
06/07/2025
PURA-PURA JADI PENGEMIS
BAB 10
Aku menghela napas panjang, mencoba menepis prasangka buruk yang terus berdengung di kepalaku. “Jangan lebay, Raf,” gumamku pelan. “Ibu mungkin cuma menyesal dan mencoba berubah. Pliss, buang prasangka buruk itu. Berdoa saja semoga ibu benar-benar berubah."
Dengan pikiran itu, aku pun memacu sepeda motor menuju pasar yang jaraknya 5 menit dari rumah.
Jalanan sudah lengang karena orang-orang sudah sampai kantor dan sekolah.
Sesampainya di pasar, aku langsung menuju lapak langganan penjual daging. Seorang ibu paruh baya yang sudah mengenalku sejak kecil menyambut dengan ramah.
“Wah, jarang-jarang kamu ke sini, Mas Rafa. Biasanya Ibumu atau Dela.”
Aku tersenyum tipis. “Iya, Bu. Kali ini Ibu yang minta langsung. Mau masak sup iga, katanya.”
“Wah, pas banget. Daging baru datang tadi pagi. Masih segar,” katanya sambil mulai menimbang beberapa potong iga.
Saat aku menunggu, pandanganku iseng menyapu ke sekeliling. Para pedagang mulai ramai, dan aroma bawang, ayam potong, serta tahu goreng bercampur di udara.
Tapi mataku terpaku ketika melihat sosok di pojok pasar, dekat tumpukan karung goni dan becak tua yang jarang dipakai.
Damar? Adikku?
Bersama dua orang teman seusianya yang masih memakai seragam sekolah tapi mengenakan jaket.
Dan di tangannya, sebatang rokok menyala.
Aku membeku. Antara tak percaya dan langsung terbakar amarah.
Dengan langkah cepat, aku menghampiri mereka. Damar yang sedang tertawa dengan temannya sontak terperanjat begitu melihatku.
“DAMAR!!” bentakku lantang.
Ia memutar tubuh, wajahnya pucat seketika. Rokok di tangannya langsung dijatuhkan dan diinjak buru-buru.
“Ka-kak? ini … bukan aku … maksudnya—”
“BUKAN KAMU? Aku lihat sendiri, Mar! Kamu pikir aku buta?!” bentakku semakin keras.
Teman-temannya langsung bubar, kabur ke arah pasar sayur. Damar menunduk, matanya panik.
“Kak, aku … cuma sekali ini. Tadi diajak doang. Aku nggak niat, sumpah.”
Aku menahan napas, mencoba tidak langsung menampar anak itu di depan umum. “Cuma sekali ini? Di depan umum? Di pasar?! Kamu kira orang-orang nggak kenal kamu anak siapa? Kamu pikir ini keren, hah?!”
“Kak, aku stress …,” jawabnya lirih.
“Stress? Karena apa? Karena aku pulang? Karena Ibu sakit? Karena keadaan rumah? Jelas!! Kamu pikir cuma kamu yang punya beban?!”
Tanganku mencengkeram lengannya kuat. “Kamu ikut aku sekarang. Kita pulang! Kurang ajar kamu berani-beraninya berangkat dari rumah untuk sekolah, tapi kamu malah belok ke pasar."
“Kak, jangan … jangan kasih tahu Ibu. Tolong …,” pintanya ketakutan.
Aku menarik napas dalam. “Kamu sudah mengecewakanku, Damar. Aku akan hubungi kepala sekolahmu, menanyakan berapa kali kamu bolos sekolah."
"Jangan, Kak! Plisss!" Dia makin memelas.
"Nggak ada jangan-jangan! Kamu sudah buatku kecewa. Aku berjuang mati-matian kerja di negara orang, agar kamu bisa sekolah. Aku rela meninggalkan istriku sendiri di rumah cuma buat biaya hidup kalian! Tapi apa balasannya? Kamu malah nggak serius sekolah. Mungkin bukan sekali ini kamu melakukannya, kan? Pasti berkali-kali. Enak sekali kamu merokok masih sekolah. Duit masih minta sama orang tua saja kamu bangga."
“Kak, udah … berhenti marah-marah. Malu dilihatin orang,” ucap Damar lirih, matanya terus menunduk, bibirnya gemetar.
Aku menatapnya tajam, napasku masih berat. Tapi amarahku belum sepenuhnya reda.
“Malu? Kamu baru malu sekarang? Lebih malu lagi aku, Mar. Aku ini kakakmu. Apa kata orang kalau tahu adikku ketahuan merokok di pojok pasar begini?!”
Damar terdiam, menggigit bibir bawahnya.
“Balik sekolah sekarang atau pulang?” tanyaku tegas.
“Nggak dua-duanya, Kak.” Suaranya hampir tak terdengar. “Aku takut Ibu makin marah.”
Aku mendekat, menahan bahu bajunya. “Kamu pikir aku senang nyeret kamu begini? Kamu pikir ini enak buatku?”
Damar menatapku, matanya mulai berkaca-kaca. “Kalau gitu biarin aku sendiri. Aku nggak mau balik ke rumah, dan aku juga nggak mau ke sekolah. Aku … aku lebih baik putus sekolah sekalian!”
Aku tersentak.
“Apa? Kamu bilang apa barusan?”
“Aku capek, Kak. Di rumah tegang terus. Aku ngerasa kayak nggak punya tempat. Jadi daripada terus disalahin, lebih baik aku berhenti sekolah.”
Aku terdiam. Bukan karena tak ada kata, tapi karena dadaku nyeri mendengarnya.
Beberapa detik aku hanya memandangi adikku itu. Lalu aku menarik napas panjang dan berkata pelan, “Dengar, Mar. Hidup memang nggak adil. Tapi putus sekolah bukan jalan keluar. Kamu pikir dengan berhenti semuanya akan selesai? Justru kamu bakal lebih tenggelam.”
Damar hanya membuang muka, masih menahan tangis.
Aku menepuk bahunya lebih lembut kali ini. “Ayo ikut aku sekarang. Kita nggak langsung pulang. Kita duduk dulu. Ngobrol, berdua.”
Ia tak menjawab, tapi langkahnya mulai mengikutiku. Berat, tapi tetap berjalan.
Karena di balik keras kepalanya, aku tahu Damar cuma butuh satu hal, dipahami.
*****
Aku dan Damar sampai rumah sekitar pukul sepuluh lebih sedikit. Sepanjang perjalanan, kami tak banyak bicara. Tapi setelah duduk di warung dan menumpahkan segala unek-uneknya.
“Mulai besok, aku yang antar kamu sampai ke gerbang sekolah. Setiap hari. Kita mulai dari awal lagi, bareng-bareng.”
Damar hanya mengangguk pelan. Tapi aku bisa lihat matanya tak seputus asa tadi. Dan itu cukup buatku.
Lima menit, kami pun sampai di depan rumah. Sepeda motor kuparkir di halaman, dan Damar langsung masuk lebih dulu lewat pintu samping.
Aku baru hendak masuk saat suara teriakan melengking menghentikan langkahku.
“TOLOOONNGGG!!"
next?
Baca di kbm app ya. Udah bab 30. Cari nama penulis Linda M