24/03/2025
BAB.2
Jangan Bicara Omong Kosong
Manda merasa begitu sangat takut dan terkejut bahkan tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat saat mendengar teriakan dari bibir suaminya yang selalu bersikap lembut padanya. Teriakan keras dari Dimas membuatnya merasa ketakutan yang lebih dalam. Air matanya pun tiba-tiba tanpa diminta, mengalir deras karena ini adalah pertama kalinya dia mendengar suaminya berteriak seperti itu. Ini adalah pertama kalinya pria itu menaikkan nada bicaranya dengan begitu sangat keras padanya.
Rasa cemas dan kaget benar-bensr begitu sangat mendominasi sekali perasaan Manda saat ini, hal itu pun membuatnya merasa gelisah dan takut terhadap apa yang sedang terjadi. Bingung harus bersikap seperti apa dan bagaimana, terlebih tubuhnya yang sama sekali tidak bisa diajak kompromi dalam keadaan yang menegangkan seperti ini.
Sungguh, ia benar-benar begitu sangat takut sekali saat melihat amarah luar biasa yang terpancar dari sorot mata suaminya itu. Sorot matanya begitu sangat tajam, membara dan menusuk hingga ke jantung. Manda bahkan tak sanggup meski hanya untuk menatapnya saja.
"Mas ...," lirihnya masih dengan tubuh yang bergetar. Air matanya tak sanggup lagi ditahan, lolos begitu saja dari mata indahnya membasahi p**i dan itu cukup membuat Dimas tertegun.
"Sayang, maaf!" seru Dimas terkejut melihat perubahan dalam diri Manda.
Pria menyadari bahwa sudah bersalah karena berteriak tepat di depan wajah istrinya, pria yang selalu bersikap lemah lembut itu, tiba-tiba berubah menjadi sangat mengerikan bagaikan monster yang tak bisa menahan dirinya.
Dimas langsung memeluknya erat, mencoba untuk menenangkan istrinya itu dan menuntunnya kembali masuk ke dalam kamar. Pria itu benar-benar takut sekali karena melihat perubahan yang tak bisa dari istrinya itu. Tak pernah terbayangkan olehnya, kalau istrinya selalu bersikap manja itu bisa terlihat begitu sangat ketakutan seperti itu. Ia masih terus memeluk Manda sampai waManda itu benar-benar merasa tenang. Mengecup puncak kepalanya berkali-kali, demi untuk bisa menenangkan waManda muda itu.
"Manda ... Sayang. Tolong, maafkan, Mas," ucapnya membingkai wajah Manda lalu mengecup bibir ranum istrinya sekilas. Kembali memeluk tubuh yang masih begitu sangat tergugu itu.
Manda bukan lemah, ia hanya merasa lelah karena terus diperlakukan dengan tidak baik oleh ibu mertuanya dan sekarang justru mendapatkan bentakan dari suaminya yang selalu bersikap lembut padanya. Hati dan pikirannya langsung melayang dan menari-nari, memikirkan bahwa mungkin suaminya itu sudah tidak lagi mau bersikap lembut padanya. WaManda itu benar-benar begitu sangat salah paham sekali.
Dimas kembali melepaskan pelukan eratnya dan menatap lekat manik indah istrinya yang masih mengembun lalu mengecup kedua mata indah itu. Pria itu kembali meminta maaf berkali-kali, berusaha untuk bisa mendapatkan kata maaf dari istrinya.
Sementara itu, Manda sendiri masih tetap diam dalam lamunannya, semuanya terasa begitu sangat cepat, sampai-sampai tak menyadari bahwa suaminya sudah menangis. Pria itu tetap mencoba untuk berusaha menenangkan hati istrinya yang mungkin sampai saat ini masih merasa begitu sangat terkejut dengan suaranya.
"Sayang, bicaralah .... Tolong, jangan diam saja seperti ini."
"Aku, benar-benar begitu sangat takut sekali, jika kamu hanya terus berdiam diri seperti ini. Maafkan aku," tuturnya kembali mengecup kedua punggung tangan Manda bergantian. "Sayang, tolong maafkan aku ...."
"Mas," lirihnya dengan sesegukan. Wanita muda itu menatap lekat suaminya dengan sorot mata sendu, terlihat jelas ada kekecewaan di dalamnya tapi berusaha semaksimal mungkin disembunyikan, agar suaminya tak terus merasa bersalah padanya.
"Iya, Sayang. Mas minta maaf, tolong jangan seperti ini, ya. Mas mohon," ucap Dimas memohon karena sudah bersikap kasar pada istrinya itu.
Pria itu benar-benar merasa tidak sadar sama sekali karena sudah bersikap kasar seperti itu, ia hanya merasa terlalu kesal dan emosi dengan sikap keluarganya yang sampai saat ini tak bisa memperlakukan wanitanya dengan baik. Padahal, selama ini Dimas dan Manda sudah bersikap sangat sabar dalam menghadapi semua perangai mereka. Apapun yang diminta selalu diberikan.
Padahal, sejak awal ... Dimas sudah memberikan peringatan pada istrinya itu, untuk tidak terlalu patuh dan menuruti apa saja yang diminta oleh ibu dan adiknya, karena ia memang begitu sangat tahu sekali dengan perangai mereka. Sekali permintaannya dituruti, maka akan selalu meminta hal yang lainnya lagi.
Pria itu sebenarnya tak melarang jika istrinya ingin memberikan hal-hal terbaik untuk keluarganya, hanya saja ... ia tak ingin jika nantinya ... istrinya itu akan selalu merasa sakit hati, jika perangai mereka berdua tak sesuai dengan apa yang ada di dalam pikiran dan juga harapan Manda.
Manda itu begitu sangat baik dan lembut bahkan selalu merasa tidak enak hati dengan hal apapun. Dimas selalu berpesan, bahwa ada baiknya sesekali boleh melawan ibu dan juga adiknya, apabila mereka melakukan sesuatu yang sudah diluar batas.
Tapi, karena memang hati Manda itu yang terlalu lembut sampai enggan untuk sedikit saja menyakiti hati mereka dengan cara apapun itu, baik disengaja maupun tidak disengaja. Dan, jika sudah seperti itu, maka waManda itu akan lebih memilih untuk mengurung diri di dalam kamarnya dan menangis sampai puas.
"Iya, Mas. Tidak apa-apa. Aku hanya merasa sedikit terkejut saja, saat ketika tadi, dibentak," lirihnya membuat Dimas semakin merasa sangat bersalah sekali.
Dimas langsung mengecup punggung tangan Manda berkali-kali, menunjukkan bahwa dirinya benar-benar merasa menyesal karena sudah bersikap kasar. Padahal, dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia tidak pernah ingin melukai hati istrinya dalam bentuk apapun. Jangankan untuk melayangkan tangan di wajahnya, membentaknya saja sudah cukup membuat hatinya sakit dan terluka.
Dan, tanpa disengaja dan tak sadar ... pria itu sudah melakukan sesuatu yang menjadi pantangannya selama ini. Semuanya terjadi, bukan semata-mata karena pria itu ingin menghakimi atau memarahi istrinya, bukan. Tapi karena sudah terlalu kesal dan marah, karena istrinya selalu menangis setiap kali dia pulang. Keadaan yang seperti ini, tidak pernah mau dilihat olehnya tapi selalu saja melihatnya.
"Sayang, tolong maafkan, Mas. Mas janji, tidak akan bersikap kasar lagi padamu," ungkapnya seraya berjanji di depan Manda.
Wajah Dimas yang memelas membuat Manda merasa tidak tega dan langsung tersenyum manis.
"Iya, Mas. Aku tahu, kamu tidak akan pernah mungkin sampai hati untuk membentak. Mungkin tadi, itu hanya sebuah kesalahpahaman semata saja."
"Tidak apa-apa, Mas. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Sebenarnya, wanita muda itu hanya merasa terkejut saja, tidak ada maksud untuk marah pada sikap Dimas. Mengingat, selama ini Manda tidak pernah diperlakukan kasar oleh almarhum kedua orang tuanya, jadi ia pun merasa tidak ingin dikasari oleh suaminya. Selama ini ... wanita muda itu selalu diperlakukan lembut dan mendapatkan suami yang lembut, cukup membuat hatinya tenang, meskipun tidak dengan ibu mertua dan juga adik iparnya.
"Sekali lagi, tolong maafkan, Mas."
"Iya, Mas. Gapapa, maafkan aku juga kalau terkesan berlebihan. Baru dibentak segitu saja, aku sudah menangis. Maafkan aku yang cengeng ya, Mas," tutur Manda lembut. "Aku, hanya merasa terkejut saja. Atau mungkin, hatiku yang memang dalam keadaan tidak baik-baik saja, makanya mudah terluka tadi."
"Sekali lagi, maafkan aku ya, Mas ...."
"Tidak, Sayang! Kamu sama sekali tidak bersalah!" Dimas berkata penuh dengan penekanan.
"Sudah cukup, jangan terus meminta maaf atas kesalahan yang tidak kamu perbuat. Aku yang salah disini!"
"Aku yang sudah membawa kamu masuk kedalam keluarga yang sama sekali tidak bisa menghargai kamu, aku yang salah karena sudah membawa kamu untuk ikut hidup susah bersama denganku. Aku yang bersalah, Sayang, aku yang bersalah."
Manda menggelengkan kepalanya lemah, lalu membungkam bibir suaminya dengan telunjuk indahnya. "Sssttt, jangan bicara seperti itu, Mas. Aku ikhlas hidup bersama denganmu. Aku tak peduli, kehidupan apa yang akan kita jalani sekarang atau nanti, selama itu bersama denganmu. Aku akan dengan senang hati menjalaninya, Mas."
"Aku, hanya memilikimu, Mas. Aku sudah tak memiliki siapapun lagi, selain dirimu. Jadi, aku akan tetap ikut denganmu, kemanapun kamu pergi, Mas. Aku tidak akan pernah mengeluh, sekalipun kita hidup susah."
"Aku tak masalah jika tidak diperlakukan baik oleh mereka. Yang terpenting di dalam hidupku itu adalah kamu, Mas."
"Aku hanya perlu kamu di dalam hidupku. Itu sudah lebih dari cukup bagiku, karena hanya kamu yang bisa membuatku tetap hidup bahagia sampai pada saat ini."
"Jangan pernah berpikir bahwa aku menyesal karena hidup bersama denganmu. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah menyesal telah mengenalmu dan hidup bersama denganmu, Mas."
"Aku, menikah denganmu karena tujuan ingin hidup bersama dan juga karena Allah. Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk meninggalkanmu sekalipun kamu jatuh miskin atau jatuh sakit, Mas. Aku akan tetap berada disampingmu, menggenggam tanganmu dan kita bersama-sama mewujudkan semua impian kita."
"Bagiku, hidup bersama denganmu itu sudah cukup membuatku sangat bahagia, Mas. Aku bisa menjadi apapun saat bersama denganmu, kamu selalu memperlakukan aku dengan baik bahkan begitu sangat baik sekali."
"Jadi, apapun yang terjadi dan apapun yang ingin mereka lakukan padaku, itu sama sekali tak membuatku akan meninggalkanmu, Mas. Tidak akan."
Dimas merasa terharu sekali mendengar semua kata-kata yang baru saja keluar dari bibir istrinya, ia memang tahu kalau istrinya begitu sangat lemah lembut. Tapi, ia tak pernah menyangka kalau Manda akan begitu sangat ikhlas sekali hidup bersama dengannya.
"Aku benar-benar merasa sangat beruntung sekali karena menikah denganmu, Sayang. Aku memang tidak pernah salah dalam memilihmu untuk menjadi pendamping hidupku. Kamu, begitu sangat tulus sekali menjalani kehidupan rumah tangga yang sama sekali belum bisa membuatmu bahagia."
"Aku, selalu memberikan luka padamu, luka yang dibuat oleh keluargaku. Tolong maafkan aku, Sayang ...."
"Aku berjanji padamu, bahwa aku akan selalu menjagamu dan anak-anak kita kelak sampai kapanpun, aku janji. Bahkan, aku rela menukar nyawaku dengan nyawa kalian nantinya."
"Mas ...," rengek Manda merasa sangat tidak s**a sekali, jika suaminya itu membicarakan tentang kematian.
Bab 3 Permintaan Manda
"Kenapa, Sayang? Aku bicara sesuai dengan apa yang seharusnya, bukan?"
"Sudah d**g! Tidak usah lagi membicarakan tentang nyawa atau kematian, Mas! Aku tidak s**a!" rajuk Manda merasa kesal pada suaminya, wajahnya memerah menunjukkan bahwa memang wanita lembut itu saat ini tengah merasa marah.
"Kenapa sih, Sayang? Semua orang juga pasti akan bertemu dengan masa kematian, bukan?"
"Iya, aku tau, Mas! Aku tahu!" tegasnya. "Tapi, aku tak s**a jika kamu bicara terus-menerus tentang kematian! Aku tidak s**a, Mas!" Suaranya terdengar bergetar, sorot matanya kembali sendu, benar-benar tak s**a jika orang yang disayang dan dicintai olehnya itu, selalu membicarakan hal yang penuh dengan omong kosong, meskipun dia tahu kematian itu bisa datang kapan saja.
"Aku takut, Mas ...," isaknya terdengar begitu sangat memiliki. "Aku hidup sebatang kara. Semuanya sudah cukup, Mas! Jangan lagi ...."
Air mata kembali mengalir deras, Manda benar-benar tak sanggup untuk menahan diri lagi. Pertahanan yang sejak tadi berusaha untuk ditahan pun akhirnya bobok juga. Air mata yang terus mendesak di balik pelupuk mata, kini, kembali mengalir deras di p**inya, bahkan begitu sangat terdengar memilukan.
Melihat sang istrinya yang kembali menangis sampai tergugu seperti ini, membuat Dimas semakin dilanda rasa bersalah. Seharusnya, dia tak membahas tentang sesuatu yang memang begitu sangat tidak ingin dibahas oleh istrinya. Manda memang selalu takut untuk membahas tentang kematian. Pria itu merengkuh kembali tubuh yang semakin terguncang itu, mengecup puncak kepalanya berkali-kali agar bisa membuat waMandanya tenang.
"Aku merasa sudah cukup hidup menderita selama ini, karena kehilangan kedua orang tuaku, Mas. Dan kau tahu sendiri, aku sebatang kara, dari dulu hingga sekarang tidak memiliki sanak saudara."
Tangisannya kembali pecah dan semakin terdengar sangat memilukan sekali. "Aku tidak ingin, jika kau pergi meninggalkan aku juga ...," ujarnya sesegukan.
"Aku takut, Mas. Di dunia ini, aku hanya memiliki kamu seorang. Dan aku, takut jika harus kembali hidup dalam kesendirian di dunia ini dan kamu. Kamu pergi meninggalkanku, selamanya. Aku tidak mau, Mas ...."
Manda semakin tenggelam dalam tangisan dan Dimas semakin merasa sangat bersalah sekali. Di rengkuhnya tubuh sang istri dengan begitu sangat erat, sambil terus mengecup puncak kepalanya. "Maaf, Sayang. Maaf, Mas tidak bermaksud untuk membuatmu terluka kembali."
"Mas, minta maaf ya, Sayang. Tolong jangan seperti ini. Mas tidak sanggup kalau harus melihatmu menangis tergugu seperti ini, Sayang."
Manda menganggukkan kepalanya sambil terus menangis di dalam dekapan suaminya, tapi waManda itu sudah jauh lebih tenang dari sebelumnya, setelah menumpahkan semua tangisnya. "Mas, tolong jangan pernah berbicara seperti ingin itu lagi. Aku mohon."
"Iya, Sayang. Tidak, tolong maafkan aku ya, Sayang. Mas janji, apapun yang terjadi tidak akan pernah meninggalkanmu, Sayang."
Keduanya sama-sama kembali saling berpelukan dengan begitu sangat erat, mereka sama-sama saling memberikan ketenangan dan kenyamanan satu sama lainnya. Mereka percaya, bahwa keduanya tak akan pernah bisa dipisahkan oleh manusia, terkecuali oleh maut.
Manda sudah mulai merasa tenang, tubuhnya tak lagi terguncang seperti sebelumnya dan juga dia sudah tak lagi menangis sesegukan. Dimas mendengar jelas, tarikan nafas berat yah dilakukan oleh istrinya dengan hembusan nafas yang sesekali masih terdengar sesegukan. Sungguh, tak menyangka jika keadaan istrinya akan begitu sangat kacau, jika ia membicarakan tentang kematian.
Tapi, Manda itu memang wanita lembut yang pandai mengatur perasaan. Tak peduli hatinya yang sedang kacau seperti apa, waManda itu tetap bersikap seperti biasa saja tanpa terjadi sesuatu, setelah puas melampiaskan semuanya dengan tangisan. Seperti sekarang ini, dia kembali tersenyum lembut sambil mengurai lembut pelukan suaminya.
"Mas ...."
"Iya, Sayang? Kamu butuh sesuatu?"
"Tidak," jawab Manda tersenyum manis. "Bagaimana tadi di pasar, Mas? Dapat semua yang kita butuhkan dan perlukan?"
"Alhamdulillah dapat, Sayang," jawab Dimas begitu sangat antusias sekali. Pria itu pun langsung bercerita. "Kamu tahu, Mas juga dapat langsung harga murah dan bisa kita jual lagi dengan harga yang sedikit tinggi nantinya, Sayang."
"Alhamdulillah ... Alhamdulillah .... Berarti kita bisa bisa mulai usaha dalam waktu dekat, Mas?" Manda menatap suaminya dengan sorot mata berbinar, banyak sekali harapan-harapan baik setelah ini.
"Insya Allah, Sayang. Bismilah, secepatnya, kita akan mulai usaha ini, Sayang."
"Mas janji padamu, kita akan selalu berjuang bersama-sama untuk kehidupan yang lebih baik, Sayang."
"Iya, Mas. Pasti!" seru Manda begitu sangat antusias sekali. "Nanti, aku juga akan ikut membantu ya, Mas."
"Loh, tidak usah, Sayang. Kamu itu tidak boleh terlalu lelah, istriku."
"Loh, tidak bisa seperti itu d**g, Mas .... Masa aku hanya diam saja, tidak melakukan apapun dan tidak melewati proses apapun itu. Aku tetap akan membantu," protes Manda merasa sangat tidak trima sekali dengan permintaan suaminya itu.
"Hei, dengarkan dulu, Mas belum bisa sampai selesai, Sayang," tuturnya lembut, membingkai wajah cantik istrinya lalu mengecup lembut bibirnya sekilas.
"Iya, maaf. Memangnya, Mas mau bicara hal apa lagi?"
"Kamu boleh bantu, Mas. Bahkan, memang Mas sangat membutuhkan bantuan darimu, Sayang," ungkapnya.
"Nah, itu butuh bantuan, kan?"
"Tapi, kenapa Mas justru memintaku untuk tidak melakukan apapun?"
Dimas tersenyum manis, melihat kebingungan dari wajah istrinya yang cantik itu, membuatnya merasa semakin gemas. Ia menggenggam tangan istrinya lalu mengecup punggung tangannya penuh kelembutan. Menatap lekat manik matanya yang indah itu dan menyelam lebih dalam bahkan begitu dalam. Menyusuri samudera indah di dalam matanya yang selalu memberikan ketenangan dan kenyamanan.
Pria itu merasa tak memiliki siapapun lagi, selain istrinya. Meskipun masih memiliki seorang ibu dan juga adik, tapi ... nyatanya mereka tidak menganggap keberadaannya. Dan, hanya menganggap di sana mereka sedang memiliki banyak rezeki secara finansial saja. Mama Hilda memang seperti itu, ada uang maka anak akan begitu sangat di sayang, jika tidak ada uang diperlakukan semena-mena.
"Mas hanya minta bantuan doa darimu, Sayang. Kita mulai lagi semuanya dari awal dengan jalur langit, boleh?"
Manda tersenyum manis saat mendengar permintaan dari suaminya yang cukup sangat sederhana, tapi membuat hatinya menghangat. Sejak pertama kali menikah dan tinggal bersama, pria itu selalu paling percaya dan yakin dengan doa yang istrinya panjatkan. Menurutnya, doa istri adalah doa yang paling mujarab dan bisa menembus hingga langit ketujuh. Bukan berarti pria itu tidak percaya dan yakin pada doa orang tuanya, tetaplah ... merasa yakin kalau ketika sudah menikah, maka doa yang paling mujarab dan langsung di dengar adalah doa sang istri. Terlebih saat berada di masa-masa yang tersulit, ketika diremehkan dan diinjak-injak oleh ibunya sendiri, hanya istrinya yang mampu menenangkan dan selalu mengadukan semuanya dengan jalur langit.
Setiap malam, Dimas selalu mendengar istrinya itu tengah berdoa sambil tersedu-sedu, mendoakannya untuk bisa lebih ikhlas lagi menjalani kehidupan yang terkadang tidak sesuai dengan harapan. Dan, meminta agar hati istrinya itu dikuatkan dari segala macam luka yang menghampiri.
Bahkan, sering sekali pria itu mendengar bahwasannya, lebih baik Manda saja yang disakiti oleh mertua dan iparnya, jangan sampai suaminya ... karena jika sampai suaminya yang disakiti dan terluka, maka, dia adalah orang pertama yang merasakan lukanya dua kali lipat dan tak akan pernah terima jika suaminya terluka kembali untuk yang kesekian kalinya.
Dimas menyadari bahwa cinta yang diberikan oleh istrinya begitu sangat tulus. Maka dari itu, pria itu selalu merasa setelah menikah keluarga yang dimiliki olehnya, hanya Manda seorang. Karena, waManda itu yang tak pernah menyakiti hatinya dalam segi hal apapun itu.
"Mas ... masa minta bantuan yang seperti itu," kekehnya membalas genggaman tangan kekar suaminya, membuat Dimas kembali dari lamunannya.
"Mas, kalau doa itu sudah tidak usah diminta pun, aku akan tetap melakukannya. Disetiap sujudku, aku akan selalu menyelipkan namamu dan semua orang yang ada di rumah ini, agar selalu mendapatkan keberkahan dan bisa hidup damai."
"Aku akan selalu mendoakan hal-hal yang terbaik, di setiap langkah kaki Mas Dimas. Jadi, jangan pernah berpikir kalau aku ini, tidak pernah mendoakan hal yang baik-baik loh ...."
Dimas merasa begitu sangat terharu sekali dengan ketulusan hati sang istri. Mereka saling melemparkan senyuman dan memeluk kembali begitu erat. Terlihat sekali, kebahagiaan mereka berdua yang terpancar dari wajahnya. Walaupun, sekarang hidup Manda terasa sangat jauh berbeda dari sebelumnya, tapi, merasa tetap nyaman menjalani semuanya.
"Mas, janji padaku, jangan pernah meninggalkan aku ... sampai kapanpun, ya." Sorot matanya berkaca-kaca, Dimas kembali menyelam ke dalam samudera mata indah itu. Ada banyak sekali ketakutan yang dirasakan dan terpancar jelas dari sorot matanya.
"Sekarang dan sampai entah kapan ... aku hanya punya kamu sekarang, Mas. Tidak ada yang lain ...," lirihnya dengan tatapan sendu.
"Iya, Sayang. Mas benar-benar janji, tidak akan pernah meninggalkanmu sampai kapanpun. Kamu, jangan pernah khawatir akan hal itu, ya ...."
Manda menganggukkan kepalanya sambil tersenyum manis. "Mas ... boleh aku minta sesuatu?"
"Boleh, Sayang. Katakan saja, apa yang kau inginkan?"
"Mas ... maaf, tapi jika nanti ekonomi kita sudah mulai bisa stabil. Bolehkah jika kita, pindah dan memiliki rumah sendiri?"
Manda berkata dengan senang hati-hati sekali, ia hanya tidak ingin jika menyakiti hati suaminya atas sebuah permintaan yang seakan-akan menunjukkan bahwa dirinya memang begitu merasa sangat tidak nyaman di rumah tersebut. Sebenarnya, waManda itu merasa nyaman saja, selama sikap mertua dan iparnya baik ... tapi ketika keduanya sudah mulai berubah sikap, ia mulai merasa tidak nyaman, karena perlakuan mereka yang sangat terang-terangan menyakiti hatinya.Bersbung BAB.3