Joe Brendo

Joe Brendo ikuti trus keseruan drama kehidupan đź’ž

AKU TERPAKSA MENJADI PEMU-4S N4F-SU BERB4HAYA TUAN MUDA ... (1)Tu bu hmu lebih jujur dari lid4hmu,” bisik pria asing itu...
17/07/2025

AKU TERPAKSA MENJADI PEMU-4S N4F-SU BERB4HAYA TUAN MUDA ... (1)

Tu bu hmu lebih jujur dari lid4hmu,” bisik pria asing itu sambil meny3ret jemarinya di sepanjang ku lit Sofia yang mu lus dan lembut.

Sen tu han itu benar-benar mem ba kar langsung ke seluruh saraf. Sofia me ng ge liat ge li sah tatkala sapuan hangat berembus pada ce ruk leh3rnya.

“Hngh ….”

Dia mengangkat tangan untuk mend0rong pria itu dari atasnya, tetapi justru ujung jari-jarinya bagai ters3ngat aliran listrik merasakan ku lit da da yang k0koh dan panas. Namun, dia tidak kuasa menjauhkannya seolah-olah terdapat magnet di antara mereka.

Sofia menggeleng. “Jangan lakukan itu,” tolaknya dengan b!bir bergetar hebat karena sensasi luar biasa yang baru diterimanya.

Sial, ucapannya sama sekali tidak berguna, bahkan pingg4ngnya did3kap er at oleh sepasang lengan yang makin mendekatkan satu sama lain tanpa celah sedikit pun.

Sofia mengg!git ku at bib!rnya bersamaan dengan air mata yang mer3mbes keluar saat bagian dari ra ganya dik0yak tanpa ampun.

Sungguh Sofia ingin memaki pria itu, tetapi dia justru mel3nguh beberapa saat setelahnya, seakan meresapi setiap dinamisme yang tercipta.

Entah bagaimana, tub uhnya benar-benar berkh!anat.

Padahal sebelumnya, dia hanya menenggak sedikit minuman ber4lk 0hol.

Dalam hati, Sofia mencurigai bahwa seseorang mencampur minumannya dengan ob at.

Samar-samar dia mengingat seorang pria tambun membawanya secara p4ksa ke dalam kamar, menjatuhkannya tepat di hadapan seorang pria yang berdiri menjulang di depannya.

Dia tidak menyangka niatnya untuk melepas kegundahan hati karena ulah sang tunangan berujung kelam. Calon suaminya ternyata sudah menikah dengan wanita lain, dan parahnya lagi mereka akan memiliki an4k. Selama ini dia ditipu oleh tunangannya, dua tahun lamanya.

Dan kini, Sofia terjebak dalam malam pa nas bersama seorang pria asing....

**

Pagi itu, Sofia terbangun dengan t*buh yang terasa remuk. Kilasan kejadian semalam membayang, membuat hatinya ikut terasa nyeri.

Dia mengedarkan pandangan dan menatap j!jik pada pakaiannya yang tercecer di atas karpet. Bahkan tidak ada siapa-siapa di ruangan itu. Pria semalam sudah pergi.

Ya, bukankah pria ber3ngsek akan pergi begitu saja setelah mendapatkan yang dia mau?

Dengan perasaan hancur luar biasa, Sofia mencoba bangkit kendati rasa nyeri menyerang tu buhnya. Baru saja duduk, kepala wanita itu langsung berdenyut hebat dan perutnya mual. Tub uhnya ambruk kembali ke ka sur. Dia menutup mata, berusaha mengatur napas yang agak sesak.

Mungkin pengaruh obat semalam belum hilang sepenuhnya.

Entah berapa lama berlalu, barulah perlahan dia bisa menggerakkan tubuh, meskipun nyeri menu suk di setiap ruas tulang.

Ketika Sofia memunguti pakaiannya, dia mendengar suara seorang pria dari arah kamar mandi.

“Itu … bereaksi.”

Sofia mer3mas pakaiannya. Apa maksud ucapan pria itu?

Sungguh, dia ingin membuat perhitungan karena orang itu sudah merenggut kehor ma tannya.

Dengan tertatih, Sofia melangkah menuju kam ar mandi dan membuka pintu.

Seketika dia membelalak melihat tu buh atl3tis pria berbalut kain handuk putih di depan cermin besar sedang memegang ponsel.

Pria itu memiliki postur tu buh tinggi juga tegap, dengan ba hu le bar dan ot0t-ot0t k3ras yang tampak terpahat sempurna. Rambutnya cokelat tua, ba sah dan tergerai acak karena baru selesai mandi. Manik biru terangnya seakan bisa membaca isi hati Sofia hanya dengan sekali tatap. Meskipun ekspresinya datar, aura dom!nan dan misteriusnya membuat bu lu ku duk wanita itu berdiri.

“Man di lah!” titah pria asing itu berintonasi rendah.

Sofia mengerjap dan mengumpulkan keberaniannya. Dia mendekat dengan mata cokelat karamelnya yang memancarkan lu ka.

“Kamu!” tunjuk Sofia. “Apa yang kamu lakukan padaku? Kamu penj4hat wanita!”

Sofia meluapkan am4rah yang menggelegak dalam da da, dia mem uk uli pria itu dengan sisa tenaga dan air mata yang men3rjang tanpa henti.

Anehnya, pria itu diam saja, dan justru memandang lekat wajah Sofia. Setelah puk ul an Sofia melemah, pria itu meng un ci tangannya.

“Aku sudah memb4yarmu,” sahut pria itu, nada bicara pelannya men u suk relung hati Sofia.

Dengan suara bergetar, Sofia menjawab, “Aku bukan wanita mu ra han! Aku tidak butuh u4ngmu itu, Tuan!”

Sudut bibir pria itu berkedut samar, lalu tangannya yang k4sar meny3ntuh da gu lan cip Sofia. “Model sepertimu, sudah biasa dib3li.” Pria itu menatap ke bawah, dan berbisik, “Kamu berhasil.”

Sofia sempat mengerutkan kening, tidak paham dengan perkataan pria itu. Namun, ketika pria itu hendak mer3ngkuh paksa ping gul nya, Sofia mend 0rong k3ras t*buh k3kar di depannya.

Pria itu tahu profesi yang dilakoninya selama tiga bulan ini? Sungguh meng3rikan!

Pria itu bergeming dan tatapan taj4mnya bagai ran jau yang siap menj3rat mangs4 di depan mata.

Sofia berusaha tidak gentar, dia kembali mem uk uli t*buh menjulang tinggi itu dengan kepalan tangannya untuk melu4pkan am4rah.

“Aku bers um pah tidak akan memaafkanmu!” s3rgah Sofia.

“Kita akan menikah,” ujar pria itu dengan intonasi dingin dan mem4ksa yang membuat kepalan tangan Sofia melonggar, lalu menatap tidak percaya.

Sontak saja dia menggeleng. Tidak, Sofia sama sekali tidak membutuhkan pertanggungjawaban macam itu. Dia juga tidak sudi diperistri pria ib lis di hadapannya ini yang seenaknya mengucap pernikahan!

Lelaki yang sudah dikenal lama olehnya saja bisa berdusta, apalagi orang asing. Terlebih setelah apa yang terjadi semalam, itu membuat Sofia ingin pergi saja dari dunia ini.

“Jangan berani menolak, Sofia Morales!” Pria itu meny3ringai dan membuat Sofia mer!nding ng3ri, sebab sosok itu mengetahui namanya.

Ah, sudah pasti melihat dari tanda pengenal atau SIM-nya.

“Dengar, Tuan Arogan. Aku tidak mau menikah denganmu!” tolak wanita itu. Dia ingin pergi dari k4mar ini secepatnya.

Akan tetapi, ketika dia berbalik, justru pria itu meraih pergelangan tangannya dan men4riknya hingga tubuh Sofia yang masih setengah polos me nab rak d4da b!dang k3ras dan hangat.

Aroma mas ku lin dari sampo dan sabun menyergap indera penciumannya. Seketika hawa panas seolah membakar seluruh permukaan ku lit nya, tetapi dingin meng hu jam relung hatinya.

“Aku bisa memberimu u4ng lebih banyak,” bisik pria itu. Ucapannya mengh4ntam logika Sofia.

Pria itu langsung menyerahkan beberapa lembar foto pada Sofia.

Mata wanita itu memanas dan penglihatannya mengabur oleh air mata. Ada wajah ibunya yang tergolek lemah di ranjang perawatan panti jompo, serta bukti hu tang sang ayah yang menjaminkan rumah mereka.

Tubuh Sofia makin gemetar karena tidak menyangka pria arogan ini mengetahui semuanya.

Tak lama, telepon genggam Sofia bergetar di dalam tasnya. Dia melihat d4gu pria itu terangkat seolah-olah memberinya perintah tanpa bicara.

Dia segera memeriksa ponselnya dan memb3-lalak melihat pesan singkat dari pengurus panti jompo sang ibu.

[Nona Morales, kami mohon maaf tidak bisa merawat ibu Anda. Harap selesaikan tung ga kan lebih dulu.]

Pandangan nanar Sofia yang semula tertuju layar ponsel, sekarang bergeser pada pria itu. Dia yakin semua ini bukan kebetulan semata.

Pria itu tampak puas melihat wajah lesu Sofia yang kini kehilangan seluruh keberaniannya.

“Kita berm ain tanpa peng ama n. Bagaimana kalau kamu h4mil?”

Mendengar ucapan itu, dunia Sofia hancur berkeping-keping. Dia tidak boleh h4mil. Apalagi anak orang asing. Hidupnya saat ini sedang susah, dan memiliki an-4k tanpa suami adalah kes!4lan baginya.

“Anda benar-benar l!cik, Tuan,” protes Sofia, dan tub uhnya hampir luruh karena seluruh tenaganya seakan ters3dot habis berdebat dengan pria j4-hat ini.

Pria itu menj3-pit d4gu Sofia dan mengangkatnya. “Kita menikah. Sekarang!”

*

Judul : SENTUHAN BERB4HAYA TUAN MUDA
Penulis : NACL
Baca selengkapnya di aplikasi Goodnovelâś…

"Pak, tolong ...  jangan ...." Sambil mengiba, Maryam terus melangkah mundur seiring jarak Pak Kades yang semakin dekat,...
17/07/2025

"Pak, tolong ... jangan ...."

Sambil mengiba, Maryam terus melangkah mundur seiring jarak Pak Kades yang semakin dekat, hingga kemudian tubuhnya terhenti di sudut ruangan.

"Jangan macam-macam, atau saya akan teriak!"

"Teriak saja," ucap Pak Kades sambil terkekeh.

"Tolong!" Maryam berteriak, tetapi Pak Kades biad4b itu melompat dan menutup mulut Maryam.

Maryam memberontak, tapi Pak Kades bukan lawan yang sepadan bagi Maryam.

"Tidak ada orang yang akan datang. Sebaiknya kamu pasrah. Kamu juga sudah lama kedinginan, kan?" Pak Kades menyeringai.

Air mata Maryam menyeruak. Hatinya mengutum Pak Kades yang seperti kesetanan.

Teriakan Maryam rupanya tidak sia-sia. Seseorang datang lalu memukul punggung Pak Kades dengan sebatang kayu.

Namun, pria berbadan buncit itu tetap tegak berdiri. Pak Kades menoleh dengan wajah meradang. Matanya melotot menatap seorang anak yang berdiri ketakutan di belakangnya.

"Lepasin Ibu!"

"Dasar anak haram!"

Pak Kades mendekati Lukman. Dengan sekali kibas, anak itu terpental menghantam dinding.

"Lukman!" Maryam berteriak histeris. Perempuan itu hendak berlari menghampiri anaknya yang terlihat meringis kesakitan. Namun, pergerakannya dihentikan oleh Pak Kades.

"Mau ke mana? Dia tidak apa-apa. Sebaiknya kamu pasrah saja, atau kuhabisi anakmu itu. Mengerti?"

Dengan napas terengah, Maryam menatap nanar wajah Pak Kades.

"Kamu benar-benar manusia nggak punya hati! Kamu bukan manusia. Kamu iblis!"

Plak!

Tepat di ujung kalimat Maryam, Pak Kades melayangkan tangannya mengenai wajah Maryam.

Tamparan itu menyakitkan, tapi tak seberapa dibanding panasnya hati melihat Lukman yang disakiti.

"Pelacur sepertimu tidak berhak bicara seperti itu, Maryam. Dasar wanita miskin!"

Pak Kades yang terbakar amarah, segera menarik kerudung yang dikenakan Maryam. Pria itu kemudian mendorong Maryam hingga terjatuh ke lantai.

"Ayo, buktikan seberapa tahan kamu dengan kegagahanku." Pak Kades terkekeh. Jemarinya cekatan melepas kancing kemejanya.

Baru dua langkah berjalan, sebuah tangan tiba-tiba meremas rambut Pak Kades. Pria itu terhenti, wajahnya terdongak. Kulit kepalanya terasa begitu sakit.

Saat Pak Kades mengangkat tangan untuk melakukan perlawanan, kepalanya ditarik dengan kasar. Pria itu terdorong dan terjerembab. Tubuhnya menghatam tiang dinding rumah.

Pak Kades mengaduh kesakitan sambil memegang pinggang.

"Brengsek! Siapa kamu?"

Rayyan berjalan, lalu menjongkok di dekat Pak Kades.

"Sekali lagi kamu menyakiti Maryam dan Lukman, aku tidak akan segan-segan menghabisimu!"

Pak Kades menahan emosi. Dengan napas memburu, pria itu menatap nanar Rayyan.

Sejurus kemudian, Rayyan mengangkat tangan. Pak Kades yang takut dipukul, memejam. Namun, beberapa detik kemudian tidak terjadi apa-apa.

"Pergi dari sini!" seru Rayyan.

Tergopoh Pak Kades bangkit, lalu berlari keluar. Deru sepeda motor melengking, kemudian menjauh.

"Lukman, apanya yang sakit, Nak?"

Usai mengenakan hijabnya, Maryam menghambur ke arah Lukman.

Lukman menggeleng. Maryam memeluk anaknya dengan tangis pilu.

"Pak Rayyan, terima kasih banyak," ucap Lukman.

Rayyan tersenyum. "Kamu harus jadi anak yang kuat dan pemberani. Jaga ibumu."

Ingin rasanya Maryam berterima kasih, tapi lidahnya terasa kelu. Kerongkongannya terasa kerontang.

Benak Maryam diserbu puluhan tanya. Entah bagaimana Rayyan bisa berada di sini. Yang jelas, pria itu telah menyelamatkannya.

Hanya menunduk, Maryam tak sanggup menatap Rayyan.

Dering ponsel memecah lengang. Rayyan berdiri, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

"Rayyan, kamu di mana?" Suara Bu Hena melengking begitu Rayyan menjawab panggilan.

"Di luar, sedang ada keperluan. Sebentar lagi p**ang."

"Kamu ini benar-benar anak nggak tahu diri, ya. Bilang pusing, tahunya keluyuran!"

"Iya, Ma. Maaf."

"Mama dan Papa malu sama keluarda Sindy, Rayyan!"

Rayyan mengembuskan napas panjang. Dia memilih diam.

"Pulang sekarang, Mama sama Papa mau bicara!"

"Iya, aku p**ang sekarang."

Sambungan telepon terputus. Rayyan kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celananya.

"Maryam."

Patah-patah, Maryam akhirnya mengangkat wajah.

"Aku ... aku minta maaf atas kejadian sepuluh tahun lalu itu. Aku menyesal."

Maryam membeku. Maryam tak akan pernah melupakan momen menyakitkan itu. Bahkan, sepuluh tahun tidak cukup menghapus luka yang dirasakan olehnya.

Rayyan nekat mengulurkan tangan untuk meraih tangan Maryam. Namun, perempuan itu dengan cepat menariknya.

"Katakan kalau ... Lukman itu—"

"Bukan!" sambar Maryam. "Bukan. Kamu jangan pernah berpikir macam-macam. Sebaiknya kamu p**ang sekarang."

"Kamu bohong, Maryam."

"Semua ucapanku memang selalu kamu anggap dusta."

"Maryam—"

Suara Rayyan terhenti ketika terdengar suara sepeda motor mendekat. Rayyan bangkit, lalu menoleh.

Dadanya berdentam. Ada banyak orang yang datang.

"Keluar kamu, Maryam. Keluar!" Seorang pria berteriak lantang.

"Keluar!" Orang-orang di belakangnya menyahut.

"Maryam, ada apa ini?" Rayyan menoleh ke arah Maryam.

Sama seperti Rayyan, Maryam juga tidak tahu. Dia kebingungan. Perempuan itu menoleh kepada Lukman. Dipeluknya anak itu dengan erat. Tubuhnya bergetar ketakutan.

"Keluar, Maryam! Atau kami paksa kamu keluar dengan laki-laki itu. Berani-beraninya kamu berzina di desa ini!"

Maryam tersentak. Begitu juga dengan Rayyan. Rayyan segera ke luar untuk menghadap orang-orang itu.

Terlihat Pak RT di barisan depan. Pak Kades juga ada di sana. Rayyan dapat menerka apa yang sebenarnya terjadi.

"Bapak-bapak, ada apa ini?"

"Jangan pura-pura. Kami berdua melihat sendiri kamu dengan Maryam berbuat mesum!" Seorang pria bercelana jeans biru berseru.

Rayyan terperenyak. Pandangannya beralih pada Pak Kades yang ternyata tersenyum jemawa.

"Tunggu, ini tidak benar."

"Jangan ngeles kamu! Kamu dan Maryam harus dihukum sesuai adat karena telah berzina. Kalau tidak, kampung ini akan mendapat kutukan!"

"Betul!" Orang-orang berteriak.

"Tunggu apa lagi? Ayo, bawa mereka berdua keliling desa. Copot pakaiannya!"

"Betul!"

"Tunggu, tunggu. Izinkan saya berbicara. Yang harus dihukum adalah Pak Udin, Kades kalian!"

Semua orang menoleh ke arah Pak Kades.

Pak Kades tertawa pelan. Dia menghela napas, lalu menjawab dengan tenang, "Pak Rayyan, apa maksudmu?"

"Berani-beraninya kamu memfitnah Pak Udin!" teriak warga.

"Tunggu apa lagi?" Pak Kades menoleh ke arah warga.

Orang-orang itu berteriak, lalu berbondong-bondong maju. Namun, langkah mereka terhenti begitu Rayyan mengangkat ponselnya ke udara.

"Saya punya buktinya. Ini adalah rekaman Pak Kades yang berusaha melecehkan Maryam!"

#7

Baca selengkapnya di KBM
Judul: WANITA YANG KUSIA-SIAKAN
Penulis: Rum

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App.

Saat terbaring koma, suami dan ibu mertua yang kukira tulus sayang padaku, ternyata malah ....***Part 10Selama ini Amara...
16/07/2025

Saat terbaring koma, suami dan ibu mertua yang kukira tulus sayang padaku, ternyata malah ....

***

Part 10
Selama ini Amara mempercayakan perusahaannya pada Erland. Sejak dia memutuskan fokus menjalani pengobatan, Amara resmi mundur dari jabatan utama di perusahaan keluarganya. Toh, Erland juga suaminya. Kalau kemungkinan buruk terjadi, dia meninggal dunia misalnya, maka Erlandlah yang akan mewarisi seluruh harta kekayaannya. Amara ikhlas.

Tadinya.

Begitu memasuki lobi, beberapa karyawan yang baru datang terkejut dan refleks membungkuk. Tidak ada penyambutan oleh petinggi kantor, karena Amara memang memutuskan datang mendadak. Amara berjalan lurus menuju lift khusus eksekutif. Setelah itu dia langsung masuk ke ruangan CEO yang kini dipangku oleh Erland.

"Loh, Bu Amara .... " Kiara yang tadinya duduk sambil memoles lipstik di bibir seksinya buru - buru berdiri menyambut Amara. Perempuan yang masih betah melajang itu kemudian melongokkan kepala di balik punggung Amara mencari keberadaan orang lain. "Sendirian, Bu? Pak Erland ke mana?"

"Iya, sendiri. Saya mau ke dalam dulu," jawab Amara lalu masuk ke dalam ruangan.

Kiara berdiri canggung. Dia tidak punya hak melarang Amara, tetapi membiarkan perempuan itu masuk juga terasa salah. Akhirnya yang bisa dia lakukan adalah buru - buru menghubungi Erland.

"Mas, si Amara pagi - pagi udah datang ke kantor. Aku, kan, gak bisa halangin dia masuk," lapor Kiara sebal.

"Iya, aku tahu. Biarin aja. Ini juga on the way ke kantor. Amara sedang apa?" Erland mengetuk - ngetukkan jarinya di tepi jendela mobil yang melaju cukup kencang.

"Lagi baca laporan keuangan enam bulan ke belakang. Dia ngapain, sih, kayak gitu? Mau jadi CEO lagi? Kalau dia jadi CEO, Mas Erland gimana? Turun jabatan gitu? Terus aku gimana?" Kepanikan begitu terasa dari nada suara Kiara.

"Kamu berisik banget. Aku pusing. Satu jam lagi aku sampai." Erland dengan sadis menutup panggilan teleponnya tanpa menunggu persetujuan sekretaris sekaligus kekasih gelap yang selama ini selalu menghangatkan ranjangnya.

Kiara langsung cemberut dan hanya bisa menggerutu di meja kerjanya.

Sementara itu di dalam ruangan, Amara begitu fokus membaca laporan keuangan perusahaan. Sesekali dia mengangguk melihat kinerja Erland yang tergolong memuaskan. Laba perusahaan naik, dan Erland juga sedang menggarap bisnis baru di bidang kecantikan.

Puas melihat laporan keuangan, Amara jadi ingat satu hal. Dia mengambil ponsel dari dalam tas dan mengetikkan nama Rachel pada pencarian kontak.

"Rachel ini aku" Tulis Amara. Setelah menekan tombol send, Amara menunggu respon dari sahabat lamanya itu. Senyum di wajahnya terbit setelah melihat centang abu berubah menjadi biru.

"Siapa, ya? Kita kenal?" Balasan dari Rachel membuat Amara tertawa pelan. Sahabatnya itu pasti masih sakit hati.

"Ketemuan boleh? Kamu bebas mengatai dan caci maki aku di sana. Sampai puas." Tulis Amara lagi.

"Tawaran menarik. Oke."

Amara lalu mengetikkan alamat kafe yang lokasinya berada tak jauh dari gedung kantor Amara. Setelah itu, dia segera bangkit dan bersiap untuk bertemu dengan Rachel.

"Bu Amara, mau ke mana? Enggak tunggu Pak Erland dulu? Katanya beliau udah di jalan." Kiara berdiri dan menyambut Amara yang keluar dari ruang CEO.

"Mau ke depan." Amara menjawab pendek. Dia merasa tidak perlu menjelaskan kegiatannya pada sekretaris Erland itu. Kiara mengangguk dan mengantarkan Amara hingga ke muka lift.

Amara yang berjalan satu langkah di depan kemudian berhenti dan mengamati lekat - lekat penampilan Kiara dengan rok pendek dan kemeja ketatnya. Kiara menjadi rikuh dan menarik ujung roknya agar lebih menutupi paha mulusnya.

"Kamu selalu berpakaian gini, Kia? Pas ketemu klien juga?" tegur Amara dengan tatapan ji jik. "Diubah, ya? Aku gak mau perusahaan kita dinilai negatif karena pegawainya berpakaian seronok begini. Pela cur juga insecure kayaknya liat kamu begini."

Kiara menunduk sambil menggigit bibirnya menahan kesal. Saat Amara menghilang dari balik pintu lift, Kiara langsung mengumpat dan menyumpahi Amara agar perempuan itu cepat dipanggil Tuhan.

***

Coffee shop ini dulu menjadi tempat nongkrong Amara dan Rachel. Mereka s**a sekali dengan racikan kopi Americano sang barista dan roti cinnamon rollsnya. Sejak hubungan keduanya renggang, Amara hampir tidak pernah menginjakkan kaki di tempat ini.

Amara tentu saja tiba lebih dulu. Sambil menunggu Rachel datang, Amara memesan satu gelas Americano dan roti cinnamons hangat. Ingatan tentang hangat persahabatan dengan Rachel berkelebat di dalam kepala Amara. Lamunan Amara buyar saat Rachel tiba dan berdiri di depan kursinya dengan gaya angkuh. Amara mempersilakan Rachel duduk tepat di depannya.

"Silakan, Chel, maki dan omelin aku sepuasnya. Aku memang salah." Amara membuka percakapan. Matanya sudah terasa panas. Rindu, malu, juga perasaan bersalah karena dulu pernah meragukan niat tulus Rachel menggempurnya jadi satu.

"Memang!" kata Rachel judes. "Kamu perempuan bodoh. Seribu kata - kata cacian yang keluar dari mulutku bahkan tidak sanggup mengobati rasa sakit hati dan kecewaku padamu"

"Maaf." Cuma itu yang bisa Amara katakan dengan kepala menunduk.

"Aku marah sekali sama kamu, Amara. Tapi ... aku juga kangen kamu." Suara Rachel yang serak membuat Amara mengangkat wajah dan menatap sahabatnya itu.

"Kayaknya aku yang lebih bodoh, karena masih merindukan sahabat yang jahat kayak kamu." Bola mata Rachel sudah berkaca - kaca. Wajahnya sudah tidak seangker waktu dia datang tadi.

Hati Amara gerimis mendengar pengakuan Rachel. Impulsif dia berdiri dan memeluk sahabatnya itu sambil menangis. "Maaf, Rachel. Maaf. Aku yang salah!"

Rachel menepuk punggung Amara lembut menenangkan. Setelah Amara menguraikan pelukannya, Rachel tersenyu hangat dan mengusap p**i Amara yang basah. "Kamu kenapa kurus begini? Enggak dikasih makan Erland kamu?"

Amara tertawa pelan. Dia lalu menceritakan kejadian waktu koma dan apa yang dia dengar dari mulut Erland dan mamanya.

"Bang*** memang mereka!" maki Rachel emosi. "Lingkungan kamu toksik banget, Mara!"

Amara mengangguk dan menyatakan niatnya untuk segera berpisah dari Erland. Dia ingin Rachel mengirimkan foto perselingkuhan Erland yang dulu pernah dikirimkan padanya. Rachel meyanggupi dan berjanji akan mencarikan file itu di laptopnya yang ada di rumah.

Puas mengobrol dan melepas rindu, Amara dan Rachel memutuskan kembali ke kantornya masing - masing.

Tubuh Amara sebenarnya sudah terasa lemas akibat hari ini tidak mengkonsumsi vitamin hariannya. Belum lagi emosinya yang terkuras setelah curhat pada Rachel. Ingin rasanya dia langsung p**ang ke rumah saja. Akan tetapi dia ingat janji akan menunggu Ray di kantor.

Dengan sisa tenaganya, Amara berjalan di trotoar dan menyebrang untuk sampai ke kantornya. Kulitnya yang putih dan sensitif mulai kemerahan terbakar matahari. Dipercepat langkahnya agar segera sampai di ruangannya yang dingin ber - AC.

Amara berada di dalam lift, dan menyandarkan punggungnya. Napasnya juga mulai terasa pendek - pendek. Begitu pintu lift terbuka, terhuyung Amara melangkah di lorong dan hendak berbelok menuju ruangan CEO.

Namun, saat hendak berbelok, Amara mendapati pemandangan mengejutkan di depan ruangan itu. Amara kembali mundur bersembunyi di balik dinding, merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel miliknya.

Dengan tangan gemetar, Amara menekan tombol rekam untuk mengabadikan momen kemesraan Erland dan juga Kiara yang tengah berciuman panas.

"Kayaknya aku enggak perlu bukti dari Rachel lagi," desis Amara dengan senyuman pahit.

Saat dia sedang fokus mengambil gambar, pandangan Amara menggelap karena tertutup telapak tangan yang menutupi kedua matanya. Tangan Amara yang gemetar memegang ponsel juga terasa digenggam hingga pegangannya pada ponsel menjadi lebih stabil. Refleks Amara menoleh dan mendapati Ray berdiri tepat di belakangnya.

"Biar aku yang rekam, kamu jangan lihat lagi," bisik Ray di telinga kiri Amara. Jarak meereka begitu dekat, hingga Amara bisa merasakan embusan napas Ray yang panas di tengkuknya.

***

Baca selengkapnya di KBM App
Judul: Amarantha: Dendam sang Pewaris
Penulis: Kalishgan

“Nghh… Liam. Aku tidak bisa.”Liam yang sedang menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang istri langsung berhenti ketika...
16/07/2025

“Nghh… Liam. Aku tidak bisa.”

Liam yang sedang menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang istri langsung berhenti ketika mendapatkan penolakan. Wajah pria yang h4sratnya telah tinggi itu memerah, dengan rahang yang mengetat.

“Lagi?” kata pria berusia tiga puluh tiga tahun itu menunjukkan rasa marah dan kecewanya.

Bukan sekali dua kali Nala menolak ketika ia menginginkan belaian. Pernikahan mereka yang telah berusia delapan tahun selalu berg4irah. Setidaknya, sampai sebelum Nala kembali bekerja.

Semenjak Liam mengizinkan sang istri membantu ekonomi mereka yang mengalami guncangan akibat pandemi, kehidupan rumah tangganya berubah. Tidak ada lagi malam-malam panas bergelora. Tidak ada lagi Nala yang manja dan siap disentuh kapan pun Liam minta.

“Bosku sudah menunggu di kantor, Liam. Kami ada jadwal kunjungan cabang perusahaannya di Singapura.” Nala mendorong tubuh Liam yang masih menghimpitnya tanpa rasa bersalah.

“Ya, ya. Bosmu memang lebih penting dari suamimu.” Embusan napas berat keluar dari b¡bir Liam.

Nyaris hampir setiap minggu sang istri selalu ada jadwal dinas ke luar negeri.

“Sayang… ayolah,” rayu Nala mencoba menyentuh p**i Liam.

Namun, pria itu sudah terlanjur marah dan menolak untuk disentuh. Pria yang telah bertel4njang d4da itu justru bangkit dari r4njang dan keluar dari kamar. Ia memutuskan untuk mandi air dingin di kamar mandi lain.

Tiga puluh menit berlalu, amarahnya sedikit mereda usai ia keramas dan memuaskan h4sratnya seorang diri.

Saat ini, Liam sudah berada di dapur menyiapkan sarapan untuknya dan Nala.

Mereka tidak memiliki ART. Dulu, Nala yang mengerjakan semuanya. Mulai dari memasak, merapikan rumah, mengurus semua kebutuhannya.

Sekarang, karena kesibukan Nala yang luar biasa … Liam-lah yang mengambil alih tugas domestik itu. Pria itu tidak s**a kehadiran orang asing di rumahnya, terlebih wanita.

Suara ketukan stiletto terdengar. Aroma manis menggod4 dari parfum yang sudah dihapalnya terc¡um. Tak lama, dua buah lengan melingkar di tubuh Liam yang kekar.

“Aku berangkat, ya?” Nala berbisik di telinga Liam. “Aku janji, p**ang dinas nanti aku akan kasih servis yang luar biasa ke kamu,” tutupnya diakhiri dengan kecupan di p**i pria itu.

Liam terdiam beberapa detik sebelum mematikan kompor dan membalikkan badan. Mata elang pria itu menatap Nala. Kali ini, sudah jauh lebih lembut. Meski masih ada sisa-sisa kecewa di sana.

“Aku izinkan, tapi ini untuk yang terakhir.”

Suara pria itu terdengar serius. Ia memang tidak sedang bercanda.

“Maksudmu, kamu nyuruh aku resign?” sahut Nala dengan mata membelalak. “Kamu lupa, kita sudah sepakat soal ini?!”

Mata Liam memejam. Perbincangan ini selalu berakhir dengan pertengkaran. Tapi kali ini, Liam sudah tidak bisa lagi menahan kekesalannya.

“Aku setuju mengizinkan kamu bekerja karena ekonomi kita yang belum stabil, Nala. Sekarang, kita tidak kekurangan. Aku bisa mencukupi kebutuhan kita. Dan aku membutuhkanmu di rumah. Untukku. Untuk anak kita kelak.”

“Aku bisa mempekerjakan ART!” sahut sang istri cepat.

Dengusan terlepas dari sela b¡bir Liam. “Bagaimana dengan urusan r4njang? Kamu juga akan menyuruh ART?”

Nala sempat terkejut sesaat. Akan tetapi, wanita itu justru terkekeh karena menganggap Liam tengah bergurau.

“Ehm…” Nala bergumam sesaat, “Untuk urusan itu, aku janji, setelah aku p**ang nanti kita akan bercinta seharian. Aku akan pakai lingerie baru, kes**aan kamu!”

Kecupan mendarat di p**i Liam, kendati pria itu tidak bereaksi. Nala kemudian menjauh sembari menggeret kopernya tanpa peduli pada sarapan yang sedang Liam buat.

Ya, masakan Liam selalu berakhir di tong sampah. Entah karena Nala yang berangkat terlalu pagi sehingga tidak sempat menghangatkan makanan, atau justru terlalu malam dan berdalih kenyang.

Liam mengepalkan kedua tangan di tubuhnya. Bertolak belakang dengan wanita berambut ikal panjang yang melangkah ringan keluar rumah.

Sebelum meraih gagang pintu, Nala memutar tubuh ke arah Liam. “ART kita akan datang sebentar lagi, Liam.”

Dan setelahnya, Nala benar-benar keluar, tanpa peduli pada tanggapan Liam.

Dalam hati, Liam kesal. Tapi sudah biasa diperlakukan seperti ini … tidak dihargai oleh sang istri.

Dia baru saja mengganti pakaiannya, hendak berangkat kerja. Ia menjabat sebagai General Manager di sebuah perusahaan besar. Gajinya tentu cukup untuk membayar satu ART di rumah megahnya itu. Namun, tetap saja dia enggan memiliki ART dan hanya ingin istrinya yang melayaninya.

Namun, semuanya hanya mimpi belaka. Liam tidak akan pernah mendapat pelayanan dari sang istri jika wanita itu masih memilih bekerja, bekerja, dan hanya bekerja.

Liam yang sedang mengenakan dasi itu menoleh ke arah pintu utama, bel rumah berbunyi. Panjang dan berulang kali.

Dengan malas, Liam membukakan pintu dan matanya langsung terbelalak begitu melihat seorang wanita cantik di hadapannya.

“Kamu ….”

“Selamat pagi, Pak. Saya Evi, pembantu baru yang diminta Bu Nala untuk datang ke sini.”

Liam meneliti penampilan wanita muda yang ada di hadapannya itu. Wajahnya tampak cantik, meski tanpa p**asan make up.

Tak berhenti di situ, Liam melirik tubuh wanita itu.

Sebuah dress ketat dengan belahan d4da agak rendah membuat dua benda kenyal nan padat itu menyembul. Belum lagi, panjang dress itu tidak sampai menutupi setengah dari paha mulusnya.

S e k s i.

Muda.

Menggod4.

Liam meneguk salivanya seketika. Pikirannya meli4r. Namun, cepat-cepat ia mengusir jauh pikiran tersebut.

Ia berdeham, sebelum kemudian berujar dengan dingin, “Kamu mau jadi pembantu atau penggod4 suami orang?!”

Bersambung...

Baca cerita lengkapnya di aplikasi GoodNovel.



Judul : Terjeb@k G@irah Panas Majikanku
Penulis : Salwa Maulidya
Platform : GoodNovel

Ayo baca dan ikuti cerita menarik ini di aplikasi. Jangan lupa masukkan pustaka dan baca cerita menarik lainnya hanya di GoodNovel

K U KIRA S4TPAM TERNYATA SUAMIKU SULTAN "Jadi," bisik Kinanti perlahan sambil menoleh ke arah Zayyan, "kamu ini sebenarn...
16/07/2025

K U KIRA S4TPAM TERNYATA SUAMIKU SULTAN "Jadi," bisik Kinanti perlahan sambil menoleh ke arah Zayyan, "kamu ini sebenarnya utusan dari kantor pusat, ya?"

Zayyan hanya menoleh dengan senyum tipis. Tidak mengiyakan, tidak p**a membantah. Senyumnya seolah menyimpan makna yang sulit ditebak.

Kinanti mengangguk kecil, seperti merasa dugaannya tak jauh dari kenyataan. “Aku dengar dari beberapa teman, katanya kantor sedang melakukan evaluasi kinerja. Bahkan akan ada audit minggu depan, dan mungkin juga penataan ulang pegawai. Dan kamu … kamu jelas bukan petugas keamanan biasa.”

Tatapan Zayyan tetap tenang, lembut, dan tak mengintimidasi. Tapi ada sesuatu di balik sorot matanya yang membuat Kinanti merasa pria itu bukan sosok biasa. Ia hanya membalas dengan senyum samar, lalu me me-gangi perutnya sambil menghela napas ringan.

“Lapar?” tanya Kinanti refleks, penuh ke pe-dulian.

Zayyan mengangguk sedikit. “Lumayan.”

Kinanti tersenyum hangat. “Kebetulan aku bawa b e-kal agak banyak hari ini.”

Ia membuka kotak makan siangnya, lalu me nyo-dorkan satu sendok kepada Zayyan. Meski sempat ragu, pria itu akhirnya menerimanya dengan tenang. Mereka pun makan bersama dari satu wadah, duduk berdampingan di bangku taman. Sederhana, namun terasa akrab dan menenangkan.

Sambil menyendokkan nasi dan sayur, Kinanti menoleh pa-danya lagi. “Tenang saja, aku nggak akan cerita ke siapa-siapa soal ini. Aku paham, kadang perusahaan memang perlu melihat langsung kondisi di lapangan tanpa banyak diketahui.”

Zayyan menatapnya lama, seolah menimbang-nimbang. Namun lagi-lagi, ia hanya mem ba-las dengan senyum yang tenang.

Kinanti melanjutkan, “Jadi kamu bisa bekerja dengan tenang. Aku pun nggak akan banyak bertanya. Soalnya, kalau orang-orang tahu kamu dari pusat, bisa-bisa semuanya langsung berubah sikap dan nggak menunjukkan yang sebenarnya.”

Zayyan tertawa kecil, suara tawanya ringan. “Jadi menurutmu aku sedang menga-m a ti diam-diam?”

“Bukan meng4mati dalam arti buruk,” jawab Kinanti cepat. “Lebih ke mengamati dengan tujuan memahami. Bedanya tipis, tapi penting.”

Zayyan mengangguk pelan, lalu bertanya, “Tapi kamu nggak khawatir?”

Kinanti menoleh, bingung. “Maksudnya?”

“Kalau kamu tahu aku dari pusat, dan ternyata ada hal-hal yang kurang dalam pekerjaan kamu atau rekan-rekanmu?”

Kinanti berpikir sejenak sebelum menjawab, “Kalau memang kami sudah bekerja sesuai aturan, insya Allah nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi kalau memang ada kekurangan, ya semoga bisa segera diperbaiki. Aku percaya, kamu bisa melihat semuanya dengan bijak.”

Zayyan menatapnya lebih lama dari biasanya. Tatapannya kini lebih hangat, seperti menemukan sesuatu yang tulus.

---

selengkapnya di KBM App

Judul: Kukira S4tpam, Ternyata Suamiku Sultan

Penulis: Fairy Tia

Address

Jakarta

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Joe Brendo posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share