Karsig Chanel

Karsig Chanel Channel Hiburan & Edukasi Sejarah

➡️ Kisah tentang pejuang PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang semula berjuang untuk kemerdekaan, nam...
19/09/2025

➡️ Kisah tentang pejuang PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang semula berjuang untuk kemerdekaan, namun kemudian kecewa terhadap arah negara yang ia bela.

Kisah Pejuang PRRI yang Kecewa
Seorang tokoh bernama Letnan Kolonel Ahmad Husein adalah salah satu perwira TNI yang pernah ikut bergerilya melawan Belanda dalam masa Revolusi Kemerdekaan 1945–1949. Ia dan kawan-kawannya di Sumatra Barat merasa telah mengorbankan banyak hal untuk berdirinya Republik: meninggalkan keluarga, hidup di hutan, bahkan kehilangan sahabat seperjuangan.
Namun setelah pengakuan kedaulatan 1949, pusat pemerintahan di Jakarta dianggap tidak adil terhadap daerah. Kekayaan alam Sumatra, terutama hasil bumi dan minyak, banyak disedot ke pusat tanpa kembali secara seimbang dalam bentuk pembangunan. Para pejuang di daerah merasa dipinggirkan, bahkan kesempatan politik dan militer lebih banyak diberikan pada kelompok tertentu di Jawa.
Ahmad Husein dan tokoh-tokoh lain yang sebelumnya rela mati demi republik mulai merasakan kekecewaan. Mereka tidak ingin memisahkan diri dari Indonesia, tetapi ingin “mengingatkan” pemerintah pusat agar lebih adil. Pada tahun 1958, terbentuklah PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Padang, sebagai bentuk perlawanan politik sekaligus militer terhadap Jakarta.
Sayangnya, gerakan ini dianggap pemberontakan. Banyak mantan pejuang kemerdekaan yang dulu sama-sama mengusir Belanda kini justru saling mengangkat senjata. Tentara pusat dikirim untuk menumpas PRRI. Akibatnya, ribuan rakyat menderita, dan para tokoh PRRI akhirnya kalah serta harus hidup dalam pengasingan, penjara, atau “dikucilkan” dari sejarah resmi bangsa.

Makna Kekecewaan Pejuang
Kisah PRRI menunjukkan bahwa tidak semua pejuang merasa perjuangan mereka dihargai oleh negara. Mereka kecewa bukan karena benci Indonesia, tetapi karena merasa nilai keadilan yang dulu diperjuangkan tidak ditegakkan. Banyak dari mereka yang akhirnya kembali setia pada NKRI, namun luka batin—dikhianati dan dicap pemberontak—tetap membekas.
-

➡️ Kisah Pilu Para Pejuang Permesta Melawan NegaraLatar Belakang PermestaPada 2 Maret 1957 di Manado, Letkol Ventje Sumu...
18/09/2025

➡️ Kisah Pilu Para Pejuang Permesta Melawan Negara

Latar Belakang Permesta
Pada 2 Maret 1957 di Manado, Letkol Ventje Sumual dan sejumlah perwira Tentara Nasional Indonesia mengumumkan Piagam Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta). Tujuannya adalah memperbaiki jalannya pemerintahan pusat yang dianggap terlalu Jawa-sentris, tidak adil dalam membagi hasil kekayaan daerah, serta kurang memperhatikan pembangunan di luar Jawa.
Para tokoh Permesta masih mengaku setia pada Republik, tetapi mereka ingin otonomi lebih luas dan sistem pemerintahan yang adil. Sayangnya, gerakan ini dianggap pemberontakan oleh pemerintah pusat.

1. Dari Pahlawan Menjadi Pemberontak
Banyak perwira Permesta adalah bekas pejuang kemerdekaan. Mereka pernah berdarah-darah melawan Belanda dan Jepang. Namun begitu menentang Jakarta, mereka langsung dicap pengkhianat. Dari sahabat seperjuangan, berubah jadi musuh negara.

2. Perang Saudara di Tanah Sendiri
Operasi militer pusat, seperti Operasi Merdeka di bawah Kolonel A. H. Nasution, menghantam Sulawesi Utara. Kota-kota seperti Manado dan sekitarnya mengalami gempuran. Rakyat kecil yang sebenarnya tidak tahu politik ikut menanggung derita. Desa-desa dibakar, banyak warga mengungsi ke gunung.

3. Keterlibatan Asing
Amerika Serikat lewat CIA memberi dukungan rahasia, karena khawatir Indonesia jatuh ke pengaruh komunis. Pesawat tempur dan senjata masuk. Namun, ketika pilot CIA Allen Pope tertangkap pada 1958 setelah pesawatnya ditembak jatuh di Ambon, Permesta makin dianggap alat asing. Para pejuangnya pun makin terpojok: dari pejuang keadilan daerah menjadi dicap boneka Barat.

4. Derita Prajurit Bawah
Tentara bawahan Permesta paling menderita. Banyak dari mereka hanya ikut komando, tapi akhirnya jadi korban tembak-menembak. Jika tertangkap, mereka bisa dipenjara bertahun-tahun atau bahkan dieksekusi. Jika p**ang ke kampung halaman, mereka dicibir sebagai pengkhianat. Hidup dalam stigma jauh lebih menyakitkan daripada mati di medan perang.

5. Kehidupan Pemimpin Setelah Kekalahan
Ventje Sumual, sang tokoh utama, akhirnya hidup dalam keterasingan. Ia baru bisa kembali ke masyarakat setelah Orde Baru memberi ruang rekonsiliasi.
Banyak tokoh lain menyerahkan diri, ada yang diasingkan, ada p**a yang memilih berjuang sampai akhir di hutan.
Nama besar mereka jarang disebut dalam sejarah resmi, seakan dilupakan.

Inti Kepiluan
Permesta adalah tragedi sejarah:
Gerakan yang lahir dari keinginan membangun daerah, justru menimbulkan perang saudara.
Pejuang yang pernah mengangkat senjata demi kemerdekaan, akhirnya berhadapan dengan bangsanya sendiri.
Rakyat kecil Sulawesi Utara menjadi korban yang paling banyak menderita.
-

Terima kasih kepada pengikut terbaru saya! Senang Anda bergabung! GMas Darwis, Jamaluddin Ibrahim, B**g Itung, Reno Paro...
17/09/2025

Terima kasih kepada pengikut terbaru saya! Senang Anda bergabung! GMas Darwis, Jamaluddin Ibrahim, B**g Itung, Reno Parowo, Arief Hariyono, Alond Pangemanan, Tututa, Endi Alif, Bazo Andi Sayful, Leo Juseng, Rahman, Warno Arnoaurora, Djamal Fajar, Mardiana, Tadjudin Maslan, Daiman Thekill, Basnur Bakri, Amran, Muhamad, Rahman Keke, Neno Kobo Neno Alfa, Rahmat Hajar, Jeffry Tayu New, Abdul Azis Sijaya, Andi Naim731506, Anser Kolama Kolama, Andi Pawas, Om Boy

➡️ Kisah Pilu Ibnu HadjarDari Pejuang Gerilya hingga Dicap PemberontakDi sebuah desa kecil bernama Ambutun, Hulu Sungai ...
16/09/2025

➡️ Kisah Pilu Ibnu Hadjar

Dari Pejuang Gerilya hingga Dicap Pemberontak
Di sebuah desa kecil bernama Ambutun, Hulu Sungai Selatan, lahirlah seorang anak pada 19 April 1920. Namanya Haderi bin Umar, kelak lebih dikenal sebagai Ibnu Hadjar. Ia berasal dari keluarga sederhana, hidup sebagai petani dan pencari madu. Tak ada yang menyangka bahwa lelaki desa ini suatu hari akan menjadi tokoh besar—dicintai sebagai pejuang, tetapi juga ditakuti sebagai pemberontak.

Api Perlawanan
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 1945, Borneo Selatan tidak tinggal diam. Belanda berusaha kembali berkuasa, dan rakyat di pedalaman bangkit. Haderi muda bergabung dengan ALRI Divisi IV, pasukan gerilya yang bertempur melawan Belanda.
Dengan keberanian dan kecerdasannya, ia cepat naik menjadi letnan dua. Pasukannya kecil, namun mereka hafal hutan, rawa, dan sungai-sungai Kalimantan. Serangan mendadak, sabotase, dan diplomasi lokal ia jalankan. Rakyat melihatnya sebagai simbol perlawanan.

Kekecewaan Setelah Merdeka
Namun, kemenangan justru menghadirkan luka. Setelah Belanda pergi dan republik berdiri tegak, tentara melakukan reorganisasi. Pasukan gerilya dibubarkan. Banyak pejuang ditolak masuk TNI—alasan mereka tak cukup pendidikan, kesehatan kurang, atau sekadar karena “tak diperlukan lagi”.
Ibnu Hadjar dan kawan-kawan menerima pesangon hanya beberapa rupiah per hari. Status veteran tak kunjung jelas. Mereka, yang pernah mengangkat senjata demi Merah Putih, kini harus kembali ke desa dengan tangan kosong.
Rakyat desa juga mengeluh: aparat pusat memperlakukan mereka dingin, bahkan kasar. Rasa kecewa menumpuk. Bagi Ibnu Hadjar, ini adalah pengkhianatan terhadap darah dan nyawa yang sudah tumpah.

Jalan yang Berbelok
Tahun 1950, Ibnu Hadjar keluar dari barisan resmi. Ia mendirikan kelompok sendiri bernama Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRjT). Nama itu lahir dari rasa marah: ia merasa rakyat dan para pejuang ditindas oleh negara yang mereka perjuangkan.
Awalnya, gerakan ini hanya menuntut hak-hak veteran. Tapi kemudian situasi memburuk. Aksi bersenjata dilakukan, markas-markas kecil dibangun di hutan dan pedalaman. Pemerintah pusat menuduh mereka perampok, pemberontak.
Pada 1954, Ibnu Hadjar memilih mengibarkan bendera lain: Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Ia berbaiat kepada Kartosoewirjo, pemimpin DI di Jawa Barat. Sejak itu, gerakannya resmi dianggap pemberontakan terhadap NKRI.

Perang Saudara di Pedalaman
Pasukan Ibnu Hadjar—meski tak sebesar DI di Jawa—cukup menyulitkan militer. Mereka menguasai hutan-hutan Hulu Sungai, Kandangan, hingga Rantau. Serangan kilat, penyergapan, dan propaganda dijalankan.
Namun, makin lama kekuatan mereka melemah. Rakyat mulai lelah, ekonomi tertekan, pasukan berkurang. Di sisi lain, operasi militer pemerintah semakin intensif.

Akhir yang Tragis
Tahun 1963, Ibnu Hadjar menyerah. Ia datang dengan keyakinan ada amnesti—janji pengampunan dari negara. Tapi nasib berkata lain. Beberapa bulan kemudian ia ditangkap kembali, diadili di pengadilan militer.
Pada 11 Maret 1965, ia divonis mati. Sepuluh hari kemudian, pada 22 Maret, regu tembak menuntaskan hidupnya.
Seorang mantan pejuang kemerdekaan, yang dulu dielu-elukan, berakhir di depan moncong senjata negerinya sendiri.

Warisan yang Terbelah
Di mata pemerintah pusat, Ibnu Hadjar adalah pemberontak DI/TII, ancaman terhadap negara. Tetapi di Kalimantan Selatan, banyak yang mengenangnya sebagai pejuang yang dikhianati oleh sejarah.
Ia bukan hanya simbol perlawanan, tapi juga cermin betapa getirnya nasib sebagian pejuang: mengorbankan jiwa raga, namun kemudian tersisih, tak diakui, bahkan dihukum oleh negara yang mereka perjuangkan.
Kisah Ibnu Hadjar menjadi tragedi sejarah Indonesia — di mana garis antara pahlawan dan pemberontak terkadang ditentukan bukan oleh niat, melainkan oleh politik dan kekuasaan.
-

➡️ Kisah Pilu Keraton Surakarta yang Kehilangan Tahta KekuasaanPada hari-hari pertama setelah Proklamasi 17 Agustus 1945...
15/09/2025

➡️ Kisah Pilu Keraton Surakarta yang Kehilangan Tahta Kekuasaan

Pada hari-hari pertama setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, angin kemerdekaan berembus ke seluruh penjuru Jawa. Di Surakarta, Sunan Pakubuwono XII segera mengumumkan dukungannya kepada Republik Indonesia. Rakyat menyambutnya dengan gegap gempita: Surakarta dipandang sejajar dengan Yogyakarta sebagai daerah istimewa, dipimpin oleh raja yang kini berpihak pada Republik.
Namun, bayangan harapan itu tidak berlangsung lama. Di dalam kota, suasana semakin bergejolak. Laskar rakyat dan barisan pejuang mulai menuntut agar feodalisme dihapus. Mereka menuding keraton masih menyimpan wajah lama: simbol kebangsawanan yang mereka anggap penghambat revolusi.
Hari demi hari, aksi rakyat kian tak terkendali. Gedung-gedung dikepung, pejabat keraton diancam, bahkan terjadi penculikan tokoh penting. Otoritas Sunan semakin melemah, sementara para laskar merasa merekalah wakil sejati revolusi. Kekuasaan yang dulu teguh berabad-abad kini rapuh di hadapan gejolak rakyat.

Pemerintah pusat di Yogyakarta mengamati dengan cemas. Jika kekacauan dibiarkan, Surakarta bisa menjadi titik rawan yang mengganggu perjuangan Republik yang masih muda. Maka pada Juli 1946, sebuah keputusan tegas lahir: status Daerah Istimewa Surakarta dicabut. Surakarta tidak lagi berdiri sebagai kerajaan yang memiliki kekuasaan politik, melainkan kembali menjadi bagian dari Jawa Tengah sebagai keresidenan biasa.
Keraton Surakarta kehilangan tahtanya sebagai penguasa politik. Ia tinggal sebagai pusat kebudayaan, adat, dan tradisi Jawa. Sementara itu, nasib berbeda dialami oleh Yogyakarta—yang tetap kokoh sebagai daerah istimewa karena kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono IX yang bijak dan dukungan penuh kepada Republik.
Sejak saat itu, Keraton Surakarta hanya dikenang sebagai lambang budaya, bukan lagi sebagai penguasa negara. Sebuah kerajaan besar yang pernah berjaya, kini hidup dalam bayang-bayang sejarah.
-

Kisah ini adalah salah satu luka sejarah terbesar bagi orang Melayu di Sumatera, terutama pada masa awal kemerdekaan.Kis...
15/09/2025

Kisah ini adalah salah satu luka sejarah terbesar bagi orang Melayu di Sumatera, terutama pada masa awal kemerdekaan.

Kisah Kelam Hilangnya Kesultanan Melayu di Awal Kemerdekaan 😪

1. Revolusi Sosial 1946 di Sumatera Timur
Pecah pada 3 Maret 1946.
Rakyat, khususnya laskar buruh yang terpengaruh paham kiri, menyerang istana-istana Melayu di Deli, Langkat, Serdang, Asahan, dan sekitarnya.
Keluarga sultan dibantai: Sultan Langkat, bangsawan Asahan, hingga keluarga Deli banyak yang ditangkap, dibunuh, bahkan ada yang disiksa secara tragis.
Istana dirampas, harta kekayaan diambil, dan kesultanan yang berdiri ratusan tahun runtuh dalam hitungan hari.

2. Pembantaian Keluarga Sultan
Ratusan orang dari golongan bangsawan Melayu tewas.
Sebagian dibunuh di depan rakyat, sebagian diseret keluar istana dan tidak pernah kembali.
Wanita dan anak-anak keluarga kerajaan juga banyak yang menjadi korban atau terusir, hidup dalam pengasingan dan kemiskinan.
Ada yang selamat dengan melarikan diri ke Malaysia atau daerah lain, tetapi jejak kejayaan kesultanan hilang selamanya.

3. Lenyapnya Kekuasaan Kesultanan
a. Kesultanan Langkat
Sultan: Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmadsyah
Tragedi:
Ditangkap oleh laskar rakyat pada Maret 1946.
Dianiaya dan akhirnya dibunuh secara mengenaskan.
Banyak keluarga bangsawan Langkat ikut jadi korban pembantaian.
Akibat: Kesultanan Langkat runtuh total, istana dan harta dirampas.
b. Kesultanan Deli
Sultan: Sultan Osman Al Sani Perkasa Alam Shah (Sultan Deli ke-11)
Tragedi:
Istana Maimun di Medan dikepung massa.
Sultan dan keluarganya selamat dari pembunuhan massal, tetapi kehilangan hampir seluruh kekuasaan politik.
Banyak bangsawan Deli lain dibunuh.
Akibat: Sultan Deli hanya dipertahankan secara simbolis, tetapi tak lagi punya pengaruh politik maupun ekonomi.
c. Kesultanan Asahan
Sultan: Sultan Shaibun Abdul Jalil Rahmadsyah
Tragedi:
Ditangkap bersama keluarganya oleh laskar rakyat.
Dianiaya dan kemudian dibunuh.
Akibat: Kesultanan Asahan bubar, istana dihancurkan, keluarga yang selamat melarikan diri.
d. Kesultanan Serdang
Sultan: Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah
Tragedi:
Sultan sempat ditangkap, tetapi ada versi yang menyebut beliau berhasil menyelamatkan diri.
Bangsawan dan kerabat kerajaan banyak yang dibantai.
Akibat: Kesultanan Serdang runtuh, kekuasaan berakhir.
e. Kesultanan-kesultanan lain (Batubara, Panai, dll.)
Nasib serupa: istana diserang, keluarga bangsawan ditangkap, dibunuh, atau terusir.
Banyak warisan budaya (arsip, manuskrip, pusaka) musnah atau hilang.

Setelah itu, kesultanan Melayu tidak lagi punya kuasa politik.
Tanah ulayat, perkebunan, dan aset istana dikuasai negara atau kelompok rakyat.
Banyak istana terbakar atau ditelantarkan hingga hancur.

4. Terhapus dari Sejarah Nasional
Narasi sejarah Indonesia lebih menekankan perjuangan melawan Belanda, sementara tragedi ini dianggap “konflik internal” dan tidak dipopulerkan.
Kisah penderitaan keluarga sultan jarang masuk buku pelajaran.
Akibatnya, generasi baru lebih mengenal tokoh republik daripada sultan-sultan yang dulu pernah berjaya.

📌 Singkatnya:
Awal kemerdekaan bukan hanya masa euforia, tetapi juga masa tragedi kelam bagi kesultanan Melayu. Ratusan keluarga istana dibantai, kekuasaan kerajaan yang berusia ratusan tahun hilang, dan kisahnya banyak yang “dihapus” dari ingatan bangsa.
-

➡️ Kisah Andi Azis Melawan Republik di MakassarMakassar, awal April 1950.Di pelabuhan, debur ombak beradu dengan suara g...
13/09/2025

➡️ Kisah Andi Azis Melawan Republik di Makassar

Makassar, awal April 1950.
Di pelabuhan, debur ombak beradu dengan suara gaduh orang-orang yang resah. Kota yang biasanya ramai perdagangan kini terasa mencekam. Di markas militer, seorang perwira muda berdarah bangsawan Bugis—Kapten Andi Azis—berjalan mondar-mandir dengan langkah gelisah.
Sejak pengakuan kedaulatan RIS, kabar bahwa pasukan TNI dari Jawa akan masuk ke Makassar membuatnya resah. Ia, bersama sisa-sisa pasukan KNIL, merasa Makassar bukan sekadar kota biasa. Bagi mereka, Sulawesi adalah tanah yang harus “dijaga” dari kekuatan lain.
“Kalau TNI masuk, kita kehilangan kendali,” katanya lantang pada anak buahnya. “Makassar harus kita pertahankan!”
Dan pada 5 April 1950, subuh yang seharusnya tenang berubah jadi kobaran api. Pasukan Andi Azis menyerang markas-markas militer Republik. Suara tembakan menggema, gedung-gedung rusak, warga sipil berlarian mencari tempat aman. Makassar mendadak menjadi kota perang.
Namun, di Jakarta, pemerintah RIS tidak tinggal diam. Ultimatum pun dikirim: Andi Azis harus menyerahkan diri, atau TNI akan dikirim menumpas pemberontakan.
Hari-hari berikutnya, kapal-kapal perang Republik berlabuh. Pasukan di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang mendarat dan bergerak masuk ke jantung kota. Pertempuran meletus di jalan-jalan sempit Makassar. Pasukan Andi Azis, meski berani, mulai terdesak.
Di tengah gejolak itu, Andi Azis menyadari bahwa perjuangannya tak mungkin menang. Pilihan yang ada hanya dua: terus melawan hingga habis, atau menyerah demi menghindari lebih banyak korban.
Akhirnya, pada 26 April 1950, dengan langkah berat, ia terbang ke Jakarta. Di hadapan pemerintah Republik, ia menyerahkan diri. Di Makassar, sisa pasukannya bubar, dan kota perlahan kembali tenang.
Perlawanan Andi Azis pun tamat. Namun peristiwa itu tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pergolakan besar di masa transisi, saat Indonesia berjuang menyatukan diri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-

⬇️ Kisah Dr. Chris Soumokil, salah satu tokoh kontroversial dalam sejarah Indonesia.Latar BelakangNama lengkap: Dr. Chri...
13/09/2025

⬇️ Kisah Dr. Chris Soumokil, salah satu tokoh kontroversial dalam sejarah Indonesia.

Latar Belakang
Nama lengkap: Dr. Chris Soumokil (1905 – 1966).
Asal: Ambon, Maluku.
Pendidikan: Sarjana hukum dari Universitas Leiden, Belanda.
Karier awal: Pernah menjadi jaksa di Jakarta pada masa Hindia Belanda, lalu ikut bergabung dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia setelah Jepang kalah.

Peran dalam Kemerdekaan Indonesia
Pada masa awal Republik, Soumokil menjadi salah satu pejabat hukum.
Ia pernah diangkat menjadi Jaksa Agung Republik Indonesia (1945–1946), menggantikan Mr. Soenario.
Setelah itu, ia sempat menduduki posisi penting di pemerintahan Republik Indonesia di Maluku dan Sulawesi.

Berbalik Melawan Negara
Namun, seiring perkembangan politik:
1. Perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar, 1949) menghasilkan bentuk negara RIS (Republik Indonesia Serikat).
Soumokil mendukung Maluku bagian timur tetap bergabung dengan Belanda.
Ia menentang integrasi Maluku ke dalam Republik Indonesia.
2. Tahun 1950, ketika RIS bubar dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, Soumokil menolak keputusan itu.
Ia menganggap Maluku punya hak untuk menentukan nasib sendiri.
3. Pada 25 April 1950, Soumokil mendeklarasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon.
Ia kemudian diangkat sebagai Presiden RMS (1950–1966).
Namun, kekuatan militer RMS lemah dibanding TNI.
4. Pemerintah Indonesia melancarkan operasi militer:
November 1950, TNI berhasil merebut Ambon dan menguasai pusat-pusat perlawanan RMS.
Soumokil melarikan diri ke p**au Seram dan melanjutkan perlawanan dengan perang gerilya selama bertahun-tahun.

Akhir Hidup
1963, Soumokil tertangkap pasukan TNI di Seram.
Ia dibawa ke Jakarta, diadili, dan dijatuhi hukuman mati.
12 April 1966, ia dieksekusi mati di Pulau Obi, Maluku.

Kesimp**an
Kisah Dr. Chris Soumokil memperlihatkan perjalanan seorang tokoh yang awalnya pejuang kemerdekaan Indonesia (Jaksa Agung pertama) namun kemudian berubah haluan menjadi pemimpin gerakan separatis.

Dari perspektif nasional, ia dianggap pemberontak.
Dari perspektif sebagian orang Maluku, ia dipandang sebagai tokoh yang mencoba memperjuangkan kedaulatan daerah.
-

Terima kasih banyak untuk penggemar berat baru saya! 💎 Muh Nawir Juventini, Kismara Sabran, Adding Marulu, Asbar Daeng M...
13/09/2025

Terima kasih banyak untuk penggemar berat baru saya! 💎 Muh Nawir Juventini, Kismara Sabran, Adding Marulu, Asbar Daeng Makkulle, Algantaran Taran Taran, Arief Hariyono, Ikbal Dramawan, Jhoni Joni, Sam Sam, Syahruddin Fattah, Munifun Aliyul Wafi, Wajah Alam, I la Galigo, Gun Tur, Riski Fauzan, Imam Permana

Beri komentar untuk menyambut mereka di komunitas kita, berat

➡️ Kisah Tragis Keluarga Kerajaan Bulungan 😪Di tepi Sungai Kayan, Kalimantan Utara, berdiri megah sebuah istana kayu ber...
13/09/2025

➡️ Kisah Tragis Keluarga Kerajaan Bulungan 😪

Di tepi Sungai Kayan, Kalimantan Utara, berdiri megah sebuah istana kayu berornamen khas Melayu. Itulah Istana Kesultanan Bulungan, pusat kerajaan yang sejak abad ke-18 menguasai jalur perdagangan di perbatasan Kalimantan–Sabah. Sultan Bulungan saat itu dihormati rakyat, dan keluarga bangsawan masih hidup dengan adat yang terjaga.
Namun memasuki tahun 1960-an, angin politik berhembus kencang. Indonesia di bawah Presiden Soekarno sedang menjalankan Konfrontasi dengan Malaysia (1963–1966). Posisi Bulungan yang berbatasan langsung dengan Sabah membuat keluarga kerajaan dicurigai punya kedekatan dengan Inggris dan Malaysia.
Hubungan antara kerajaan dan pemerintah pusat semakin renggang. Tahun 1959, status swapraja Bulungan dicabut. Sejak itu, kecurigaan terhadap istana makin menebal.

Malam Kelam di Bulungan (23 Januari 1964)
Malam itu, suasana Tanjung Palas mencekam. Pasukan bersenjata mengepung istana. Tidak ada aba-aba panjang, hanya teriakan singkat sebelum rentetan senjata api meletus.
Api kemudian membakar dinding kayu istana. Asap hitam membumbung ke langit. Jeritan terdengar di dalam, ketika para bangsawan, perempuan, dan anak-anak berusaha menyelamatkan diri.
Satu per satu anggota keluarga kerajaan ditangkap, sebagian dipukul, sebagian ditembak di tempat. Ada yang diikat dan digiring keluar, kemudian dihilangkan tanpa jejak.
Sultan terakhir, Jalaluddin (Sultan Bulungan XIII) bersama keluarganya termasuk di antara korban. Hingga kini, nasib sebagian besar dari mereka tidak pernah diketahui pasti.

Setelah Tragedi
Pagi harinya, istana tinggal puing dan arang hitam. Rakyat sekitar hanya bisa berbisik, takut mengucapkan apa yang mereka lihat.
Sejak hari itu, Kesultanan Bulungan lenyap dari peta sejarah Nusantara. Tidak ada pengadilan, tidak ada pengakuan resmi, hanya kabar samar yang bertahun-tahun tak pernah dibuka terang.
Hingga kini, para keturunan yang masih hidup menanggung luka sejarah. Banyak yang tidak tahu di mana makam leluhur mereka, karena sebagian besar korban hilang tanpa kuburan.

Warisan Sunyi
Tragedi ini masih menjadi misteri. Ada yang menyebutnya pembersihan politik, ada p**a yang percaya ini bagian dari operasi militer dalam konfrontasi dengan Malaysia. Apa pun alasannya, yang tersisa hanyalah kisah pilu sebuah kerajaan besar yang musnah dalam semalam.
-

Berikut kisah heroik Robert Wolter Monginsidi, salah satu pahlawan nasional Indonesia:Latar BelakangRobert Wolter Mongin...
11/09/2025

Berikut kisah heroik Robert Wolter Monginsidi, salah satu pahlawan nasional Indonesia:

Latar Belakang
Robert Wolter Monginsidi lahir di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara pada 14 Februari 1925. Ia tumbuh sebagai pemuda yang cerdas dan bersemangat, bahkan sempat menjadi guru bahasa Jepang saat masa pendudukan Jepang. Setelah Jepang menyerah dan Belanda kembali ingin menjajah Indonesia, Monginsidi ikut bergerak dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Makassar.

Perjuangan
Pada tahun 1946, Monginsidi bergabung dengan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), sebuah organisasi perjuangan bersenjata melawan Belanda di Sulawesi Selatan.
Ia dikenal berani memimpin aksi-aksi gerilya melawan tentara Belanda, meski dengan persenjataan yang terbatas.
Salah satu aksinya adalah menyerang pos-pos Belanda dan menyelamatkan rakyat dari tekanan serta kekejaman kolonial.
Semangat juangnya membuatnya ditunjuk sebagai salah satu komandan lapangan.

Penangkapan dan Hukuman Mati
Pada 28 Februari 1947, Monginsidi ditangkap Belanda setelah beberapa kali lolos dari pengejaran.
Ia sempat melarikan diri, namun tertangkap lagi pada tahun 1948.
Belanda menjatuhkan hukuman mati kepadanya.
Menjelang eksekusi pada 5 September 1949 di Makassar, Monginsidi tetap tegar. Ia menolak penutup mata, dan berseru:
“Hidup Indonesia Merdeka!”
Teriakan itu menjadi simbol keberaniannya hingga peluru menembus tubuhnya.

Penghormatan
Setelah wafat, jasadnya dimakamkan di Makassar, kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar.
Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1973.
Namanya diabadikan menjadi nama jalan di kota Makassar, sekolah, hingga Bandara Internasional Sam Ratulangi Manado yang memiliki terminal bernama Wolter Monginsidi.

👉 Kisah heroik Monginsidi dikenang karena semangat pantang menyerah, keberanian menghadapi maut, serta tekadnya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia meski harus mengorbankan nyawa.
-

Terima kasih sudah menjadi orang yang paling banyak berinteraksi dan masuk ke daftar interaksi mingguan saya! 🎉 Agus Mun...
11/09/2025

Terima kasih sudah menjadi orang yang paling banyak berinteraksi dan masuk ke daftar interaksi mingguan saya! 🎉 Agus Mundra, HeyaHeya Tarang, Thimorenzz, Indra Permana, Safera Puji, Imanjarungi Daeng Tompo, Bahta Rudin, Zulfiandi Zul, Jufrie Lamaddusila, Dan's Nurdiansyah, Umar Din

Address

Jeneponto
92362

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Karsig Chanel posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share