30/05/2025
🥀Bayu, Jangan Biarkan
Dirimu Tersesat Terlalu Dalam🥀
Bayu adalah anak pedagang kaya perantauan di ibukota yang jatuh miskin. Bersama ibunya, Bu Ratiyem --- ia melalui hari dengan sebuah asa, kehidupan yang lebih baik.
Keterpurukan ekonomi sepeninggal suaminya, ditambah tanggung jawab berupa sejumlah perut yang harus diberi makan --- sementara uang untuk membeli bahan pangan terbatas, memaksa Bu Ratiyem, harus mengirim salah satu anak ke tempat adiknya yang tinggal di Jogja.
Adik Bu Ratiyem, Pak Hito namanya --- menjanjikan bahwa nantinya ia akan menyekolahkan anak yang ikut dengannya hingga tamat sekolah menengah atas. Berikut janji lain, setiap bulan ia akan rutin mengirimkan sekarung beras kepada keluarga itu.
“Syaratnya sederhana, mau kerja keras, manut dan nggak neko-neko. Aku hanya menyediakan makan, tempat tinggal, dan pendidikan sampai tamat SMA,” ucap Pak Hito di suatu siang melalui panggilan video.
Mengetahui keadaan ini, Bayu pun mengajukan diri, “Aku saja, Bu yang ikut Paklek.”
Bayu sadar betul, bahwa kedua adiknya masih lebih membutuhkan perhatian ibunya, ketimbang dirinya yang sudah lebih besar. Pastinya akan terasa sangat sulit bagi mereka, kalau harus berpisah dengan sang ibu.
Sebulan berlalu, dan kini Bayu --- ditemani Bu Ratiyem telah menjejakkan kaki di stasiun Pasar Senen. Keduanya duduk berdampingan di bangku tunggu peron.
Seraya menatap sedih langit berlembayung --- menorehkan jingga yang nyaris pudar tergantikan oleh malam, Bu Ratiyem berkata, “Bener, Le, kamu ndak apa tinggal sama Paklekmu di Jogja?"
Entah sudah ke berapa kalinya Bu Ratiyem mengajukan pertanyaan yang sama. Ia sendiri tahu, untuk saat ini pertanyaannya itu hanyalah kesia-siaan belaka. Mungkin juga hanya untuk mencari pembenaran dari rasa bersalah, demi sekarung beras penyambung hidup anak-anak lainnya, Bayu harus pergi untuk bekerja.
Usianya masih muda, ia baru akan memasuki masa SMA.
“Ndak usah khawatir, Bu. Aku pasti akan betah di rumah Paklek. Aku janji akan bikin ibu bangga.”
Seulas senyum dan kilatan asa terukir di wajah Bayu.
Sejak ia diperkenalkan dengan kepedihan menyaksikan adik-adiknya yang sering menangis karena rasa lapar --- lantaran tidak ada uang untuk membeli makanan, sejak saat itu p**a ia bertekad untuk melakukan apapun yang halal demi menghapus air mata mereka.
Walau hati Bu Ratiyem masih saja bimbang, dan tak sepenuhnya ikhlas atas kepergian Bayu, namun waktu terus berdetak mendekati keberangkatan kereta senja.
Berdiri kokoh menanti di samping peron --- sebentar lagi kereta itu akan membawa Bayu pergi jauh ke kota lain. Entah kapan bertemu lagi, mungkin saat ekonomi mereka membaik dan cukup uang untuk membeli tiket.
Kondektur telah meniupkan peluit, pertanda kereta siap diberangkatkan.
Dari atas kereta, Bayu tersenyum memandang ibunya yang masih berdiri di peron dengan wajah murung.
Anggukan dan lambaian lembut, serta tatapan teduh sang ibu, bagai restu penguat hatinya --- untuk sebuah tujuan, masa depan yang lebih baik.
Perlahan, kereta bergerak membelah gelapnya malam kota Jakarta, sampai akhirnya membawa Bayu tiba di sepertiga malam waktu stasiun Tugu --- Bayu telah tiba di kota Jogja.
Di salah satu peron stasiun Tugu, Pak Hito sudah menunggu kedatangan Bayu.
‘Apik kabeh kabare?”
Sebuah pertanyaan berintonasi datar diucapkan Pak Hito.
“Alhamdulillah, sehat sedoyo, Paklek. Paklek kalih Bulek pripun?”
Pak Hito hanya mengangguk tak bersuara --- tak ada senyum di wajahnya. Bayu merasa kurang dis**ai pamannya.
Tiba di rumahnya, Pak Hito menyuruh Bayu untuk segera tidur.
“Bulek belum nyiapin tempat kamu tidur. Terserah kamulah mau tidur di mana, asal jangan di sofa.”
Bagi Bayu, itu sama artinya dengan Pak Hito menyuruhnya tidur di lantai.
Dirasa tak guna mengeluh, ia segera menggelar tikar yang ditemukannya tergeletak di lantai--- lalu tidur dengan rasa dingin menusuk tulang.
Pukul empat pagi, Pak Hito telah membangunkan Bayu dan menjelaskan tugas-tugasnya di rumah itu.
“Bersihkan seluruh bagian rumah termasuk warung, pekarangan dan kandang. Cari rumput pakan ternak, bersihkan kolam ikan... “
Pak Hito tampak berpikir sejenak. Sampai ia berkata lagi, “Ya, itu saja. Nanti kalau ada pekerjaan lain, ya tinggal kamu kerjakan.”
Tanpa banyak bicara --- hari-hari berikutnya, Bayu langsung mengerjakan semua tugas yang diberikan Pak Hito dan juga istrinya.
Begitu p**a dengan makanan yang seringkali terasa basi dan tetap harus ia makan demi menghilangkan rasa lapar. Atau hari-hari di mana tubuhnya terasa amat remuk, tapi semua tugas harus tetap dikerjakan dengan wajah tak boleh cemberut. Belum lagi berbagai hukuman yang dirasanya tak patut.
Disiram air bekas cucian piring, bahkan dipecut dengan sapu lidi hingga menggoreskan luka di kulit, sudah menjadi hal yang akhirnya biasa bagi Bayu.
Awalnya dia sedih, marah, frustrasi, tak jarang menyalahkan keadaan hingga menangis sendiri di malam-malam sunyi. Tapi lama kelamaan dia sadar, s**a tak s**a memang harus dilalui. Ia sadar semua dilakoni, demi sekarung beras dan sebuah asa mencapai mimpi.
Hari, bulan dan musim terus berganti --- usia Bayu pun terus bertambah. Sebentar lagi ia akan lulus SMA.
Dalam asuhan pamannya, Bayu tumbuh menjadi pemuda berwatak keras. Namun kelembutan hati semasa diasuh dan dibesarkan oleh ibunya, masih tetap terpatri.
Tiga kali lebaran ia tak bisa bertemu dengan ibu dan kedua adiknya. Hanya mengirimkan sedikit uang ke kota --- hasil mengajar les pelajaran.
“Bayu dapat uang dari mana bisa ngirimi Ibu? “
Dalam sebuah sambungan telepon milik Pak Hito, Bu Ratiyem sekali lagi bertanya dengan rasa cemas dan penasaran, “Kowe ora nyolong, to, Le?"
“Ndaklah, Bu. Ada-ada saja pikiran Ibu. Aku dapat uang dari ngajarin teman-teman di sekolah, Bu.”
“Alhamdulillah, jaga kesehatan yo, Le. Teruslah beribadah dan jadi orang baik. Tapi, Ibu juga kepengen kamu bahagia. Jangan ngirimi ibu uang terus. Pakailah uang itu untuk membeli yang Bayu inginkan... yang ndak bisa ibu belikan,” ucap Bu Ratiyem mulai terisak.
“Ya, Bu. Tapi aku lebih bahagia, kalo Ibu dan adik-adik juga bahagia.”
Bu Ratiyem bisa merasakan ketulusan Bayu. Tapi tak dipungkiri, perasaan bersalah tiga tahun lalu, masih terus menggelayut di hatinya.
Di ujung percakapan mereka lewat telepon genggam, Bayu berujar, “Aku pasti akan membuat Ibu dan almarhum Bapak bangga.”
Satu tahun berlalu, dan kini Bayu telah kembali ke Jakarta dan tinggal bersama ibu beserta kedua adiknya. Keadaan ekonomi memaksanya memupus keinginan untuk kuliah.
Setiap pagi ibunya berjualan nasi uduk, lalu siang lanjut menjadi buruh cuci baju. Sementara kedua adiknya masih bersekolah, tentu saja penghasilan yang didapat hanya cukup untuk bertahan hidup.
Hari-hari Bayu telah dilaluinya dengan bekerja sebagai kurir ekspedisi. Sebuah pekerjaan yang tak mudah dan menuntut.
Walau ibunya tak pernah menanyakan hasil keringat Bayu, tapi dengan ikhlas Bayu selalu memberikannya kepada sang ibu.
"Terima kasih, Le. Tapi semua hasil keringat yang Bayu kasih ke ibu --- akan ibu simpan baik-baik. Anggap saja Bayu nabung sama ibu."
Pada suatu hari, Bayu merasa tengah berada di titik terjenuh.
Ia tengah melamun di teras kantornya, ketika Ronald --- teman Bayu sesama kurir, datang menghampiri.
“Gue lihat, belakangan ini Lu keliatan lesu banget, Bro. Sakit?”
Bayu menghela napas, “Guwa... bosen aja, Bro --- jenuh.”
Untuk sesaat, Ronald berpikir.
“Ooh... Ya, begitulah kita semua di sini jenuh dengan rutinitas, Bro,” ucapnya santai.
“Tapi ....“ kembali Ronald terdiam, lalu melanjutkan kalimatnya, “Gue punya solusi. Pemuda gondrong itu pun membisikkan sesuatu ke telinga Bayu.
Hari berikutnya, Ronald mulai mengenalkan Bayu pada suatu hal yang diproklamirkannya sebagai bentuk solusi penghilang rasa jenuh.
Percakapan seksual lewat telepon, yang awalnya dianggap Bayu sebagai hal tabu dan tak pantas. Namun lama kelamaan, ia benar-benar menikmati --- menganggapnya sebagai analgesik atas segala penat dan stres kehidupan.
Seiring waktu, pikiran Bayu semakin tersugesti, bahwa hal yang secara norma agama adalah salah, justru dianggap benar karena mampu menyembuhkan trauma --- berbagai kejadian pahit yang dialami saat dirinya terpaksa tinggal bersama paman dan bibinya.
“Rasanya bagai melayang di awan yang lembut dan hangat,” ucap Bayu penuh rayu kepada lawan bicaranya di telepon ---sebelum akhirnya, mereka yang terlibat sama-sama terjebak dalam perangkap iblis.
Entah sudah berapa banyak perempuan, baik yang sudah berpengalaman ataupun baru mencoba --- melewatkan malam-malam laknat penuh fantasi bersama Bayu di telepon.
Sampai pada suatu malam, Bu Ratiyem memergoki Bayu di kamarnya yang tak terkunci.
“Bayu! Apa yang kamu lakukan?!”
Bu Ratiyem memang sudah cukup lama mencurigai sikap anaknya yang terasa semakin tak biasa.
Belakangan, sep**ang kerja Bayu langsung mandi dan makan. Lalu setelahnya menghilang di balik kamar yang terkunci rapat. Padahal biasanya, sebelum pergi ke kamar, ia akan menonton siaran televisi dulu.
Beberapa kali Bu Ratiyem memergoki Bayu tengah makan di pagi buta, padahal sep**ang kerja ia sudah mengisi perut hingga kenyang.
Mulanya, di pikiran Bu Ratiyem itu hal biasa. Namun kecurigaan kembali muncul tatkala di suatu malam --- ketika ia hendak pergi ke kamar mandi dan melewati kamar Bayu. Dari dalam kamar anaknya itu, Bu Ratiyem mendengar suara-suara aneh seperti orang mendesah.
Pada akhirnya, sepandai pandainya tupai melompat, jatuh juga. Serapi apapun menyimpan keburukan, ketahuan juga.
Di dalam kamar Bayu, Bu Ratiyem menyaksikan aktivitas tak lazim yang dilakukan putranya --- salah satu tangan memegangi kehormatannya sendiri, sementara tangan lainnya memegang telepon genggam.
Racauan dan desahan terus disuarakan Bayu, meski pada saat itu Bu Ratiyem telah berdiri di sebelahnya --- seolah saat itu, Bayu sedang terseret jauh ke alam fantasinya yang sepanas gejolak api neraka.
Sementara dari seberang sambungan telepon Bayu, telinga Bu Ratiyem menangkap getaran suara racauan seorang perempuan. Tak diragukan lagi, Bayu tengah melakukan perbuatan dosa.
“Astagfirullah, nyebut, Le!”
Tangis pekik yang meluncur dari bibir Bu Ratiyem segera memecah fantasi Bayu hingga berkeping ke udara. Dalam sekejap, istana fatamorgana yang dibangunnya runtuh.
“I- Ibu?!” Bayu terperanjat dan segera berbalik badan memunggungi ibunya. Ia segera menaikkan celana pendek yang dikenakannya--- yang tadi sempat diturunkan hingga nyaris tanggal.
“Kamu ngapain, Le kayak begitu? Duh Gusti, maafkan Bayu, ya Allah,” rintih Bu Ratiyem seraya menangkup wajahnya.
Bayu mematung, masih bingung hendak berkata-kata.
“Jelasin, Le. Kenapa kamu bisa begitu? Lalu siapa perempuan di telepon kamu itu? Kamu nggak takut apa, kalau tiba-tiba orang tuanya tau dan mencari kamu?" cecar Bu Ratiyem dipenuhi gejolak emosi.
“Emm ---“ Bayu tak meneruskan.
Ditundukkan wajahnya sebab tak sanggup menatap sang ibu. Rasa bersalah merayap, hampir memecah kabut kelam yang melingkupi hatinya.
Sampai Bu Ratiyem menghela napas panjang dan menghempaskannya ke udara. Rasa kesal yang bergejolak --- dengan teramat besar pada anak kebanggaannya itu, tak mampu ia tutupi.
“Ibu nggak menyangka, Le. Ibu merasa selama ini, kamu adalah panutan yang baik bagi adik-adikmu. Ibu selalu bangga punya anak Bayu. Anak yang soleh, berbakti, nggak neko-neko, selalu menjaga nama baik keluarga --- nama almarhum Bapak. Bapak pasti selalu bangga, bisa punya anak seperti Bayu. Tapi hari ini... prasangka baik itu tiba-tiba hilang.”
Bayu mulai berkaca-kaca. Ia merasa ada sesuatu yang menyentuh bagian terdalam dirinya. Setiap kata-kata ibunya, menggedor batinnya --- seolah ada tangan yang hendak menarik dirinya dari dasar sebuah sumur tua yang gelap.
Di sisi lain, Bayu merasa tersudut -- hatinya menyangkal, berontak. Merasa disalahkan dan harus bertahan, atas situasi yang sesungguhnya tidak ia inginkan. Pikirannya mulai berpikir ke arah manip**asi, membohongi ibunya dengan membuat drama --- bahwa ia hanyalah korban keadaan.
Tapi sebelum Bayu sempat merancang skenario palsu, dengan lembut ibunya kembali berkata, “Le... Ibu itu, sayang sama kamu --- melebihi apapun di dunia. Banyak hal yang mungkin membuat kamu jadi seperti ini. Kamu sudah banyak berkorban untuk ibu, dan adik-adikmu..."
Bu Ratiyem mulai terisak lagi, tangisnya semakin sesenggukan.
“Ibu minta maaf kalau pernah membuatmu susah, Le. Sebagai balasannya, ibu akan memohon sama Allah supaya semua dosa-dosa Bayu, biar ibu saja yang menanggung.”
Bayu masih bergeming, diam seribu bahasa.
Dirasa gagal membangun komunikasi dengan sang anak --- pada akhirnya, Bu Ratiyem memilih berlalu dari kamar Bayu.
Sepanjang malam Bu Ratiyem terus menggelar sajadahnya, menggemakan doa, memohon pertolongan Sang Kuasa.
Hari terus bergulir, begitup**a cuaca yang datang silih berganti – kadang cerah, kadang tak bersahabat. Namun berbeda halnya dengan hubungan Bayu dan ibunya. Sudah cukup lama mereka berinteraksi dalam diam.
Semenjak hari Bu Ratiyem memergoki Bayu yang tengah melakukan hal tak lazim, semenjak hari itu p**a ia menyalahkan dirinya sendiri. Ia merasa gagal menjadi ibu, lalu belajar. Mencari tahu dan mengevaluasi kesalahan. Sampai akhirnya, ia berpikir perubahan harus dilakukan.
Berangsur, Bu Ratiyem mulai lebih memperhatkan anak-anaknya --- meskipun hanya sekedar bertanya, "Apa harimu menyenangkan?"
Memasakkan anak-anaknya makanan kes**aan mereka, atau sebentuk perhatian kecil seperti mengucapkan selamat di hari ulang tahun ketiga anaknya.
Namun, sepanjang ibunya terus berusaha agar keadaan kembali seperti dulu--- Bayu tetap diam.
Hingga suatu hari, di awal bulan berikutnya --- Bayu pamit, “Mulai hari ini Bayu akan tinggal di tempat kost, Bu.”
Deg
Selama sepersekian detik, Bu Ratiyem merasa jantungnya berhenti berdetak. Dalam sekejap, rasa sesak menyergap relungnya.
“Kamu yakin, Le?” tanya Bu Ratiyem. Matanya nanar dan mulai berkaca-kaca.
Bayu diam hanya mengangguk mantap.
“Jadi kamu masih benci sama ibu? “ tanya Bu Ratiyem lagi, dan kali ini suaranya terdengar putus asa.
Bayu tetap diam --- tak mau menatap ibunya.
“Padahal ibu cuma ingin kamu selamanya jadi orang baik, Nak. Kamu pun pasti tau segala yang kita lakukan di dunia ada konsekuensinya.”
Namun lagi, Bayu tetap bergeming.
“Baiklah, Le. Kalau tinggal di tempat kost bisa membuatmu bahagia dan tenang --- ibu hanya bisa mendoakan... “
Bu Ratiyem tak meneruskan lagi kalimatnya – seperti ada sesuatu yang membuat kerongkongannya tercekat.
“Aku pamit, Bu.”
Usai mencium punggung tangan ibunya, Bayu bergegas meninggalkan rumah. Tak sedikitpun ia menoleh, membuat air mata Bu Ratiyem tak bisa lagi dibendung.
Ribuan detik yang sempat terlampaui dengan cepat saat Bayu kembali p**ang, kini dirasakan Bu Ratiyem kembali melambat.
Ia kembali merasakan, sebuah rasa yang sama --- seperti ketika Bayu harus tinggal di kota lain. Bedanya dulu, mereka saling berkabar lewat telepon.
Kini, jangankan menerima panggilan telepon dari Bayu --- entah sudah berapa ratus kali Bu Ratiyem menelepon, tapi hanya sesekali Bayu menjawab telepon ibunya. Meskipun demikian, Bu Ratiyem tak sekalipun berburuk sangka kepada Bayu --- mungkin dia sibuk, pikirnya.
Kerinduan Bu Ratiyem kepada anak sulungnya semakin memuncak saat hari raya tiba.
“Mas kok nggak p**ang lebaran ya, Bu? Padahal masih satu kota,” keluh Siwi --- anak kedua Bu Ratiyem.
“Mungkin belum sempat, Nduk karena kerjanya padat. Kasian Masmu.”
Siwi tahu, ada masalah yang tengah terjadi di antara ibu dengan kakaknya. Tapi selama tidak ada yang bercerita, tak bisa juga ia masuk dan bertanya.
Waktu terus berjalan ke depan, hingga tiba di penghujung bulan Oktober--- Bu Ratiyem jatuh sakit. Ia tak mau makan, sering menolak untuk minum. Tubuhnya semakin kurus, dan sering menangis. Dalam tidurnya, ia selalu mengigau memanggil-manggil nama Bayu.
Siwi pun memberanikan diri bertanya kepada sang ibu, “Ada apa, Bu? Apa yang Ibu rasakan?”
“Kangen Bayu. Ibu takut Bayu kenapa-kenapa.”
Hampir selalu itu jawaban yang diberikan Bu Ratiyem kepada semua orang.
Kedua adiknya bingung. Mereka telah berusaha menghubungi Bayu – tapi seolah sia-sia, tak ada respon dari Bayu.
Sebulan berikutnya, sebuah berita lelayu diumumkan di masjid dekat rumah. Tepatnya di hari jum'at, Ratiyem binti Sungkono telah berp**ang ke rahmatullah.
Tak juga mendapat kabar dari sang kakak, pada akhirnya kedua adik Bayu hanya bisa pasrah. Mereka kemudian mengirimkan sebuah pesan singkat, memberitahukan bahwa ibu mereka telah mangkat.
Dua hari kemudian Bayu p**ang ke rumah, bertemu dengan kedua adiknya dengan mata sembab dan linangan air mata.
Di saat itu Siwi berkata, “Taukah kamu Mas, ibu sakit karena memikirkanmu --- dan oh ya, sebentar aku ambil sesuatu.”
Siwi bergegas menuju kamar almarhum ibunya, dan segera kembali dengan sebuah buku tulis di tangan. Ia menyerahkan buku itu kepada Bayu.
Bayu segera membukanya, dan menemukan tulisan tangan ibunya di halaman pertama --- serta sebuah amplop berisi sejumlah uang.
Siwi menjelaskan, ""Kata Ibu, uang dalam amplop itu adalah uang pemberian Mas yang selalu Ibu tabung. Sebelum meninggal, Ibu berpesan agar diserahkan kembali ke tangan Mas."
Sedangkan isi surat yang ditulis Bu Ratiyem, “Bayu, anak kebanggaanku. Sampai detik ini ibu nggak tau, apa yang harus ibu perbuat untuk membuatmu kembali seperti Bayu yang dulu, Bayu yang tegar dan selalu di jalan lurus. Tak mengapa Bayu membenci ibu, asalkan Bayu nggak menyakiti diri sendiri lagi dengan kebahagiaan palsu, yang akan berujung penyesalan teramat besar. Ibu sangat berharap, kamu menemukan jalan p**ang. Jangan biarkan dirimu tersesat terlalu dalam, Le.”
Di pusara ibunya, Bayu terisak sejadi-jadinya, “Maafkan aku, Bu --- aku terlambat. Aku... tak tau apa yang terjadi padaku, Bu. Tapi aku janji akan mencari pertolongan, agar suatu hari nanti --- aku bisa kembali membuatmu bangga.”