Wida Novianti Official

Wida Novianti Official Jalani Hidup Sebaik-baiknya

Aku menumpahkan rujak pedas ke muka istriku karena geram dia ngidam tengah malam. Aku pikir dia hanya akan menangis, ter...
14/04/2025

Aku menumpahkan rujak pedas ke muka istriku karena geram dia ngidam tengah malam. Aku pikir dia hanya akan menangis, ternyata dia membuatku panik karena melakukan ini ....

••

BAB 1: RUJAK PEDAS DI MUKA ISTRIKU

“Mas ... Mas Adrian. Tolong ....” Anaya menggoyang-goyangkan tubuhku. Suaranya terdengar memelas membuatku semakin kesal.

“Diam, Ana! Mas mau tidur.” Aku bergumam sambil memejamkan mata, berharap dia menyerah.

“Tapi Ana ingin banget rujak, Mas. Rasanya udah di lidah. Tolong d**g, Mas. Ana mau sekarang.”

“An, ini udah malam. Mana ada yang jual rujak malam-malam begini?”

“Coba aja cari dulu, ya.”

Aku memutar badan, membelakangi Ana. Malam ini dia benar-benar menyebalkan. Aku hanya ingin tidur, tapi dia terus mengganggu dengan rengekannya. Aku tahu ini soal ngidam, tapi tetap saja, mana mungkin ada yang jual rujak sekarang?

“Mas, Ana mohon. Sekali ini aja, ya? Demi baby....”

Aku mendengus kesal. Suaranya semakin panas di telingaku. Nada melasnya terasa seperti paku yang menghunjam kepala. Jantungku berdegup kencang, tapi bukan karena kasih sayang, melainkan amarah.

Tanpa sepatah kata, aku bangkit dari tempat tidur. Meraih jaket dan kunci motor di atas meja.
“Mau ke mana, Mas?” tanya Ana dengan mata berbinar.

“Beli rujak,” jawabku pendek sambil lalu.

“Jangan terlalu pedas ya, Mas. Makasih.” Dia tersenyum lebar, seolah lupa betapa kesalnya aku tadi.

Aku hanya menggumamkan “Hem” sebelum menutup pintu. Bersama rasa kesal yang memuncak, kuhidupkan motor dan melaju tanpa tujuan.

*

Jarak satu kilometer dari rumah, rengekan Ana masih terngiang di telinga. Aku tahu, aku tidak benar-benar keluar untuk mencari rujak. Aku hanya ingin menenangkan diri. Hidupku sudah cukup rumit tanpa tambahan drama seperti ini.

Aku menikahi Anaya Sarah Azzahra bukan karena cinta. Hanya permintaan orang tua yang tak bisa kutolak. Sebelumnya, aku sudah memiliki kekasih, Ketrin , tapi ibuku tak pernah menyukainya. Baginya, Ketrin terlalu modern, tidak cocok menjadi menantunya. Saat ibu menjodohkanku dengan Ana, aku sempat menolak. Namun, melihat kondisi kesehatan Ibu yang terus menurun, aku akhirnya menyerah.

Menyerah bukan berarti menerima. Meskipun kata orang-orang Ana cantik dan salihah, aku tak pernah mencintainya. Bahkan setelah kami menikah, rasa itu tak pernah tumbuh. Ketika dia hamil setelah satu tahun pernikahan, aku tahu aku harus bertanggung jawab. Tapi rasa sayang itu tetap tak ada.

Aku terus mengendarai motor tanpa arah. Hingga di salah satu sudut kota, aku melihat pedagang rujak yang masih buka. Entah ini keberuntungan atau justru bencana, aku tiba-tiba punya ide.

“Pak, saya pesan rujak yang sangat pedas. Level seratus sekalian,” kataku dengan nada tegas.

“Segini cukup, Mas?” tanya pedagang itu sambil menunjukkan cabai yang sudah ia siapkan.

“Kurang. Tambah lagi.” Aku mengambil segenggam cabai dari wadahnya dan menaruhnya di atas ulekan.

“Mas, kalau terlalu banyak bisa bahaya.”

“Gak apa-apa. Bapak tinggal buat saja. Saya bayar berapa pun.”

Pedagang itu menggeleng pelan, tapi tetap mengulek rujak pesananku. Beberapa menit kemudian, sebungkus rujak super pedas ada di tanganku. Aku kembali ke rumah dengan perasaan puas yang aneh.

*

“Mas, dapat?” tanya Ana begitu aku masuk. Wajahnya penuh harap.

Tanpa bicara, aku menyerahkan bungkusan itu padanya. Dia buru-buru membukanya dengan sangat antusias. Ana mencicipi sepotong mangga muda.

“Bweeeh!” Ana memuntahkan potongan itu. “Pedas banget, Mas!”

“Kenapa? Tidak suka?” tanyaku dengan nada dingin.

“Ini pedas banget. Ana nggak bisa makan, Mas.”

“Pedas mulutmu!” Aku melemparkan sisa rujak itu ke wajahnya. Potongan mangga dan sambal berhamburan, sebagian mengenai rambut dan bajunya.

“Ah, panas ... panas ....” Ana mengusap mata, lantas buru-buru pergi ke dapur. Suara keran terdengar kemudian, sepertinya Ana sedang mencuci mukanya.

Aku tak peduli. Dengan kasar, aku berbalik menuju kamar. Langkahku berat, bukan karena penyesalan, tapi karena kemarahan yang belum surut. Aku membanting pintu dan merebahkan diri di atas kasur, mencoba memaksa tidur di tengah gejolak yang terus membakar dada.

Malam itu, aku tidur dengan hati yang penuh amarah, tanpa sedikit pun rasa bersalah.

*

Esok paginya, aku bangun kesiangan. Tidak ada suara Ana yang membangunkan. Jendela kamar bahkan masih tertutup rapat padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Ke mana Ana, biasanya dia sudah bawel dari subuh.

“An, Ana? Kenapa tidak membangunkan? Ini sudah siang, Mas bisa kesiangan.” Aku buru-buru ke dapur. Mencari Ana dan mau mandi juga.

Dadaku mencelos saat mendapati rumah terlalu sepi. Tidak ada suara orang yang sedang masak seperti biasanya. Lampu rumah masih menyala, dan jendela pun tertutup rapat.

“An ... Ana....” Aku mencari Ana ke semua tempat. Aku merasa dada agak berat. Entah karena apa.

“Ana ... Anaya ....”

Aku kembali ke kamar. Membuka ponsel dan mengecek pesan.

“Mas, Ana pergi. Ana sekarang sadar bahwa Mas Adrian tidak pernah dan tidak akan mungkin mencintai Ana. Ana tidak ingin semakin banyak dosa atas hubungan yang tidak Mas inginkan ini. Ana izin membawa pergi buah hati kita. Ana akan mencukupkan cinta kasih untuknya. Semoga Mas menemukan kebahagiaan yang selama ini Mas harapkan.”

Aku terpaku membaca pesan itu. Tangan dan kaki mendadak lemas. Dadaku tiba-tiba nyeri dan berat. Beberapa ketakutan membayang dalam pelupuk mata.

Tidak, Ana! Kamu jangan pergi!

Bersambung ....
Penulis: Nendia
Judul: Rujak Pedas di Muka Istriku

Nonton bareng bestaaiii...
14/04/2025

Nonton bareng bestaaiii...

Assalammualaikum...
05/02/2025

Assalammualaikum...

Address

Pasar Minggu
Jakarta

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Wida Novianti Official posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share