29/12/2025
Kembali ke Titik Nol: Tragedi Sang Pion yang Terbuang
Dulu, ijazah itu dibanggakan sebagai simbol kuasa dan kecerdasan, tiket emas untuk mendikte dunia sesuai kemauannya. Namun kini, lembaran kertas itu hanyalah artefak bisu. Sang tersangka, yang terbiasa hidup dengan "terlalu banyak minta"—meminta pengecualian, meminta privasi berlebih, hingga meminta hukum tunduk pada telunjuknya—kini kehilangan daya tawar.
Ia adalah sutradara dari narasinya sendiri. Dengan lihai, ia meracik bumbu cerita, memutarbalikkan fakta seolah dialah sang protagonis yang terzalimi. Baginya, dunia adalah panggung sandiwara di mana semua orang harus memujanya. Namun, ia terlalu buta untuk menyadari bahwa di mata para pendukungnya—Roy, Rismon, dan Tifa—ia hanyalah sebuah alat.
Kini, pemandangan berbalik 180 derajat. Mereka yang dulu berdiri di barisan depan, kini tertawa sinis di belakang punggungnya. Mereka melihatnya bukan lagi sebagai pemimpin, melainkan hanya sebagai pion yang penuh ambisi kosong. Di ruang-ruang gelap, para dalang yang sesungguhnya telah menutup buku tentangnya. Baginya, sang tersangka sudah "kadaluwarsa". Tanpa belas kasihan, para dalang ini mulai sibuk memoles wajah-wajah segar, mencari pion baru yang lebih patuh dan tidak banyak tingkah untuk melanjutkan agenda mereka.
Puncaknya adalah saat drama "kezhaliman" yang ia ciptakan meledak di wajahnya sendiri. Di hadapan kamera dan persidangan, ia mencoba memainkan kartu terakhir: air mata. Ia "mewek", meratap, dan berseru bahwa ia dizhalimi oleh orang-orangnya sendiri. Ia kaget mendapati bahwa Roy, Rismon, dan Tifa kini justru ikut menertawakan kejatuhannya mencibir setiap narasi yang dulu mereka dukung. Ia merasa dikhianati, padahal ia hanya sedang menuai badai dari angin yang ia tanam.
Kini, kegelisahan bukan lagi sekadar tamu yang datang saat malam; kegelisahan telah menjadi penghuni tetap dalam dadanya. Rasa cemas itu nyata, berdenyut di nadi, membisikkan bahwa waktu telah habis. Tidak ada lagi tangan-tangan yang bisa disuap, tidak ada lagi telinga yang mau mendengar dongeng konyolnya.
Di ujung jalan ini, yang menyambutnya bukan lagi karpet merah atau tepuk tangan, melainkan dinginnya jeruji besi. Bilik penjara kini nyata menanti. Sebuah ruang sempit yang akan menjadi tempatnya belajar satu hal yang selama ini ia abaikan: bahwa di hadapan keadilan dan permainan politik yang kejam, ia bukan siapa-siapa. Ia kembali ke titik nol, tanpa gelar, tanpa puja-puji, hanya seorang manusia yang harus mempertanggungjawabkan setiap bumbu cerita yang pernah ia tebar, sementara dunia di luar sana sudah sibuk dengan pion yang baru.
✍️Lentera Merah Putih