12/05/2025
Di kamp pengungsi Mieh Mieh di Lebanon Selatan, tinggal Umm Anwar, seorang pengungsi dari desa Miron, Distrik Safad. Ia terpaksa meninggalkan desanya saat masih kecil, tetapi akar kehidupannya tetap tertanam dalam, melampaui batas-batas kamp.
Ia tidak pernah belajar keperawatan di universitas atau institusi, tetapi menguasainya karena kebutuhan. Dari tujuh anak yang ia lahirkan, lima meninggal karena sakit. Suaminya, seorang pejuang perlawanan terhadap pendudukan, sering kali pergi jauh dari rumah hingga akhirnya menghilang selamanya.
Ketidakhadiran suaminya berat, dan kehadirannya pun selalu sementara. Dalam kesepiannya, Umm Anwar bekerja sebagai perawat siang dan malam, merawat anak-anaknya dengan penuh cinta dan kesabaran.
Di halaman rumahnya yang kecil, ia menanam pohon zaitun lebih dari tiga puluh tahun lalu. Ia berkata, “Aku tak bisa kembali ke Miron... tetapi pohon zaitun ini mengingatkanku pada ayahku, seorang petani, yang tidak akan meninggalkan tanahnya kecuali menuju ke barat.”
Ia menambahkan, “Aku membawa batu ini dari tanah kami... dari bawah rumah.”
Hari ini, yang tersisa dari keluarganya hanyalah namanya, sebuah pohon, sebuah batu, dan kenangan. Hajja Umm Anwar bukan hanya saksi dari Nakba, tetapi juga bukti hidup bahwa akar dapat dicabut dari tanah, namun tidak dari hati.
Kisah ini merupakan bagian dari proyek novel grafis Untold, berjudul Sham oleh fotografer Wafiq Abdel. Sebuah kisah yang mencerminkan keteguhan dan warisan yang tak terhapuskan.