18/10/2024
"CINTAI DIRIKU"
Bagian 1: Awal Perjodohan
Di sebuah desa yang asri, di kaki pegunungan, hiduplah seorang pemuda bernama Arga. Arga adalah putra tunggal dari Pak Surya, seorang petani kaya yang disegani di desanya. Sejak kecil, Arga dibesarkan dengan penuh disiplin dan kasih sayang, menjadikannya pria yang tangguh, cerdas, dan bertanggung jawab. Namun, di balik semua itu, Arga memiliki satu prinsip kuat: ia tidak ingin dijodohkan. Baginya, cinta adalah sesuatu yang harus datang dari hati, bukan hasil dari perjanjian antar orang tua.
Suatu sore, setelah Arga pulang dari sawah, ayahnya memanggilnya untuk duduk di beranda rumah mereka. Di situ, Pak Surya dengan nada serius membuka pembicaraan tentang perjodohan.
“Arga, Ayah sudah lama ingin bicara tentang ini. Kau sudah dewasa, dan saatnya kau memikirkan masa depanmu,” kata Pak Surya sambil menatap putranya dalam-dalam.
Arga yang sudah menduga arah pembicaraan ini hanya diam, menunggu apa yang akan disampaikan ayahnya.
“Kau tahu, Ayah punya seorang sahabat, Pak Arman. Kami bersahabat sejak muda. Kami punya rencana, Arga. Sejak dulu, Ayah dan Pak Arman sepakat bahwa jika kami berdua dikaruniai anak laki-laki dan perempuan, mereka akan dijodohkan. Dan kini, Ayah ingin kau bertemu dengan anaknya, Sinta.”
Mendengar hal ini, hati Arga langsung memberontak. Ia tahu betul bahwa ayahnya sangat menghargai janji persahabatan, tapi ia juga tidak ingin dipaksa menikah dengan seseorang yang belum pernah ia kenal.
“Yah, aku belum siap menikah. Apalagi dijodohkan. Bukankah lebih baik jika aku memilih sendiri siapa yang akan menjadi pendampingku?” kata Arga mencoba mengungkapkan isi hatinya.
Pak Surya terdiam sejenak, memandang wajah putranya yang penuh tekad. “Arga, Ayah mengerti keinginanmu. Tapi Sinta bukan gadis sembarangan. Dia sangat baik, berbudi pekerti luhur, dan ayah yakin dia bisa menjadi istri yang baik untukmu. Lagipula, ini bukan hanya tentang kita, ini tentang keluarga.”
Dengan rasa enggan, Arga akhirnya setuju untuk bertemu dengan Sinta. “Baiklah, Yah. Aku akan menemuinya. Tapi jangan berharap lebih dariku. Aku tidak bisa berjanji apa pun.”
Bagian 2: Pertemuan Pertama
Beberapa hari kemudian, keluarga Pak Surya mengatur pertemuan antara Arga dan Sinta. Pertemuan itu diadakan di rumah Pak Arman, yang terletak tak jauh dari rumah mereka. Arga pergi dengan perasaan yang campur aduk. Meski ia menghormati ayahnya, di dalam hati ia masih menolak gagasan perjodohan ini.
Ketika mereka tiba, Sinta telah menunggu di ruang tamu bersama keluarganya. Arga melihat sosok gadis itu untuk pertama kalinya—dia sederhana, dengan senyum yang lembut dan tatapan mata yang tenang. Sinta mengenakan kebaya sederhana berwarna putih yang memperlihatkan kesopanan dan kelembutan hatinya.
"Ini Sinta," kata Pak Arman memperkenalkan putrinya dengan bangga. "Anak yang selalu menjadi kebanggaan keluarga kami."
Arga hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Ia mencoba bersikap ramah, meski dalam hatinya ia merasa canggung. Mereka duduk bersama, mengobrol ringan tentang banyak hal—tentang desa, keluarga, dan kehidupan. Sinta tampak anggun dan santun, mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Arga berbicara, dan membalas dengan kata-kata yang halus.
Namun, semakin lama perbincangan berlangsung, semakin Arga merasa dirinya semakin terperangkap dalam situasi yang tidak diinginkannya. Bagaimana pun baiknya Sinta, ia tetap merasa bahwa pernikahan ini bukanlah keputusannya.
Setelah beberapa saat, Arga pamit pulang. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya berkecamuk. Sinta memang terlihat baik, bahkan sempurna dalam banyak hal, tetapi hati Arga tetap berontak. Ia ingin menemukan cinta dengan caranya sendiri, bukan karena ikatan janji orang tua.
Namun, sebuah perasaan aneh muncul dalam dirinya. Meski enggan, Arga tak bisa memungkiri bahwa Sinta memiliki pesona yang berbeda. Kesederhanaannya, kelembutannya, dan cara dia menghargai setiap kata-kata yang keluar dari mulut Arga, meninggalkan kesan yang tak terduga.
Bagian 3: Kebimbangan Arga
Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan dengan penuh kebimbangan bagi Arga. Setiap kali ia mengingat Sinta, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa perjodohan ini bukanlah jalan yang diinginkannya, tetapi bayangan Sinta tak bisa hilang dari pikirannya.
Suatu sore, Arga berbincang dengan sahabatnya, Bima, seorang pria yang selalu menjadi pendengar setia Arga.
"Aku tidak mengerti, Bim. Sinta memang baik, terlalu baik bahkan. Tapi, aku tidak ingin pernikahanku dimulai dari sesuatu yang dipaksakan. Bukankah cinta seharusnya tumbuh dengan sendirinya?" kata Arga sambil menghela napas.
Bima tersenyum. "Aku mengerti perasaanmu, Ga. Tapi terkadang, cinta itu bisa datang dari arah yang tidak kita duga. Kau mungkin belum merasakannya sekarang, tapi siapa tahu, kalau kau memberinya kesempatan, perasaan itu akan tumbuh."
Arga terdiam. Kata-kata Bima membuatnya berpikir. Apakah mungkin ia terlalu cepat menutup diri? Apakah mungkin Sinta memang bisa menjadi seseorang yang ia cintai, jika ia memberinya waktu?
Di sisi lain, Arga tidak ingin menjalani hidup dengan beban yang salah. Ia tak ingin menikah hanya untuk menyenangkan orang tua, namun tak memiliki cinta yang sejati dalam pernikahannya. Kebimbangan ini terus menghantui pikirannya, membuatnya merasa tersesat di persimpangan jalan yang rumit.
(Bersambung ke Bagian 4: Kesempatan yang Tak Terduga)