MMC Reborn

MMC Reborn Media inspirasi Islam ideologis bagi perempuan, generasi, dan keluarga. Pahami Agamamu, Bangga Berislam Kaffah
(1183)

Distorsi Makna Jihad, Akademisi: Strategi Barat dalam Melumpuhkan Kebangkitan Umat | Flash News=========================...
29/07/2025

Distorsi Makna Jihad, Akademisi: Strategi Barat dalam Melumpuhkan Kebangkitan Umat | Flash News

==============================
https://muslimahnews.net/2025/07/28/37809/
==============================

Muslimah News, NASIONAL — Salah satu fenomena mencemaskan hari ini adalah maraknya penyimpangan istilah-istilah syar’i dalam forum-forum intelektual Islam. Hal ini tampak nyata dalam webinar bertema “Jihad Zaman Now: Spirit of Muslim Students in the War of Thought and Moral” yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin (UIN SMH) Banten. Dalam forum tersebut, jihad dipersempit maknanya menjadi sekadar perjuangan moral dan intelektual.

Menyikapi upaya distorsi makna jihad, akademisi Dr. Ernawati, S.K.M., M.P.H. menyampaikan, upaya ini sejalan dengan proyek Islam moderat yang didorong sejak invasi Amerika ke Timur Tengah. “Pemutusan jihad dari aspek politik dan militer adalah strategi Barat untuk melumpuhkan potensi kebangkitan umat,” ucapnya kepada MNews, Jumat (25-7-2025).

Umat Islam, paparnya, dipaksa untuk menyukai versi Islam yang tidak menuntut penerapan syariat dan tidak mengancam dominasi sistem kapitalisme global. “Webinar yang digagas oleh UIN SMH Banten menjadi bagian dari soft power sekularisasi dalam menghapus dimensi politik jihad, menggeser jihad menjadi proyek individual non-politik dan menjadikan mahasiswa agen damai palsu, bukan pelopor perubahan sistem Islam,” terangnya.

Terbaratkan
Menurut Erna, mengganti makna jihad menjadi jihad intelektual dan moral adalah bagian dari upaya musuh Islam untuk memadamkan semangat perubahan sistemis umat Islam. “Tragisnya, banyak intelektual muslim hari ini justru menjadi pembela sistem sekuler. Mereka bangga dengan narasi HAM (hak asasi manusia), demokrasi, pluralisme, dan takut menyuarakan Khilafah dan jihad syar’i karena khawatir dicap radikal. Inilah intelektual yang terbaratkan,” bebernya.

Ia menjabarkan, mereka lahir dari rahim sistem pendidikan sekuler, lalu menjadi pembunuh pemikiran Islam dari dalam. Ia mengutip pendapat Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Kitab At-Takattul Hizbi, “Di tengah umat ada kaum munafik intelektual yang mengaku muslim, tetapi menyerang Islam dari dalam dengan menggambarkan syariat sebagai ancaman.”

Ia menegaskan, jihad bukanlah istilah cair yang dapat dimodifikasi mengikuti selera zaman atau tafsir liberal. “Jihad adalah amal agung dalam Islam berupa aktivitas militer dalam rangka meninggikan kalimat Allah dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Ketika makna ini dikaburkan, maka umat Islam akan kehilangan arah perjuangannya,” jelasnya.

Jihad
Mahasiswa muslim, pinta Erna, seharusnya tidak terjebak dalam bingkai jihad yang telah dikooptasi oleh narasi moderasi dan humanisme sekuler. “Jadi, seharusnya umat saat ini kembali kepada makna jihad sebagaimana yang ditetapkan syariat, yakni aktivitas militer dalam rangka menegakkan Islam. Umat harus menyadari bahwa jihad bukan sekadar amal spiritual, tetapi instrumen pembebasan umat,” paparnya.

Ia menyampaikan, seharusnya umat Islam secara kontinu terus mengopinikan penegakan syariat dan Khilafah, bukan hanya berdakwah soal etika personal. “Mereka harus menjadi pelopor dalam perjuangan menegakkan kembali Islam sebagai ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk jihad, pemerintahan, ekonomi, dan peradilan,” bebernya.

Ia berharap, mahasiswa muslim tidak terjebak dalam bingkai jihad yang telah dikooptasi oleh narasi moderasi dan humanisme sekuler. “Sudah saatnya mahasiswa muslim menolak sekularisasi jihad, dan kembali menapaki jalan Rasulullah saw., yaitu jalan perubahan ideologis menuju tegaknya Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Inilah jihad yang hakiki. Inilah proyek kebangkitan yang harus digenggam dengan serius,” pungkasnya.





Revisi RUU HAP, Mampukah Memberantas Korupsi? I Fokus=====================https://muslimahnews.net/2025/07/28/37819/====...
29/07/2025

Revisi RUU HAP, Mampukah Memberantas Korupsi? I Fokus
=====================
https://muslimahnews.net/2025/07/28/37819/
=====================

Muslimah News, FOKUS — Revisi Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) yang tengah digodok DPR mendapat sorotan tajam dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, ada sejumlah pasal krusial yang berpotensi melemahkan fungsi KPK.

KPK menilai bahwa setidaknya ada 17 isu krusial. Salah satu yang disorot adalah usulan dalam RUU HAP agar penyadapan hanya boleh dilakukan setelah ada izin dari hakim pengawas. Dalam draf RUU tersebut, Pasal 83 menyatakan bahwa penyadapan harus mendapat persetujuan dari ketua pengadilan negeri dalam waktu 1×24 jam sejak permohonan diajukan.

Dalam konteks KPK, regulasi semacam ini dapat menjadi pintu masuk bagi kebocoran informasi. Ini sebagaimana diungkapkan Deputi Penindakan KPK Asep Guntur, “Ketika izin penggeledahan harus melalui sistem peradilan biasa, bukan tidak mungkin bocor. Informasi akan sampai duluan ke pihak yang sedang diperiksa.”

Kegundahan KPK tentu beralasan di tengah korupsi yang makin sistematis, terstruktur, dan masif. Sampai pertengahan 2025 saja berbagai kasus korupsi berskala besar yang melibatkan pejabat tinggi, BUMN, dan sektor swasta terungkap.

Kasus korupsi terbesar tahun ini, misalnya, melibatkan PT Pertamina Patra Niaga dan anak usahanya dalam pengelolaan minyak mentah dan produk kilang selama periode 2018—2023. Kejaksaan Agung mengungkap bahwa praktik korupsi ini menyebabkan kerugian negara hingga Rp968,5 triliun.

Kasus lain, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto ditangkap oleh KPK atas tuduhan suap dan menghalangi penyidikan dalam kasus yang melibatkan Harun Masiku, politisi buron sejak 2020. Hasto diduga menyuap pejabat pemilu untuk mengamankan kursi parlemen dan menginstruksikan Masiku untuk menghindari penyelidikan. KPK juga tengah menyelidiki kasus dugaan korupsi di Bank Jawa Barat dan Banten (Bank BJB) terkait dana iklan fiktif yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp222 miliar akibat selisih bayar.

Dilemahkan Sejak Lama

Proses pelemahan KPK sebagai lembaga independen yang mendapatkan mandat untuk melakukan pemberantasan korupsi disinyalir telah dilakukan sejak lama. Para oligarki politik dan ekonomi yang selama ini terusik dengan kesigapan KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi di berbagai sektor, tidak menghendaki KPK mempunyai kekuatan yang memungkinkan lembaga tersebut melakukan penyelidikan, penyidikan, hingga penetapan tersangka.

Pintu masuk utama untuk melemahkan KPK adalah dengan melakukan revisi UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau lebih dikenal dengan UU KPK. Wacananya telah bergulir sejak 2015. Akhirnya, pada September 2019 DPR mengesahkan revisi UU 30/2002 tentang KPK menjadi UU 19/2019 dengan sejumlah kewenangan yang telah dihilangkan atau direduksi.

Merespons UU KPK tersebut, pimpinan KPK saat itu mengajukan judicial review ke MK mengenai 26 poin yang dianggap sebagai upaya pelemahan kewenangan KPK. Namun, permohonan tersebut ditolak oleh MK pada Maret 2021. Beberapa poin dalam revisi UU KPK yang diduga sebagai upaya pelemahan KPK di antaranya adalah: 1) pelemahan independensi KPK; 2) pembentukan Dewan Pengawas dengan sejumlah kewenangan yang membatasi kewenangan Pimpinan KPK; 3) kewenangan untuk menerbitkan SP3 dan penghentian penuntutan; dan 4) alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Saat revisi dilakukan pada 2019, pemerintah beralasan bahwa revisi UU KPK dilakukan karena lembaga KPK bisa menghambat upaya investasi. Akan tetapi, yang tidak dikemukakan pemerintah dan DPR secara eksplisit adalah bahwa mereka takut pada penyadapan yang dilakukan KPK. Dalam rekam jejak KPK, mereka telah berulang kali menyadap pejabat pemerintah dan anggota DPR.

Di antara kasus yang pernah terungkap melalui penyadapan adalah kasus penyuapan menteri kehutanan MS Kaban dan anggota DPR pada 2007, penyuapan hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada 2015, kasus penyuapan anggota DPRD Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan pada 2015, dan lain-lain. Revisi RUU HAP 2025 disinyalir juga melemahkan fungsi KPK dalam penyadapan ini.

Faktor Ideologis

Meskipun KPK berkomitmen memberantas korupsi, nyatanya gurita korupsi sudah mencengkeram semua lembaga di negeri ini. Seluruh kebijakan yang ditetapkan seolah tidak bisa dilepaskan dari praktik korupsi.

Jika ditelisik lebih mendalam, sulitnya pemberantasan korupsi bukan sekadar faktor teknis, tetapi lebih karena faktor ideologis. Sistem kehidupan sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan telah menjadikan manusia tidak berlandaskan agama. Mereka tidak memiliki kontrol internal untuk mencegah dirinya melakukan perbuatan dosa. Ini juga terjadi pada para penguasanya. Mereka membuang agama dari kehidupan bernegara dan menjadikan standar perbuatan mereka bukan halal haram, melainkan manfaat materi semata.

Kehidupan sekuler juga menghilangkan kontrol eksternal. Kehidupan yang individualistik menjadikan masyarakat fokus pada kehidupannya sendiri tanpa peduli pada kehidupan orang lain. Hubungan antarmanusia hanya sebatas materi. Inilah yang menjadikan korupsi berjemaah makin menggurita. Pelaku korupsi merasa lebih baik saling menutupi agar kepentingan aman terjaga daripada saling melaporkan.

Selain itu, sistem politik demokrasi yang berbiaya mahal menumbuhsuburkan politik transaksional. Bukan rahasia lagi bahwa seseorang yang mencalonkan dirinya untuk masuk parlemen akan membutuhkan banyak biaya. Lahirlah dari sini cukong politik, yakni orang-orang yang memberikan dana untuk pemenangan salah satu calon.

Wajar saja jika banyak pejabat pada awal masa jabatannya sibuk mengembalikan uang milik sponsornya. Ia akan melakukan berbagai cara, termasuk mencari celah untuk korupsi dalam setiap programnya.

Terlebih, sistem politik demokrasi yang sekuler hanya akan menjaring para politisi yang bervisi bisnis. Mereka mencalonkan dirinya menggunakan hitung-hitungan materi. Walhasil, saat menjabat, mereka akan memosisikan dirinya sebagai pedagang yang sedang “berjualan” pemenuhan kebutuhan hidup pada rakyat dan “berjualan” kebijakan kepada para pengusaha. Semua itu semata untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya.

Sanksi bagi koruptor yang lahir dari akal manusia juga tidak menciptakan efek jera. Berdasarkan riset ICW, koruptor hanya dihukum rata-rata dua tahun oleh pengadilan. Jaksa Pinangki, misalnya, yang sudah terbukti merugikan negara triliunan rupiah hanya menjalani hukuman penjara selama satu tahun satu bulan, jauh dari vonis majelis hakim tingkat banding yang menghukum Pinangki dengan pidana empat tahun penjara. Belum lagi sel tahanan koruptor yang mewah, berbeda 180 derajat dengan sel tahanan rakyat biasa. Semua itu makin mengikis rasa keadilan di tengah rakyat.

Oleh karena itu, sekuat apa pun KPK berusaha memberantas korupsi, selama sistem demokrasi masih diterapkan, korupsi tidak pernah akan berhenti karena demokrasi adalah penyebab tindak korupsi makin subur. Para pejabat bahu-membahu melakukan korupsi, politik saling sandera menjadikan mereka saling menutupi aib agar tidak terbongkar.

Islam Mampu Memberantas Korupsi

Karena korupsi bersifat ideologis maka penyelesaiannya harus bersifat ideologis. Sistem politik demokrasi telah gagal mewujudkan pemerintahan yang bersih dari para koruptor, sedangkan sistem Islam dipastikan mampu menjamin pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi. Pasalnya, Islam memiliki mekanisme yang ampuh dalam mencegah korupsi.

Mekanisme Islam dalam mencegah korupsi adalah:

Pertama, sistem kehidupan Islam menjadikan akidah sebagai landasan kehidupan. Dengan landasan ini seseorang akan senantiasa merasa diawasi oleh Allah Swt. dalam setiap perbuatan yang dilakukannya. Ia menyadari konsekuensi setiap perbuatannya, baik di dunia maupun di akhirat. Kesadaran ini akan melahirkan takwa pada diri seseorang sehingga ia akan melakukan sesuai dengan perintah Allah Swt.

Dalam Al-Qur’an surah Al-Mujadalah ayat 7 Allah Swt. berfirman yang artinya, “Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah keenamnya. Dan tiada (p**a) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Keyakinan seperti ini yang menjadi jaminan adanya kontrol internal. Baik rakyat maupun pejabat akan memperhatikan perilakunya agar sesuai dengan perintah Allah Swt. Sedangkan korupsi tentu mengundang murka Allah Swt. maka akan dihindari.

Kedua, sistem politik Islam menandaskan bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Ini sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw., “Kalian semua adalah pemimpin dan akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Seorang amir yang mengurus banyak orang adalah pemimpin dan akan ditanya tentang mereka.” (Muttafaq ’alaihi).

Di dalam Islam, motivasi menjadi penguasa semata untuk mengabdi kepada Allah Swt. dengan mengurus rakyat. Ia akan amanah dan kapabel sebab seseorang yang tidak memiliki kemampuan tidak akan berani mencalonkan diri menjadi pejabat. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga atasnya.“ (Muttafaq alaih).

Selain itu, sistem politik Islam bersifat tunggal, simpel, dan berbiaya murah. Hanya khalifah yang diberi kewenangan untuk mengangkat atau mencopot pejabat negara. Dengan demikian, tidak ada praktik politik transaksional (jual beli jabatan dan kebijakan) yang lumrah terjadi di sistem demokrasi.

Ketiga, sistem sanksi menjerakan. Sanksi bagi pejabat yang korupsi adalah takzir yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim atau kadi. Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nizhamul Uqubat hlm. 78—89 menjelaskan bentuk sanksi bagi koruptor bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekadar nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman takzir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.

Demikianlah persoalan korupsi akan tuntas dengan menerapkan syariat Islam sehingga terwujud pemerintahan yang bersih. Keadilan dan kesejahteraan terwujud di tengah masyarakat. Semua itu hanya akan terwujud jika Islam kafah diterapkan dalam sistem Khilafah Islam.

Pengamat: Kejahatan Perdagangan Bayi Adalah Hasil Kegagalan Demokrasi Kapitalisme | Flash News==========================...
28/07/2025

Pengamat: Kejahatan Perdagangan Bayi Adalah Hasil Kegagalan Demokrasi Kapitalisme | Flash News

===============================
https://muslimahnews.net/2025/07/28/37812/
===============================

Muslimah News, NASIONAL — Kepolisian Daerah Jawa Barat mengamankan satu pelaku yang disebut mempunyai “peran besar” dalam sindikat perdagangan bayi yang telah beroperasi sejak 2023. Sebelumnya, kepolisian telah menetapkan 13 tersangka dalam kasus ini. Di antaranya LS atau LI alias Popo, perempuan lansia berusia 69 tahun, masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan ditangkap saat hendak meninggalkan Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta.

Menyikapi hal tersebut, pengamat politik Fatma Sunardi angkat bicara. “Kejahatan penjualan bayi terindikasi TPPO adalah hasil dari kegagalan pembangunan ekonomi kapitalisme dan politik demokrasi,” ucapnya kepada MNews, Jumat (25-7-2025).

Menurutnya, hal ini karena modus penjualan bayi menyasar para perempuan yang sedang dalam kondisi yang jauh dari sejahtera. “Kondisi kemiskinan, menjadi korban kejahatan, dan penelantaran adalah hasil dari keputusan politik untuk mengarahkan pembangunan ekonomi Indonesia,” jelasnya.

Di Indonesia, lanjutnya, kemiskinan yang bertemu ekosistem TPPO yang kuat menjadikan perempuan dalam pusaran kejahatan dan mencabut sisi kemanusiaannya, baik sebagai manusia ataupun sebagai ibu. “Berbagai realitas ini harus menjadi bahan kritik pada sejumlah kebijakan dan program bagi perempuan. Apakah program itu memenuhi kebutuhan dasar perempuan, baik sebagai manusia, individu, maupun sebagai perempuan?” tanyanya.

Kesetaraan Gender

Selama ini, ungkap Fatma, persoalan yang menimpa perempuan selalu dikaitkan dengan hak-hak perempuan dalam perspektif gender, seraya menutupi kegagalan negara dalam memenuhi hak-hak dasar perempuan. “Pendekatan kesetaraan gender yang dipakai saat ini tidak mampu menyelesaikan masalah pemenuhan kebutuhan dasar perempuan, berupa pangan, pendidikan dan kesehatan,” jabarnya.

Ia menilai, kesetaraan gender menjadikan perempuan pelayan bagi para pemodal (kapitalis), dengan menjadikan perempuan sebagai pekerja. “Politik ekonomi kapitalisme telah gagal menjadikan perempuan sejahtera dan mulia. Saat ini, mendesak untuk mengevaluasi arah pembangunan khususnya yang melibatkan perempuan,” jelasnya.

Logika pemberdayaan perempuan, paparnya, tentang kehidupan sejahtera hanya bisa diraih oleh perempuan dengan bekerja sebagaimana laki-laki, tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan perempuan. “Dari awal, program pemberdayaan perempuan memang dirancang untuk memberikan dukungan kepada ekonomi kapitalisme, tujuannya adalah untuk menjadikan perempuan sebagai bagian dari rantai pasok tenaga kerja, sekaligus pasar bagi produk-produk industri,” jelasnya.

Islam

Fatma menuturkan, ekonomi kapitalisme yang diakomodasi oleh sistem politik demokrasi tidak pernah memberi kepastian tentang bagaimana kebutuhan dasar tiap orang terpenuhi, termasuk perempuan. “Masalah pemenuhan kebutuhan dasar orang per orang dan kebutuhan masyarakat selalu akan menjadi persoalan. Hal ini berbeda jauh dengan politik ekonomi Islam dalam menyejahterakan dan memuliakan perempuan,” jelasnya.

Ia mengutip pendapat Abdurrahman al-Maliki dalam kitab As-Siyaasatul al-Iqtishodiyatu al-Mutsla, ada skema menyejahterakan setiap warga negara termasuk perempuan. Pertama, jelasnya, adanya jaminan pemenuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan kepada orang per orang. “Jaminan ini mengharuskan adanya nafkah untuk belanja kebutuhan dasar dan laki-laki yang balig punya kewajiban untuk mencari nafkah dan menafkahi perempuan sesuai jalur perwalian,” ucapnya.

Kedua, imbuhnya, jaminan kebutuhan dasar yang dibutuhkan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar kehidupan, seperti jalan, jembatan, saluran irigasi, dan lain-lain. Negara, katanya, bertanggung jawab untuk menyediakan bagi rakyatnya. Ketiga, lanjutnya, negara mengembangkan ekonomi, baik bidang pertanian, jasa, perdagangan, maupun industri.

“Skema ketiga ini dilakukan sesuai dengan ketentuan kepemilikan dalam Islam, pengembangan harta, dan berbagai hukum syarak yang terkait dengan kegiatan ekonomi. Inilah keunggulan politik ekonomi Islam dalam menyejahterakan setiap orang termasuk perempuan,” pungkasnya.





Tanah Telantar Diambil Negara, demi Kepentingan Siapa? I Fokus======================https://muslimahnews.net/2025/07/24/...
28/07/2025

Tanah Telantar Diambil Negara, demi Kepentingan Siapa? I Fokus
======================
https://muslimahnews.net/2025/07/24/37772/
======================

Muslimah News, FOKUS — Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa tanah yang dibiarkan tidak digunakan atau tanah terlantar selama dua tahun berpotensi diambil alih negara. Ketentuan ini diatur dalam PP 20/2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar.

Kepala Biro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN Harison Mocodompis pada Rabu (16-7-2025) menyatakan tanah-tanah telantar itu jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai dua tahun sejak diterbitkannya hak maka akan diidentifikasi oleh negara.

Kategori Tanah Telantar

Seluruh tanah dengan hak sesuai hukum pertanahan di Indonesia bisa menjadi objek tanah telantar. Ini meliputi Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan (HPL), dan Hak Pakai. Pada lahan berstatus HGU dan HGB, pemilik wajib melampirkan proposal usaha, rencana bisnis, hingga studi kelayakan saat pendaftaran.

Pada umumnya, HGU digunakan untuk perkebunan, sedangkan HGB diperuntukkan bagi pembangunan perumahan, ruko, dan pusat perbelanjaan. Jika tidak ada perkembangan usaha dalam waktu dua tahun, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN akan menginventarisasi dan mengidentifikasi lahan tersebut sebagai potensi tanah telantar.

Lahan berstatus Hak Milik juga dapat ditetapkan sebagai tanah telantar jika sengaja tidak digunakan atau dimanfaatkan hingga akhirnya dikuasai pihak lain. Misalnya, tanah berubah menjadi permukiman selama 20 tahun tanpa sepengetahuan pemilik atau tanpa hubungan hukum.

Banyak konflik lahan berawal dari tanah kosong yang dianggap tidak bertuan lalu diduduki orang lain. Meski begitu, tanah berstatus Hak Milik jarang ditelantarkan karena umumnya bersifat turun-temurun, seperti pekarangan atau rumah warisan. Tanah seperti itu tidak masuk kategori tanah telantar karena identitas kepemilikannya jelas dan diketahui oleh warga sekitar serta pemerintah desa, apalagi jika sudah bersertifikat.

Kementerian ATR/BPN mengeklaim tidak serta-merta mengambil alih tanah yang tidak digunakan. Pemerintah akan memeriksa alasan di balik kondisi lahan yang kosong. Jika pemilik tidak bisa memberikan penjelasan yang layak, pemerintah akan mengirimkan surat peringatan hingga tiga kali. Jika tidak ada perubahan, tanah itu bisa ditetapkan sebagai tanah telantar dan diambil alih negara. Oleh karena itu, aturan ini lebih menyasar tanah kosong yang dibiarkan begitu saja tanpa pagar, bangunan, atau pemanfaatan seperti perkebunan.

Tanah Sebagai Komoditas Ekonomi

Sayang, pemerintah menggunakan sistem kapitalisme untuk mengelola sumber daya tanah. Tanah dipandang sebagai komoditas ekonomi, alih-alih lahan yang bisa mendukung kesejahteraan rakyat. Harga tanah di pasaran pun ibarat emas yang sangat mahal dan terus meningkat tiap periode tertentu. Untuk tanah dengan lokasi strategis, nilai ekonomisnya juga makin tinggi.

Jelas, klaim perihal mekanisme pengelolaan dan kategori tanah yang bisa diambil alih oleh negara sebagaimana ulasan tadi tidak ubahnya lipstik yang tampak manis di mulut saja. Realitas yang terjadi ternyata pahit. Kasus perampasan ruang hidup warga justru marak seiring dengan obral HGU dan HGB yang sejak era Orde Baru banyak diberikan kepada para pengusaha besar.

Bahkan, saat ini pemerintah tidak segan mengambil alih lahan rakyat maupun hutan adat demi menyukseskan pembangunan sejumlah infrastruktur atas nama proyek strategis nasional (PSN), padahal lahan itu bukan lahan kosong tanpa pemilik. Sedangkan PSN sendiri hanyalah legalitas yang seolah-olah menunjukkan bahwa suatu proyek itu milik negara, tetapi sebenarnya pelaksana beserta sumber modalnya adalah swasta.

Kondisi ini membuat rakyat kecil kesulitan memiliki lahan untuk tempat tinggal, bertani, atau berdagang. Negara yang semestinya menjadi pembela serta pelindung urusan dan hak rakyat justru menjadi fasilitator kepentingan pemodal. Penarikan tanah telantar berpotensi menjadi celah pemanfaatan tanah untuk kepentingan oligarki.

Kepentingan Kapitalis

Semua ini sejalan dengan orientasi politik pemerintah saat ini yang fokus pada pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan kekuatan kapital seluas-luasnya. Hal ini dengan sendirinya akan menciptakan sejumlah perubahan pada sektor publik. Pada sektor agraria, misalnya, orientasi politik pemerintah akan berdampak pada pengaturan kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah, serta orientasi pembangunan agraria secara umum.

Demi mendorong laju investasi dan membuka sirkulasi kapital di Indonesia, pemerintah memosisikan diri sebagai “agen” yang memberikan jaminan dan kepastian hukum terkait ketersediaan tanah bagi korporasi. Hal ini tampak dari terbitnya sejumlah paket kebijakan yang pro terhadap investasi, seperti Perpres 28/2018 tentang Reforma Agraria dan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja.

Dalam Perppu Cipta Kerja terdapat badan khusus yang dibentuk oleh pemerintah untuk melakukan konsolidasi lahan dalam rangka memperlancar proses akumulasi kapital. Melalui PP 64/2021 tentang Badan Bank Tanah, badan tersebut berwenang mengambil alih lahan-lahan yang dianggap telantar (tidak punya status hak atas tanah secara legal), lahan bekas tambang, lahan pelepasan kawasan hutan, dan lainnya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7 dan 8.

Sebagai informasi, ketersediaan tanah menjadi instrumen penting dalam mekanisme akumulasi kapital. Menyediakan tanah untuk kepentingan investasi dan akumulasi kapital adalah langkah strategis pemerintah untuk menciptakan iklim yang ramah terhadap investasi melalui mekanisme pembentukan pasar tanah.

Bank Tanah adalah tautan kunci bagi reforma agraria pada era Jokowi. Ini tertuang dalam Pasal 127 Perppu 2/2022 bahwa Bank Tanah berperan menjadi landasan bagi pembentukan dan penguatan pasar tanah di Indonesia. Tidak pelak, klaim pemerintah untuk mengambil alih tanah telantar berkelindan erat dengan fungsi Bank Tanah selaku penyedia tanah untuk kepentingan kapitalis.

Kepemilikan Tanah di Dalam Islam

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan di dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam) bahwa di dalam sistem Islam (Khilafah) kepemilikan tanah terbagi atas tiga jenis, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Namun, dalam hal ini negara/penguasa tidak boleh menetapkan status suatu tanah/harta yang sejatinya milik umum ataupun negara untuk menjadi milik individu dengan alasan kemaslahatan. Kemaslahatan itu harus mengikuti ketetapan syariat, baik terkait dengan kepemilikan individu, umum, ataupun negara.

Tanah yang berstatus kepemilikan individu adalah tanah yang menjadi hak/otoritas seseorang menurut ketetapan syariat sebagai bagian dari kekayaan yang dimilikinya. Batasan kepemilikan tanah oleh individu ini tampak pada sebab-sebab kepemilikan yang syar’i, seperti bekerja, pewarisan, pemberian dari negara, dan perolehan tanpa kompensasi harta/tenaga.

Salah satu wujud dari aktivitas bekerja adalah menghidupkan tanah mati. Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Maksud menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat) adalah memanfaatkannya dengan cara apa pun yang bisa menjadikan tanah tersebut hidup. Rasulullah saw. bersabda,

من احيا ارضا ميتة فهي له

“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Bukhari dari penuturan Umar bin Khaththab ra.).

Kepemilikan individu ini sangat dilindungi oleh hukum syarak. Tidak boleh ada seorang pun yang merampasnya secara paksa, meski itu negara sekalipun, apalagi dengan dalih demi kemaslahatan umum dan bahkan negara bersedia membayar harganya. Setiap pelanggaran atas kepemilikan individu adalah tindakan zalim yang bisa diadukan kepada Mahkamah Mazalim atau penguasa/hakim.

Syekh Abdurrahman al-Maliki menjelaskan di dalam kitab As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla (Politik Ekonomi Islam) bahwa konteks permasalahan tanah tidak terletak pada pendistribusian di antara manusia, melainkan pada aspek produktivitasnya. Produktivitas tanah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kepemilikan tanah. Tanah tetap mampu berproduksi tanpa campur tangan pihak lain sehingga kemampuan produksi tanah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaannya.

Untuk itu, kepemilikan tanah tidak sama dengan harta benda lainnya. Kepemilikan tanah akan tetap ada jika produktivitasnya ada dan hak kepemilikan akan hilang jika produksi tidak terealisasi, baik tanah itu luas atau sempit, maupun kepemilikan tanah di antara manusia itu sama atau berbeda.

Khalifah Umar ra. pernah berkata,

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ، فَعَطَّلَهَا ثَلَاثَ سِنِينَ، لَا يُعَمِّرُهَا، فَعَمَّرَهَا غَيْرُهُ، فَهُوَ أَحَقُّ بها

“Siapa saja yang memiliki tanah, lalu ia telantarkan selama tiga tahun, tidak ia gunakan, kemudian datang orang lain memanfaatkan tanah itu, maka orang lain itu lebih berhak atas tanah tersebut.”

Umar ra. juga berkata, “Orang yang memagari tidak punya hak (atas tanahnya) setelah tiga tahun berturut-turut (ditelantarkan).” (HR Abu Yusuf dan Abu ‘Ubaid).

Ali Haidar Khawajah Amin Afandi di dalam Duraru al-Hukâm fî Syarhi Majallati al-Ahkâm, setelah menyebutkan ucapan Umar ini, ia menyatakan, “Sungguh umat telah berijmak atas yang demikian.”

Langkah Khalifah Umar itu didengar dan diketahui oleh para sahabat dan tidak ada seorang pun yang mengingkari kebijakan ini. Padahal, perkara itu termasuk perkara yang harus diingkari jika menyalahi hukum syariat karena mengambil tanah dari pemiliknya adalah haram. Ini menunjukkan telah terjadi ijmak sahabat dalam bentuk ijmâ’ sukuti bahwa pemilik tanah yang menelantarkan tanahnya lebih dari tiga tahun berturut-turut maka kepemilikannya atas tanah itu telah hilang. Tanah yang telantar itu diambil oleh khalifah, yakni oleh negara, dan dibagikan atau diberikan kepada kaum muslim yang sanggup menggarap tanah tersebut.

Selanjutnya terkait tanah yang menjadi kepemilikan umum, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani juga menjelaskan di dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam bahwa salah satu jenis harta kepemilikan umum adalah fasilitas umum yang jika tidak ada di dalam suatu negeri atau komunitas akan menimbulkan sengketa. Fasilitas umum adalah segala sesuatu yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum.

Rasulullah saw. menjelaskan mengenai fasilitas umum ini adalah dari segi sifatnya, bukan jumlahnya. Beliau saw. bersabda,

المسلمون شركاء في ثلاث في الكلا والماء والنار

“Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, air, padang penggembalaan, dan api.” (HR Abu Dawud).

Menurut hadis ini, ada tanah/lahan yang berstatus kepemilikan umum. Yang termasuk lahan milik umum adalah seperti hutan, tanah-tanah umum, lapangan, jalan raya, dan sebagainya. Dari segi sifatnya, tanah milik umum tidak bisa dimiliki oleh individu, tetapi setiap individu boleh memanfaatkannya.

Sedangkan tanah milik negara adalah tanah yang negara berhak memberikan tanah tersebut kepada individu tertentu dan tidak kepada yang lain. Negara juga berhak mencegahnya dari individu. Negara bahkan boleh memproteksi sebagian tempat/lahan yang berstatus harta milik umum untuk suatu kebutuhan tertentu. Rasulullah saw. bersabda,

لا حمى الا لله ولرسوله

“Tidak ada proteksi kecuali oleh Allah dan Rasul-Nya.” (HR Abu Dawud dari Sha’b bin Jutsamah ra.).

Segala sesuatu milik Allah dan Rasul artinya milik negara. Dalam hal ini Rasulullah saw. pernah memproteksi beberapa tempat, seperti Naqi’ yang dikhususkan untuk memberi minum kuda-kuda kaum muslim yang digunakan untuk berperang di jalan Allah. Rasulullah saw. melarang orang-orang untuk menghidupkan tanah di tempat itu karena memiliki banyak rumput yang bisa digunakan untuk menggembala hewan ternak tertentu dan tidak boleh untuk menggembala hewan lain.

Namun, negara tidak boleh menyerahkan tanah negara untuk dikuasai individu/swasta tanpa batas. Negara akan mengelola tanah-tanah milik negara untuk proyek strategis dalam rangka kebutuhan rakyat, seperti permukiman, pertanian, infrastruktur umum, bahkan kebutuhan logistik jihad. Tanah negara bukan untuk dijual kepada asing atau dikuasai korporasi. Tujuan pengelolaan tanah oleh negara jelas bukan profit, melainkan pengaturan urusan rakyat (ri’ayah), kesejahteraan, dan keberkahan.

Demikianlah pembahasan mengenai jenis kepemilikan tanah menurut Islam. Konsep Islam dalam pengelolaan tanah jelas berbeda dengan kapitalisme yang sangat lekat dengan orientasi materi. Tidak heran, penguasa dalam sistem sekuler kapitalisme justru membela para kapitalis karena landasan sistemnya berasas manfaat serta sekularisme yang tidak akan memberi ruang pengaturan oleh syariat. Sungguh, jika kisruh peraturan mengenai pertanahan ini dibiarkan terus dengan aturan sekuler, kezaliman demi kezaliman akan datang silih berganti. Wallahualam bissawab.

Address

Jakarta
<<NOT-APPLICABLE>>

Telephone

+6285700214453

Website

https://www.youtube.com/@MuslimahMediaHub

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when MMC Reborn posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share

Category