Gerbang-Kehidupan

Gerbang-Kehidupan Tujuan Hidup Ku Menjadikan Diri ini Bermanfaat

30/01/2025
Malapetaka Akhir Zaman dengan Hilangnya Ilmu AgamaImam Bukhari rahimahullah menuturkan, ‘Umar bin Hafsh menuturkan kepad...
15/05/2024

Malapetaka Akhir Zaman dengan Hilangnya Ilmu Agama

Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, ‘Umar bin Hafsh menuturkan kepada kami. Dia berkata, ayahku menuturkan kepada kami. Dia berkata, Al-A’masy menuturkan kepada kami. Dia berkata, Syaqiq menuturkan kepada kami. Dia berkata, suatu saat Abdullah (bin Mas’ud) dan Abu Musa duduk-duduk bersama. Mereka berdua pun berbincang-bincang. Abu Musa pun berkata,

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya menjelang hari kiamat nanti akan ada hari-hari di mana ilmu itu diangkat, kebodohan turun/merebak di mana-mana, dan banyak terjadi al-harj.”

Yang dimaksud dengan al-harj adalah pembunuhan. (Lihat Shahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamd, Juz 13, hal. 16.)

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedudukan dan kekuasaan tidak bisa mengubah orang yang bukan alim mujtahid menjadi alim mujtahid. Seandainya hak berbicara tentang urusan ilmu dan agama diperoleh dengan sebab kekuasaan dan kedudukan, niscaya khalifah dan raja adalah orang yang paling berhak berbicara tentang ilmu dan agama. Sehingga orang-orang merujuk kepadanya dalam mencari solusi bagi masalah ilmu maupun agama yang mereka hadapi. Apabila ternyata khalifah dan raja tidak mendakwakan hal itu ada pada dirinya, demikian juga rakyat tidak wajib menerima pendapatnya tanpa melihat pendapat lain, kecuali apabila selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada raja lebih pantas untuk tidak melampaui kapasitas dirinya …” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, karya Syekh Abdurrahman bin Mu’alla, hal. 28.)

Syekh Abdullah bin Shalfiq hafizhahullah berkata, “… Bahwasanya salah satu pokok manhaj salaf adalah keterkaitan erat dengan ilmu dan para ulama. Dan bahwasanya hal ini termasuk perkara yang diwasiatkan Allah. Di dalamnya terkandung kebaikan, kebahagiaan, dan keselamatan dari segala fitnah. Karena sesungguhnya dengan perginya para ulama atau tidak adanya jalinan dengan mereka menyebabkan lenyapnya ilmu dan agama. Itu p**a yang menyebabkan merebaknya kebodohan dan fitnah (kekacauan), sehingga manusia setelah mereka akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, yang mereka itu sesat lagi menyesatkan.” (Lihat Haqiqah Al-Manhaj As-Salafi, hal. 14.)

Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu. Lelaki itu bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!” Ibnu Mas’ud menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amal yang sedikit maupun yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (Lihat Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Ibnu Baththal, 1: 133)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan, ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” (Lihat Al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 98.)

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ

“Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah pun membuat mereka lupa akan diri-diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hasyr: 19)

Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang melupakan Allah, niscaya Allah akan membuat dirinya lupa akan hakikat dan kemaslahatan dirinya. Sehingga orang itu pun akan lupa tentang hal-hal yang membawa kebaikan bagi dunia dan akhiratnya. Oleh sebab itu, hidupnya berubah laksana gaya hidup binatang. Bahkan, bisa jadi binatang jauh lebih baik keadaannya daripada dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tentang Allah adalah pokok segala ilmu. Ilmu tentang Allah merupakan pondasi ilmu seorang hamba mengenai kebahagiaan, kesempurnaan, dan kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Adapun kebodohan tentang Allah (baca: tidak paham tauhid) adalah sumber kehancuran dirinya. (Lihat Miftah Dar as-Sa’adah, 1:312.)

Baca juga: Mengembangkan Dakwah di Zaman Fitnah

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” (Lihat Ighatsat Al-Lahfan, hal. 36.)

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan (untuk dikonsumsi) dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan (untuk dipahami, pent) sebanyak hembusan nafas.” (Lihat Miftah Daris Sa’adah, 1: 248-249.)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hendaklah kalian menuntut ilmu sebelum ia dicabut. Dan dicabutnya ilmu itu adalah dengan meninggalnya orang yang membawanya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 196.)

Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Senantiasa ada orang berilmu yang meninggal dan karena itulah bekas-bekas kebenaran semakin luntur dan hilang. Hingga banyaklah orang yang bodoh dan lenyaplah ahli ilmu. Maka, mereka pun beramal dengan dasar kebodohan. Mereka beragama tidak dengan ajaran yang benar. Dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurus.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 199.)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (Lihat Al-Iman, takhrij Al-Albani, hal. 22.)

Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan sunah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (Lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163.)

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Dahulu ibuku berpesan kepadaku, ‘Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu, kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.’” (Lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 579.)

Ubay bin Ka’ab berkata, “Pelajarilah ilmu dan beramallah dengannya. Janganlah kalian mencari ilmu untuk hanya berhias diri. Sesungguhnya hampir-hampir saja muncul apabila umur kalian masih panjang ketika ilmu dijadikan sebagai perhiasan seperti halnya seorang yang berhias diri dengan pakaiannya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 247.)

Waki’ bin Al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadis sebagaimana datangnya (apa adanya, pen), maka dia adalah pembela sunah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadis untuk memperkuat pendapatnya semata, maka dia adalah pembela bid’ah.” (Lihat Mukadimah Tahqiq Kitab Az-Zuhd, hal. 69.)

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah seorang alim (ahli ilmu) orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan. Akan tetapi, sesungguhnya orang yang alim adalah yang mengetahui kebaikan lalu mengikutinya dan mengetahui keburukan lalu berusaha menjauhinya.” (Lihat Min A’lam As-Salaf, 2: 81.)

Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain, maka sungguh dia telah terpedaya.” (Lihat Ar-Risalah Al-Mughniyah fi As-Sukut wa Luzum Al-Buyut, hal. 38.)

Imam Ibnul Qayyim berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34.)

Syekh Shalih Al-Fauzan berkata, “Ikhlas itu adalah seorang insan berniat dengan amalnya untuk mencari wajah Allah. Dan dia tidak bermaksud untuk mencari kepentingan dunia apapun atau mencari pujian dan sanjungan dari manusia. Dia tidak mendengarkan celaan mereka ketika mencelanya. Seperti perkataan mereka, ‘Si fulan mutasyaddid (keras)’ atau ‘si fulan itu begini dan begitu’ selama dia berada di atas jalan yang benar dan di atas sunnah, maka tidak membahayakan dirinya apa yang diucapkan oleh orang-orang. Dan tidak menggoyahkannya dari jalan Allah celaan dari siapa pun juga.” (Lihat I’anatul Mustafid, 1: 104.)

Ada yang berkata kepada Sa’id bin Jubair, “Apakah tanda kebinasaan umat manusia?” Maka, beliau menjawab, “Yaitu, tatkala para ulama meninggal di antara mereka.” (Disebutkan oleh Al-Baghawi dalam tafsirnya.)

Imam Abu Zur’ah rahimahullah berkata, Aku mendengar Qutaibah berkata, “(Sufyan) Ats-Tsauri telah meninggal, maka matilah wara’ (sifat kehati-hatian). Syafi’i telah meninggal p**a dan matilah sunah-sunah (hadis). Dan Ahmad bin Hanbal meninggal, sehingga merebaklah bid’ah-bid’ah.” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 49; dan Manaqib Al-A’immah Al-Arba’ah, hal. 115.)

Muhammad bin Abi Hatim rahimahullah mengatakan, Aku mendengar Yahya bin Ja’far Al-Baikandi berkata, “Seandainya aku mampu menambah umur Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari) dari jatah umurku, niscaya akan aku lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang lelaki biasa. Adapun kematiannya berarti lenyapnya ilmu (agama).” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 118.)

Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali rahimahullah berkata, “Demi Allah! Sungguh kematian seorang ‘alim/ahli ilmu lebih dicintai Iblis daripada kematian tujuh puluh orang ahli ibadah.” (Lihat Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 78.)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian di mana tukang ceramahnya banyak, namun ulamanya amat sedikit.” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama)

Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi, ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya p**a, seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.” (Dinukil dari Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39)

Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“ ما من إنسان في الغالب أعطي الجدل إلا حرم بركة العلم ؛ لأن غالب من أوتي الجدل يريد بذلك نصرة قوله فقط ، وبذلك يحرم بركة العلم ..

أما من أراد الحق ؛ فإن الحق سهل قريب ، لا يحتاج إلى مجادلات كبيرة ؛ لأنه واضح ..

ولذلك تجد أهل البدع الذين يخاصمون في بدعهم علومهم ناقصة البركة لا خير فيها ، وتجد أنهم يخاصمون ويجادلون وينتهون إلى لا شيء ! .. لا ينتهون إلى الحق . ”

“Tidaklah ada seorang insan (pada umumnya) yang diberikan hobi debat (berbantah-bantahan), kecuali dia pasti terhalang dari keberkahan ilmu. Karena kebanyakan orang diberi kepandaian mendebat (s**a membantah) hanya ingin dengan debatnya itu untuk membela pendapatnya sendiri. Dengan sebab itulah ia terhalang dari keberkahan ilmu.

Adapun orang yang menginginkan kebenaran, maka sesungguhnya kebenaran itu mudah dan dekat (tidak sulit diperoleh), ia tidak butuh kepada banyak perdebatan yang besar; karena kebenaran itu gamblang. Oleh sebab itu anda dapati bahwa ahli bid’ah yang s**a membela kebid’ahan mereka dengan segala bentuk perdebatan (bantahan), ilmu mereka itu minim keberkahan, yaitu tidak ada kebaikan padanya sama sekali. Dan anda bisa jumpai bahwa mereka s**a mendebat dan membantah hingga pada akhirnya mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa [yang bermanfaat]! … Artinya mereka tidak menggapai kebenaran.” (Tafsir Surat Al-Baqarah, 2: 444.)

Abu Abdillah Ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (Lihat Al-Muntakhab min Kitab Az-Zuhd wa Ar-Raqa’iq, hal. 71)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menimba ilmu (agama) untuk bersikap lancang (membanggakan diri) kepada para ulama, atau untuk mendebat (melecehkan) orang-orang dungu, atau demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya (mencari ketenaran), maka Allah akan masukkan dia ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi, Al-Albani mengatakan hadis ini sahih lighairihi.) (Lihat Al-’Ilmu, Wasa’luhu wa Tsimaruhu, hal. 18)

Hal ini mengisyaratkan bahwa penimba ilmu harus membersihkan hatinya dari segala hal yang merusak berupa tipu daya (sifat curang), kotoran dosa, iri, dan dengki, ataupun keburukan akidah dan kejelekan akhlak. Ilmu adalah ibadah hati, dan tidak mungkin ilmu bisa diserap dengan baik, kecuali apabila hati itu bersih dari segala hal yang mengotorinya. Sahl rahimahullah berkata, “Haram bagi hati yang memendam sesuatu yang dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk dimasuki cahaya (ilmu).” (Lihat kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim karya Ibnu Jama’ah, halm. 86.)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari ilmu (agama) yang seharusnya dia pelajari demi mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla sedangkan ternyata dia justru mempelajarinya untuk mencari suatu bentuk kesenangan (perhiasan) dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau harum surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain, dan dinyatakan sahih lighairihi oleh Al-Albani) (Lihat Fiqh Da’wah wa Tazkiyatun Nafs, hlm. 11.)

Langkah Menyederhanakan HatiMakin hari, perputaran dunia ini rasanya terlalu cepat. Semua orang seolah saling membalap, ...
14/05/2024

Langkah Menyederhanakan Hati

Makin hari, perputaran dunia ini rasanya terlalu cepat. Semua orang seolah saling membalap, seakan terburu-buru memenuhi tuntutan zaman yang sangat cepat berubah nan dipenuhi ketidakpastian. Alhasil, hanya tubuh kita yang berada di masa kini, sedangkan hati dan pikiran kita ada di mana-mana.

Kita tidak benar-benar menyadari, apalagi menikmati aktivitas yang sedang dilalui. Boleh jadi, di saat yang sama pikiran kita disandera oleh penyesalan masa lalu, atau dipenuhi kecemasan akan masa depan baik mengenai nasib diri, keluarga, hingga prediksi standar sosial dan ekonomi beberapa tahun ke depan.

Hidup kita rasanya berjalan autopilot, bergerak sendiri tanpa ada yang mengemudi. Kita jalani hidup ini tanpa kesadaran penuh, hingga kosong dari pemaknaan. Alhasil, sangat lumrah jika akhirnya ada yang merasa lelah fisik maupun jiwa karena menjalani rutinitas seperti ini. Beberapa langkah yang dapat menjadi jalan keluar dalam mengatasi dampak negatif hidup autopilot akan dibahas dalam catatan ini, tentunya dari sudut pandang tuntunan Ilahi.

Menata hati, menata hidup
Secara ringkas, menyederhanakan hidup telah menjadi jurus yang marak digandrungi untuk menghindari dampak negatif hidup autopilot. Tidak hanya menyederhanakan barang dan konsumsi, namun juga menyederhanakan hati, karena menata hati = menata hidup. Banyak yang akhirnya merasa perlu menyederhanakan hati karena ia terbatas. Bagai bejana, hati adalah wadah yang tak bisa menampung semua masalah dan urusan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ لِلَّهِ آنِيَةً مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ ، وَآنِيَةُ رَبِّكُمْ قُلُوبُ عِبَادِهِ الصَّالِحِينَ , وَأَحَبُّهَا إِلَيْهِ أَلْيَنُهَا وَأَرَقُّهَا

“Sesungguhnya Allah mempunyai bejana-bejana di atas muka bumi, dan bejana-bejana Tuhan kalian adalah hati-hati hamba-hamba-Nya yang saleh, dan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling halus dan yang paling lembut.” [1]

Cobalah luangkan waktu sebentar saja, sekedar untuk mengobrol dengan diri sendiri. Tak ada yang boleh mendengarnya, kecuali Allah. Karena Allah mencintai hamba-Nya yang berkenan untuk mencintai dirinya sendiri dengan bermuhasabah. Mari merenung, apa kiranya penyebab riuhnya pikiran kita akhir-akhir ini?

Baca juga: Potret Kesederhanaan Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam

Bahagia dengan menerima, mungkinkah?
Boleh jadi, salah satu (bukan satu-satunya) sebab tidak tenangnya hati dan pikiran kita selama ini berkaitan dengan cara kita mengatur ekspektasi. Lingkungan mendorong kita untuk meraih capaian tinggi. Alhasil, kita memasang standar maksimal, tapi tidak menentukan batas minimal. Benar bahwa bercita-cita tinggi itu terpuji, namun sering kali kita lupa menyiapkan hati kalau-kalau cita-cita itu tidak terpenuhi. Sejak saat itu, kita mulai lelah dan kalah, diperbudak oleh ekspektasi diri sendiri. Kita lupa kapan terakhir kali menikmati hari-hari yang sedang dijalani, karena terus memandang ke arah angan yang entah kapan dapat benar-benar kita rasakan.

Melihat hal ini, terlihatlah pentingnya peran qana’ah. Imam Suyuthi rahimahullah memaknai qana’ah dengan sebuah ungkapan yang indah,

ترك التشوف إلى المفقود، والاستغناء بالموجود

“Meninggalkan hasrat pada hal yang tiada, dan merasa cukup dengan yang ada.” [2]

Qana’ah dapat membantu kita untuk menyederhanakan hati dalam menilai arti kebahagiaan. Mari kita tilik sejenak bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia paling bijak sepanjang sejarah, dalam menilai standar kebahagiaan. Beliau bersabda,

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya, diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” [3]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyadarkan bahwa ternyata kita bisa bahagia dengan hal-hal yang sering kali dianggap kecil lagi sepele. Ternyata tidak selalu perlu capaian yang muluk-muluk untuk bisa berbahagia. Dengan qana’ah, kita dapat kembali menikmati masa kini yang selama ini terabaikan karena sibuknya pikiran membuntuti ekspektasi yang tak terkejar.

Perlu dipahami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan standar minimal untuk bisa berbahagia, bukan melarang kita untuk mencari yang lebih dari tiga hal di atas. Untuk merasa cukup, kita tidak selalu harus menolak yang lebih. Justru dengan merasa cukup, kita akan merasa lebih bahagia ketika mendapat yang lebih. Anggaplah kita merasa cukup saat mendapat 5000, bukankah kita akan sangat bahagia tatkala mendapat 5 juta? Beda halnya jika sejak awal sangat mengidamkan 500 juta, mungkin tidak akan terlalu bahagia ketika mendapat 50 juta.

Demikian sederhana konsep qana’ah, namun selalu saja ada yang salah paham menyangka bahwa qana’ah itu seolah racun yang menyebabkan kemalasan dalam meningkatkan taraf hidup. Mari kita ulas sejenak wasiat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu kepada buah hatinya,

يا بني، إذا طلبت الغنى فاطلبه بالقناعة؛ فإنها مال لا ينفذ

“Nak, jika engkau mencari harta, carilah dengan qana’ah, karena qana’ah itu adalah harta yang tak dapat ditebus (dengan apa pun).” [4]

Beliau sebut qana’ah itu tidak dapat ditebus, karena tak akan ada yang mampu membeli isi hati yang bersih, beda halnya dengan kekuasaan atau saham mayoritas. Wasiat ini memahamkan bahwa ketika kita memilih untuk qana’ah, bukan berarti kita sedang mengikrarkan penolakan terhadap kekayaan dan kemakmuran. Qana’ah tidaklah menghalangi semangat mencari penghidupan. Inilah esensi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب

“Sesungguhnya yang namanya kaya adalah kayanya hati (yang qana’ah). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (yang tak pernah puas).” [5] Jadi, sebabnya itu ada di hati yang dipenuhi kelapangan, baik kala ia fakir maupun saat hidup berada.

Bukannya melarang kaya, tapi mengajak untuk menjadi kaya

dengan hati yang layak nan pantas untuk menerima kekayaan. Tidak seperti sebagian orang kaya (harta) yang mengorbankan waktu, kesehatan, bahkan agamanya karena terus menginginkan yang lebih, lebih, dan lebih! Demikianlah potret ia yang “terlihat” kaya, namun fakir tulen pada hakikatnya. Na’udzubillahi min dzalik. Semoga Allah karuniakan kepada kita hati yang sederhana dengan qana’ah di dalam relungnya.

Catatan ini barulah awal, masih ada sebab-sebab “hidup autopilot” yang lainnya. Sampai jumpa di catatan berikutnya.

[Bersambung]

12/05/2024

Kita Hanya Perencana

12/05/2024

Ini ada kata2 lama dari "Bob Sadino" yang masih relevan sampai hari ini , sebagai renungan kita :

Keluargaku ..

Di saat kita memakai jam tangan seharga Rp 500.000,- atau Rp 50.000.000,-, kedua jam itu menunjukkan waktu yg sama.

Ketika kita mengayuh sepeda seharga 100jt ataupun 1jt...tetap mengeluarkan keringat yang sama...

Ketika kita membawa tas atau dompet seharga Rp 500.000,- atau Rp 5.000.000,-, keduanya sama2 dapat membantumu membawa sebagian barang/uang.

Waktu kita tinggal di rumah seluas 50 m2 atau 5.000 m2, kesepian yg kita alami tetaplah sama.

Ketika kita terbang dengan first class atau ekonomi class, maka saat pesawat terbang jatuh maka kita pun ikut jatuh.

Keluargaku ..

Kebahagiaan sejati bukan datang dari harta duniawi.
Jadi ketika kita memiliki pasangan, anak, saudara, teman dekat, teman baru dan lama... Lalu kita ngobrol, bercanda, tertawa, bernyanyi, bercerita tentang berbagai hal, berbagi s**a dan duka- itulah kebahagiaan sesungguhnya.

Hal penting yang patut di renungkan dalam hidup :

1. Jangan mendidik anak mu untuk terobsesi menjadi kaya. Didiklah mereka menjadi bahagia. Sehingga saat mereka tumbuh dewasa mereka menilai segala sesuatu bukan dari harganya.

2. Kata2 yg terbaik di Inggris :
"Makan makananmu sebagai obat. Jika tidak, kamu akan makan obat2an sebagai makanan."

3. Seseorang yg mencintaimu tidak akan pernah meninggalkanmu karena walaupun ada 100 alasan untuk menyerah, dia akan menemukan 1 alasan untuk bertahan.

4. Banyak sekali perbedaan antara "manusia & menjadi manusia" Hanya yg bijak yang mengerti tentang itu.

5. Hidup itu antara
"B" birth (lahir) dan "D" death (mati), diantara nya adalah ada "C" choice (pilihan) hidup yang kita jalani, keberhasilannya ditentukan oleh setiap pilihan kita.

Jika kamu mau berjalan cepat, Jalanlah sendirian. Tetapi Jika kamu ingin berjalan jauh, jalanlah bersama sama.

Ada 6 dokter terbaik,
1. Keluarga
2. Istirahat
3. Olah raga
4. Makan yg sehat
5. Teman
6. Tertawa

Nikmati hidup dan tetap bersandar pada ALLAH
yg punya kehidupan.
Semoga bermanfaat .😀😊😚

11/05/2024

Menuju Sukses Butuh Usaha Dan Kerja Keras

Pada sebuah daerah terdapat gunung yang konon katanya ketika pendaki mencapai puncaknya akan disuguhkan sebuah pemandangan yang cantik nan eksotis. Bisa dibilang pemandangan yang disuguhkan oleh gunung tersebut tak bisa ditemukan di tempat lain.

Karena hal tersebut beberapa waktu kemudian datangnya seorang pemuda yang bermaksud untuk mencapai puncak gunung tersebut. Pemuda tersebut lalu mencoba untuk menapaki langkahnya hingga sampailah di lereng gunung.

Pada area lereng gunung terdapat sebuah rumah yang di dalamnya terdapat seorang kakek tua. Lalu pemuda tersebut menemui sang kakek dan bertanya untuk menunjukkan jalan menuju puncak gunung.

Sang kakek menjelaskan jika terdapat tiga jalan untuk menuju puncak. Semua jalan bisa dilalui, namun tetap saja setiap pendaki harus memilih jalan untuk menuju ke puncak.

Seketika pemuda memilih jalan yang sebelah kiri. Namun sebelum langkah pertama diambil pemuda tersebut, sang kakek menjelaskan jika pada jalan sebelah kiri terdapat banyak kerikil dan rintangan. Seakan penuh keberanian dan percaya diri, pemuda tadi mulai menapaki langkah demi langkah.

Semua yang diberitahu oleh kakek tua tadi ternyata benar. Semakin tinggi jalan yang dilalui oleh pemuda tadi. Kerikil dan bebatuan besar kerap ia temui. Bahkan jalan juga seakan-akan tak berpihak kepadanya.

Selanjutnya ia memutuskan untuk turun dan kembali ke kakek tua. Ia menjelaskan semua kejadian yang dialaminya. Lalu pemuda tadi ingin mencoba menggunakan jalan sebelah kanan. Sang kakek tua menjelaskan kembali jika pada jalan kanan penuh duri sambil tersenyum manis.

Pemuda tadi tetap melangkah, sekali lagi omongan kakek tua tadi benar kembali. Pemuda tadi mendapatkan banyak rintangan. Lalu ia kembali lagi dan meminta arahan kepada sang kakek , sebenarnya jalan yang aman dan tak banyak rintangan itu yang mana.

Sang kakek menjawab dengan nada serius. “Nak untuk menuju puncak dan mendapatkan pemandangan yang indah memang diperlukan usaha dan kegigihan. Semua jalan yang kamu lewati tidak ada yang pasti kemudahannya. Bahkan mungkin jalan buntu juga akan kamu temui,” ucap kakek tua seperti memberikan sebuah nasihat.

Dari apa yang diucapkan oleh sang kakek tua membuat pemuda tersebut paham apa yang dimaksud dan bertekad untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak apa pun itu rintangannya.

Dari kisah tersebut kita bisa paham jika untuk menuju sukses atau tempat tertinggi dibutuhkan kerja keras dan keberanian. Selain itu doa dan berserah diri kepada Allah juga sangat penting sekali. Sebab ketika kita berdoa dan berusaha, maka jalan akan dibukakan oleh Allah.

Sesulit apa pun menurut manusia, bagi Allah adalah sebuah kemudahan untuk mengubahnya menjadi jalan yang tak berliku.

Memberi Tanpa MenghinaDikisahkan ada seorang penjual selimut dengan kualitas terbaik. Selimut tersebut bervariasi harga ...
11/05/2024

Memberi Tanpa Menghina

Dikisahkan ada seorang penjual selimut dengan kualitas terbaik. Selimut tersebut bervariasi harga dan ketebalan yang diberikan. Suatu hari ada seorang kakek tua renta dengan kondisi baju lusuh. Jika dilihat secara menyeluruh, kakek tua tersebut ternyata adalah orang tidak berpunya.

Meski begitu ia tetap memberanikan diri untuk membeli sebuah kalimat. Ketika kakek tua tersebut berada di dalam toko. Kebanyakan para pengunjung melihatnya dengan sinis dan tentunya penuh akan rasa tak s**a.

Namun siapa sangka pemilik toko melayani kakek tua tersebut dengan sopan, perhatian layaknya pengunjung lainnya. Kakek tua tersebut mengutarakan maksud kedatangannya ke toko tersebut untuk membeli selimut.

Ia meminta selimut dengan harga paling murah karena total uang yang dimiliki kakek tua tersebut hanya pas-pasan. Bahkan dibilang cukup ternyata tidak bisa. Mengetahui hal tersebut, pemilik toko tetap memberikan pelayanan terbaik sekaligus mulai mencari selimut untuk kakek tua renta tadi.

Siapa sangka pemilik toko memberikan sebuah selimut kualitas terbaik. Menariknya harga yang dibanderol untuk selimut tersebut adalah sejumlah total uang kakek tua tadi. Lantas kakek tua tadi memberikan ucapan terima kasih yang begitu mendalam kepada pemilik toko.

Ternyata selimut yang dibeli kakek tua tersebut adalah untuk menyelimuti anak istri dibalik tembok rumahnya. Suatu hari datanglah pengujung ingin membeli selimut yang sama kualitasnya dengan kakek tua.

Pengunjung tersebut tampak marah ketika mengetahui harga dari selimut tersebut. Ia membandingkan harga yang diberikan kakek tua kemarin terhadap dirinya saat ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Ia menganggapnya tidak adil.

Dengan penuh kesabaran pemilik toko memberikan penjelasan. “Memang benar harga yang saya berikan kepada Anda berbeda dengan kakek tua kemarin. Namun kali ini saya berdagang dengan manusia, sedangkan kemarin saya berdagang dengan Allah,” ucap pemilik toko selimut.

Seketika pemuda tadi tertegun dan membayar sesuai harga yang dibayarkan sambil berdoa agar kakak tua tersebut terhindar dari rasa dingin beserta keluarga. Lalu ia juga berucap dan memohon kepada Allah agar keluarganya dijauhkan dari siksaan api neraka.

Pesan moral yang diberikan dari kisah tersebut adalah seberapa tinggi jabatanmu tetaplah berbagi kepada sesamamu. Banyak yang membutuhkan bantuan dengan rasa ikhlas tak peduli sebesar apa pun itu bantuanmu.

Kelak keikhlasanmu dalam membantu sesama akan bisa memberikan jalan terbaik pada kehidupan di masa depan. Dan selalu ingat jika berbagi kepada sesama tidak akan membuat kita menjadi miskin. So jangan pernah ragu untuk berbagi penuh rasa ikhlas dengan sesama.

4. Setiap Kejadian Akan Memiliki Makna
Dikisahkan ada sebuah keluarga yang memiliki anggota di dalamnya yang begitu banyak. Satu ayah satu ibu dan tiga orang anak. Keberadaan mereka semua sudah membuat suasana rumah menjadi ramai. Selang beberapa waktu kemudian sang ayah membawa kabar bahagia bagi semua anaknya jika mereka akan mendapatkan adik lagi.

Siapa sangka kabar bahagia dari ayah tidak disambut baik oleh sang anak sulung. Ia menentang perkataan ayah. Keduanya berdebat hingga tak menemukan jalan keluar. Usut punya usut ternyata sang ayah dan anak sama sama memiliki watak keras dan tak mau mengalah satu sama lain.

Sang anak sulung memberikan penjelasan jika ia melihat dari sisi ibu yang sudah tua bagaimana nanti mengasuh dan merawat anggota keluarga baru tersebut. Meski penuh pertentangan, namun waktu tetap berjalan dengan kondisi kandungan sang ibu membesar hingga memasuki usia 4 bulan.

Dalam usia 4 bulan kandungan memang tidak dapat digugurkan. Bahkan menggugurkan kandungan juga termasuk dosa dan melanggar hukum. Dalam kondisi tersebut sang anak sulung masih memiliki kebencian yang begitu mendalam terhadap semua yang terjadi.

Namun perlahan-lahan ia berdoa kepada Allah untuk menghilangkan rasa bencinya jika memang adik baru untuknya adalah pilihan terbaik dari Allah. Allah mengabulkan doa dari anak sulung dan menghilangkan rasa benci dalam dirinya.

Ketika sang adik baru lahir, ternyata kondisinya terbilang cukup buruk karena adanya penyakit jantung. Berbagai usaha sudah dilakukan keluarga tersebut untuk kesembuhan adik baru tersebut. Waktu tetap berjalan hingga suatu saat hasil rontgen dokter keluar dan memberikan penjelasan jika adik baru telah sembuh dari penyakit jantung yang dideritanya.

Semua keluarga merasa bahagia sekaligus terharu. Tak lupa ucap syukur atas kesembuhan adik baru kepada Allah tetap dipanjatkan.

Dari cerita tersebut kita belajar jika setiap kejadian yang telah ditakdirkan oleh Allah selalu memiliki makna tersendiri. Sering kali tak sadar akan makna dibalik kejadian. Hal ini kerap kita alami ketika menghadapi kegagalan.

Kita lebih s**a mengumpat daripada berpikir jernih terkait makna apa yang ada dibalik kegagalan yang terjadi. Bisa jadi karena Allah ingin menyadarkan jika pilihan yang kita ambil selama ini salah. Dan dibuatlah sebuah kegagalan.

Maka dari itu baik keberhasilan maupun kegagalan bahkan dalam kejadian lainnya pun harusnya tetap disikapi dengan pikiran jernih dan selalu mengingat jika Allah sudah menggariskan apa yang harusnya terjadi.

5. Menuju Sukses Butuh Usaha Dan Kerja Keras
Pada sebuah daerah terdapat gunung yang konon katanya ketika pendaki mencapai puncaknya akan disuguhkan sebuah pemandangan yang cantik nan eksotis. Bisa dibilang pemandangan yang disuguhkan oleh gunung tersebut tak bisa ditemukan di tempat lain.

Karena hal tersebut beberapa waktu kemudian datangnya seorang pemuda yang bermaksud untuk mencapai puncak gunung tersebut. Pemuda tersebut lalu mencoba untuk menapaki langkahnya hingga sampailah di lereng gunung.

Pada area lereng gunung terdapat sebuah rumah yang di dalamnya terdapat seorang kakek tua. Lalu pemuda tersebut menemui sang kakek dan bertanya untuk menunjukkan jalan menuju puncak gunung.

Sang kakek menjelaskan jika terdapat tiga jalan untuk menuju puncak. Semua jalan bisa dilalui, namun tetap saja setiap pendaki harus memilih jalan untuk menuju ke puncak.

Seketika pemuda memilih jalan yang sebelah kiri. Namun sebelum langkah pertama diambil pemuda tersebut, sang kakek menjelaskan jika pada jalan sebelah kiri terdapat banyak kerikil dan rintangan. Seakan penuh keberanian dan percaya diri, pemuda tadi mulai menapaki langkah demi langkah.

Semua yang diberitahu oleh kakek tua tadi ternyata benar. Semakin tinggi jalan yang dilalui oleh pemuda tadi. Kerikil dan bebatuan besar kerap ia temui. Bahkan jalan juga seakan-akan tak berpihak kepadanya.

Selanjutnya ia memutuskan untuk turun dan kembali ke kakek tua. Ia menjelaskan semua kejadian yang dialaminya. Lalu pemuda tadi ingin mencoba menggunakan jalan sebelah kanan. Sang kakek tua menjelaskan kembali jika pada jalan kanan penuh duri sambil tersenyum manis.

Pemuda tadi tetap melangkah, sekali lagi omongan kakek tua tadi benar kembali. Pemuda tadi mendapatkan banyak rintangan. Lalu ia kembali lagi dan meminta arahan kepada sang kakek , sebenarnya jalan yang aman dan tak banyak rintangan itu yang mana.

Sang kakek menjawab dengan nada serius. “Nak untuk menuju puncak dan mendapatkan pemandangan yang indah memang diperlukan usaha dan kegigihan. Semua jalan yang kamu lewati tidak ada yang pasti kemudahannya. Bahkan mungkin jalan buntu juga akan kamu temui,” ucap kakek tua seperti memberikan sebuah nasihat.

Dari apa yang diucapkan oleh sang kakek tua membuat pemuda tersebut paham apa yang dimaksud dan bertekad untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak apa pun itu rintangannya.

Dari kisah tersebut kita bisa paham jika untuk menuju sukses atau tempat tertinggi dibutuhkan kerja keras dan keberanian. Selain itu doa dan berserah diri kepada Allah juga sangat penting sekali. Sebab ketika kita berdoa dan berusaha, maka jalan akan dibukakan oleh Allah.

Sesulit apa pun menurut manusia, bagi Allah adalah sebuah kemudahan untuk mengubahnya menjadi jalan yang tak berliku.

Address

Jakarta
Jakarta
10570

Telephone

+6281388993199

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Gerbang-Kehidupan posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Gerbang-Kehidupan:

Share