Tiwi Ono

Tiwi Ono Memintal benang-benang kehidupan & menenunnya dalam sebuah cerita sederhana.

Sepotong Mimpi di Balik RodaMini cerbung oleh Tiwi LarasatiRoda-Roda Doa (Selesai) Waktu berjalan cepat. Rasanya baru ke...
03/07/2025

Sepotong Mimpi di Balik Roda
Mini cerbung oleh Tiwi Larasati

Roda-Roda Doa (Selesai)

Waktu berjalan cepat. Rasanya baru kemarin aku menangis dalam pelukan Ayah sambil berjanji tak akan malu lagi. Tapi hari ini, aku berdiri di atas mimpi yang dulu Ayah titipkan di keningku—mimpi yang ia tempelkan setiap subuh sebelum motor tuanya menembus gelap kota.

Aku lulus kuliah. Aku bekerja. Aku membeli motor baru untuk Ayah, meski Ayah menolak berkali-kali.

“Untuk apa, Nak? Motor lama Ayah masih bisa jalan…” katanya sambil menepuk bodi motor tuanya yang suaranya sudah serak.

Aku memaksa. Aku ingin Ayah lebih aman, lebih nyaman. Tapi Ayah hanya menepuk pundakku sambil tertawa kecil, “Kalau motornya baru, Ayah malu. Nanti nggak ketahuan mana driver senior, mana driver baru…”

Begitulah Ayah. Sederhana sampai napasnya habis.
---
Pagi itu, aku p**ang lebih cepat dari kantor. Ibu menelepon dengan suara gemetar. “Nak, Ayah… pingsan di pinggir jalan. Motornya terparkir di dekat masjid…”

Dunia rasanya berputar. Aku berlari, menembus kemacetan.

Di bangku rumah sakit, aku duduk memegangi tangan Ayah yang dingin. Katanya Ayah terlalu lelah, terlalu sering memaksa tubuhnya menahan hujan dan panas.

Dokter bilang Ayah perlu istirahat panjang, tapi Tuhan lebih rindu pada pahlawan jalanan itu.
Ayah pergi, masih mengenakan jaket kebanggaannya. Masih dengan senyum kecil yang seolah tak mau hilang.
---
Beberapa tahun setelahnya, di depan pusara Ayah --- aku berdiri sambil membawa helm dan jaket Ayah yang sudah pudar. Aku menatap batu nisan itu lama sekali. Tanganku gemetar. Di sampingku, Ibu menggenggam bahuku erat.

“Ayah… motor itu kini berhenti. Tapi roda-roda doa Ayah nggak pernah padam. Roda itulah yang membuatku berdiri di sini, jadi orang yang Ayah mau…”

Aku menunduk, membisikkan doa. Angin pagi menampar pipiku, dingin, tapi entah kenapa terasa hangat.

Aku sadar, pahlawan tak selalu punya pedang. Tak selalu punya pangkat. Kadang mereka hanya punya jaket lusuh, helm retak, dan motor tua yang meraung di jalanan kota. Pahlawan itu bernama Ayah.
Terima kasih, Ayah.
Engkau pahlawan kami.
Meski tanpa selempang,
tanpa tepuk tangan,
tanpa sorak-sorai.
Engkau tetap pahlawan di jalanan,
di rumah ini,dan di setiap doa kami.

Sepotong Mimpi di Balik RodaMini cerbung oleh Tiwi LarasatiPahlawan Tanpa Selempang (Bagian 4 dari 5) Hari itu, langit m...
03/07/2025

Sepotong Mimpi di Balik Roda
Mini cerbung oleh Tiwi Larasati

Pahlawan Tanpa Selempang (Bagian 4 dari 5)

Hari itu, langit mendung lagi. Aku duduk di bangku paling pojok di kelas. Suara teman-teman terdengar samar. Tapi bisikan mereka tak pernah benar-benar hilang.

“Itu kan bapaknya Dika, yang ngojek di depan minimarket? Hahaha… Kasihan banget.”

Aku menggenggam ujung lengan bajuku. Rasanya panas di dada. Telingaku merah. Kata-kata itu seperti duri yang menancap pelan tapi dalam. Aku p**ang dengan langkah berat, menahan air mata agar tidak tumpah di depan gerbang sekolah.

Di gang rumah, motor Ayah terparkir miring, ban belakangnya kempis. Aku melihat Ayah berjongkok, tangannya hitam oleh oli, berusaha menambal ban dengan alat tambal seadanya. Jaket Ayah penuh noda lumpur kering. Aku berdiri terpaku di ujung gang. Seseorang yang tadi kututup-tutupi dari teman-temanku, sekarang kulihat begitu nyata, seorang pahlawan tanpa selempang.
---
Di dalam rumah, Ibu membantunya membersihkan luka lecet di siku Ayah. Ternyata motor Ayah tergelincir di jalan becek waktu mengantar penumpang ke gang sempit. Ayah jatuh, lututnya memar. Tapi senyumnya tetap sama, tulus, seolah rasa sakit bukan apa-apa.

“Maaf ya, p**angnya telat lagi. Orderannya nggak banyak. Motornya mogok p**a,” kata Ayah pelan sambil menahan perih.

Aku hanya bisa berdiri di dekat pintu. Tangan ini ingin menarik Ayah ke pelukanku, tapi bibirku kaku. Air mataku menetes begitu saja, jatuh di lantai.

“Ayah…”

Ayah menoleh. Matanya masih bisa tersenyum meski tubuhnya gemetar.

“Ayah nggak apa-apa, Nak. Yang penting kalian makan cukup.”

Kata-kata itu membuat tangisku pecah. Aku berlari memeluk Ayah. Bahu Ayah dingin, jaketnya masih basah lumpur. Tapi kehangatan itu yang paling nyata dalam hidupku.

“Aku minta maaf, Yah… Dika janji nggak akan pernah malu lagi. Ayah itu pahlawan Dika…”

Ayah terdiam, lalu mengusap kepalaku pelan. “Ayah cuma ngojek, Nak. Pahlawan apanya…”

Ibu menatap kami dengan mata berkaca-kaca. Sambil tersenyum, Ibu menyiapkan telur dadar hangat dan nasi sisa semalam.

Malam itu, seperti biasa kami sekeluarga berkumpul makan di lantai. Hanya nasi, telur, dan kecap. Tapi rasanya seperti jamuan termahal di dunia.

Aku menatap wajah Ayah, penuh peluh dan luka, tapi juga penuh cinta. Tak butuh selempang di dada, tak butuh medali. Bagiku, Ayah adalah pahlawan yang selalu menang --- meski mungkin, berkali-kali dianggap kalah oleh keadaan.

Sepotong Mimpi di Balik RodaMini cerbung oleh Tiwi LarasatiMalam Tanpa Bintang (Bagian 3 dari 5)Hujan turun tak kunjung ...
03/07/2025

Sepotong Mimpi di Balik Roda
Mini cerbung oleh Tiwi Larasati

Malam Tanpa Bintang (Bagian 3 dari 5)

Hujan turun tak kunjung reda malam ini. Angin menampar genting rumah kami yang sudah miring.

Di ruang tamu, ibu duduk menatap pintu, menimang HP Ayah yang tadi tertinggal di meja makan. Aku duduk bersila di samping Ibu, menatap jam dinding yang jarumnya terasa malas bergerak.

“Ayah kenapa belum p**ang, Bu?” tanyaku pelan. Suaraku terdengar lebih mirip bisikan ketakutan.

Ibu hanya mengelus punggung tanganku. “Mungkin hujan deras, Nak. Sabar, ya.”

Aku menunduk, menahan amarah. Di dalam hati, ada suara kecil yang menjerit, "Kenapa harus Ayah yang selalu basah di jalan? Kenapa harus Ayah yang dingin-dingin menembus hujan, demi orang-orang yang tak pernah tahu siapa dia?

Aku menahan diri untuk tidak marah pada Ibu. Aku tahu, bukan salah Ibu. Bukan salah siapa-siapa. Hanya nasib yang membuat Ayah harus menjemput rupiah dari peluh dan sabar.
---
Lama kami menunggu. Aku bosan, lalu iseng membuka HP Ayah. Di sana, aplikasi ojek online masih aktif. Notifikasi masuk dan masuk lagi. Tapi yang membuat dadaku sesak adalah chat dari penumpang. Ada yang marah karena Ayah datang terlambat saat hujan, ada yang membatalkan order seenaknya. Bahkan ada yang menuduh Ayah sengaja putar-putar jalan supaya tarif naik.

Mataku panas. Tanganku bergetar. Rasanya ingin sekali kubalas semua pesan kasar itu. Tapi apa gunanya?

Ibu melihatku, lalu bercerita pelan, seolah khawatir hatiku akan pecah.

“Kau tahu, Dika… Dulu, sebelum Ayah ngojek, motornya Ayah itu satu-satunya harta kita. Tapi Ayah jual, biar kamu tetap sekolah. Waktu itu kita makan hanya pakai garam. Ayah jalan kaki ke sana-sini cari pinjaman. Akhirnya bisa beli motor bekas. Sejak itu Ayah ngojek, biar kamu sama adikmu nggak berhenti sekolah…”

Suara Ibu bergetar, matanya basah. Aku menunduk makin dalam. Rasa malu yang dulu sering menyelinap di dadaku, sekarang berganti jadi pedih.

Betapa aku pernah merasa menyalahkan Ayah hanya karena tas dan sepatu sekolahku tak sebagus teman-teman. Betapa aku pernah pura-pura tak kenal Ayah saat motornya berhenti di depan gerbang sekolah.

Dan kini, di malam yang dingin dan gelap ini, aku hanya ingin Ayah p**ang dengan selamat.
---
Pintu kayu berderit. Sosok ayah muncul, tubuhnya basah kuyup, jaketnya meneteskan air ke lantai. Helmnya basah. Tapi di balik wajah letihnya, Ayah tersenyum.

“Maaf, hujan deras… Ayah telat.”
Aku menatap Ayah lama sekali. Ingin rasanya aku berlari memeluknya. Tapi suaraku tercekat. Aku hanya bisa menggenggam HP Ayah erat-erat.

Dalam hati aku berbisik, Ayah, maafkan aku yang pernah malu karena pekerjaanmu.

Sepotong Mimpi di Balik RodaMini cerbung oleh Tiwi LarasatiPeluh di Balik Roda (Bagian 2 dari 5) Langit mulai merekah me...
03/07/2025

Sepotong Mimpi di Balik Roda
Mini cerbung oleh Tiwi Larasati

Peluh di Balik Roda (Bagian 2 dari 5)

Langit mulai merekah merah saat Ayah menyalakan motor tuanya. Knalpotnya meraung pendek, batuk-batuk sebentar sebelum benar-benar hidup.

Di punggungnya, jaket tebal dengan tulisan “Go**k” sudah memudar warnanya, menempel setia meski tak lagi menahan dingin dengan sempurna.

Di jalanan, Ayah seperti pelangi yang tak pernah terlihat. Menyelinap di sela-sela kemacetan, membunyikan klakson pelan, berharap mobil-mobil mewah itu mau sedikit bergeser agar ia bisa lewat.

Kadang Ayah berhenti di pinggir trotoar, membuka ponselnya, menunggu notifikasi masuk. Kalau rezeki baik, orderan ramai. Kalau apes, ia hanya duduk di atas jok motor, menatap jalan yang sibuk tapi sepi order.

Pernah suatu hari Ayah bercerita pada Ibu—sambil menahan air mata yang hampir jatuh—tentang penumpang yang kabur tak mau bayar penuh Ayah hanya diam, p**ang dengan helm masih basah sisa hujan. Aku mendengar itu diam-diam dari balik pintu kamar. Waktu itu aku pura-pura tak tahu.

Ayah menahan lapar di jalan, menahan haus, menahan panas yang membakar lehernya di siang bolong. Kadang, kalau uangnya pas-pasan, Ayah hanya membeli sepotong roti di warung pinggir jalan. Lalu duduk di dekat parkiran mall, mengunyah sambil menatap motor orang lain yang lebih baru, lebih kinclong.

Tapi kalau ditanya, Ayah selalu tersenyum.
“Bagaimana kerja hari ini, Yah?”
“Alhamdulillah, lancar.”
Jawaban itu sama, meski dalam saku hanya tersisa receh.
---
Hari ini hujan turun tiba-tiba. Ayah berteduh di bawah jembatan layang bersama puluhan pengemudi ojek online lain. Jaket mereka basah, helm meneteskan air.

Di sudut, Ayah membuka ponsel, melihat foto kami sekeluarga: aku, Ibu, dan adikku. Foto usang, sudah retak-retak layarnya. Ayah mengusap layarnya dengan jari yang kulitnya telah menjadi kasar. Senyum tipis muncul di bibirnya.

Tak jauh dari situ, suara azan maghrib terdengar lirih dari masjid kecil di pinggir jalan. Ayah beranjak, menepi dari gerombolan driver yang sibuk merokok.

Di atas sajadah usang, Ayah menunduk lama, mengadu pada Tuhan agar langkahnya selalu kuat, agar motornya tak mogok, agar kami di rumah tak kekurangan.

Setelah itu, Ayah kembali ke motor tuanya, membetulkan tali helm, menarik nafas panjang. Notifikasi order berbunyi. Ayah tersenyum kecil.
“Bismillah… demi kalian, Nak.”

Sepotong Mimpi di Balik RodaMini cerbung oleh Tiwi Larasati"Kadang mimpi tak utuh, tapi di balik roda tua Ayah, mimpi it...
03/07/2025

Sepotong Mimpi di Balik Roda
Mini cerbung oleh Tiwi Larasati

"Kadang mimpi tak utuh, tapi di balik roda tua Ayah, mimpi itu tetap berputar.... "

---

Subuh yang Selalu Sama (Bagian 1 dari 5)

Subuh di rumah kami selalu sama.
Kopi pahit mengepul dari gelas bening, aroma roti tawar gosong, dan suara sandal jepit ayah menyeret lantai kayu yang mulai lapuk. Di luar, langit masih gelap, dingin menusuk tulang, dan embun menggantung di ujung genting yang berkarat.

Aku belum benar-benar terbangun. Masih menggulung dalam selimut tipis yang baunya seperti matahari sore, hangat dan menenangkan. Tapi aku tahu, Ayah sudah bangun jauh sebelum azan berkumandang.

"Bangun, Nak. Sholat dulu, lalu lanjut tidur lagi juga boleh," suara lembut Ibu menyapa. Tapi aku hanya mengangguk setengah sadar, masih pura-pura memejam.

Dari balik kelopak mataku yang hampir tertutup, kulihat Ayah sedang duduk di lantai, membetulkan resleting jaket yang sudah bolong di satu sisi. Helmnya diseka dengan kain lap lusuh. Motornya mungkin sudah menunggu di luar sana, berdiri ringkih dengan suara knalpot yang lebih mirip rintihan.

Tak pernah ada keluhan dari mulut Ayah. Tak pernah juga ia berkata lelah.
Sebelum berangkat, ia selalu mendekat ke tempat tidurku. Mencium keningku dengan aroma keringat yang anehnya menenangkan. Dan seperti pagi-pagi sebelumnya, ia berbisik, “Titip mimpi Ayah, ya.”

Aku pura-pura tidur. Tapi jantungku berdetak lebih cepat.
---
Kadang aku bertanya, mengapa Ayah harus jadi pengemudi ojek online? Mengapa tidak bekerja di kantor seperti ayah teman-temanku? Mengapa harus hujan-hujanan, panas-panasan, dan p**ang larut malam hanya untuk mendapatkan uang yang mungkin tak seberapa?

Waktu kecil, aku bangga Ayah bisa naik motor sambil lihat peta di HP. Tapi saat mulai SMP, aku mulai sadar... ada yang menertawakannya.

“Itu kan bapaknya si Dika, yang s**a ngojek di depan sekolah,” kata salah satu teman. Dan sejak saat itu, aku mulai diam. Tak pernah lagi bercerita tentang Ayah di kelas.

Tapi setiap pagi, Ayah tetap sama.
Pergi saat langit masih gelap. Pulang saat bintang sudah lelah bersinar.
Dan entah kenapa, pagi ini aku merasa ingin melihatnya lebih lama sebelum motornya menjauh di ujung gang.

21/06/2025
Renda Waktu di Ujung SenjaPuisi oleh Tiwi Di tepi kaca, embun berbisik lembut, kita bertemu --- dua bayang dalam kabut. ...
18/06/2025

Renda Waktu di Ujung Senja
Puisi oleh Tiwi

Di tepi kaca, embun berbisik lembut,
kita bertemu --- dua bayang dalam kabut.
Senja menghadiahi kita pertemuan singkat,
sebelum fajar merenggutnya diam-diam.

Napasmu sehangat embusan angin semi,
mengalun pelan di antara ruang sunyi,
Sampai... kau berlalu, membawa separuh hati,
tinggalkanku bersama langit yang retak.

Aku menulis namamu di atas pasir,
tapi ombak datang, menghapus sampai akhir.
Mungkin inilah cara laut berpujangga,
tak ada yang abadi, ucaplah selamat tinggal.

🥀Bayu, Jangan Biarkan Dirimu Tersesat Terlalu Dalam🥀Bayu adalah anak pedagang kaya perantauan di ibukota yang jatuh misk...
30/05/2025

🥀Bayu, Jangan Biarkan
Dirimu Tersesat Terlalu Dalam🥀

Bayu adalah anak pedagang kaya perantauan di ibukota yang jatuh miskin. Bersama ibunya, Bu Ratiyem --- ia melalui hari dengan sebuah asa, kehidupan yang lebih baik.

Keterpurukan ekonomi sepeninggal suaminya, ditambah tanggung jawab berupa sejumlah perut yang harus diberi makan --- sementara uang untuk membeli bahan pangan terbatas, memaksa Bu Ratiyem, harus mengirim salah satu anak ke tempat adiknya yang tinggal di Jogja.

Adik Bu Ratiyem, Pak Hito namanya --- menjanjikan bahwa nantinya ia akan menyekolahkan anak yang ikut dengannya hingga tamat sekolah menengah atas. Berikut janji lain, setiap bulan ia akan rutin mengirimkan sekarung beras kepada keluarga itu.

“Syaratnya sederhana, mau kerja keras, manut dan nggak neko-neko. Aku hanya menyediakan makan, tempat tinggal, dan pendidikan sampai tamat SMA,” ucap Pak Hito di suatu siang melalui panggilan video.

Mengetahui keadaan ini, Bayu pun mengajukan diri, “Aku saja, Bu yang ikut Paklek.”
Bayu sadar betul, bahwa kedua adiknya masih lebih membutuhkan perhatian ibunya, ketimbang dirinya yang sudah lebih besar. Pastinya akan terasa sangat sulit bagi mereka, kalau harus berpisah dengan sang ibu.

Sebulan berlalu, dan kini Bayu --- ditemani Bu Ratiyem telah menjejakkan kaki di stasiun Pasar Senen. Keduanya duduk berdampingan di bangku tunggu peron.

Seraya menatap sedih langit berlembayung --- menorehkan jingga yang nyaris pudar tergantikan oleh malam, Bu Ratiyem berkata, “Bener, Le, kamu ndak apa tinggal sama Paklekmu di Jogja?"

Entah sudah ke berapa kalinya Bu Ratiyem mengajukan pertanyaan yang sama. Ia sendiri tahu, untuk saat ini pertanyaannya itu hanyalah kesia-siaan belaka. Mungkin juga hanya untuk mencari pembenaran dari rasa bersalah, demi sekarung beras penyambung hidup anak-anak lainnya, Bayu harus pergi untuk bekerja.
Usianya masih muda, ia baru akan memasuki masa SMA.

“Ndak usah khawatir, Bu. Aku pasti akan betah di rumah Paklek. Aku janji akan bikin ibu bangga.”
Seulas senyum dan kilatan asa terukir di wajah Bayu.

Sejak ia diperkenalkan dengan kepedihan menyaksikan adik-adiknya yang sering menangis karena rasa lapar --- lantaran tidak ada uang untuk membeli makanan, sejak saat itu p**a ia bertekad untuk melakukan apapun yang halal demi menghapus air mata mereka.

Walau hati Bu Ratiyem masih saja bimbang, dan tak sepenuhnya ikhlas atas kepergian Bayu, namun waktu terus berdetak mendekati keberangkatan kereta senja.

Berdiri kokoh menanti di samping peron --- sebentar lagi kereta itu akan membawa Bayu pergi jauh ke kota lain. Entah kapan bertemu lagi, mungkin saat ekonomi mereka membaik dan cukup uang untuk membeli tiket.

Kondektur telah meniupkan peluit, pertanda kereta siap diberangkatkan.

Dari atas kereta, Bayu tersenyum memandang ibunya yang masih berdiri di peron dengan wajah murung.

Anggukan dan lambaian lembut, serta tatapan teduh sang ibu, bagai restu penguat hatinya --- untuk sebuah tujuan, masa depan yang lebih baik.

Perlahan, kereta bergerak membelah gelapnya malam kota Jakarta, sampai akhirnya membawa Bayu tiba di sepertiga malam waktu stasiun Tugu --- Bayu telah tiba di kota Jogja.

Di salah satu peron stasiun Tugu, Pak Hito sudah menunggu kedatangan Bayu.
‘Apik kabeh kabare?”
Sebuah pertanyaan berintonasi datar diucapkan Pak Hito.

“Alhamdulillah, sehat sedoyo, Paklek. Paklek kalih Bulek pripun?”

Pak Hito hanya mengangguk tak bersuara --- tak ada senyum di wajahnya. Bayu merasa kurang dis**ai pamannya.

Tiba di rumahnya, Pak Hito menyuruh Bayu untuk segera tidur.

“Bulek belum nyiapin tempat kamu tidur. Terserah kamulah mau tidur di mana, asal jangan di sofa.”

Bagi Bayu, itu sama artinya dengan Pak Hito menyuruhnya tidur di lantai.

Dirasa tak guna mengeluh, ia segera menggelar tikar yang ditemukannya tergeletak di lantai--- lalu tidur dengan rasa dingin menusuk tulang.

Pukul empat pagi, Pak Hito telah membangunkan Bayu dan menjelaskan tugas-tugasnya di rumah itu.
“Bersihkan seluruh bagian rumah termasuk warung, pekarangan dan kandang. Cari rumput pakan ternak, bersihkan kolam ikan... “

Pak Hito tampak berpikir sejenak. Sampai ia berkata lagi, “Ya, itu saja. Nanti kalau ada pekerjaan lain, ya tinggal kamu kerjakan.”

Tanpa banyak bicara --- hari-hari berikutnya, Bayu langsung mengerjakan semua tugas yang diberikan Pak Hito dan juga istrinya.

Begitu p**a dengan makanan yang seringkali terasa basi dan tetap harus ia makan demi menghilangkan rasa lapar. Atau hari-hari di mana tubuhnya terasa amat remuk, tapi semua tugas harus tetap dikerjakan dengan wajah tak boleh cemberut. Belum lagi berbagai hukuman yang dirasanya tak patut.

Disiram air bekas cucian piring, bahkan dipecut dengan sapu lidi hingga menggoreskan luka di kulit, sudah menjadi hal yang akhirnya biasa bagi Bayu.

Awalnya dia sedih, marah, frustrasi, tak jarang menyalahkan keadaan hingga menangis sendiri di malam-malam sunyi. Tapi lama kelamaan dia sadar, s**a tak s**a memang harus dilalui. Ia sadar semua dilakoni, demi sekarung beras dan sebuah asa mencapai mimpi.

Hari, bulan dan musim terus berganti --- usia Bayu pun terus bertambah. Sebentar lagi ia akan lulus SMA.

Dalam asuhan pamannya, Bayu tumbuh menjadi pemuda berwatak keras. Namun kelembutan hati semasa diasuh dan dibesarkan oleh ibunya, masih tetap terpatri.

Tiga kali lebaran ia tak bisa bertemu dengan ibu dan kedua adiknya. Hanya mengirimkan sedikit uang ke kota --- hasil mengajar les pelajaran.

“Bayu dapat uang dari mana bisa ngirimi Ibu? “
Dalam sebuah sambungan telepon milik Pak Hito, Bu Ratiyem sekali lagi bertanya dengan rasa cemas dan penasaran, “Kowe ora nyolong, to, Le?"

“Ndaklah, Bu. Ada-ada saja pikiran Ibu. Aku dapat uang dari ngajarin teman-teman di sekolah, Bu.”

“Alhamdulillah, jaga kesehatan yo, Le. Teruslah beribadah dan jadi orang baik. Tapi, Ibu juga kepengen kamu bahagia. Jangan ngirimi ibu uang terus. Pakailah uang itu untuk membeli yang Bayu inginkan... yang ndak bisa ibu belikan,” ucap Bu Ratiyem mulai terisak.

“Ya, Bu. Tapi aku lebih bahagia, kalo Ibu dan adik-adik juga bahagia.”

Bu Ratiyem bisa merasakan ketulusan Bayu. Tapi tak dipungkiri, perasaan bersalah tiga tahun lalu, masih terus menggelayut di hatinya.

Di ujung percakapan mereka lewat telepon genggam, Bayu berujar, “Aku pasti akan membuat Ibu dan almarhum Bapak bangga.”

Satu tahun berlalu, dan kini Bayu telah kembali ke Jakarta dan tinggal bersama ibu beserta kedua adiknya. Keadaan ekonomi memaksanya memupus keinginan untuk kuliah.

Setiap pagi ibunya berjualan nasi uduk, lalu siang lanjut menjadi buruh cuci baju. Sementara kedua adiknya masih bersekolah, tentu saja penghasilan yang didapat hanya cukup untuk bertahan hidup.

Hari-hari Bayu telah dilaluinya dengan bekerja sebagai kurir ekspedisi. Sebuah pekerjaan yang tak mudah dan menuntut.

Walau ibunya tak pernah menanyakan hasil keringat Bayu, tapi dengan ikhlas Bayu selalu memberikannya kepada sang ibu.

"Terima kasih, Le. Tapi semua hasil keringat yang Bayu kasih ke ibu --- akan ibu simpan baik-baik. Anggap saja Bayu nabung sama ibu."

Pada suatu hari, Bayu merasa tengah berada di titik terjenuh.

Ia tengah melamun di teras kantornya, ketika Ronald --- teman Bayu sesama kurir, datang menghampiri.
“Gue lihat, belakangan ini Lu keliatan lesu banget, Bro. Sakit?”

Bayu menghela napas, “Guwa... bosen aja, Bro --- jenuh.”

Untuk sesaat, Ronald berpikir.

“Ooh... Ya, begitulah kita semua di sini jenuh dengan rutinitas, Bro,” ucapnya santai.

“Tapi ....“ kembali Ronald terdiam, lalu melanjutkan kalimatnya, “Gue punya solusi. Pemuda gondrong itu pun membisikkan sesuatu ke telinga Bayu.

Hari berikutnya, Ronald mulai mengenalkan Bayu pada suatu hal yang diproklamirkannya sebagai bentuk solusi penghilang rasa jenuh.

Percakapan seksual lewat telepon, yang awalnya dianggap Bayu sebagai hal tabu dan tak pantas. Namun lama kelamaan, ia benar-benar menikmati --- menganggapnya sebagai analgesik atas segala penat dan stres kehidupan.

Seiring waktu, pikiran Bayu semakin tersugesti, bahwa hal yang secara norma agama adalah salah, justru dianggap benar karena mampu menyembuhkan trauma --- berbagai kejadian pahit yang dialami saat dirinya terpaksa tinggal bersama paman dan bibinya.

“Rasanya bagai melayang di awan yang lembut dan hangat,” ucap Bayu penuh rayu kepada lawan bicaranya di telepon ---sebelum akhirnya, mereka yang terlibat sama-sama terjebak dalam perangkap iblis.

Entah sudah berapa banyak perempuan, baik yang sudah berpengalaman ataupun baru mencoba --- melewatkan malam-malam laknat penuh fantasi bersama Bayu di telepon.

Sampai pada suatu malam, Bu Ratiyem memergoki Bayu di kamarnya yang tak terkunci.
“Bayu! Apa yang kamu lakukan?!”
Bu Ratiyem memang sudah cukup lama mencurigai sikap anaknya yang terasa semakin tak biasa.

Belakangan, sep**ang kerja Bayu langsung mandi dan makan. Lalu setelahnya menghilang di balik kamar yang terkunci rapat. Padahal biasanya, sebelum pergi ke kamar, ia akan menonton siaran televisi dulu.

Beberapa kali Bu Ratiyem memergoki Bayu tengah makan di pagi buta, padahal sep**ang kerja ia sudah mengisi perut hingga kenyang.

Mulanya, di pikiran Bu Ratiyem itu hal biasa. Namun kecurigaan kembali muncul tatkala di suatu malam --- ketika ia hendak pergi ke kamar mandi dan melewati kamar Bayu. Dari dalam kamar anaknya itu, Bu Ratiyem mendengar suara-suara aneh seperti orang mendesah.

Pada akhirnya, sepandai pandainya tupai melompat, jatuh juga. Serapi apapun menyimpan keburukan, ketahuan juga.

Di dalam kamar Bayu, Bu Ratiyem menyaksikan aktivitas tak lazim yang dilakukan putranya --- salah satu tangan memegangi kehormatannya sendiri, sementara tangan lainnya memegang telepon genggam.

Racauan dan desahan terus disuarakan Bayu, meski pada saat itu Bu Ratiyem telah berdiri di sebelahnya --- seolah saat itu, Bayu sedang terseret jauh ke alam fantasinya yang sepanas gejolak api neraka.

Sementara dari seberang sambungan telepon Bayu, telinga Bu Ratiyem menangkap getaran suara racauan seorang perempuan. Tak diragukan lagi, Bayu tengah melakukan perbuatan dosa.

“Astagfirullah, nyebut, Le!”
Tangis pekik yang meluncur dari bibir Bu Ratiyem segera memecah fantasi Bayu hingga berkeping ke udara. Dalam sekejap, istana fatamorgana yang dibangunnya runtuh.

“I- Ibu?!” Bayu terperanjat dan segera berbalik badan memunggungi ibunya. Ia segera menaikkan celana pendek yang dikenakannya--- yang tadi sempat diturunkan hingga nyaris tanggal.

“Kamu ngapain, Le kayak begitu? Duh Gusti, maafkan Bayu, ya Allah,” rintih Bu Ratiyem seraya menangkup wajahnya.

Bayu mematung, masih bingung hendak berkata-kata.

“Jelasin, Le. Kenapa kamu bisa begitu? Lalu siapa perempuan di telepon kamu itu? Kamu nggak takut apa, kalau tiba-tiba orang tuanya tau dan mencari kamu?" cecar Bu Ratiyem dipenuhi gejolak emosi.

“Emm ---“ Bayu tak meneruskan.
Ditundukkan wajahnya sebab tak sanggup menatap sang ibu. Rasa bersalah merayap, hampir memecah kabut kelam yang melingkupi hatinya.

Sampai Bu Ratiyem menghela napas panjang dan menghempaskannya ke udara. Rasa kesal yang bergejolak --- dengan teramat besar pada anak kebanggaannya itu, tak mampu ia tutupi.

“Ibu nggak menyangka, Le. Ibu merasa selama ini, kamu adalah panutan yang baik bagi adik-adikmu. Ibu selalu bangga punya anak Bayu. Anak yang soleh, berbakti, nggak neko-neko, selalu menjaga nama baik keluarga --- nama almarhum Bapak. Bapak pasti selalu bangga, bisa punya anak seperti Bayu. Tapi hari ini... prasangka baik itu tiba-tiba hilang.”

Bayu mulai berkaca-kaca. Ia merasa ada sesuatu yang menyentuh bagian terdalam dirinya. Setiap kata-kata ibunya, menggedor batinnya --- seolah ada tangan yang hendak menarik dirinya dari dasar sebuah sumur tua yang gelap.

Di sisi lain, Bayu merasa tersudut -- hatinya menyangkal, berontak. Merasa disalahkan dan harus bertahan, atas situasi yang sesungguhnya tidak ia inginkan. Pikirannya mulai berpikir ke arah manip**asi, membohongi ibunya dengan membuat drama --- bahwa ia hanyalah korban keadaan.

Tapi sebelum Bayu sempat merancang skenario palsu, dengan lembut ibunya kembali berkata, “Le... Ibu itu, sayang sama kamu --- melebihi apapun di dunia. Banyak hal yang mungkin membuat kamu jadi seperti ini. Kamu sudah banyak berkorban untuk ibu, dan adik-adikmu..."

Bu Ratiyem mulai terisak lagi, tangisnya semakin sesenggukan.

“Ibu minta maaf kalau pernah membuatmu susah, Le. Sebagai balasannya, ibu akan memohon sama Allah supaya semua dosa-dosa Bayu, biar ibu saja yang menanggung.”

Bayu masih bergeming, diam seribu bahasa.

Dirasa gagal membangun komunikasi dengan sang anak --- pada akhirnya, Bu Ratiyem memilih berlalu dari kamar Bayu.

Sepanjang malam Bu Ratiyem terus menggelar sajadahnya, menggemakan doa, memohon pertolongan Sang Kuasa.

Hari terus bergulir, begitup**a cuaca yang datang silih berganti – kadang cerah, kadang tak bersahabat. Namun berbeda halnya dengan hubungan Bayu dan ibunya. Sudah cukup lama mereka berinteraksi dalam diam.

Semenjak hari Bu Ratiyem memergoki Bayu yang tengah melakukan hal tak lazim, semenjak hari itu p**a ia menyalahkan dirinya sendiri. Ia merasa gagal menjadi ibu, lalu belajar. Mencari tahu dan mengevaluasi kesalahan. Sampai akhirnya, ia berpikir perubahan harus dilakukan.

Berangsur, Bu Ratiyem mulai lebih memperhatkan anak-anaknya --- meskipun hanya sekedar bertanya, "Apa harimu menyenangkan?"
Memasakkan anak-anaknya makanan kes**aan mereka, atau sebentuk perhatian kecil seperti mengucapkan selamat di hari ulang tahun ketiga anaknya.

Namun, sepanjang ibunya terus berusaha agar keadaan kembali seperti dulu--- Bayu tetap diam.

Hingga suatu hari, di awal bulan berikutnya --- Bayu pamit, “Mulai hari ini Bayu akan tinggal di tempat kost, Bu.”

Deg
Selama sepersekian detik, Bu Ratiyem merasa jantungnya berhenti berdetak. Dalam sekejap, rasa sesak menyergap relungnya.
“Kamu yakin, Le?” tanya Bu Ratiyem. Matanya nanar dan mulai berkaca-kaca.

Bayu diam hanya mengangguk mantap.

“Jadi kamu masih benci sama ibu? “ tanya Bu Ratiyem lagi, dan kali ini suaranya terdengar putus asa.
Bayu tetap diam --- tak mau menatap ibunya.

“Padahal ibu cuma ingin kamu selamanya jadi orang baik, Nak. Kamu pun pasti tau segala yang kita lakukan di dunia ada konsekuensinya.”

Namun lagi, Bayu tetap bergeming.

“Baiklah, Le. Kalau tinggal di tempat kost bisa membuatmu bahagia dan tenang --- ibu hanya bisa mendoakan... “
Bu Ratiyem tak meneruskan lagi kalimatnya – seperti ada sesuatu yang membuat kerongkongannya tercekat.

“Aku pamit, Bu.”

Usai mencium punggung tangan ibunya, Bayu bergegas meninggalkan rumah. Tak sedikitpun ia menoleh, membuat air mata Bu Ratiyem tak bisa lagi dibendung.

Ribuan detik yang sempat terlampaui dengan cepat saat Bayu kembali p**ang, kini dirasakan Bu Ratiyem kembali melambat.

Ia kembali merasakan, sebuah rasa yang sama --- seperti ketika Bayu harus tinggal di kota lain. Bedanya dulu, mereka saling berkabar lewat telepon.

Kini, jangankan menerima panggilan telepon dari Bayu --- entah sudah berapa ratus kali Bu Ratiyem menelepon, tapi hanya sesekali Bayu menjawab telepon ibunya. Meskipun demikian, Bu Ratiyem tak sekalipun berburuk sangka kepada Bayu --- mungkin dia sibuk, pikirnya.

Kerinduan Bu Ratiyem kepada anak sulungnya semakin memuncak saat hari raya tiba.

“Mas kok nggak p**ang lebaran ya, Bu? Padahal masih satu kota,” keluh Siwi --- anak kedua Bu Ratiyem.

“Mungkin belum sempat, Nduk karena kerjanya padat. Kasian Masmu.”

Siwi tahu, ada masalah yang tengah terjadi di antara ibu dengan kakaknya. Tapi selama tidak ada yang bercerita, tak bisa juga ia masuk dan bertanya.

Waktu terus berjalan ke depan, hingga tiba di penghujung bulan Oktober--- Bu Ratiyem jatuh sakit. Ia tak mau makan, sering menolak untuk minum. Tubuhnya semakin kurus, dan sering menangis. Dalam tidurnya, ia selalu mengigau memanggil-manggil nama Bayu.

Siwi pun memberanikan diri bertanya kepada sang ibu, “Ada apa, Bu? Apa yang Ibu rasakan?”

“Kangen Bayu. Ibu takut Bayu kenapa-kenapa.”
Hampir selalu itu jawaban yang diberikan Bu Ratiyem kepada semua orang.

Kedua adiknya bingung. Mereka telah berusaha menghubungi Bayu – tapi seolah sia-sia, tak ada respon dari Bayu.

Sebulan berikutnya, sebuah berita lelayu diumumkan di masjid dekat rumah. Tepatnya di hari jum'at, Ratiyem binti Sungkono telah berp**ang ke rahmatullah.

Tak juga mendapat kabar dari sang kakak, pada akhirnya kedua adik Bayu hanya bisa pasrah. Mereka kemudian mengirimkan sebuah pesan singkat, memberitahukan bahwa ibu mereka telah mangkat.

Dua hari kemudian Bayu p**ang ke rumah, bertemu dengan kedua adiknya dengan mata sembab dan linangan air mata.

Di saat itu Siwi berkata, “Taukah kamu Mas, ibu sakit karena memikirkanmu --- dan oh ya, sebentar aku ambil sesuatu.”

Siwi bergegas menuju kamar almarhum ibunya, dan segera kembali dengan sebuah buku tulis di tangan. Ia menyerahkan buku itu kepada Bayu.

Bayu segera membukanya, dan menemukan tulisan tangan ibunya di halaman pertama --- serta sebuah amplop berisi sejumlah uang.

Siwi menjelaskan, ""Kata Ibu, uang dalam amplop itu adalah uang pemberian Mas yang selalu Ibu tabung. Sebelum meninggal, Ibu berpesan agar diserahkan kembali ke tangan Mas."

Sedangkan isi surat yang ditulis Bu Ratiyem, “Bayu, anak kebanggaanku. Sampai detik ini ibu nggak tau, apa yang harus ibu perbuat untuk membuatmu kembali seperti Bayu yang dulu, Bayu yang tegar dan selalu di jalan lurus. Tak mengapa Bayu membenci ibu, asalkan Bayu nggak menyakiti diri sendiri lagi dengan kebahagiaan palsu, yang akan berujung penyesalan teramat besar. Ibu sangat berharap, kamu menemukan jalan p**ang. Jangan biarkan dirimu tersesat terlalu dalam, Le.”

Di pusara ibunya, Bayu terisak sejadi-jadinya, “Maafkan aku, Bu --- aku terlambat. Aku... tak tau apa yang terjadi padaku, Bu. Tapi aku janji akan mencari pertolongan, agar suatu hari nanti --- aku bisa kembali membuatmu bangga.”


Address

Jakarta

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Tiwi Ono posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share