Unik & Informatif

Unik & Informatif presents unique videos from around the world! thank you for watching, don't forget to follow me for the next video�

PURA-PURA JADI PENGEMIS BAB 10Aku menghela napas panjang, mencoba menepis prasangka buruk yang terus berdengung di kepal...
06/07/2025

PURA-PURA JADI PENGEMIS

BAB 10

Aku menghela napas panjang, mencoba menepis prasangka buruk yang terus berdengung di kepalaku. “Jangan lebay, Raf,” gumamku pelan. “Ibu mungkin cuma menyesal dan mencoba berubah. Pliss, buang prasangka buruk itu. Berdoa saja semoga ibu benar-benar berubah."

Dengan pikiran itu, aku pun memacu sepeda motor menuju pasar yang jaraknya 5 menit dari rumah.

Jalanan sudah lengang karena orang-orang sudah sampai kantor dan sekolah.

Sesampainya di pasar, aku langsung menuju lapak langganan penjual daging. Seorang ibu paruh baya yang sudah mengenalku sejak kecil menyambut dengan ramah.

“Wah, jarang-jarang kamu ke sini, Mas Rafa. Biasanya Ibumu atau Dela.”

Aku tersenyum tipis. “Iya, Bu. Kali ini Ibu yang minta langsung. Mau masak sup iga, katanya.”

“Wah, pas banget. Daging baru datang tadi pagi. Masih segar,” katanya sambil mulai menimbang beberapa potong iga.

Saat aku menunggu, pandanganku iseng menyapu ke sekeliling. Para pedagang mulai ramai, dan aroma bawang, ayam potong, serta tahu goreng bercampur di udara.

Tapi mataku terpaku ketika melihat sosok di pojok pasar, dekat tumpukan karung goni dan becak tua yang jarang dipakai.

Damar? Adikku?

Bersama dua orang teman seusianya yang masih memakai seragam sekolah tapi mengenakan jaket.

Dan di tangannya, sebatang rokok menyala.

Aku membeku. Antara tak percaya dan langsung terbakar amarah.

Dengan langkah cepat, aku menghampiri mereka. Damar yang sedang tertawa dengan temannya sontak terperanjat begitu melihatku.

“DAMAR!!” bentakku lantang.

Ia memutar tubuh, wajahnya pucat seketika. Rokok di tangannya langsung dijatuhkan dan diinjak buru-buru.

“Ka-kak? ini … bukan aku … maksudnya—”

“BUKAN KAMU? Aku lihat sendiri, Mar! Kamu pikir aku buta?!” bentakku semakin keras.

Teman-temannya langsung bubar, kabur ke arah pasar sayur. Damar menunduk, matanya panik.

“Kak, aku … cuma sekali ini. Tadi diajak doang. Aku nggak niat, sumpah.”

Aku menahan napas, mencoba tidak langsung menampar anak itu di depan umum. “Cuma sekali ini? Di depan umum? Di pasar?! Kamu kira orang-orang nggak kenal kamu anak siapa? Kamu pikir ini keren, hah?!”

“Kak, aku stress …,” jawabnya lirih.

“Stress? Karena apa? Karena aku pulang? Karena Ibu sakit? Karena keadaan rumah? Jelas!! Kamu pikir cuma kamu yang punya beban?!”

Tanganku mencengkeram lengannya kuat. “Kamu ikut aku sekarang. Kita pulang! Kurang ajar kamu berani-beraninya berangkat dari rumah untuk sekolah, tapi kamu malah belok ke pasar."

“Kak, jangan … jangan kasih tahu Ibu. Tolong …,” pintanya ketakutan.

Aku menarik napas dalam. “Kamu sudah mengecewakanku, Damar. Aku akan hubungi kepala sekolahmu, menanyakan berapa kali kamu bolos sekolah."

"Jangan, Kak! Plisss!" Dia makin memelas.

"Nggak ada jangan-jangan! Kamu sudah buatku kecewa. Aku berjuang mati-matian kerja di negara orang, agar kamu bisa sekolah. Aku rela meninggalkan istriku sendiri di rumah cuma buat biaya hidup kalian! Tapi apa balasannya? Kamu malah nggak serius sekolah. Mungkin bukan sekali ini kamu melakukannya, kan? Pasti berkali-kali. Enak sekali kamu merokok masih sekolah. Duit masih minta sama orang tua saja kamu bangga."

“Kak, udah … berhenti marah-marah. Malu dilihatin orang,” ucap Damar lirih, matanya terus menunduk, bibirnya gemetar.

Aku menatapnya tajam, napasku masih berat. Tapi amarahku belum sepenuhnya reda.

“Malu? Kamu baru malu sekarang? Lebih malu lagi aku, Mar. Aku ini kakakmu. Apa kata orang kalau tahu adikku ketahuan merokok di pojok pasar begini?!”

Damar terdiam, menggigit bibir bawahnya.

“Balik sekolah sekarang atau pulang?” tanyaku tegas.

“Nggak dua-duanya, Kak.” Suaranya hampir tak terdengar. “Aku takut Ibu makin marah.”

Aku mendekat, menahan bahu bajunya. “Kamu pikir aku senang nyeret kamu begini? Kamu pikir ini enak buatku?”

Damar menatapku, matanya mulai berkaca-kaca. “Kalau gitu biarin aku sendiri. Aku nggak mau balik ke rumah, dan aku juga nggak mau ke sekolah. Aku … aku lebih baik putus sekolah sekalian!”

Aku tersentak.

“Apa? Kamu bilang apa barusan?”

“Aku capek, Kak. Di rumah tegang terus. Aku ngerasa kayak nggak punya tempat. Jadi daripada terus disalahin, lebih baik aku berhenti sekolah.”

Aku terdiam. Bukan karena tak ada kata, tapi karena dadaku nyeri mendengarnya.

Beberapa detik aku hanya memandangi adikku itu. Lalu aku menarik napas panjang dan berkata pelan, “Dengar, Mar. Hidup memang nggak adil. Tapi putus sekolah bukan jalan keluar. Kamu pikir dengan berhenti semuanya akan selesai? Justru kamu bakal lebih tenggelam.”

Damar hanya membuang muka, masih menahan tangis.

Aku menepuk bahunya lebih lembut kali ini. “Ayo ikut aku sekarang. Kita nggak langsung pulang. Kita duduk dulu. Ngobrol, berdua.”

Ia tak menjawab, tapi langkahnya mulai mengikutiku. Berat, tapi tetap berjalan.

Karena di balik keras kepalanya, aku tahu Damar cuma butuh satu hal, dipahami.

*****

Aku dan Damar sampai rumah sekitar pukul sepuluh lebih sedikit. Sepanjang perjalanan, kami tak banyak bicara. Tapi setelah duduk di warung dan menumpahkan segala unek-uneknya.

“Mulai besok, aku yang antar kamu sampai ke gerbang sekolah. Setiap hari. Kita mulai dari awal lagi, bareng-bareng.”

Damar hanya mengangguk pelan. Tapi aku bisa lihat matanya tak seputus asa tadi. Dan itu cukup buatku.

Lima menit, kami pun sampai di depan rumah. Sepeda motor kuparkir di halaman, dan Damar langsung masuk lebih dulu lewat pintu samping.

Aku baru hendak masuk saat suara teriakan melengking menghentikan langkahku.

“TOLOOONNGGG!!"

next?

Baca di kbm app ya. Udah bab 30. Cari nama penulis Linda M

PURA-PURA JADI PENGEMIS BAB 9Ibu menangis makin kencang. Isaknya terdengar lirih tapi men us uk.“Rafa ... Ibu ini siapa ...
06/07/2025

PURA-PURA JADI PENGEMIS

BAB 9

Ibu menangis makin kencang. Isaknya terdengar lirih tapi men us uk.

“Rafa ... Ibu ini siapa buat kamu?” tanyanya di sela tangis. “Kamu tega bentak Ibu hanya demi perempuan itu?”

Aku menunduk. Ada amarah yang kutahan, tapi juga luka yang tak bisa kubohongi.

“Bu, aku sudah bilang, jangan bicara seperti itu lagi,” ujarku pelan, hampir seperti gumaman.

“Jadi benar ... perempuan itu lebih penting dari Ibumu sendiri,” sahutnya, suara bergetar. “Ibu ini yang melahirkan kamu! Mandiin kamu waktu kecil, kasih makan, nyusuin! Tapi sekarang, aku seperti orang asing!”

Aku menahan napas. Pandanganku kabur oleh air mata. Tapi bukan karena sedih, melainkan karena lelah. Lelah mencoba menjembatani dua sisi yang terus berseteru.

“Bu, aku nggak sanggup lagi berdebat. Aku takut kata-kataku malah bikin Ibu tambah sakit,” ucapku lirih.

Aku berdiri. “Aku ke luar dulu, Bu. Istirahat. Obatnya diminum. Aku nggak mau tambah berdosa karena terus melawan Ibu.”

“Rafa … jangan pergi!” seru Ibu, mencoba bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Ia akhirnya hanya menangis sambil memegangi dada. “Anak macam apa kamu ini ….”

Aku tak menjawab. Tak berani melihat ke belakang. Kupilih pergi karena kalau aku bertahan, aku mungkin benar-benar kehilangan akal.

Saat aku menutup pintu kamar, kulihat Mya berdiri di ujung lorong, membawa semangkok bubur hangat yang tak pernah sempat diberikan. Wajahnya sayu. Tapi saat mataku menatapnya, ia hanya berkata pelan, “Sudah, Mas. Aku nggak apa-apa.”

Kami masuk ke kamar. Tak ada kata. Hanya keheningan, dan hati yang sama-sama terluka.

****

Pagi itu matahari bersinar cerah. Udara terasa hangat, dan aroma masakan menyeruak dari dapur. Aneh.

Aku melangkah keluar kamar dengan langkah waspada. Di meja makan, kulihat Mya sedang membantu menyiapkan sarapan. Tapi yang membuatku tercengang, Ibu duduk di sofa ruang tengah dan tersenyum. Ya, tersenyum.

“Pagi, Nak,” sapa Ibu ramah, menoleh ke arahku.

Aku terdiam di ambang pintu. Suara itu ... lembut. Bahkan lebih lembut dari hari pertama aku pulang dari Jepang.

“Pagi, Bu,” jawabku ragu.

Ibu berdiri pelan, lalu berjalan ke arah meja makan. Tatapannya beralih ke Mya yang sedang mengaduk bubur ayam di panci.

“Mya, kamu capek, nggak? Sini, Ibu bantuin,” ucapnya, masih dengan nada lembut.

Mya menoleh cepat. Hampir menjatuhkan sendok kayu di tangannya. “Eh? Nggak, Bu. Nggak usah. Aku bisa—”

“Udah, sini, Ibu aja. Kamu duduk. Sarapan bareng yang lain,” kata Ibu sambil menarik kursi untuk Mya.

Aku melongo. Dela dan Damar juga terdiam, saling pandang.

“Ibu … sehat?” tanya Damar pelan.

“Alhamdulillah,” jawab Ibu. “Tadi pagi tensi Ibu dicek Dela, udah turun. Mungkin karena semalam udah nangis puas.”

Aku menarik kursi, duduk di samping Mya yang masih kaku. Ia menunduk, wajahnya bingung setengah takut.

Dan yang paling aneh, Ibu bahkan menyendokkan bubur ke mangkuk Mya dan berkata, “Makan yang banyak ya, Nak. Biar kuat.”

Tanganku mengepal di bawah meja. Ada sesuatu yang nggak beres.

Mya menoleh ke arahku, matanya bertanya-tanya.

Aku hanya menjawab dalam hati.
Ibu nggak pernah begini. Ada yang disembunyikannya. Tapi apa?

Sejak pagi itu, Ibu berubah. Terlalu manis. Terlalu ramah. Terlalu ... aneh.

Saat Mya berjalan melewati ruang tengah, Ibu menyapanya dengan senyum. Saat Mya mengambil pakaian kotor dari ember, Ibu ikut membantunya memilah. Bahkan saat mencuci piring, Ibu tiba-tiba berkata, “Kamu rajin juga, ya, Mya. Pantas anakku sayang banget.”

Aku hanya diam, mengamati dari kejauhan. Setiap kalimat manis itu, bukannya melegakan, justru membuat bulu kudukku merinding.

Sikap Ibu seperti … topeng. Dan aku tidak tahu apa yang bersembunyi di baliknya.

*****

Pukul sembilan lewat lima belas. Dela sudah berangkat kuliah. Damar barusan kuantar ke depan gang untuk naik ojek ke sekolah. Rumah jadi lengang.

Aku tengah duduk di ruang tengah sambil membaca dokumen kerja lama di tablet ketika Ibu tiba-tiba muncul dari dapur. Ia mengelap tangan dengan handuk kecil, lalu tersenyum ke arahku.

“Rafa, Ibu pengin masak sup iga hari ini,” katanya pelan.

Aku menoleh dari tablet. “Iga?”

“Iya. Ibu jadi kepengin. Nggak tahu kenapa, semalam sempat mimpi makan iga sama almarhum Bapak kamu,” katanya sambil tertawa kecil. “Bisa tolong beliin di pasar?”

Aku memandang jam dinding.

“Sekarang?”

“Iya. Kalau bisa yang masih segar. Ibu pengin bikin kaldu sendiri,” ujarnya sambil membenahi rambut yang sudah mulai memutih di pelipis.

Aku menatapnya lekat-lekat. “Kenapa nggak minta Dela aja tadi?”

“Dela ada kelas pagi. Kamu aja. Sebentar, kok. Di pasar bawah gang aja,” jawabnya sambil menuju kamarnya. “Uangnya Ibu taruh di laci depan TV, ya.”

Aku mengangguk pelan. Tapi dalam hati, ada rasa aneh yang makin menguat.

Aku menatap Mya yang berdiri di dekat tangga, seolah menunggu aba-aba dariku.

“Ibu pengin aku beliin daging iga di pasar,” kataku datar.

“Oh … sekarang?” tanya Mya pelan.

Aku ragu. Sekilas menatap Mya, lalu menoleh ke arah kamar Ibu yang sudah tertutup kembali.

Aku melangkah pelan ke dapur, pura-pura mencari plastik belanja. Lalu kudekati Mya dan berbisik, “Kalau ada yang aneh, kamu langsung telpon aku. Jangan sungkan. Apa pun.”

Mya menatapku dengan mata lebar. Wajahnya mulai cemas.

“Aku cuma sebentar,” lanjutku. “Paling lama tiga puluh menit.”

Ia mengangguk pelan.

Aku pun mengambil uang, pamit pada Ibu yang hanya melambai sambil tersenyum hangat dari dalam kamar. Lalu aku melangkah keluar rumah. Tapi hati ini, justru makin berat.

Bukan karena daging iga.

Tapi karena firasatku mulai berteriak.

Ibu merencanakan sesuatu.

Dan dia memilih saat rumah hanya berisi Mya sendirian.

Kenapa aku jadi khawatir kali ini? Apa ibu ....

next?

Baca di kbm app. Cari nama penulis Linda M. Link ada di komentar

PURA-PURA JADI PENGEMIS BAB 8"Kamu dengar ibu, kan, Raf?" tanya ibu sekali lagi. Aku pun menoleh melihat istriku. Kuliha...
06/07/2025

PURA-PURA JADI PENGEMIS

BAB 8

"Kamu dengar ibu, kan, Raf?" tanya ibu sekali lagi.

Aku pun menoleh melihat istriku. Kulihat air mata itu kini jatuh satu per satu di p**i Mya. Ia masih diam, tak mengeluh, tak membela diri. Tapi justru itu yang menusukku paling dalam.

Ia menahan semuanya sendiri.

“Mya …,” panggilku pelan, tapi ia tak menjawab. Matanya tetap menunduk. Bibirnya bergetar menahan suara isak.

Aku tak sanggup melihatnya seperti itu. Hatiku hancur.

Aku kembali menatap Ibu, lalu berjongkok di samping ranjangnya. Genggamanku pada tangan Ibu menguat.

“Bu … aku mohon, jangan bicara seperti itu dulu. Fokus sembuh dulu, ya. Ibu baru saja dari IGD. Baru saja melewati keadaan yang nyaris fatal. Kita semua panik. Aku, Damar, Dela, Mya … semua.”

Ibu hanya memejamkan mata, wajahnya keras.

“Aku nggak minta Ibu terima Mya sekarang juga. Tapi tolong, untuk sekarang … cukup pulihkan diri dulu. Nanti, setelah Ibu lebih tenang, baru kita bicarakan semuanya baik-baik. Kita duduk bersama. Kita cari jalan keluarnya,” ujarku hati-hati, mencoba menjembatani, walau dadaku tetap sesak.

Ibu tak menyahut, tapi wajahnya sedikit melembut. Mungkin karena tubuhnya yang lelah, atau karena aku tak balik membentaknya kali ini.

Aku berdiri. Menoleh pada perawat yang berjaga di depan ruangan.

“Bu, dokter tadi bilang kalau tensi sudah stabil, Ibu boleh pulang. Aku mau bawa Ibu istirahat di rumah. Tapi Ibu harus janji satu hal.”

Ibu mengangkat pelupuk mata perlahan, menatapku dengan pandangan berat.

“Jangan paksa aku ambil keputusan sekarang, Bu. Aku sudah cukup hancur melihat Mya menangis tanpa suara barusan. Tapi lebih dari itu … aku masih ingin punya Ibu. Bukan sebagai hakim yang memberi vonis, tapi sebagai pelindung. Tempat aku dan istriku pulang.”

Aku tahu, kata-kataku belum tentu menyentuh hatinya. Tapi itu jujur dari dalam hatiku.

Beberapa saat kemudian, Ibu hanya menjawab singkat, suara serak dan nyaris tak terdengar, “Terserah kamu, Rafa.”

Aku menarik napas panjang, mencoba menahan gejolak di dada.

“Terima kasih, Bu,” ucapku lirih.

Mya menatapku dengan mata merah, dan aku mengangguk kecil padanya. Aku tahu luka itu belum sembuh. Tapi untuk saat ini, setidaknya aku bisa membuatnya sedikit merasa aman.

Aku lalu mengurus administrasi pemulangan Ibu. Dalam waktu kurang dari satu jam, kami sudah meninggalkan rumah sakit. Aku menyetir pelan, memastikan jalanan tak terlalu bergetar saat Ibu duduk di kursi penumpang dengan Dela dan Damar mendampinginya di belakang, dalam diam.

Di kaca spion, aku melihat Dela memalingkan wajah, sedangkan Damar menunduk sepanjang jalan.

Rumah itu masih menunggu. Tapi kami semua tahu … rumah itu tak akan pernah sama lagi setelah hari ini.

Dan hatiku … entah akan pernah utuh kembali atau tidak.

*****

Sesampainya di rumah, aku membuka pintu mobil perlahan, lalu membimbing Ibu keluar. Tubuhnya masih lemas, tapi ia menolak bantuan siapa pun kecuali aku.

“Pelan-pelan, Bu,” ucapku hati-hati, menopangnya menuju dalam.

Mya ikut membuka pintu rumah dari depan. Tapi ketika Ibu melangkah masuk dan melihat Mya berdiri di sana, aku bisa merasakan napas Ibu langsung berubah. Bukan terengah karena kelelahan, tapi seperti ada bara yang kembali menyala di dadanya. Matanya menghindar, bibirnya mengatup rapat, dan bahunya kaku.

Tak sepatah kata pun keluar.

Mya menunduk, perlahan mundur memberi jalan. Diamnya Mya hari ini jauh lebih menyakitkan dari segala bentakan yang pernah kudengar darinya. Ia seperti bayangan yang tak diinginkan, selalu ada tapi selalu ditolak.

Aku mengantar Ibu masuk ke kamar. Dela dan Damar membuntuti di belakang, membantu membereskan bantal, menyetel suhu AC, dan mengatur obat-obatan yang tadi dibawa dari rumah sakit.

Ibu duduk di tepi ranjang, menarik selimut hingga dada. Wajahnya pucat. Tapi bukan karena sakit. Pucatnya lebih mirip keengganan. Ia melirik ke pintu setiap kali Mya melintas untuk meletakkan sesuatu, seakan ingin berkata, "Keluar dari sini."

Tapi Ibu tetap diam.

Diam yang tajam. Diam yang menu suk.

Aku tahu Mya merasakannya. Aku tahu. Karena setiap kali ia keluar dari kamar itu, matanya tampak semakin basah.

“Mas, aku nggak apa-apa,” katanya saat kutanya diam-diam di dapur. “Biar Ibu nggak bicara, aku sudah tahu apa yang ada di hatinya.”

“Mya …." Aku menyentuh lengannya.

“Aku tahu Ibu nggak akan berubah dalam semalam. Aku juga nggak minta dia menerima aku sekarang. Tapi Mas … tolong jangan biarkan aku merasa sendiri terus,” lirihnya sambil memalingkan wajah agar tak kulihat air matanya jatuh lagi.

"Kamu kan yang katakan jangan bawa ke hati sikap ibu dulu. Dia masih sakit, dia masih ingin disayangi dulu. Jadi, kumohon bersabarlah dengan sikap ibu, Mya."

"Aku tahu, Mas. Jadi, setelah ibu sembuh, kamu akan menceraikanku, kan? Sesuai permintaan ibu."

Hatiku makin remuk mendengar ucapan Mya.

"Jangan bahas itu," sanggahku lalu meninggalkannya di dapur sendiri.

Aku kembali ke kamar Ibu beberapa menit kemudian, membawakan teh hangat dan obat. Ia sedang bersandar, mata menatap lurus ke arah televisi yang tak benar-benar ditonton.

“Bu, ini obatnya. Diminum dulu, ya,” ujarku lembut, mencoba menjaga suasana.

Ibu tak menjawab. Hanya menggeser sedikit tubuhnya agar aku bisa duduk di tepi ranj ang.

Kupakaikan bantal di punggungnya. Kuserahkan teh di tangannya. Tapi saat Mya muncul di ambang pintu, membawa wadah kecil berisi bubur hangat, wajah Ibu kembali berubah. Sorot matanya tajam, jijik, seolah hendak menolak makanan itu bukan karena selera, tapi karena tangan yang membawanya.

“Ibu …,” ucapku pelan.

“Letakkan saja di meja!” potong Ibu tanpa menatap Mya.

Mya menuruti, lalu pelan-pelan meletakkan mangkuk di meja kecil samping ranjang. Tapi sebelum ia sempat mundur, Ibu tiba-tiba bicara, masih tanpa menoleh.

“Kamu nggak usah pura-pura baik. Aku belum pikun. Padahal kamu lah penyebab aku sakit begini. Kalau bukan kamu dibela sama anakku, aku nggak akan sakit."

Tubuh Mya kaku. Tangannya yang sempat menyentuh pinggiran meja langsung gemetar.

“Ibu ... Sudah. Jangan lagi buat masalah," tegurku perlahan, tapi Ibu tak peduli.

“Bela saja terus wanita miskin yatim pengangguran itu. Dia itu nggak berguna. Dia benalu di rumah ini. Dia nggak pantas jadi menantuku. Dia lebih pantas jadi babuku!"

"IBU, STOP!!"

Suaraku refleks membentak ibu, hingga beliau terdiam. Sedetik kemudian, kulihat air mata ibu langsung menggenang.

Ya Tuhan .... kenapa aku diuji oleh ibuku sendiri?

NEXT?

penulis Linda M
Baca di kbm app ya. Cari nama penulis Linda M

PURA-PURA JADI PENGEMIS BAB 7Tubuhku spontan berbalik. Nafasku tercekat saat melihat tubuh Ibu tergeletak di lantai, tak...
06/07/2025

PURA-PURA JADI PENGEMIS

BAB 7

Tubuhku spontan berbalik. Nafasku tercekat saat melihat tubuh Ibu tergeletak di lantai, tak bergerak, mata terpejam, wajahnya pucat seperti kertas.

“IBUUU!!” jerit Dela lagi, berlari ke arah tubuh Ibu dan langsung berlutut, mengguncang-guncangkan bahunya.
“Bu, bangun, Bu! Jangan bercanda!”

Aku tak sempat berpikir panjang. Koper kutinggalkan begitu saja di ambang pintu, lalu aku berlari menghampiri mereka.

“Damar, ambil air! Cepat!” seruku.

Damar yang tadi kaku di sofa langsung tersadar, berlari ke dapur.

Sementara itu, aku bersimpuh di sisi Ibu, memeriksa denyut nadinya. Masih ada, tapi lemah. Nafasnya pendek dan tersengal. Keringat dingin membasahi pelipisnya.

“Mya, tolong ambil handuk kecil di kamar. Cepat!” kataku sambil menepuk-nepuk p**i Ibu dengan pelan. “Bu ... Ibu, bangun ... Ini aku, Rafa.”

Mataku mulai berkaca-kaca. Panik. Takut. Semua bercampur jadi satu. Meski tadi aku bicara dengan kemarahan dan kecewa, tapi melihat tubuh Ibu seperti ini, hatiku remuk.

“Bu ... maafin aku kalau aku keterlaluan tadi,” bisikku. “Tapi tolong, jangan tinggalin aku begini, tolong, Bangun, Bu ....”

Mya datang dengan handuk basah, kubasuhkan pelan ke wajah Ibu.

Damar kembali membawa segelas air putih dan mengulurkan padaku. “Mas, Ibu kenapa? Kenapa Ibu bisa pingsan?”

“Aku nggak tahu. Mungkin tensinya naik atau kepalanya pusing karena emosi tadi.”

Aku mencoba menepuk p**i Ibu lagi, pelan. Tapi tak ada reaksi.

Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangkat tubuh Ibu dalam pelukanku. “Kita bawa ke rumah sakit sekarang!”

“Pakai mobil, Mas! Kuncinya ada di atas meja!” ujar Dela yang kini terlihat benar-benar panik, tak lagi sinis.

Aku bergegas ke luar rumah, menggendong Ibu dengan hati-hati. Mya dan Damar berlari di belakangku. Dalam hitungan menit, kami sudah masuk ke mobil, dan aku melajukan kendaraan dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit terdekat.

Di sepanjang jalan, aku terus menatap wajah Ibu lewat kaca spion tengah.

“Bertahan, Bu ... tolong bertahan," lirih Dela dan Damar.

Tiba-tiba semua amarahku sirna. Yang tertinggal hanya kekhawatiran.

Dan rasa bersalah yang tak bisa kutampik.

Setibanya di rumah sakit, aku langsung menghentikan mobil di depan instalasi gawat darurat. Petugas jaga segera menghampiri begitu melihatku turun dengan menggendong tubuh Ibu yang masih lemas.

“Pasien tidak sadarkan diri?” tanya salah satu perawat dengan sigap.

“Ya, Ibu saya. Tadi sempat pingsan di rumah, napasnya sesak, dingin, dan nggak respon,” jawabku cepat.

“Langsung bawa ke ruang observasi, Mas. Cepat!”

Aku mengikuti mereka masuk ke dalam. Mya, Dela, dan Damar ikut bergegas di belakangku. Hatiku berdegup kencang. Tanganku masih gemetar. Rasanya seperti semua energi di tubuhku terkuras habis.

Tak lama setelah Ibu dibaringkan dan diperiksa, dokter jaga datang dengan wajah tenang.

“Keluarga pasien?” tanyanya.

“Aku, dok. Anak sulungnya,” jawabku cepat.

Dokter tersenyum tipis. “Syukurlah Mas cepat membawa beliau ke sini. Tekanan darah beliau sangat tinggi. Ini tipikal kasus hipertensi akut karena lonjakan emosi. Bisa dibilang, tadi itu beliau mengalami hypertensive urgency, belum sampai ke stroke atau jantung. Tapi kalau terlambat sedikit saja, bisa fatal.”

Aku terhenyak. Nafasku memburu. “Jadi … ibu saya hanya .…”

“Naik tensi berat,” potong sang dokter, lembut. “Sudah ditangani. Kami beri obat penurun tekanan darah, infus, dan sekarang beliau hanya butuh istirahat. Nanti kalau tekanan darahnya stabil, beliau bisa pulang.”

Aku menarik napas dalam. Campuran lega dan lemas menghantamku sekaligus.

“Terima kasih, Dok ... terima kasih banyak.”

“Jaga kondisi emosinya, ya. Jangan sampai terpancing marah berlebihan, karena usia beliau sudah tidak muda. Mental dan fisik bisa saling memengaruhi,” pesan dokter itu sebelum berlalu.

Aku hanya bisa mengangguk, lalu berjalan menuju ruang perawatan di mana Ibu dibaringkan. Di balik tirai putih tipis, kulihat wajahnya yang kini sedikit lebih tenang. Selang infus terpasang di tangan kirinya, dan napasnya sudah lebih teratur.

Mya berdiri di sampingku, menatapku pelan. “Mas … Mas nggak apa-apa?”

Aku mengangguk, tapi mata tak bisa lepas dari sosok Ibu.

Seketika, rasa bersalah menyerbu lagi.

Tadi aku ingin pergi. Ingin lepas dari semua belenggu dan luka.

Tapi sekarang … wanita yang melahirkanku terbaring tak berdaya karena emosi yang, sebagian besar, kupicu sendiri.

“Kak Rafa .…” Damar pelan memanggilku dari belakang.

Aku menoleh.

“Kalau kakak nggak tinggal di rumah lagi, kami gimana?” lirihnya, mata berkaca-kaca.

Aku menarik napas, lalu mendekat dan memeluk bahu adikku itu.

“Aku nggak pergi sejauh itu, Dek. Tapi aku juga nggak bisa terus jadi anak yang cuma nurut tanpa suara. Ibu perlu tahu batasannya. Dan kamu juga Dela, perlu belajar untuk berdiri sendiri. Kalau bisa, kamu harus kerja sambil kuliah. Kamu nggak bisa hanya mengandalkan aku saja."

"Nggak bisa, Kak. Aku harus kerja apa? Kalau aku kuliah sambil kerja, aku bisa lambat lulus. Biaya akan makin bengkak. Harusnya kakak aja yang ngalah. Balik lagi ke Jepang sana," sahutnya terdengar egois.

"Kalau aku balik lagi ke Jepang, nanti kamu akan semena-mena lagi sama Mbak Mya kamu. Kamu itu harusnya bantu dia, bukan malah jadikan kakak iparmu babu!" bentakku kini.

"Ish. Apaan, sih. Malah aku yang disalahkan," gerutu Dela sembari melipat wajah kesal.

Tiba-tiba suara lemah terdengar dari balik tirai.
“…Rafa…”

Aku tersentak. Wajahku menoleh cepat ke arah ranjang. Suara itu … suara Ibu.

“Ibu sadar!” seru Mya, yang langsung berdiri dan mendekat.

Damar dan Dela refleks mengikuti dari belakangku. Aku segera berjalan masuk, menghampiri ranjang tempat Ibu terbaring.

Di sana, Ibu membuka mata perlahan. Nafasnya masih berat, tapi sudah lebih tenang. Matanya tampak sayu, namun masih mengandung sorot keras yang tak asing.

“Ibu ...,” panggilku lirih sambil menggenggam tangannya. “Alhamdulillah … Ibu sadar juga.”

Ibu menoleh sedikit, suaranya pelan tapi dingin. “Rafa … kamu di sini?”

“Iya, Bu. Kami semua di sini. Ibu sudah ditangani dokter, tensi Ibu tadi tinggi sekali.”

Ia menarik napas pelan, lalu menatapku tajam walau dari balik lemah tubuhnya. “Kamu belum pergi, kan?”

Aku menggeleng pelan. “Belum, Bu. Mana mungkin aku pergi ninggalin Ibu dalam keadaan begini.”

Ia terdiam sejenak. Matanya melirik ke sisi ranjang, melihat Mya berdiri di ujung.

Kemudian, dengan suara serak namun tegas, ia berkata, “Kalau kamu benar-benar sayang Ibu ... ceraikan perempuan itu.”

Jantungku seperti dihantam palu. Aku menatap Ibu, memastikan aku tak salah dengar.

“Apa, Bu …?”

“Ceraikan Mya. Cuma itu mauku biar hidup kita semua tenang,” ucapnya lirih tapi penuh tekanan. “Dia bawa sial. Sejak kamu nikah sama dia, kamu jadi beda. Jadi anak durhaka. Keluarga kita jadi berantakan.”

“Ibu …," bisikku nyaris tak percaya.

Mya yang berdiri di belakangku langsung menunduk. Jemarinya bergetar, mencengkeram kerudungnya erat-erat. Tapi tak satu kata pun keluar dari mulutnya.

NEXT?

PENULIS; LINDA M
Baca di kbm app. Udah bab banyak. Cari judul atau nama penulis

PURA-PURA JADI PENGEMIS BAB 6♥️♥️♥️Belum sempat aku melangkah lebih jauh, suara jeritan Ibu menggema, menggetarkan dindi...
06/07/2025

PURA-PURA JADI PENGEMIS

BAB 6

♥️♥️♥️

Belum sempat aku melangkah lebih jauh, suara jeritan Ibu menggema, menggetarkan dinding rumah.

“RAFAAAA!!!” teriaknya nyaring, penuh amarah yang membuncah.

Aku menoleh. Hanya sepersekian detik sebelum piring yang tadi ada di meja, melayang dan menghantam dinding di sampingku. Pecahannya memercik ke lantai, sebagian hampir mengenai kakiku.

“Kamu gila, Rafa?! kamu mau KELUAR dari rumah ini?! Setelah semua yang ibu berikan ke kamu?! Dasar anak durhaka!”

Suaranya serak dan pecah, namun tak mengurangi nada ancamannya.

Dela refleks berdiri, syok tapi tak bicara. Damar masih diam seperti patung, tapi wajahnya mulai pucat.

"Itu kan yang ibu minta. Kenapa ibu marah?"

“Kalau kamu berani keluar dari rumah ini, kamu kasih ibu dua miliar dulu buat kamu ganti rugi pada ibu. Ganti semua yang sudah ibu habiskan buat kamu dari kecil! Biaya sekolahmu, uang makanmu, bahkan ongkos kamu ke Jepang waktu itu!”

Aku menatapnya, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

“Dua miliar, Bu?” tanyaku pelan, hampir tak percaya.

“Iya!” bentaknya lantang. “Setega itu kamu ninggalin ibu demi perempuan itu?! Kalau kamu mau jadi laki-laki sejati, bayar utangmu sebagai anak! Dua miliar, baru kamu bisa cabut dari rumah ini dengan kepala tegak!”

Aku mencengkeram tanganku sendiri, mencoba tetap tenang meski dadaku mulai sesak oleh emosi yang ditahan. Mataku menatap ibu lekat-lekat.

“Jadi semua ini, pengorbanan ibu selama ini, kasih sayang ibu, semuanya ada harganya?”

Ibu mendesis, matanya melotot. “Jangan sok drama kamu, Rafa. Hidup butuh uang! Ibu bukan robot! Ibu capek ngurusin keluarga ini sendirian sejak ayah kamu meninggal. Sekarang kamu pulang dan membela istri pengangguran, lalu sok ngajarin ibu hemat? Terlalu!”

Aku mengangguk pelan. “Baik, Bu. Kalau memang itu nilai yang ibu pasang buat anak ibu sendiri, aku anggap ini bukan rumah lagi. Tapi tempat sewa.”

Aku berbalik, melangkah meninggalkan ruang makan tanpa menoleh lagi. Tapi langkah kakiku terasa berat, seperti menginjak batu-batu tajam yang menu suk sampai ke hati.

Mya berdiri di ambang pintu kamar, tubuhnya gemetar. Dia pasti mendengar semuanya.

"Ibu marah lagi? Mas bilang apa sama ibu?" tanya Mya.

Aku lantas mengajaknya masuk, dan mengunci pintu rapat-rapat. Kami duduk di pinggir ranj ang.

"Dengar, Mya. Kita harus keluar dari rumah ini. Aku lelah dijadikan sapi perah oleh ibu. Kita akan hidup mandiri. Kita akan sewa kontrakan. Aku masih ada ua ng banyak di tabungan. Ua n g yang nggak pernah aku beritahu ibu. Kita akan menjauh dari mereka."

"Tapi, Mas. Siapa yang akan biayai sekolah Damar dan Dela kalau Mas pergi?"

"Biarkan ibu yang pikirkan sendiri. Aku capek dengar suara ibu, Mya. Aku mau keluar dari rumah ini. Dia bukan ibu yang ikhlas membesarkan anak-anaknya. Ibu terlalu keras kepala."

Mya terdiam. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar. Tapi tak satu pun kata keluar dari mulutnya. Ia hanya menatapku lama, seolah berusaha memahami luka yang selama ini kupendam.

Perlahan, dia menggenggam tanganku. “Kalau itu keputusan Mas, aku ikut. Aku nggak butuh rumah besar, apalagi pujian orang. Aku cuma mau hidup tenang sama Mas.”

Aku mengangguk pelan, lalu mencium keningnya. “Maaf ya, Mya. Harusnya aku lindungi kamu dari awal. Bukan malah membiarkan kamu dihina dan disiksa di rumah ini.”

“Mas sudah lebih dari cukup membelaku. Jangan salahkan diri sendiri.”

Kami terdiam beberapa saat. Tapi tidak lama. Di luar, suara langkah kaki terdengar mendekat. Lalu ….

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan keras di pintu kamar kami.

“RAFA! BUKA PINTUNYA! JANGAN JADI PENGECUT!” jerit Ibu dari balik pintu.

Aku hanya menatap pintu itu tanpa niat bangkit.

“IBU BELUM SELESAI NGOMONG! KAMU BELUM BAYAR DUA MILIAR! JANGAN HARAP BISA PERGI DENGAN MUDAH!”

Lalu suara punggung tangannya menghantam daun pintu keras, membuat Mya tersentak.

“Mas ...,” bisik Mya cemas.

Aku menghela napas panjang, lalu berdiri. Tapi bukan untuk membuka pintu. Aku justru berjalan ke lemari, menarik koper kami, dan mulai mengisinya dengan pakaian.

“Mas beneran mau pergi sekarang?” tanya Mya, pelan.

“Aku nggak mau tunggu lebih lama. Sebelum semuanya makin rusak.”

“RAFA! BUKA PINTUNYA!!” teriak Ibu lagi.

Aku menoleh ke arah pintu, tapi tetap tak bergeming.

“Ibu bisa terus teriak. Tapi aku nggak akan bayar dua miliar untuk rumah ini, atau untuk cinta seorang ibu yang ternyata bersyarat. Aku akan pergi. Dan mulai hidup yang baru.”

Mya memeluk koper kecil di pangkuannya. “Kalau nanti kita susah karena durhaka sama orang tua, gimana, Mas?”

Aku menatapnya. “Aku lebih rela susah sama kamu, daripada hidup mewah tapi disetir dengan ancaman dan rasa bersalah.”

Setelah semua barang terkumpul, aku dan Mya berdiri di depan pintu kamar. Aku membuka kunci pelan-pelan, dan begitu pintu terbuka, aku berhadapan langsung dengan Ibu yang berdiri di depan kami, napasnya memburu, mata penuh api.

“Kamu benar-benar tega, Rafa ...! Baru juga empat tahun nikah, sudah bisa dihasut perempuan sampai ninggalin ibumu sendiri!”

Aku menatapnya tenang.

“Yang aku tinggalkan bukan Ibu, tapi cara Ibu memperlakukan anak-anak Ibu seperti budak. Dan mulai hari ini, rantai itu putus.”

Aku menggenggam tangan Mya, dan kami melangkah keluar. Dela berdiri di ambang dapur dengan wajah sinis. Damar masih di sofa, terpaku.

"Berani kamu melangkah keluar dari rumah ini, ibu akan mengutukmu!" pekik ibu lagi.

Tapi aku tak lagi peduli dengan ancaman ibu. Aku terus melangkah sembari menggenggam tangan istriku.

Namun, tiba-tiba saja ....

BRUK!!!

"IBUUU!!!" pekik Dela dan Damar.

Aku menoleh, ternyata ibu ... jatuh pingsan.

Next?

Di kbm app Udah bab banyak. Cari nama penulis Linda M.

Link ada di komentar

Address

Jakarta

Telephone

+6285974198733

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Unik & Informatif posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share

Category