19/12/2025
Berikut kisah pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI):
PDRI: Negara yang Bertahan Saat Pemimpinnya Ditawan
19 Desember 1948.
Langit Yogyakarta belum sepenuhnya terang ketika dentuman pesawat dan derap pasukan Belanda memecah pagi. Agresi Militer Belanda II dimulai. Ibu kota Republik jatuh. Istana diduduki. Radio dibungkam. Dan dalam hitungan jam, Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, Agus Salim, dan para pemimpin republik ditangkap dan diasingkan.
Belanda yakin satu hal:
> Jika pemimpin ditawan, maka Republik telah mati.
Namun Belanda lupa satu kenyataan pahit:
Republik Indonesia tidak berdiri pada satu kota, apalagi satu orang.
Syafruddin Prawiranegara: Lelaki yang Menolak Negara Runtuh
Di tengah kekacauan itu, di Bukittinggi, Sumatera Barat, seorang menteri keuangan bernama Syafruddin Prawiranegara menerima kabar paling genting dalam sejarah republik muda ini.
Tidak ada telegram resmi.
Tidak ada sidang kabinet.
Tidak ada kepastian.
Yang ada hanyalah kekosongan kekuasaanâdan ancaman bahwa dunia akan percaya Indonesia telah menyerah.
Syafruddin memahami satu hal krusial:
> Jika Republik tidak segera menyatakan dirinya masih hidup, maka Belanda akan menang tanpa perlu pertempuran.
Dengan keberanian yang sunyi, tanpa sorak dan upacara, pada 19 Desember 1948, Syafruddin mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Ia tidak menunggu perintah tertulis.
Ia tidak menunggu legitimasi internasional.
Ia bertindak demi menyelamatkan nyawa sebuah negara.
Negara dalam Hutan, Pemerintahan dalam Pelarian
PDRI bukan pemerintahan megah.
Ia berpindah dari satu desa ke desa lain: Bukittinggi, Payakumbuh, Halaban, Bidar Alam.
Para menteri memimpin dari hutan, surau, dan rumah rakyat.
Radio darurat disembunyikan.
Surat-surat dikirim dengan kurir berjalan kaki menembus penjagaan musuh.
Namun dari keterbatasan itulah lahir pesan yang mengguncang dunia:
> Republik Indonesia masih ada. Republik belum menyerah.
TNI terus bergerilya.
Rakyat tetap melawan.
Dan dunia internasionalâtermasuk PBBâmulai menyadari bahwa klaim Belanda adalah kebohongan.
Mengembalikan Mandat, Menjaga Marwah
Pada Juli 1949, setelah tekanan internasional memaksa Belanda berunding, para pemimpin nasional dibebaskan.
Syafruddin tidak mempertahankan kekuasaan.
Ia tidak menuntut jabatan.
Ia mengembalikan mandat pemerintahan kepada SoekarnoâHatta dengan kepala tegak.
Sejarah mencatatnya bukan sebagai penguasa,
melainkan sebagai penjaga nyala republik di saat api hampir padam.
Makna PDRI bagi Bangsa
PDRI mengajarkan satu pelajaran abadi:
> Negara bukan gedung, bukan ibu kota, bukan jabatan.
Negara adalah keberanian untuk bertahan saat semua tampak hilang.
Tanpa PDRI,
Indonesia bisa dianggap runtuh pada Desember 1948.
Tanpa Syafruddin,
kemerdekaan bisa berakhir sebelum benar-benar diakui dunia.
---