend**g anak laki-laki berusia lima tahun. Terlihat jelas jika wanita muda sedang tidak baik-baik saja. Sementara anak laki-laki meronta minta turun dan berlari menghampiri Sam dan Ayung.

“Papa .…” panggilnya meraih tangan Sam.

Bersambung

#10

Mampir ke KBMApp, yuk đź«°

Judul : Menjadi Papa Tanpa Malam Pertama
Penulis : Zhandriecka SKMM

"Tidurlah di sini, kita bisa berbagi kasur," kata Wisnu. Namun, Wisnu seakan menyesali ucapan itu, ketika melihat mata c...
25/09/2025

"Tidurlah di sini, kita bisa berbagi kasur," kata Wisnu. Namun, Wisnu seakan menyesali ucapan itu, ketika melihat mata cantik milik gadis kaya itu melebar tak percaya sambil menatapnya.

***

Wisnu menatap bahu bergetar itu dengan mata nanar, dia bukanlah laki- laki yang ja-hat, namun amanah almarhum ibunya membuat semuanya menjadi sulit.

Dia memaafkan wanita itu, tak berniat mela porkannya atau menjebl0skannya ke dalam pen-jara, rasa tanggung jawab yang diperlihatkan wanita itu sudah cukup baginya.

Ke mana pernikahan ini akan dibawa? tempat Raras bukan di sini. Mereka bagaikan bumi dan langit yang tidak mungkin bersatu. Wisnu begitu hafal dengan wajah Raras, wajah yang sering dia saksikan di televisi atau pun media cetak.

Gadis itu masih men4ngis, mengusap lengannya sendiri, melipat tungkai panjangnya mencari kehangatan. Wisnu harus sedikit membuka suaranya, wanita itu bisa terser4ng demam jika dibiarkan terlalu lama tidur di atas lantai semen.

"Ras," panggilnya membahana, suara berat yang begitu jan-tan.

Raras menghentikan t4ngisnya, apa benar yang dia dengar? Beberapa hari saling mengenal baru kali ini Wisnu memanggilnya tanpa beban. Apakah suara tangisnya sangat mengganggu? Wisnu harus memahami bahwa dia terpak sa harus menginap di rumah lelaki itu, demi menghindari kecu rigaan orang kamp-ung.

Raras berbalik, mengatupkan rahangnya, mata cantik itu membengkak beserta hidung yang memerah. Kondisinya tidak terlihat baik, dia masih memakai kebaya berlengan pendek yang digunakannya untuk akad nikah tadi.

Wisnu mencoba menggeser badannya, menahan rasa sa kit yang teramat sangat di kedua kakinya, begitu berat perjuangan untuk memindahkan kakinya sendiri.

"Tidurlah di sini! kau bisa sa kit jika bertahan di sana," ucap Wisnu, tak ada nada ke -tus di sana, tawaran itu terdengar tulus di telinga Raras.

Raras bangun, beringsut perlahan ke sisi yang sudah disediakan Wisnu, mere bahkan tubuhnya di samping pria itu. Ini benar-benar hangat, rasa menggigil langsung hilang digantikan rasa mengantuk yang tak bisa ditahan lagi, hitungan detik Raras langsung tertidur.

Wisnu melirik gadis cantik itu, lalu menarik nafasnya. Gadis itu terlalu sempurna untuk menjadi istrinya, kulit halus mulus yang terawat sangat tidak cocok tidur di atas kasur tipis yang hanya dilengkapi se limut lu suh.

Rumah reot ini, tidak memiliki ran- jang atau pun selimut yang tebal, sementara suhu di malam hari sangat dingin, apalagi gadis itu sudah terbiasa hidup di kota dengan suhu yang panas, pasti dia akan merasa tak nyaman.

Wisnu tau, wanita ini sangat baik, bahkan dia melakukan sesuatu melebihi dari apa yang seharusnya. Kenapa dia harus meng0rbankan diri sejauh ini, bahkan Wisnu tidak berharap Raras harus menunaikan amanah ibunya, tapi gadis itu memaksakan diri.

Wisnu kembali melirik wajah cantik itu, dia seperti bidadari yang diturunkan ke Bumi, mata besar berbulu lentik, hidung mancung dipadukan dengan bi-bir merah padat dan kecil, dibingkai oleh wajah ovalnya yang putih seperti pualam. Tubuhnya sempurna, tinggi dan padat serta berlekuk indah, dia memiliki 0tot yang kuat dibalut kulit putih bersih.

Wisnu memejamkan matanya, pernikahan ini hanya hitungan bulan, tak sewajarnya hatinya dibuka untuk sesuatu yang tidak akan didapatkannya di kemudian hari, dia laki-laki yang tak pernah terj4mah cinta, dua puluh tujuh tahun hidupnya hanya dihabiskan untuk bekerja mencari sesuap nasi.

Dulunya dia cukup pintar, tapi terpaksa putus sekolah dibangku SMP saat ayahnya meninggal setelah sa kit yang dideritanya selama bertahun tahun.

Hidup Wisnu tidak mudah, dia mis--kin, tak ada perempuan mana pun yang menawarkan diri untuk menjadi pendampingnya bahkan di usianya yang cukup untuk menikah.

Wisnu tak percaya dengan hidupnya, kehi-langan ibu diganti dengan mendapatkan istri.

Wisnu tidak berani mengambil resiko untuk mengagumi Raras lebih jauh, dia tau betul ke mana muara pernikahan ini berakhir. Ucapan ayah Raras masih terngiang di kepalanya.

"Kau kenal siapa kami?"

Wisnu mengangguk lemah.

"Aku tidak mengerti kenapa an ak b0--d0h itu meminta sesuatu yang k0nyol dan tidak masuk akal, yang jelas, kau harus ingat siapa dirimu! jangan berpikir tentang sesuatu yang tak mungkin kau dapatkan, aku akan membay4rmu...."

Laki-laki tua itu meny0dorkan ampl0p tebal di depan Wisnu.

Wisnu menolak dan menyerahkan lagi amplop itu kepada ayah Raras.
"Maaf, ambil lagi u---4ng Anda, Pak! saya tidak membutuhkannya."

Ayah Raras memandang ta--jam, berdeham, kemudian mengambil am-plop itu kembali.

"Saya harus memperingatkanmu, pernikahan kalian hanya berlangsung sampai kau sembuh, setelah itu aku sendiri yang akan memi--sahkan kalian, Raras sudah punya calon yang kami persiapkan, yang pantas untuk bersanding dengannya."

Wisnu menarik nafas, tentu saja dia akan mengingat semua peringatan itu, dia tidak pernah bermimpi terlalu tinggi, dia tak pernah mengharapkan sesuatu yang tak mungkin digapainya, seharusnya ayah Raras tidak perlu repot repot mengingatkannya.

Wisnu agak kaget saat Raras merapatkan diri padanya, mem3luknya untuk mencari keh4ngatan, hatinya berdebar halus, bagaimanapun... ini sen tuhan paling in tim yang pernah dialaminya dengan seorang perempuan.

Wisnu tersenyum sekilas, wanita yang wajahnya wara-wiri di televisi sekarang tengah berada di pelukannya, semua itu cukup membuatnya tersanjung.

Tapi, apa sanggup dia menahan ha-ti untuk tidak jatuh cinta pada Raras? Bi bir indah itu, membuat ….

___
Novel ini tamat di apk kbm app

Judul : M4l4m Pert4ma dengan Suami Lum--puh

Penulis : Gleoriud

"Bagaimana rasanya ma lam pertama sama bekasan orang banyak, Bang? Enak?" tanya Bisma adikku saat kami bertemu di kantor...
25/09/2025

"Bagaimana rasanya ma lam pertama sama bekasan orang banyak, Bang? Enak?" tanya Bisma adikku saat kami bertemu di kantor sambil menatap mencemooh.

"Maksud kamu apa, Bisma?!" tanyaku, ingin memperjelas maksud dari ucapannya.

"Nggak usah sok polos. Abang itu sudah berpengalaman, sudah sering gonta-ganti pasangan dan pastinya bisa membedakan mana yang masih utuh dan mana yang sudah longgar!" Dia mendaratkan bokong di sofa lalu menyilang kaki sambil terus menatap tajam.

"Atau, jangan-jangan Abang belum melakukannya sama dia?" Kini dia tertawa mengejek.

Aku mengepalkan tangan di atas paha, merasa kesal melihat tampangnya kali ini.

Sejak dulu hubungan antara aku dan Bisma memang tidak baik-baik saja, selalu bersaing dalam hal apa saja termasuk untuk mendapatkan Tiara, gadis yang dijodohkan oleh bunda karena alasan memenuhi amanah almarhum papa.

Awalnya Bisma bersedia menerima wanita itu sebagai istrinya, akan tetapi setelah tahu kalau dia begitu mendamba, aku memilih maju karena ingin menyakiti hati Bisma.

Intinya, aku tidak rela melihat dia bahagia, apalagi mendapatkan pasangan yang lebih baik dariku.

Sebenarnya sejak dulu aku tidak pernah berkeinginan untuk menikah, tidak mau berkomitmen juga dibebani oleh keluarga. Toh banyak perempuan di luaran sana yang mau melayani juga memu*skanku kapan saja.

Bukankah asal ada uang apa saja bisa didapatkan?

"Kenapa diam? Kasihan sekali kamu, Bang. Termakan jebakan ku. Kamu pikir kemarin aku benar-benar mau menikahi wanita macam Tiara? Enggak, Bang. Aku cuma pura-pura antusias menerima perjodohan itu karena tau pasti Abang akan merebut dia. Sejak dulu kan Abang selalu terobsesi dengan apa yang aku miliki!" Dia memiringkan bibir.

"Brengsek kamu, Bisma!" umpatku semakin meradang.

"Kenapa?" Nggak terima? Makanya jadi orang itu jangan terlalu serakah!"

Aku pura-pura tertawa, padahal dalam hati masih menyimpan rasa kesal luar biasa.

"Dari mana kamu tahu kalau Tiara itu bekas dipakai rame-rame? Memangnya kamu punya bukti?" tanyaku kemudian, sebab setahuku Tiara itu seorang wanita yang begitu baik, berpakaian tertutup bahkan hanya sekedar bersentuhan dengan laki-laki saja tidak pernah ia lakukan.

Sepertinya dia hanya ingin memanasi, mungkin agar aku melepaskan wanita itu lalu dia akan menikahinya.

"Jangan tertipu dengan penampilan wanita jaman sekarang, Bang. Dia memang tertutup, tetapi aku sering pakai jasa dia, menikmati tubuhnya bahkan bukan hanya aku saja. Kalau masih belum percaya aku bisa kirim buktinya!" Bisma kembali tersenyum.

Dia kemudian mengirimkan sebuah video berdurasi sekitar tiga menit, dimana terlihat Tiara tengah bermain dengan tiga pria dengan begitu lincahnya.

Tidak ada kecanggungan di wajah wanita itu, hanya terdengar era ngan yang teramat menjijikkan membuatku muak dan langsung melempar ponsel saking kesalnya.

"Breng-sek kamu, Tiara. Aku pikir kamu wanita baik-baik, bahkan aku berniat akan merubah diri jika kelak bisa sampai memiliki kamu seutuhnya. Ternyata kamu itu ja Lang bertopeng bidadari surga!" umpatku kesal, sambil terus melempar apa saja yang ada di hadapanku.

Tentu saja hal itu aku lakukan setelah Bisma pergi, sebab tidak mau kalau sampai dia tahu rasa kecewa yang tengah aku rasakan.

Untuk meluapkan emosi yang kian menyelubungi hati aku memilih pergi ke tempat hiburan malam, menenggak sebotol minuman keras berharap bayang wanita itu segera pergi dari rongga ingatan.

Sebulan lamanya aku menikah dengan dia dan selalu menjaga jarak, memberi ruang sampai dia siap menyerah segalanya sebab berharap kalau aku adalah orang yang pertama, ternyata dia hanya sampah yang ditutup kain sutera.

Breng-sek memang!

"Kita ke kamar saja yuk, Mas Abraham. Sudah lama loh kita nggak senang-senang?" ucap seorang wanita seraya menautkan tangannya di da da.

"Minggir. Nggak usah pegang-pegang!" Menyingkirkan tangannya dengan kasar, lalu memilih pulang sebelum otakku dikuasai oleh miras yang baru saja kutenggak.

Terhuyung aku berjalan menuju parkiran, mengemudi dalam keadaan setengah ma-buk hingga menabrak pintu gerbang rumah.

Satpam langsung memapahku masuk, dan aku lihat Tiara menghampiri masih dengan mukena melekat di badan.

"Biar saya saja yang bawa Mas Bram masuk, Pak," ucapnya dengan lemah lembut seperti biasanya.

Aku terus meracau, menghujani dia dengan kata umpatan namun wanita itu tetap membantuku masuk ke dalam kamar dengan susah payah.

Dia kemudian membaringkan aku di atas ranjang, membuka pakaian salatnya dan kembali membantu melepas sepatu yang masih melekat di kaki.

"Mau ke mana, ja-lang?!" tanyaku seraya menarik kasar tangannya, hingga Tiara terhuyung lalu jatuh menimpa tubuh ini.

Perempuan itu menggeliat ketika aku memeluknya, berusaha melepaskan diri namun tenaganya tidak lebih kuat dariku.

"Mas Bram, tolong lepaskan. Aku nggak bisa napas!" ucapnya terdengar bergetar juga ketakutan.

"Aku tidak akan melepaskan kamu, Tiara. Aku akan memberimu pelajaran karena sudah menipu aku!" bentakku murka.

"Menipu apa, Mas? Aku tidak pernah merasa menipu Mas Bram." Dia terus memberontak, hingga akhirnya bisa melepaskan diri, tetapi dengan sigap kembali kucekal lengannya, memban-tingnya ke atas tempat peraduan dan menin-dih tubuh mungil itu sampai dia tidak bisa bergerak sama sekali.

"Mas Bram mau apa? Kalau Mas mau minta hak Mas, tolong jangan kasar seperti ini. Aku ikhlas jika Mas meminta dengan cara baik-baik, karena itu memang haknya Mas Bram!" katanya dengan mata sudah berkaca-kaca juga ketakutan.

"Jangan banyak bicara kamu, Tiara. Nggak usah sok lugu, karena aku tau kamu sudah suhu dalam urusan ranj*ng!"

"Mas, aku mo ...."

Belum sempat dia kembali bicara, aku langsung menyumpal mulutnya dengan bi bir, memperlakukannya dengan kasar tanpa peduli dengan tangisannya.

Bayang video yang dikirim oleh Bisma terus berputar di otak, membuat diri ini semakin tidak terkendali, hingga akhirnya menyadari sesuatu di bawah sana.

Aku hendak berhenti, namun entah setan apa yang merasuki sampai nekat melakukannya hingga selesai.

Sementara Tiara, aku lihat wanita itu terus terdiam, menatap nanar ke langit-langit kamar dengan air mata terus mengalir membasahi pelipisnya.

Aku menjambak rambut frustasi, karena ternyata apa yang dikatakan oleh Bisma tidak benar. Tiara masih pera wan, dan aku melakukan itu dengan cara yang teramat kasar.

Aku terus menatap punggung wanita di sebelahku, sepertinya dia sedang menangis, akan tetapi tidak berani mendiamkannya, sebab pasti Tiara akan menolak dan marah.

Rasa sesal mendadak memenuhi rongga hati, karena sudah termakan omongan Bisma hingga menyakiti Tiara dan mungkin akan meninggalkan rasa trauma di sepanjang hidupnya.

Bo doh! Aku terlalu ceroboh.

Karena rasa lelah juga efek alko hol yang aku konsumsi tanpa sadar mata ini sudah terpejam, hingga ketika pagi menyapa aku sudah tidak lagi menemukan Tiara di atas ranjang.

Kusibak selimut yang menutupi tubuh, pandang ini seketika terhenti ketika melihat bercak merah begitu banyak di permukaan seprai.

Lagi-lagi dan lagi aku hanya bisa menjambak rambut frustasi, bingung harus melakukan apa supaya Tiara tidak trauma dengan perlakuanku semalam.

Padahal dia sudah memohon sambil menangis, akan tetapi dengan beringas mengobrak-abrik kehormatannya tanpa jeda, tidak mau memberi ruang agar dia bisa menepis rasa sakitnya.

Menyesal, sudah pasti. Kenapa aku terlalu gegabah dalam bertindak, yang pastinya akan merugikan diriku sendiri. Sebab entah mengapa, satu bulan hidup bersama Tiara aku merasa kedamaian selalu mendekapi, apalagi saat menatap wajah anggunnya meskipun hingga saat ini sekali pun tidak pernah melihat Tiara tersenyum.

Wajah perempuan itu selalu terlihat datar namun menyejukkan, apalagi jika sudah bertutur kata, mendengar suaranya bagai meneguk segelas air saat sedang dahaga.

Menyadari Tiara tidak ada di dalam kamar, buru-buru turun dari tempat tidur, mengenakan pakaian lalu berjalan keluar tanpa terlebih dahulu membersihkan badan. Aku ingin melihat Tiara, ingin tahu apakah dia masih ada di dalam rumah ini atau telah pergi karena dia takut aku mengulangi perbuatanku semalam.

Aku mengayunkan kaki cepat menuju kamarnya, akan tetapi tidak menemukan Tiara di dalam sana.

"Tiara!" Aku berteriak memanggil namanya, akan tetapi tidak ada respons dari si wanita.

Astaga. Apa jangan-jangan dia pergi dari rumah ini?

DIKIRA PEMBANTU TERNYATA DOKTER SPESIALIS ( 10-C )Thavian bersandar di kursinya, matanya setengah terpejam. “Eh, Nisa,” ...
25/09/2025

DIKIRA PEMBANTU TERNYATA DOKTER SPESIALIS ( 10-C )

Thavian bersandar di kursinya, matanya setengah terpejam. “Eh, Nisa,” katanya tiba-tiba dengan suara malas, “besok kalau ketemu orang tua aku, jangan kaget ya. Mereka agak bawel.”

Aku melirik heran. “Bawel gimana?”

“Ya… s**a banyak nanya. Tentang kamu, tentang pernikahan ini, tentang kenapa kita buru-buru. Kamu siap?”

Aku menelan ludah. “Aku… nggak tahu. Aku bahkan belum mikirin alasan apa yang harus aku kasih kalau mereka tanya.”

Dia membuka satu matanya, menatapku. “Jawab apa adanya aja. Kalau bingung, biar aku yang jelasin.”

Aku terpaku sejenak. Lagi-lagi, sikapnya yang sederhana membuatku ingin percaya.

Kaca jendela di sampingku berembun tipis, menampilkan bayangan samar wajahku yang terlihat lelah. Aku mengusap layar ponselku, membuka media sosial, sekadar ingin mengalihkan pikiran. Tapi alih-alih terhibur, dadaku justru kembali sesak.

Sebuah unggahan terbaru Aletta memenuhi beranda. Ia tampak tersenyum manis, bersandar mesra di bahu Arvino, lelaki yang dulu pernah kusebut kekasih, lelaki yang dulu pernah kubayangkan akan menemaniku membangun masa depan.

Tanganku refleks menggenggam ponsel lebih erat. Foto itu begitu jelas yaitu Aletta dengan gaun sederhana berwarna pastel, Arvino memakai seragam TNI, raut wajahnya penuh kebanggaan. Caption yang ditulis Aletta membuat perutku terasa mual.

"Bismillah, resepsi pernikahan kami insyaAllah segera digelar di ibukota. Bahagia sekali rasanya bisa mendampingi suami tercinta yang mendapat penugasan baru, sementara aku sendiri akan segera bergabung di rumah sakit besar Reksa Medika. Doakan kami, ya."

Aku tertegun, nyaris kehilangan kata. Jadi benar… mereka akan pindah ke ibukota. Mereka akan melanjutkan hidup dengan segala kemewahan dan kebanggaan. Dan aku? Aku hanya seorang perempuan yang dianggap beban keluarga, diusir, lalu dinikahkan tanpa cinta.

Air mataku hampir jatuh, tapi kutahan sekuat tenaga. Aku tidak ingin Thavian, yang duduk di sebelahku sambil menyandarkan kepala ke kursi, melihatku rapuh. Ia tampak tenang, bahkan sedikit mengantuk setelah seharian mengurus banyak hal bersamaku.

Aku menunduk lagi, mencoba menutup aplikasi itu. Tapi tiba-tiba, sebuah notifikasi email masuk. Bunyi dering lembutnya membuat jantungku berdegup lebih cepat. Aku membuka kotak masuk dengan tangan bergetar.

Satu pesan baru dari rumah sakit tempat aku dulu mengirimkan berkas lamaran. Kubaca perlahan, takut salah menafsirkan.

[ Kepada dr. Khanisa Al-Fatih,

Dengan senang hati kami memberitahukan bahwa Anda diterima sebagai dokter spesialis bedah syaraf di Rumah Sakit Reksa Medika. Harap segera melakukan registrasi ulang begitu tiba di tempat. Kami menantikan kontribusi Anda di tim kami. ]

Aku terdiam. Dunia seakan berhenti berputar. Jadi… rumah sakit itu? Rumah sakit besar di ibukota? Tempat Aletta bilang akan bekerja?

Selengkapnya baca di aplikasi KBM app
Judul : Dikira Pembantu Ternyata Dokter Spesialis
Penulis: Queensunrise

"Keluargaku adalah keluargamu tapi keluargamu bukan keluargaku." Begitulah kalimat yang diucapkan suamiku. Selama ini su...
24/09/2025

"Keluargaku adalah keluargamu tapi keluargamu bukan keluargaku."

Begitulah kalimat yang diucapkan suamiku. Selama ini sudah cukup aku bersabar menghadapi Mas Tyo dan keluarganya. Namun, kali ini aku tidak akan diam lagi. Biar kutunjukkan pada mereka, bagaimana keluarga yang sebenarnya itu.

5

Raya mematikan layar ponselnya, memasukkannya ke dalam tas, lalu berdiri dari kursi kerjanya. Waktu istirahat sudah tiba, dia berniat menuju ke suatu tempat. Senyum tipis tak pernah lepas dari wajahnya.

Dia sudah menduga keluarganya Tyo akan melakukan sesuatu, tapi tak menyangka akan setega itu berusaha mencuri BPKB mobilnya, bahkan sampai merencanakan perebutan paksa mobil.

"Kalau kalian mau pakai cara kotor, aku juga bisa," gumamnya pelan sambil melangkah keluar.

Raya langsung menuju ke sebuah resto yang lokasinya tidak jauh dari tempat kerjanya untuk sekedar makan siang. Beruntung dia bergerak cepat, mobilnya sudah dia amankan sejak pagi, dititipkan di tempat usaha penitipan kendaraan milik temannya–Rina, dengan biaya sewa perbulannya yang cukup terjangkau.

Tidak hanya itu, Raya juga sudah membawa semua dokumen penting, termasuk BPKB, ijazah, buku tabungan, bahkan beberapa perhiasan, dan menyimpannya di safe deposit box bank. Dan kali ini, Raya mendadak punya rencana untuk membalaskan rasa sakit hatinya pada suami dan keluarganya.

“Ah, kenapa gak dari dulu saja ya aku bersikap tegas begini. Cukup lama rasanya aku menjadi bodoh selama ini,” guman Raya dalam hatinya setelah dia merasa kenyang dengan makan siangnya.

Masih lekat dalam ingatan ucapan Rina beberapa waktu lalu. “Ray, kamu itu lulusan terbaik di kampus kita. Predikat cumlaude kamu sandang sampai akhirnya sekarang kamu sukses jadi manajer dengan gaji lumayan seperti ini. Ayolah, masa mau-maunya kamu dijadikan sapi perah keluarga suamimu, dinafkahi alakadarnya tapi seringnya sih enggak dikasih nafkah, dan dijadikan babu gratisan lalu kamu diam saja?

Sama sekali gak sesuai sama pekerjaanmu yang mentereng, Ray. Mana Raya yang kukenal dulu? Yang tegas, yang punya prinsip, dan gak gampang luluh sama rayuan laki-laki padahal dulu yang deketin kamu itu banyak dan semuanya ganteng-ganteng juga tajir-tajir. Lha ini, modelan kentutnya tung-tung sahur kok kamu bisa-bisanya luluh dan mau diinjak-injak begitu. Lawan d**g, Ray. Kembalilah jadi Raya yang gak diam aja jika ditindas.”

Setiap hari setelah ucapan temannya itu, Raya merenung. Bukan karena Rina mengajarkan dirinya untuk kurang ajar pada suami dan keluarganya tapi lebih ke mempertahankan harga diri yang sepertinya sudah lama terluka karena sikap mereka. Hingga puncaknya malam itu, di mana Bi Asri–Ibu dari Raya jadi korban tabrak lari dan harus dirawat di rumah sakit. Di situlah pikiran Raya benar-benar terbuka. Suami dan keluarganya memang tidak pantas mendapatkan bakti darinya.

Setelah kejadian malam itu, hingga seminggu lamanya dirinya akhirnya gajian kemarin sore, entah kenapa feeling Raya mengatakan tidak enak. Hingga saat sebelum pulang, dia menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah toko elektronik. Lalu memilih sebuah CCTV mini berukuran sebesar kancing baju. Malam itu, dia berencana menaruh kamera itu di ruang tamu, ruang keluarga, dan juga kamar pribadinya untuk merekam segala gerak-gerik Tyo dan keluarganya. Beruntung Tyo tidak tidur di kamarnya sehingga dia bebas bergerak.

Benar saja, dugaannya tidak meleset. Hari ini, Raya mendengarkan semua rencana busuk keluarga suaminya bahkan perbuatan mereka yang mengobrak-abrik isi lemarinya pun Raya tau. Beruntung dia gerak cepat atas usulan dari Rina juga sehingga dirinya berada selangkah lebih maju dari keluarga suaminya.

Setelah dirasa cukup dengan semua isi pikiran dan rencana-rencananya. Raya memutuskan untuk kembali ke kantor karena jam istirahat juga sudah hampir selesai.

***

Sore hari tiba. Di rumah, Bu Weni, Meri, Dinda, dan Tyo sudah duduk di ruang tamu menunggu kepulangan Raya. Bukan karena mereka merindukan wanita itu, tapi karena sedang menunggu apa yang dibawanya. Dari jendela, mereka sesekali melirik ke luar, menunggu suara mobil hitam milik Raya masuk ke halaman.

"Jam segini biasanya dia udah pulang, kan, Ti?" tanya Meri, nada suaranya terdengar antusias. Entah kenapa, di antara semuanya hanya Meri yang terlihat berambisi menggadai mobil milik adik iparnya itu. Padahal yang sedang butuh jelas bukan dirinya melainkan Dinda.

Tyo hanya mengangguk menjawab pertanyaan Meri, jantungnya berdegup tak karuan. Namun lima belas menit berlalu, tidak ada tanda-tanda mobil itu datang. Yang terdengar justru suara mesin motor yang berhenti di depan rumah. Sesaat kemudian, pintu terbuka, dan muncullah Raya di ambang pintu.

Saat melihat wanita itu, kepala Tyo, Meri, Bu Weni, dan juga Dinda tampak melihat ke arah halaman depan rumah. Mereka mengerutkan dahi saat tidak terlihat mobil yang dibawa Raya pagi tadi.

"Lho, Ray, sudah pulang? Kok naik ojek?" tanya Bu Weni heran.

Raya tersenyum manis, tapi matanya menyapu mereka satu per satu seperti sedang membaca isi kepala masing-masing. "Kenapa, Bu? Tumben amat tanya? Biasanya juga masa bodoh.”

Keempat orang itu saling pandang, wajah mereka jelas menunjukkan kekecewaan karena rencana mereka akhirnya gagal.

Meri mencoba menutupi rasa kesalnya dengan menjawab, "Ya namanya juga keluarga, wajarlah kalau nanya. Terus itu mobilmu mana? Kok pulang naik ojek? Tadi pagi, kan, bawa mobil.”

"Oh, mobil? Udah aku jual.”

“Apa?! Dijual?!”

Baca selengkapnya di KBM APP

Judul: Mereka Keluargamu, Bukan Keluargaku

Penulis: Vyra_fame

Address

Jakarta

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Joe Brendo posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share