28/07/2025
Tanah Telantar Diambil Negara, demi Kepentingan Siapa? I Fokus
======================
https://muslimahnews.net/2025/07/24/37772/
======================
Muslimah News, FOKUS — Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa tanah yang dibiarkan tidak digunakan atau tanah terlantar selama dua tahun berpotensi diambil alih negara. Ketentuan ini diatur dalam PP 20/2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar.
Kepala Biro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN Harison Mocodompis pada Rabu (16-7-2025) menyatakan tanah-tanah telantar itu jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai dua tahun sejak diterbitkannya hak maka akan diidentifikasi oleh negara.
Kategori Tanah Telantar
Seluruh tanah dengan hak sesuai hukum pertanahan di Indonesia bisa menjadi objek tanah telantar. Ini meliputi Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan (HPL), dan Hak Pakai. Pada lahan berstatus HGU dan HGB, pemilik wajib melampirkan proposal usaha, rencana bisnis, hingga studi kelayakan saat pendaftaran.
Pada umumnya, HGU digunakan untuk perkebunan, sedangkan HGB diperuntukkan bagi pembangunan perumahan, ruko, dan pusat perbelanjaan. Jika tidak ada perkembangan usaha dalam waktu dua tahun, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN akan menginventarisasi dan mengidentifikasi lahan tersebut sebagai potensi tanah telantar.
Lahan berstatus Hak Milik juga dapat ditetapkan sebagai tanah telantar jika sengaja tidak digunakan atau dimanfaatkan hingga akhirnya dikuasai pihak lain. Misalnya, tanah berubah menjadi permukiman selama 20 tahun tanpa sepengetahuan pemilik atau tanpa hubungan hukum.
Banyak konflik lahan berawal dari tanah kosong yang dianggap tidak bertuan lalu diduduki orang lain. Meski begitu, tanah berstatus Hak Milik jarang ditelantarkan karena umumnya bersifat turun-temurun, seperti pekarangan atau rumah warisan. Tanah seperti itu tidak masuk kategori tanah telantar karena identitas kepemilikannya jelas dan diketahui oleh warga sekitar serta pemerintah desa, apalagi jika sudah bersertifikat.
Kementerian ATR/BPN mengeklaim tidak serta-merta mengambil alih tanah yang tidak digunakan. Pemerintah akan memeriksa alasan di balik kondisi lahan yang kosong. Jika pemilik tidak bisa memberikan penjelasan yang layak, pemerintah akan mengirimkan surat peringatan hingga tiga kali. Jika tidak ada perubahan, tanah itu bisa ditetapkan sebagai tanah telantar dan diambil alih negara. Oleh karena itu, aturan ini lebih menyasar tanah kosong yang dibiarkan begitu saja tanpa pagar, bangunan, atau pemanfaatan seperti perkebunan.
Tanah Sebagai Komoditas Ekonomi
Sayang, pemerintah menggunakan sistem kapitalisme untuk mengelola sumber daya tanah. Tanah dipandang sebagai komoditas ekonomi, alih-alih lahan yang bisa mendukung kesejahteraan rakyat. Harga tanah di pasaran pun ibarat emas yang sangat mahal dan terus meningkat tiap periode tertentu. Untuk tanah dengan lokasi strategis, nilai ekonomisnya juga makin tinggi.
Jelas, klaim perihal mekanisme pengelolaan dan kategori tanah yang bisa diambil alih oleh negara sebagaimana ulasan tadi tidak ubahnya lipstik yang tampak manis di mulut saja. Realitas yang terjadi ternyata pahit. Kasus perampasan ruang hidup warga justru marak seiring dengan obral HGU dan HGB yang sejak era Orde Baru banyak diberikan kepada para pengusaha besar.
Bahkan, saat ini pemerintah tidak segan mengambil alih lahan rakyat maupun hutan adat demi menyukseskan pembangunan sejumlah infrastruktur atas nama proyek strategis nasional (PSN), padahal lahan itu bukan lahan kosong tanpa pemilik. Sedangkan PSN sendiri hanyalah legalitas yang seolah-olah menunjukkan bahwa suatu proyek itu milik negara, tetapi sebenarnya pelaksana beserta sumber modalnya adalah swasta.
Kondisi ini membuat rakyat kecil kesulitan memiliki lahan untuk tempat tinggal, bertani, atau berdagang. Negara yang semestinya menjadi pembela serta pelindung urusan dan hak rakyat justru menjadi fasilitator kepentingan pemodal. Penarikan tanah telantar berpotensi menjadi celah pemanfaatan tanah untuk kepentingan oligarki.
Kepentingan Kapitalis
Semua ini sejalan dengan orientasi politik pemerintah saat ini yang fokus pada pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan kekuatan kapital seluas-luasnya. Hal ini dengan sendirinya akan menciptakan sejumlah perubahan pada sektor publik. Pada sektor agraria, misalnya, orientasi politik pemerintah akan berdampak pada pengaturan kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah, serta orientasi pembangunan agraria secara umum.
Demi mendorong laju investasi dan membuka sirkulasi kapital di Indonesia, pemerintah memosisikan diri sebagai “agen” yang memberikan jaminan dan kepastian hukum terkait ketersediaan tanah bagi korporasi. Hal ini tampak dari terbitnya sejumlah paket kebijakan yang pro terhadap investasi, seperti Perpres 28/2018 tentang Reforma Agraria dan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja.
Dalam Perppu Cipta Kerja terdapat badan khusus yang dibentuk oleh pemerintah untuk melakukan konsolidasi lahan dalam rangka memperlancar proses akumulasi kapital. Melalui PP 64/2021 tentang Badan Bank Tanah, badan tersebut berwenang mengambil alih lahan-lahan yang dianggap telantar (tidak punya status hak atas tanah secara legal), lahan bekas tambang, lahan pelepasan kawasan hutan, dan lainnya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7 dan 8.
Sebagai informasi, ketersediaan tanah menjadi instrumen penting dalam mekanisme akumulasi kapital. Menyediakan tanah untuk kepentingan investasi dan akumulasi kapital adalah langkah strategis pemerintah untuk menciptakan iklim yang ramah terhadap investasi melalui mekanisme pembentukan pasar tanah.
Bank Tanah adalah tautan kunci bagi reforma agraria pada era Jokowi. Ini tertuang dalam Pasal 127 Perppu 2/2022 bahwa Bank Tanah berperan menjadi landasan bagi pembentukan dan penguatan pasar tanah di Indonesia. Tidak pelak, klaim pemerintah untuk mengambil alih tanah telantar berkelindan erat dengan fungsi Bank Tanah selaku penyedia tanah untuk kepentingan kapitalis.
Kepemilikan Tanah di Dalam Islam
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan di dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam) bahwa di dalam sistem Islam (Khilafah) kepemilikan tanah terbagi atas tiga jenis, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Namun, dalam hal ini negara/penguasa tidak boleh menetapkan status suatu tanah/harta yang sejatinya milik umum ataupun negara untuk menjadi milik individu dengan alasan kemaslahatan. Kemaslahatan itu harus mengikuti ketetapan syariat, baik terkait dengan kepemilikan individu, umum, ataupun negara.
Tanah yang berstatus kepemilikan individu adalah tanah yang menjadi hak/otoritas seseorang menurut ketetapan syariat sebagai bagian dari kekayaan yang dimilikinya. Batasan kepemilikan tanah oleh individu ini tampak pada sebab-sebab kepemilikan yang syar’i, seperti bekerja, pewarisan, pemberian dari negara, dan perolehan tanpa kompensasi harta/tenaga.
Salah satu wujud dari aktivitas bekerja adalah menghidupkan tanah mati. Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Maksud menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat) adalah memanfaatkannya dengan cara apa pun yang bisa menjadikan tanah tersebut hidup. Rasulullah saw. bersabda,
من احيا ارضا ميتة فهي له
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Bukhari dari penuturan Umar bin Khaththab ra.).
Kepemilikan individu ini sangat dilindungi oleh hukum syarak. Tidak boleh ada seorang pun yang merampasnya secara paksa, meski itu negara sekalipun, apalagi dengan dalih demi kemaslahatan umum dan bahkan negara bersedia membayar harganya. Setiap pelanggaran atas kepemilikan individu adalah tindakan zalim yang bisa diadukan kepada Mahkamah Mazalim atau penguasa/hakim.
Syekh Abdurrahman al-Maliki menjelaskan di dalam kitab As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla (Politik Ekonomi Islam) bahwa konteks permasalahan tanah tidak terletak pada pendistribusian di antara manusia, melainkan pada aspek produktivitasnya. Produktivitas tanah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kepemilikan tanah. Tanah tetap mampu berproduksi tanpa campur tangan pihak lain sehingga kemampuan produksi tanah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaannya.
Untuk itu, kepemilikan tanah tidak sama dengan harta benda lainnya. Kepemilikan tanah akan tetap ada jika produktivitasnya ada dan hak kepemilikan akan hilang jika produksi tidak terealisasi, baik tanah itu luas atau sempit, maupun kepemilikan tanah di antara manusia itu sama atau berbeda.
Khalifah Umar ra. pernah berkata,
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ، فَعَطَّلَهَا ثَلَاثَ سِنِينَ، لَا يُعَمِّرُهَا، فَعَمَّرَهَا غَيْرُهُ، فَهُوَ أَحَقُّ بها
“Siapa saja yang memiliki tanah, lalu ia telantarkan selama tiga tahun, tidak ia gunakan, kemudian datang orang lain memanfaatkan tanah itu, maka orang lain itu lebih berhak atas tanah tersebut.”
Umar ra. juga berkata, “Orang yang memagari tidak punya hak (atas tanahnya) setelah tiga tahun berturut-turut (ditelantarkan).” (HR Abu Yusuf dan Abu ‘Ubaid).
Ali Haidar Khawajah Amin Afandi di dalam Duraru al-Hukâm fî Syarhi Majallati al-Ahkâm, setelah menyebutkan ucapan Umar ini, ia menyatakan, “Sungguh umat telah berijmak atas yang demikian.”
Langkah Khalifah Umar itu didengar dan diketahui oleh para sahabat dan tidak ada seorang pun yang mengingkari kebijakan ini. Padahal, perkara itu termasuk perkara yang harus diingkari jika menyalahi hukum syariat karena mengambil tanah dari pemiliknya adalah haram. Ini menunjukkan telah terjadi ijmak sahabat dalam bentuk ijmâ’ sukuti bahwa pemilik tanah yang menelantarkan tanahnya lebih dari tiga tahun berturut-turut maka kepemilikannya atas tanah itu telah hilang. Tanah yang telantar itu diambil oleh khalifah, yakni oleh negara, dan dibagikan atau diberikan kepada kaum muslim yang sanggup menggarap tanah tersebut.
Selanjutnya terkait tanah yang menjadi kepemilikan umum, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani juga menjelaskan di dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam bahwa salah satu jenis harta kepemilikan umum adalah fasilitas umum yang jika tidak ada di dalam suatu negeri atau komunitas akan menimbulkan sengketa. Fasilitas umum adalah segala sesuatu yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum.
Rasulullah saw. menjelaskan mengenai fasilitas umum ini adalah dari segi sifatnya, bukan jumlahnya. Beliau saw. bersabda,
المسلمون شركاء في ثلاث في الكلا والماء والنار
“Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, air, padang penggembalaan, dan api.” (HR Abu Dawud).
Menurut hadis ini, ada tanah/lahan yang berstatus kepemilikan umum. Yang termasuk lahan milik umum adalah seperti hutan, tanah-tanah umum, lapangan, jalan raya, dan sebagainya. Dari segi sifatnya, tanah milik umum tidak bisa dimiliki oleh individu, tetapi setiap individu boleh memanfaatkannya.
Sedangkan tanah milik negara adalah tanah yang negara berhak memberikan tanah tersebut kepada individu tertentu dan tidak kepada yang lain. Negara juga berhak mencegahnya dari individu. Negara bahkan boleh memproteksi sebagian tempat/lahan yang berstatus harta milik umum untuk suatu kebutuhan tertentu. Rasulullah saw. bersabda,
لا حمى الا لله ولرسوله
“Tidak ada proteksi kecuali oleh Allah dan Rasul-Nya.” (HR Abu Dawud dari Sha’b bin Jutsamah ra.).
Segala sesuatu milik Allah dan Rasul artinya milik negara. Dalam hal ini Rasulullah saw. pernah memproteksi beberapa tempat, seperti Naqi’ yang dikhususkan untuk memberi minum kuda-kuda kaum muslim yang digunakan untuk berperang di jalan Allah. Rasulullah saw. melarang orang-orang untuk menghidupkan tanah di tempat itu karena memiliki banyak rumput yang bisa digunakan untuk menggembala hewan ternak tertentu dan tidak boleh untuk menggembala hewan lain.
Namun, negara tidak boleh menyerahkan tanah negara untuk dikuasai individu/swasta tanpa batas. Negara akan mengelola tanah-tanah milik negara untuk proyek strategis dalam rangka kebutuhan rakyat, seperti permukiman, pertanian, infrastruktur umum, bahkan kebutuhan logistik jihad. Tanah negara bukan untuk dijual kepada asing atau dikuasai korporasi. Tujuan pengelolaan tanah oleh negara jelas bukan profit, melainkan pengaturan urusan rakyat (ri’ayah), kesejahteraan, dan keberkahan.
Demikianlah pembahasan mengenai jenis kepemilikan tanah menurut Islam. Konsep Islam dalam pengelolaan tanah jelas berbeda dengan kapitalisme yang sangat lekat dengan orientasi materi. Tidak heran, penguasa dalam sistem sekuler kapitalisme justru membela para kapitalis karena landasan sistemnya berasas manfaat serta sekularisme yang tidak akan memberi ruang pengaturan oleh syariat. Sungguh, jika kisruh peraturan mengenai pertanahan ini dibiarkan terus dengan aturan sekuler, kezaliman demi kezaliman akan datang silih berganti. Wallahualam bissawab.