02/07/2025
Pasti kita pernah menjumpai cerita ini di media sosial, atau bahkan di lingkungan sekitar: orang tua yang bingung mau kuliahkan anak ke mana, lalu muncul pilihan mengejutkan, kuliah di Malaysia. Negara serumpun yang dulu mendatangkan guru dari Indonesia, kini justru menjadi destinasi pendidikan bergengsi yang lebih terjangkau, lebih kompetitif, dan lebih terbuka pada kolaborasi internasional.
Pada tahun 1960-an, Indonesia masih dianggap sebagai pusat pendidikan di Asia Tenggara. Bahkan tercatat dalam sejarah, Malaysia mengimpor ribuan guru dari Indonesia untuk memperkuat sistem pendidikannya yang masih lemah saat itu.
Tapi kini, arah angin berubah total. Malaysia melalui perencanaan yang sistematis dan konsisten berhasil melesat meninggalkan Indonesia. Kuala Lumpur, misalnya, terpilih sebagai kota pelajar terbaik kedua di Asia Tenggara setelah Singapura menurut QS Best Student Cities. Sementara itu, Jakarta bahkan tidak masuk dalam daftar. Universiti Malaya (UM) juga terus naik peringkat di QS World University Rankings dan kini bertengger di posisi 65 dunia. Sebaliknya, Universitas Indonesia (UI) masih tertahan di sekitar peringkat 200-an.
Keunggulan Malaysia tidak hanya tampak dari peringkat, tetapi juga dari strategi kebijakan. Mereka memiliki visi pendidikan jangka panjang melalui Malaysia Education Blueprint 2013–2025. Pemerintahnya fokus meningkatkan kualitas guru, infrastruktur pendidikan, serta konektivitas global. Bahkan banyak universitas asing membuka kampus cabang di Malaysia, seperti Monash dan Nottingham, sebagai bentuk kepercayaan terhadap ekosistem akademiknya.
Di sisi lain, Indonesia masih berkutat dengan masalah klasik: kurikulum yang sering berganti, guru honorer yang belum sejahtera, dan kebijakan pendidikan yang berubah-ubah tergantung menteri. Padahal menurut Prof. Arief Rachman, kebijakan pendidikan seharusnya tidak boleh terlalu politis dan harus bersifat jangka panjang. Tanpa peta jalan yang konsisten, mustahil kualitas pendidikan akan melonjak signifikan.
Ironisnya lagi, dari segi biaya pendidikan, Malaysia justru menawarkan harga yang lebih bersahabat. Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai sumber resmi seperti DetikEdu dan situs EducationOne, biaya kuliah di universitas negeri ternama Malaysia seperti Universiti Malaya atau UTM untuk jurusan teknik berkisar antara 36 juta hingga 43 juta per semester. Bandingkan dengan jalur mandiri kampus negeri Indonesia seperti UI atau ITB yang bisa mencapa 50 juta per semester ditambah uang pangkal belasan hingga puluhan juta rupiah. Di UGM pun, jurusan yang sama menelan biaya 98 juta dengan uang pangkal sekitar 30 juta. Ini artinya, studi S1 di Malaysia tak hanya lebih murah, tapi juga kualitasnya tidak kalah, bahkan bisa dikatakan unggul.
Banyak orang tua dan siswa Indonesia yang kini melirik Malaysia sebagai solusi. Selain kualitas akademik yang meningkat, biaya hidup di Malaysia juga masih terjangkau, sekitar 3–5 juta per bulan, tergantung kota dan gaya hidup. Sebuah keputusan yang realistis ketika biaya kuliah dan hidup di Jakarta atau kota besar lainnya justru makin tinggi tanpa jaminan mutu yang sepadan.
Jika kita telisik lebih dalam, akar masalahnya bukan hanya pada anggaran. Secara nominal, 20% APBN Indonesia memang dialokasikan untuk pendidikan. Tapi pertanyaannya, ke mana dana itu mengalir? Banyak laporan menyebutkan bahwa dana lebih banyak tersedot ke belanja birokrasi dan administrasi, bukan langsung ke gaji guru, pelatihan pengajar, atau riset dan inovasi pembelajaran. Malaysia justru mendistribusikan anggaran mereka lebih strategis, mengembangkan riset, memfasilitasi guru, dan memperkuat institusi pendidikan vokasi.
Malaysia juga telah lama mengadopsi pendekatan pendidikan vokasional dengan serius. Melalui program Technical and Vocational Education and Training (TVET), mereka membangun generasi muda yang siap kerja, siap bersaing, dan memiliki skill praktikal. Program ini didorong secara nasional dan dijalankan dengan dukungan sektor industri. Indonesia masih kalah jauh dalam hal ini. Pendidikan vokasi di tanah air masih dipandang sebelah mata, padahal bisa jadi kunci pengurangan pengangguran pemuda.
Di tengah semua perbandingan itu, fakta paling mencolok justru datang dari hasil Global Talent Competitiveness Index tahun 2023. Malaysia berada di peringkat 33 dunia, jauh di atas Indonesia yang berada di posisi 77. Ini bukan hanya soal angka, ini soal kesiapan sumber daya manusia, soal kualitas masa depan bangsa.
Kita tidak sedang membandingkan untuk menjatuhkan. Sebaliknya, ini adalah cermin. Cermin yang memperlihatkan betapa tertinggalnya kita dari negara yang dulu kita bantu bangun. Ini bukan tentang siapa lebih hebat, tapi siapa yang lebih serius membangun bangsanya lewat pendidikan.
Solusinya? Sudah saatnya Indonesia berhenti hanya bangga dengan masa lalu. Perlu tindakan nyata untuk mengejar ketertinggalan. Kurikulum harus distabilkan, tidak boleh jadi ajang coba-coba tiap ganti pemimpin. Guru harus diberi gaji dan pelatihan layak agar semangat dan kualitas mereka meningkat. Dana pendidikan harus benar-benar digunakan untuk belajar, bukan sekadar belanja birokrasi. Selain itu, kampus Indonesia harus membuka diri terhadap dunia luar, menjalin kerja sama global, dan menjadikan riset sebagai nadi kehidupan akademik.
Lebih dari itu, pemerintah harus mendorong pendidikan vokasi agar tak lagi dianggap kelas dua. Kita butuh lebih banyak teknisi, ahli manufaktur, programmer, dan pekerja terampil lainnya—bukan hanya lulusan sarjana tanpa keahlian praktikal.
Ini bukan mimpi yang mustahil. Kita bisa. Tapi kita butuh keberanian untuk berubah. Butuh pemimpin yang berani memprioritaskan masa depan bangsa daripada sekadar pencitraan jangka pendek. Butuh rakyat yang sadar bahwa pendidikan bukan hanya soal ijazah, tapi soal martabat dan keberdayaan.
Kita sudah terlalu lama bangga menjadi negara besar. Kini waktunya kita membuktikan bahwa kita juga bisa menjadi negara pintar. Jika Malaysia bisa, kenapa kita tidak? Bukan karena kita kurang cerdas, tapi karena kita terlalu sering lalai, dan terlalu lama menunda kemajuan.
Sekarang, mari kita ambil sikap. Kita jangan lagi mengeluh soal mahalnya kuliah di negeri sendiri sambil mengabaikan kualitas. Saatnya menuntut perubahan yang konkret. Ayo kita kawal pendidikan, kita kritik bila perlu, dan kita dukung jika baik. Jangan wariskan pendidikan yang carut-marut ini ke generasi berikutnya. Mari benahi bersama. Demi masa depan yang tidak hanya merdeka secara politik, tapi juga cerdas dan berdaya secara pendidikan.
---
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.